"Ayo,"
Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku.
"Elo ganti shampoo, Gam?"
Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu.
"Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini."
"Masa?"
"Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."
Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.
* * *
Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Jangan terlalu memaksa saat kita ingin memiliki.Fathan Agam ByantaraBagaimana rasanya jatuh cinta?Indah bukan?Pasti menyenangkan, membayangkan semua hal yang disukai dilakukan bersama-sama. Hari-hari penuh dengan kebahagiaan.Itu semua berlaku bagi orang-orang yang bertemu dengan pasangannya di waktu yang tepat dan orang yang tepat. Mungkin sepersekian persen dari orang-orang di dunia ini tidak seberuntung itu dan aku salah satunya. Cintaku jatuh di tempat yang salah.Sahabat yang seharusnya menjadi tempatku berbagi cerita, nyatanya aku malah menyembunyikan segala perasaanku padanya. Apakah aku bersikap curang? Di saat dia menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan orang lain, aku menanam sebuah rasa cemburu di balik senyum saat mendengarkan curahan ha
Kau seperti matahari, aku bisa melihatmu bahkan merasakan pancaran cahayamu tapi kau terlalu jauh untuk aku sentuhFathan Agam ByantaraSejak pagi jam pelajaran di kelas sudah kosong, tidak ada guru yang mengajar ataupun guru piket yang memberikan tugas. Aku memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS, ruangan itu sangat berantakan. Tiga bulan yang lalu aku terpilih menjadi wakil ketua OSIS. Dulu saat kelas sepuluh aku menjadi anggota OSIS dan karena keteladananku sebagai anggota, beberapa teman dan kakak kelasku meminta agar aku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Aku tidak terlalu suka mengikuti kegiatan sekolah, hanya saja kalau sudah terlanjur mau tidak mau aku harus bertanggungjawab. Akhirnya aku terpilih menjadi wakil ketua, mendampingi seorang ketua yang begitu pintar dan ambisius. Selisih pemilihan kami hanya beberapa, ak
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb