Tian duduk terdiam di samping tempat tidur Alin. Sudah tiga jam sejak Alin pingsan dan di bawa pulang, gadis itu belum sadar juga. Walaupun dokter pribadi Tian mengatakan jika Alin tak apa-apa, namun ia tak percaya sebelum melihat Alin membuka mata dan berbicara dengannya."Sudah. Dia tak apa-apa. Kau dengan apa yang dokter katakan, bukan? Itu hanya sakit perut keram saja. Delapan puluh persen perempuan merasakan itu jika sedang datang bulan. Jadi santai saja." Delon menepuk pundak Tian pelan, "Yang tak biasa adalah, kenapa kau se khawatir itu?" Tanya Delon berbisik pada Tian."Dia tinggal di sini. Dia asistenku, apa kalau posisi ini dibalikkan padamu, apa kau akan diam juga?"Delon mencibir lalu mengangguk. Ia tersenyum mendengar jawaban Tian. Itu bukan jawaban yang sebenarnya, Delon tahu itu. Sepertinya sahabatnya ini ingin berdamai dengan keadaan. Ia sendiri berharap Tian bisa menemukan pengganti Irene.Delon ingin bicara lagi, namun terhenti karena ponselnya berdering. Ia mengan
"Mau apa kau ke sini?" Tian menatap Yanto yang duduk di depannya dengan tatapan meremehkan."Maaf saya datang dan mengganggu istirahat anda Tuan, tapi apa boleh saja pinjam uang lagi. Tak banyak, hanya 200 juta.""Apa jaminanmu untuk membayarnya? Apa kau punya putri lagi?"Wajah Yanto mengeras, tersinggung dengan ucapan Tian."Kali ini saya pasti bisa bayar, tuan."Tian tertawa keras. Perutnya terasa geli mendengar penuturan Yanto, "Kenapa saat hutangmu 2 miliar dulu kau tak bisa mengatakan hal seperti ini? padahal aku tak pernah meminta sekaligus, tapi tak ada niatan darimu untuk mencicilnya. sampai akhirnya kau jual anakmu padaku, sekarang kau pinjam lagi?""Tuan, saya mohon! usaha saya sedang bangkrut tuan, jadi saya butuh dana lagi untuk investasi.""investasi seperti apa yang kau minta? investasi di meja judi?" Yanto mendadak diam. Sepertinya walaupun Alin sudah di sini, pria di hadapannya ini masih mengintai gerak-gerik dirinya dan juga istrinya"Saya mohon tuan, hanya 200 juta
"Brengsek!!!" Yanto membanting ponselnya dengan sangat keras ke atas tempat tidurnya. Ia tak menyangka akan diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Padahal ia bisa melihat jika Alin bertambah cantik saat di rumah Tian. Pasti anaknya itu diperlakukan dengan baik oleh Tian.Tapi kenapa Alin bisa Setega itu padanya. "Dasar anak tak tahu terima kasih. Sudah dibesarkan, tapi tak mau membantu." Umpatnya pada Alin.Pria itu seolah melupakan apa yang Alin lakukan agar ia dan sang istri tak dipenjara."Anak itu tak bodoh, suamiku. Kau pikir dengan alasan sudah membesarkannya, kau bisa memanfaatkan nya terus? Kau salah besar. Dia itu sudah besar, jadi harus perlu strategi yang lebih."Yanto melirik istrinya yang baru saja masuk."Minta anakmu yang sedang kuliah itu untuk membantu." Ucap Yanto yang langsung membuat wanita itu murka."Jangan pernah kau sentuh gadisku itu.""Cih! Kau memanfaatkan Alin, namun tak mau memanfaatkan Sonia.""Anak itu punya impian yang besar.""Lalu, kau pikir
Hoaaam.Untuk kesekian kalinya, Alin menguap. Bukan karena ia mengantuk, namun karena ia bosan. Pasalnya, hukuman yang Tian berikan padanya yaitu menemani pria itu membaca buku di ruang kerja yang ada dalam rumah tersebut.Alin menatap Tian kesal, "Mau berapa lama sih baca bukunya? Nggak bosan apa?" Rengek Alin.Pria itu menatap Alin dengan tatapan tenang. Sedari tadi memang sudah diperhatikan oleh Tian jika gadis tersebut sudah bosan. Namun Tian sengaja dan ingin mengerjai Alin juga. "Tian, bisakah kita keluar? Kau ingin membuatku mati bosan?" Keluh Alin."Tunggu sebentar lagi.""Sampai kapan?""Sebentar.""Iya tapi sampai kapan?"Tian menutup bukunya. Ia melihat Alin dengan seksama. Kali ini ia sungguh ingin tertawa."Kau ingin ikut denganku?" Tanya Tian. Dengan semangat Alin mengangguk, "Mau ke mana?""Ke kamarku.""Ha? Ngapain?" Tian berdiri dari duduknya. Ia lalu mendekat ke arah Alin. Pria itu menundukkan wajahnya untuk mensejajarkan dirinya dengan Alin."Ma--mau apa?" Tanya
"Semudah itu?" Zaki menggebrak meja dengan keras. Ia kesal setengah mati saat tahu Ruli bisa masuk ke dalam rumah pria sialan itu dengan sangat mudah. Kenapa saat dengan dirinya, Pria brengsek itu mencegahnya."Tapi menurutku, sebaiknya kau menyerah saja bos.""Menyerah, apa maksudmu?""Aku lihat, Alin di sana sangat bahagia. Dia bertambah cantik. Bahkan aku tak pernah melihat Alin secantik itu. Tian itu pria yang sangat kaya raya."Braakk!Lagi-lagi Zaki menggebrak meja dan untuk yang kesekian kalinya, Ruli terkejut."Kau jangan asal bicara. Tak ada orang yang tahan jika disekap.""Ada. Alin orangnya. Kau bisa melihatnya nanti saat aku kesana lagi, aku akan mengambil video dengannya. Dia sangat cantik. Jadi biarkan saja Alin bersama dengan Tian. Kau bisa mencari gadis lain. Kau itu tampan bos, apalagi kau punya banyak uang.""Diam kau! Aku memintamu untuk mencari tahu tentang Alin, bukan untuk menceramahi aku. Paham?"Ruli mencibir. Ia mengangguk lalu berdiri dari duduknya, "Orang ka
Ghmmm.Alin mendesah tak sadar saat ia merasakan sensasi ketika jemari Tian bermain di dalam pakaian atasnya. Meremas gundukan dadanya dengan lembut.Sudah hampir sepuluh menit Tian hanya bermain seperti ini. Awalnya Alin menolak keras. Gadis itu bahkan mencoba mendorong Tian dengan kuat agar pria itu beranjak dari tubuhnya. Namun tenaga Tian jauh lebih kuat.Alin ketakutan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi dengannya nanti jika Tian tak dihentikan. Pasalnya Tian semakin nekat bahkan Tian juga menciuminya dengan sangat kasar.Namun sumpah serapah langsung keluar dari mulut Alin saat jemari Tian menggelitik perutnya. Ini geli sekaligus nikmat. Seperti ada sensasi yang luar biasa yang sulit ia ungkapkan.Rasa berdebar, malu, dan tak percaya menyatu jadi satu dalam pikiran Alin. "Kau sangat cantik." Ucap Tian lagi. Kali ini Tian mengarahkan bibirnya pada lekuk leher Alin yang terekspos.Mengecupnya pelan namun penuh sensasi. Tubuh Alin panas dingin. Ia tak sanggup lagi untuk memberontak.
"Kita mau ke mana?" Tanya Alin yang masih terlihat mengantuk. Setelah pagi saat ia ditinggalkan oleh Tian, malamnya, tepat pukul sepuluh malam, Tian membangunkannya dan disinilah ia sekarang, di dalam mobil mewah milik Tian."Aku ada urusan dinas ke Bali, jadi kamu harus ikut denganku.""Ha? Bali?" Alin langsung mencari kaca untuk ia bercermin. "Cari apa?" Tanya Tian yang heran melihat Alin krasak krusuk."Apa kau gila? Kau menculikku dan langsung membawaku ke Bali? Dengan penampilan seperti ini? Ini pengalamanku ke Bali tapi langsung kau hancurkan." Rengek Alin.Tian mendelik jengah. "Aku tak memintamu berdandan.""Tapi kan--""Alin! Kamu kerja sama siapa?""Tuan Tian." Jawab Alin santai."Lalu, apa aku memintamu berdandan?"Alin menggeleng, "Tapi kau tahu? Jika aku berdandan cantik, siapa tahu nanti di sana aku bertemu seorang sugar Daddy yang bisa melunasi hutangku."Ciiiit!Tian menginjak rem mobilnya dengan sangat kuat membuat Alin terdesak ke depan."Hei!" Teriak Alin kesal."
Bali.Ini pertama kalinya Alin menginjakkan kakinya di surga para bule tersebut. Selama ini Ia hanya melihat Bali dari TV atau ponselnya saja, dan ternyata memang seindah itu. Pantas saja Bali menjadi salah satu destinasi wisata untuk para turis asing yang ingin berlibur.Alin memang terlahir dari keluarga yang berada. Bisa dikatakan untuk keluar negeri itu mudah bagi Alin, hanya saja kekayaan kedua orang tuanya itu tak pernah dirasakan oleh ia sendiri. Seperti yang terlihat, bahkan untuk makannya saja ia harus bekerja paruh waktu dan itu ia lakukan sejak ia duduk di kursi kelas 2 SMP, sampai akhirnya ia menjadi penebus hutang kedua orang tuanya dan sekarang berada di tangan Tian.Siapa yang menyangka, jika saat posisinya dengan Tian, justru membuatnya menjadi lebih bisa menikmati kemewahan yang selama ini ia impikan. Walaupun statusnya hanya seorang pelayan saja.Contohnya saja, sekarang walaupun statusnya hanya seorang pelayan tapi ia bisa merasakan suasana Bali, menghirup angin se