Bukankah tidak apa-apa,
jika merasa nyaman terjebak dalam rutinitas?Salahkah berpuas diri dengan apa yang dimiliki saat ini?Panggillah aku si membosankan, aku tidak keberatan.Tak banyak perusahaan furnitur yang berorientasi ekspor di Yogyakarta. Dari yang tak banyak itu, Nilsson Home adalah salah satunya. Perusahaan furnitur yang didirikan oleh Karl Nilsson di daerah Timbulharjo, Yogyakarta itu telah berdiri sejak dua belas tahun yang lalu. Aku bekerja di perusahaan itu sebagai asisten pribadi Mr. Nilsson selama lima tahun terakhir.
Selama hidupku, aku tidak pernah tinggal di kota lain. Bagiku Yogyakarta adalah rumahku dan aku tidak punya keinginan untuk mencoba hidup di kota lain. Tentu saja aku pernah ke Jakarta atau Denpasar waktu sekolahku dulu mengadakan study tour, tapi kedua kota besar itu pun tidak ada yang memikat hatiku. Sama halnya dengan pilihanku untuk tetap tinggal di kota ini, aku juga tidak memiliki keinginan untuk menjajal pekerjaan di perusahaan lain. Rutinitas pekerjaanku di perusahaan ini sudah membuatku nyaman. Memang ada kalanya Mr. Nilsson menjadi sangat penuntut, tapi semua masih bisa kuatasi.
Sebagai asisten pribadi, aku beruntung memiliki ruang kerja semi pribadi yang berukuran enam kali empat meter dan terhubung secara langsung ke ruang kerja Mr. Nilsson. Dinding ruanganku dihias dengan wallpaper warna ivory bertekstur yang memberi kesan profesional. Hanya ada dua buah lemari arsip, sebuah meja kerja, dan kursi kantor yang semuanya berwarna abu-abu muda yang senada di ruanganku.
Aku menguap dan secara otomatis menutup mulut dengan tangan kananku. Kenapa hari ini sepertinya berjalan begitu pelan? Aku melihat jam tanganku. Masih jam tiga sore. Hari Jumat begini selalu membuat setiap orang ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat di Nilsson Home.
Sama seperti mereka, aku juga ingin meninggalkan kantor pada jam lima tepat sore ini. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati hari libur dengan Sidney Sheldon yang kubeli minggu lalu.
Sambil menyeruput kopiku yang sudah dingin, aku kembali memeriksa checklist harian di buku agendaku.
Membagikan notulen meeting kemarin via email , centang.
Membalas email yang masuk hari ini, centang.Mengirim sample kain ke Pak Danu, centang.Menyelesaikan laporan kas kecil mingguan, centang.Memperbarui jadwal Mr. Nilsson untuk minggu depan, centang.Semua pekerjaan yang harus dilakukan hari ini sudah kuselesaikan. Aku mengklik ikon refresh untuk memastikan tidak ada email penting yang terlewat. Setelah beberapa detik, jumlah email yang ada di inbox masih sama seperti tadi. Tidak ada satu pun email baru. Baiklah, apa yang harus aku lakukan sekarang supaya tidak bosan? Kalau saja Mr. Nilsson tidak pulang awal hari ini, pasti ada saja pekerjaan yang harus aku lakukan untuknya.
Aku paling tidak suka duduk di mejaku tanpa melakukan sesuatu. Daripada bengong, lebih baik ngobrol dengan Mbak Maya saja, putusku. Semoga saja dia tidak sedang repot.
Ketika aku sampai di lobby, Mbak Maya kelihatan sangat kesal saat menjawab telepon. Kedua alisnya mengkerut, mulutnya manyun. Aku berjalan mendekati mejanya yang terlihat rapi, terlalu rapi malahan. Tidak ada buku catatan, tidak ada bolpoin, tidak ada apapun kecuali telepon yang sedang dia gunakan. Sepertinya dia ingin segera meninggalkan meja kerjanya ketika bel pulang berbunyi.
"Ya, saya mengerti. Tapi dari tadi saya sudah bilang kan, Pak Joko tidak bekerja di sini lagi," jawab Mbak Maya dengan nada kesal. Dia melihatku berjalan ke arahnya. Dia segera memberi sinyal padaku untuk mendekat ke receiver telepon yang dipegangnya. Mbak Maya sengaja meletakkan receiver di antara telinga kirinya dan telinga kananku. Aku mendengar suara pria yang sedang meracau dengan nada tinggi dari receiver itu. Seperti dugaanku, pria itu adalah penagih hutang dari suatu bank. Baru mendengarnya beberapa detik saja sudah membuatku kesal, apalagi Mbak Maya yang dari tadi meladeninya.
"Anda sangat dipersilahkan untuk datang ke kantor kami dan bertemu dengan atasan saya untuk melaporkan sikap saya yang tidak sopan. Selamat sore," katanya menyudahi percakapan itu.
Tak berapa lama, telepon itu berdering lagi. Mbak Maya memutar matanya dengan kesal lalu menjawab telepon itu. "Kok Bapak telepon lagi? Tadi katanya mau ke sini ketemu atasan saya?"
Si penelepon berteriak-teriak mengucapkan sumpah serapah yang terdengar olehku yang berdiri di sebelah Mbak Maya. Orang itu benar-benar edan, batinku. Mbak Maya menutup telepon itu tanpa mengatakan apa pun lagi dan segera mencabut kabelnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arahku.
"Gimana, Yu? Butuh alat tulis apa?" tanyanya singkat.
"Mmm... Nggak butuh apa-apa sih, Mbak. Cuma mau ngobrol."
"Udah kelar ya kerjaanmu?"
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
"Aku bisa stres kalau semua debt collector yang telepon ke sini kayak orang gila tadi," katanya sambil memijat pelan kedua pelipisnya.
Aku mengambil salah satu kursi di showroom yang tidak jauh dari mejanya. Aku duduk sambil menyilangkan kakiku di sebelahnya. "Dari bank mana sih tadi yang telepon?" tanyaku penasaran.
"Nggak tahu. Dia tadi nggak ngomong dari bank mana. Tahu-tahu nyrocos minta data pribadinya Pak Joko," katanya sambil mendengus.
"Tapi kan Pak Joko sudah nggak kerja di sini lagi," balasku.
"Nah, persis! Persis begitu itu tadi aku jawabnya. Sampai empat kali aku bilang begitu. Bukannya dia tutup teleponnya, dia malah nuduh aku bohong."
"Telepon begini nggak diurus sama HR, Mbak?"
"Nggak, Yu. HR cuma ngurus telepon begini kalau orang yang dicari masih aktif kerja di sini. Kalau orang yang dicari sudah resign, HR kasih wewenang aku yang jawab. Ya wajarlah aku yang disuruh jawab. Bayangin saja, sehari ini saja aku sudah terima lima telepon dari macam-macam bank yang nyari Pak Joko."
"Memangnya Mbak Maya nggak akan kena marah kalau kabel teleponnya dicabut begitu?" tanyaku.
"Damar bilang nggak apa-apa kalau dicabut sebentar untuk menghindari orang gila kayak tadi." kata Mbak Maya menyebutkan nama supervisor HR yang dekat dengan kami.
Aku iba padanya yang sering kena marah via telepon dari bank-bank yang ngotot mencari karyawan Nilsson Home yang cicilannya macet. Dia tidak mendapat keuntungan dari pinjaman-pinjaman itu, tapi pihak bank tetap saja marah-marah atau memaki-makinya. Walaupun Mbak Maya sering menerima telepon seperti itu, dia tidak pernah berniat mengundurkan diri. Dia sudah cukup puas menjadi resepsionis di perusahaan ini selama 10 tahun. Sama denganku, dia tidak punya keinginan kemana-mana lagi.
"Mending minum coklat panas aja yuk, Mbak," ajakku mengalihkan pembicaraan.
"Mau sih. Tapi ini nih, nggak setuju," katanya sambil mengusap perutnya yang buncit. Sejak melahirkan anak keduanya, Mbak Maya sangat memperhatikan berat badan dan bentuk tubuhnya. Usianya baru tiga puluh tujuh tahun. Sekarang berat badannya 68 kg dan lipatan perutnya terlihat jelas ketika dia duduk. Dia selalu mengikat rambutnya ala ekor kuda yang tinggi dan sering memakai pakaian gelap, yang menurutnya, membuatnya terlihat ramping.
Di perusahaan ini, aku tidak punya banyak teman dekat. Posisiku sebagai asisten pribadi Mr. Nilsson membuatku dijauhi staf-staf lain, terutama staf perempuan. Mbak Maya bilang mereka tidak mau kelepasan bicara tentang perusahaan ini di depanku. Mereka takut kalau aku mengadukannya ke Mr. Nilsson.
Mbak Maya berbeda. Dia malah banyak membantuku selama ini. Aku masih ingat perkenalanku dengan Mbak Maya lima tahun yang lalu. Pagi itu pukul sepuluh, aku sedang mencuci tangan di wastafel ketika pintu toilet tiba-tiba terbuka. Dia berdiri di tengah pintu dengan ekspresi bingung. Setelah kami saling memandang melalui pantulan masing-masing di cermin besar yang ada di toilet itu selama beberapa detik, aku baru sadar ada noda besar di bajunya, tepatnya di dada sebelah kiri. Air susunya merembes. Untungnya, hari itu aku memakai kardigan rajut warna abu-abu gelap. Aku segera meminjamkan kardigan itu kepadanya. Ukuran baju kami masih sama-sama M waktu itu.
"Weekend mau ngapain, Yu?" tanya Mbak Maya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
"Belum tahu. Mungkin kalau Sam lagi senggang, kami mau nonton film."
"Pacarmu itu seniman, Yu. Orang paling luang waktunya sedunia."
Satu hal tentang Mbak Maya yang selalu membuatku terheran-heran, dia tidak pernah sungkan mengatakan apa pun yang terlintas di kepalanya.
"Sam lagi sibuk akhir-akhir ini. Dia ada proyek sama hotel baru di Kuala Lumpur. Katanya tiga lukisan harus selesai akhir bulan ini," kataku membela pacarku.
"Kamu itu bukan pacar yang ribet. Malah gampang banget dibikin senang menurutku. Tapi kok kayaknya Sam nggak ada usaha untuk membuatmu senang ya."
"Kan dia lagi sibuk, Mbak. Kalau kerjaannya selesai, nanti juga dia jadi manis lagi kayak biasanya. "
"Percaya, Yu. Saking manisnya, dia pernah nganggurin kamu di stasiun Tugu dua jam lebih gara-gara dia ketiduran," Mbak Maya memutar matanya.
"Itu kejadian dua tahun lalu, Mbak. Heran deh, masih saja diungkit-ungkit," aku mulai cemberut.
"Ya sudah, lupakan yang itu. Tapi waktu dia ke Kalimantan selama dua minggu trus nggak ngasih kabar kamu sama sekali, kamu ingat tho? Katanya dia mau fokus pada alam untuk menginspirasinya."
"Udah ah. Mbak Maya nih sukanya ungkit-ungkit kesalahan Sam."
"Serius deh, Yu. Hidup kamu tuh sudah komplit banget. Cuma kurang pasangan hidup saja. Carilah lelaki yang menghargai kamu. Yang mau berusaha membahagiakan kamu."
"Mbak Maya lupa ya kalau Sam sering bikin aku bahagia?" kataku berdiri lalu mengembalikan kursi yang kududuki tadi ke tempatnya semula.
"Seingatku dia lebih sering bikin kamu galau deh."
"Dalam setiap hubungan pasti ada ups and downs, Mbak."
"Setuju. Tapi bagaimana kalau lebih banyak downs daripada ups-nya?"
"Ya berarti lagi dapat ujian, Mbak."
Mbak Maya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ya sudah. Intinya sebagai sahabat, aku mau kamu bahagia. Aku bukannya nyinyir, Yu. Tapi menurutku, Sam nggak pantas buat kamu. You deserve a better man."
"Serius deh, Mbak Maya nyinyir hari ini," aku meringis padanya lalu berjalan menuju ruanganku.
Aku melamun beberapa kali sebelum bel pulang berbunyi gara-gara memikirkan apa yang dikatakan Mbak Maya tadi. Setahun yang lalu, bisa dibilang kalau aku sudah puas dengan kehidupanku, dengan semua hal yang aku miliki. Aku tidak menginginkan mobil, tas bermerek, sepatu mahal, atau bahkan pernikahan yang hampir sempurna seperti pernikahan Mbak Maya. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini hatiku sedikit memberontak. Ada rasa sepi yang menjalar sebelum aku tertidur setiap malam. Ada bagian dari diriku yang menginginkan keberadaan seseorang di sampingku untuk membuang rasa sepi yang semakin nyata. Dan di saat-saat seperti itulah aku menginginkan Sam yang menjadi orang itu.
Hatiku mudah terikat.Dan kamu berdiri terlalu dekat.Kini masa depan terlihat pekat,tak lagi memikat.Jarum jam dinding baru menunjuk angka tujuh ketika ada ketukan di pintu rumahku. Aku segera bangkit dari sofa. Aku melihat sebentar pantulan wajahku di cermin dan menyisir sebentar rambutku yang beratakan. Pintu itu kembali diketuk agak keras dibanding ketukan yang pertama tadi. Aku bergegas membuka pintu, berharap Sam lah yang berdiri di balik pintu. Kekecewaan langsung menghinggapi hatiku. Ternyata Laras, sepupuku, yang berdiri di situ dengan senyum lebarnya yang khas."Kamu kan tinggal disini, Ras. Kenapa nggak buka pintu sendiri sih?" omelku."Kunciku ketinggalan di kamar," Laras menjatuhkan diri di sofa."Lain kali kuncinya diikat ke hidungmu.""Ide bagus tuh. Piye carane, Mbak?" godanya.Aku tidak menghiraukan leluconnya. Aku kembali duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan ponselku. Laras memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku. Dia sedang menyenandungkan lagu Glenn Fredly de
Tak usah memusingkan dunia yang bising.Jalani saja hari-hari dengan gagah berani.Toh hidup ini selalu penuh dengan kejutan, bukan?Sekeras apapun usahamu untuk mempersiapkan diri,kau pasti akan tetap terkejut pada akhirnya.Hari Senin pukul sembilan pagi. Aku sedang mengetik email ketika ponselku berbunyi. Ada notifikasi WhatsApp dari *Samudra. Aku buru-buru menyelesaikan email itu, menekan tombol send, lalu membuka ponselku.Muncul sebuah foto yang dikirimkan Sam. Foto itu menampilkan empat air terjun yang airnya mengalir dari bukit bersemak yang tidak begitu tinggi. Airnya mengalir melimpah ruah ke bebatuan besar dan landai di bawahnya sehingga nampak seolah-olah ada air terjun-air terjun mini yang mengalir ke kolam berwarna kehijauan di depannya. Aku familiar dengan tempat itu, Sam pernah mengajakku ke tempat itu.*Samudra:Wish U were here. (Andai kamu di sini)Aku:Me too. Air terjun Sri Gethuk ya ini?*Samudra:Iya. Ngadem. Pusing di studio meluluAku:Art block?*Samudra:Ha
Terlalu nyaman dengan seseorangselama bertahun-tahun bisa membuatmu terlena,membuatmu merasa bahwa apa yang kamu dapatkan saat iniadalah yang terbaik untukmu.Aku baru saja masuk lobby dan menempelkan jempolku di mesin absensi ketika Anita menghampiriku. Wangi parfum mahalnya benar-benar membuat betah siapa pun yang ada di dekatnya."Mbak Hayu, nanti makan siang bareng yuk."Wah, tumben Anita mengajakku makan siang bersama. Setahuku, dia suka sekali memakai barang branded dan hanya mau bergaul dengan staf-staf yang juga memakai barang branded. Seperti biasanya, hari ini Anita juga memakai barang-barang branded. Blazer Zara warna hitamnya yang tidak dikancingkan memperlihatkan mini dress Forever 21 warna beige yang dia kenakan. Flat shoes yang dipakainya pun ada emblem Gosh di bagian sampingnya."Ada acara apa, Nit?""Ya makan siang bareng saja sambil ngobrol. Nanti aku mampir ke ruanganmu, Mbak. Kita ke kantin bareng ya.""Oh gitu. Liat nanti yah, Nit. Aku nggak janji. Takutnya Mr.
Dalam dongeng yang berakhir bahagia pun,sang pangeran harus mati-matian membuktikan cintanya.Lalu apa yang bisa dilakukan sang putri selain menunggu?Aku pertama kali bertemu Sam sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu aku Masih bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di World Languages atau biasa disebut WL, bimbingan belajar bahasa asing yang didirikan oleh kakak tingkatku. Aku mengajar kelas conversation level advanced dimana sebagian besar muridku berusia dua puluhan dan Sam adalah salah satu dari mereka yang lebih tua dariku. Setelah pertemuan yang ke empat, aku baru tahu kalau ternyata sebelum Sam mengikuti kelas itu, dia sudah lulus TOEFL dengan skor 540. Pantas saja kemampuan berbahasa Inggrisnya paling menonjol di antara teman-teman sekelasnya."Kenapa, Miss?" tanya Sam padaku suatu malam di area parkir World Languages."Kayaknya ban motor saya bocor ini," aku berjongkok memencet-mencet ban belakang motorku."Di pertigaan ada tukang tambal ban, Miss. Biasanya jam segini masi
Dulu ketika teman-temanmu diterima di kampus favorit,maka kamu juga menginginkan hal yang sama.Begitu pula ketika satu per satu sahabatmu menikah,kamu juga merasa menginginkan pernikahan.Bukankah memang kebanyakan manusia seperti itu?Aku baru selesai memasak tumis tauge dan ayam goreng ketika Laras duduk di depanku. Dia diam saja memperhatikan aku yang sedang menyiapkan hidangan dan perlengkapan makan di atas meja."Ambilkan nasi dong, Ras," kataku sambil melap piring satu per satu.Laras menurut saja. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil nasi. Setelah dia kembali ke ruang makan, dia langsung duduk lagi. Dia menopang dagunya sambil mengamatiku yang sibuk mengeluarkan botol air minum dan buah-buahan dari dalam kulkas. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Laras karena tidak bisanya dia menjadi pendiam."Jangan lupa berdoa dulu," kataku sambil menyendok tumis tauge dari mangkok saji."Mbak, kalau aku berhenti kerja gimana?" tanya Laras tiba-tiba sambil berusaha mencabik sepoton
Kita tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.Atasan suka menuntut? Terima saja.Rekan kerja menyebalkan? Hadapi saja.Bisa saja kita memilih mau bekerja dengan siapa,asalkan kita yang jadi direkturnya. Sudah dua minggu berlalu sejak kedatangan Jason di Nilsson Home. Ruanganku tidak pernah sepi sekarang. Selalu saja ada yang datang menemuinya. Dia bahkan lebih sibuk dari Mr. Nilsson beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya sampai mana wewenang Jason di perusahaan ini. Pukul 11.55, Jason baru saja menyudahi diskusinya dengan Mas Roni, senior drafter, tentang desain ranjang tidur pesanan klien dari Denmark yang berlangsung selama tiga puluh menit non stop. Well, tiga puluh menit tadi itu memecahkan rekor. Biasanya Jason hanya menghabiskan paling lama lima belas menit untuk mendiskusikan sesuatu. "Hayu, how many times a day do you go upstairs to get coffee?" (Hayu, berapa kali sehari kamu naik ke atas untuk buat kopi?) tanyanya tiba-tiba. "I never count," (Saya
Sulit mengatakan apa yang ada di pikiranku.Rasa takut ditolak dan dikecewakan lahyang membuatku memilih untuk diam.Padahal, semakin lama diam, semakin aku merasa takut.Hujan turun di Minggu sore ini. Biasanya jalan di depan rumahku ramai anak-anak bermain sepeda atau sekedar kejar-kejaran, tapi hujan membuatnya lengang. Aku duduk di teras sambil membacaThe Lucky One-nya Nicholas Sparks. Aku suka sekali dengan bau tanah yang mulai basah tersiram air langit. Suasana begini membuatku semakin terhanyut dengan isi novel yang kubaca. Sesekali aku menyeruput secangkir teh panas yang ada di atascoffee tableproduksi Nilsson Home yang berhasil kumenangkan lewat lelang karyawan tahun lalu."Assalamu'alaikum."Aku menga
Where can we find home?It's right next to your loved ones.Then, where can we find love?Pay attention and look around.Aku baru saja kembali dari toilet ketika mendapati Damar dan Jason sedang berdiskusi. Mereka sedang membolak-balik lembar demi lembar katalog yang tebal di atas meja Jason. Aku mengintip katalog itu dari bahu Damar karena penasaran. Ternyata katalogwallpaper."I like this one. It's vinyl, right?" (Saya suka yang ini. Inivynilkan?) kata Jason sambil menunjuk salah satu gambar di katalog itu.
Cinta akan menghampiri merekayang menyambutnya tanpa ragu.Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alatmonitoringkondisi pasien.Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanan
Malam selalu datang terlambat di musim panas.Tapi bulan tak sekali pun mengeluhkan hal itu.Lalu kenapa ketika cinta terlambat dinyatakan,anak manusia meracau di akhir hari?Tak bisakah ia berbesar jiwa seperti si bulan?Aku akan minta maaf pada Jason di kantor pagi ini. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya dari kemarin, tapi rasanya kurang pas kalau meminta maaf lewat telepon padahal kami bisa bertemu langsung. Sebagai pihak yang bersalah dan mengharapkan maaf darinya, hari ini aku ingin menarik simpatinya dengan cara apapun, termasuk memakaidressbatik yang dibelikan ibunya dan parfum Versace yang dihadiahkannya padaku.Dengan rasa percaya diri yang tinggi a
Sebentar panas, sebentar hujan deras.Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,belum tentu aku bisa menemuinya.Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di b
Ketika pelukan selimut tua menghangatkan jiwa,suara detik jam merusak senyap yang tercipta.Bukti nyata bahwa waktu begitu fana.Begitu pula kita.Jatuh cinta selalu menciptakan perasaan menyenangkan. Seolah setiap hari aku melihat pelangi.Masuk ke ruangan Jason dan melihat senyumnya, merah. Kebersamaan kami menikmati kopi selama beberapa menit, jingga. Melihatnya mencuri-curi pandang padaku di tengah rapat yang berlangsung serius, kuning. Sapuan ringan jemarinya di jemariku ketika tidak seorang pun melihat, hijau. Pesan-pesannya di WhatsApp yang membuatku tersenyum sendiri di sela makan siangku dengan Mbak Maya dan Damar, biru. Ciuman yang diberikannya padaku sembunyi-sembunyi setiap sore sebelum bel pulang, nila. Rasa degdegan menyembunyikan itu semua dari orang-orang di kantor, ungu.
Jangan ajari kekasihmubagaimana untuk mencinta.Sejatinya tanpa diajari, cinta akan mewujuddalam kata dan sikap.Hubunganku dengan Sam memang sudah berakhir dengan buruk, tapi itu bukan berarti bahwa semua tindakan dan perkataannya selama kami dulu bersama adalah salah. Ada satu hal tentangnya yang tiba-tiba terlintas di benakku. Beberapa tahun yang lalu ketika Sam berulang tahun, aku memasak nasi goreng untuk sarapan kami bersama. Nasi goreng itu terlalu asin, tapi Sam tetap memakannya. Tidak ada lelaki yang akan menolak sarapan yang disiapkan dengan penuh cinta, kata Sam waktu itu.Lalu kenapa memori itu muncul sekarang? Mungkin otakku yang sedang kalang kabut mencari cara untuk mint
Guratan kecewa yang diukir olehnya di masa lalumembuatku ragu meraih tanganmu.Lantas, sampai kapan rasa mamang ini bersarang?Bantu aku menjawabnya, aku bebal tentang cinta.Dengan hati-hati aku meletakkan secangkir kopi panas di atas meja Jason. Dia sedang berdiri menyandarkan pundak kirinya pada dinding di sebelah jendela kaca besar yang ada di ruangannya. Matanya menerawang pada sesuatu di luar sana. Biasanya jendela itu tertutuproller blind. Entah mengapa, pagi iniroller blinditu tergulung rapi di bagian atas jendela."Yu, tolong ke sini sebentar," panggilnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Aku berjalan ke arahnya. Setelah aku berdiri di sebelahnya, aku menunggu dia untuk mengatakan sesuatu. Setelah sa
Gradasi kesenangan dan keresahanmembalut benak menenggelamkan tanya.Buat apa bertanya?Toh tak semua yang terjadi harus dipahami.Pagi ini Jason memintaku mencari arsip produksi dari dua tahun yang lalu. Dia memintaku mencari arsip purba dari bagian produksi, padahal gara-gara kasus Pak Herman, staf administrasi produksi juga dipecat. Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku terpaksa ke ruang arsip untuk menemukan berkas yang dia butuhkan. Kenapa sih dia tidak minta tolong Damar saja? Toh laptop yang dulu dipakai Pak Herman sekarang disimpan HR.Aku berjongkok di pojok ruang arsip sambil membaca kode-kode pada tiap odner yang tersusun rapi di rak yang paling bawah. Tubuhku tidak terlih
Di dunia yang riuh dengan ejekan,kesunyian memberi pelukan yang menenangkan.Ketika nyanyian samar tentang kebohongan bergema,menyenandungkan kebenaran tak akan berguna.Aku sedang mempelajari proposal peremajaan mesin pemotong kayu ketika Damar masuk ke ruanganku. Dia berdiri di samping mejaku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang lebih kuat dari biasanya."Agnes sudah minta maaf sama kamu?" tanyanya tanpa basa-basi."Sudah. Kamu yang nyuruh dia?""Iya.""Patas saja minta maafnya nggak ikhlas," ujarku lalu menengadah u
Hujan di tengah siang itu mengelabukan langit.Tajam butir-butir airnya menusuk wajahku.Ketika aku mulai berkawan dengan dingin dan basah,sinar matahari dengan gagahnya menerobos awan,memporak-porandakan sendu, lalu menghangatkan rasa.Kedua tangan Jason meremas lembut tanganku. Jemari tangannya terasa hangat di punggung tanganku. Aku masih menunduk melihat tangan kami yang menyatu di atas lutut kami yang bersentuhan. Isak tangisku sedikit mereda, tapi tubuhku masih sedikit tersenggal-senggal."Saya akan mulai dari Agnes," katanya serius. "Saya akan memastikan dia mendapat sanksi yang tegas. Nggak seorang pun bisa menghina atau merendahkan orang lain di perusahaan ini. Saya sendi