Tak usah memusingkan dunia yang bising.
Jalani saja hari-hari dengan gagah berani.Toh hidup ini selalu penuh dengan kejutan, bukan?Sekeras apapun usahamu untuk mempersiapkan diri,kau pasti akan tetap terkejut pada akhirnya.Hari Senin pukul sembilan pagi. Aku sedang mengetik email ketika ponselku berbunyi. Ada notifikasi W******p dari *Samudra. Aku buru-buru menyelesaikan email itu, menekan tombol send, lalu membuka ponselku.
Muncul sebuah foto yang dikirimkan Sam. Foto itu menampilkan empat air terjun yang airnya mengalir dari bukit bersemak yang tidak begitu tinggi. Airnya mengalir melimpah ruah ke bebatuan besar dan landai di bawahnya sehingga nampak seolah-olah ada air terjun-air terjun mini yang mengalir ke kolam berwarna kehijauan di depannya. Aku familiar dengan tempat itu, Sam pernah mengajakku ke tempat itu.
*Samudra:
Wish U were here. (Andai kamu di sini)
Aku:Me too. Air terjun Sri Gethuk ya ini?
*Samudra:
Iya. Ngadem. Pusing di studio meluluAku:
Art block?
*Samudra:
Hahaha. Tahu saja. Dapet salam dari Mas Robert nih.Aku:
Kok nyulik juragan angkringan sih?
*Samudra:
Emang bisa nyulik sekretarisnya Nilsson?Aku:
Hehe...
*Samudra:
Nanti pulang kerja aku jemput ya.Aku:
Yes, please! Can't wait to see you! (Ya, ya! Nggak sabar deh!)
Aku senyum-senyum sendiri melihat layar ponselku. Sam memang bisa jadi begitu perhatian kalau sedang tidak melukis. Seolah-olah dia menjelma menjadi pribadi yang benar-benar berbeda. Aku masih melihat foto air terjun tadi ketika Mr. Nilsson berhenti di depan mejaku. Kursi roda elektriknya menghadap ke arah pintu. Mukanya terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini atasanku itu tampak pucat dan selalu pulang lebih awal sekitar jam satu siang.
"May I help you, Mr. Nilsson?" (Ada yang bisa saya bantu, Mr. Nilsson?)
"I forgot to tell you that I need to go the airport." (Saya lupa bilang kalau saya harus ke airport.)
Aku bingung. Aku yakin betul Mr. Nilsson tidak ada agenda ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Aku tidak memesan tiket pesawat apapun untuk minggu ini.
"But I didn't book any flight ticket for you," (Tapi saya nggak memesankan tiket pesawat apa pun buat Mister) kataku akhirnya.
"No, no. I'm not flying anywhere. I'm picking up my nephew. Do you remember Jason?" (Nggak, saya nggak mau pergi ke mana-mana. Saya mau jemput keponakan saya. Kamu ingat Jason kan?)
"Of course I do." (Tentu saja.)
Ingatlah, batinku kecut. Keponakan Mr. Nilsson yang wajahnya mirip Henry Golding itu mana mungkin bisa dilupakan dengan mudah. Berbeda dengan pamannya, Jason memiliki wajah Eurasia yang tampan. Ayah Jason yang merupakan saudara kembar Mr. Nilsson itu berdarah Swedia. Sedangkan ibu Jason sendiri aku tidak tahu berasal dari Asia bagian mana. Yang pasti, perpaduan Eurasia yang sempurna itu sering membuatku kerepotan.
Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan Jason secara pribadi. Hanya saja, setahun yang lalu ketika Jason berada di Nilsson Home selama tiga minggu, ruanganku jadi sering didatangi staf-staf wanita dari lantai atas. Mereka mendekatiku hanya untuk berbasa-basi supaya bisa ketemu Jason. Aku tidak sedikit pun menikmati masa-masa dimana aku harus melayani para fans Jason. Ada beberapa staf yang tidak malu-malu minta tolong padaku untuk memfotokannya dengan Jason. Ada juga staf yang tiga hari berturut-turut membawakannya cake sampai akhirnya Jason melarangnya dengan halus. Dan yang paling gila, ada Yuni, salah satu staf bagian exim, yang setiap pagi membuatkannya kopi tanpa diminta. Setiap pagi! Seheboh itulah ruanganku ketika ada Jason. Jadi bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan Jason?
"So, can you arrange pak Jono to take me to the airport now?" (Jadi, kamu bisa atur Pak Jono untuk mengantar saya ke bandara sekarang?)
"Sure, Mr. Nilsson. Please wait." (Tentu, Mr. Nilsson. Mohon tunggu sebentar.)
Tak lama setelah Mr. Nilsson pergi, Damar dari departemen Human Resource dan dua orang pekerja laki-laki membawa masuk sebuah meja ke ruanganku. Meja itu modelnya sama persis dengan mejaku.
"Buat apa mejanya ditaruh di sini, Mar?
Dia menyerahkan selembar kertas padaku. "Buat temen baru kamu dong. Masa buat pajangan."
"Temen baru? Siapa?"
Damar menggosok-gosok ujung hidungnya yang tidak gatal. Setelah dua pekerja laki-laki tadi selesai meletakkan meja sesuai arahannya dan keluar dari ruanganku, Damar mulai bicara lagi.
"Jason akan gabung dengan kita."
"Serius, Mar?"
"Serius lah. Aku sudah selesai ngurus RPTKA, IMTA sama KITAS-nya."
"Kok Mr. Nilsson nggak bilang apa-apa sama aku?"
Damar tersenyum. "Nggak usah khawatir, sementara ini yang tahu dia mau kerja di sini cuma aku sama Bu Farah."
"Posisi apa, Mar? Geser posisiku?" tanyaku cemas.
"Mana mau si Jason jauh-jauh ke sini cuma jadi personal assistant pakdhenya, Yu? Kamu ini ada-ada saja."
"Terus posisi apa? Kenapa duduknya di sebelahku?"
"Kalau di RPTKA sih Business Development Manager."
"Ya masak manager duduknya sebelahan sama aku. Kenapa nggak di atas saja? Jadi satu sama semua departemen lainnya."
Aku sudah ngeri membayangkan harus bekerja dalam satu ruangan dengan Jason. Staf-staf wanita dari lantai atas pasti akan sering-sering datang ke ruanganku lagi.
"Memangnya kenapa? Kamu grogi sebelahan sama bule ganteng?"
"Grogi gundulmu, Mar. Aku tuh males ngeladenin fans Jason."
Damar tersenyum lebar. Dia tahu betul aku tidak akrab dengan staf-staf wanita dari departemen keuangan dan exim. Aku bisa akrab dengan Damar pun karena kami masuk ke Nilsson Home pada saat yang bersamaan. Beberapa kali bercakap-cakap ketika menunggu antrian interview dan psikotest membuat kami langsung akrab ketika kami berdua diterima di perusahaan ini.
"Anggaplah ini kesempatan emas untuk bergaul dengan departemen keuangan dan exim, Yu. Memangnya kamu nggak bosen makan siang sama aku dan Mbak Maya melulu?"
"Nggak lah. Aku nggak selevel sama mereka. Repotlah kalau aku harus pakai barang branded dulu baru bisa temenan sama mereka."
Damar tersenyum maklum. "Iya iya. Tuh buruan tanda tangan form serah terima inventarisnya," kata Damar akhirnya.
Aku membaca dokumen itu. Setelah memastikan item barangnya sudah tepat, aku menandatangani dan menyerahkannya kembali ke Damar.
"Oke, aku balik dulu ke atas. Nanti ada teknisi ke sini nambah stop kontak. Suruh pasang di situ," kata Damar sambil menunjuk dinding di belakang meja yang baru tadi.
"Yes boss. Ada lagi?"
"Iya, satu lagi. Tuh mulut kamu dilap dulu. Cemong tahu!" kata Damar sambil berjalan keluar dari ruanganku.
Aku buru-buru mengambil cermin dari make up pouch. Sial, ada bekas Van Houten yang membentuk dua bulan sabit kecil di masing-masing sudut kanan dan kiri bibirku.
Aku masih memakan sepiring rujak berdua dengan Mbak Maya di kantin ketika Yuni dan Anita menghampiri kami. Mereka masing-masing membawa sebotol Coca Cola dan teh botol Sosro. Setelah mengambil kursi plastik dari meja sebelah, mereka duduk di meja yang sama dengan kami. Tumben sekali mereka mau duduk dengan kami.
"Katanya mulai besok Mr. Jason kerja di sini ya, Mbak?" tanya Yuni sambil memainkan sedotannya di botol Coca Cola yang digenggamnya.
Oh, rupanya Jason yang membuat mereka mampir ke meja kami. "Yang aku dengar sih begitu," jawabku.
"Mulai besok, aku akan sering mampir ke ruanganmu lagi, Mbak. Aku mau ngasih kopi ke Mr. Jason setiap pagi. Dia kan suka banget sama kopi buatanku," katanya dengan senyum yang penuh dengan rasa percaya diri.
Siapa bilang Jason suka dengan kopimu? Dulu aku yang terpaksa meminum kopi itu setiap hari karena dia tidak suka kopi dengan gula. Dan kopimu kemanisan, batinku.
"Terserah kamu saja, Yun," kataku dengan senyum yang terpaksa kutampilkan atas dasar kesopanan.
"Pacar Mbak Yuni nggak keberatan kalau tahu?" tanya Anita sambil memainkan rambutnya yang di-curly ujung-ujungnya.
"Ya jangan sampai tahu lah," jawabnya sewot.
"Nanti saya yang kasih tahu," tiba-tiba Damar menyela sambil duduk di kursi yang kosong di sebelahku. Dia membawa segelas es teh dan semangkuk soto panas.
"Eh, Mas Damar jangan begitu dong," kata Yuni dengan nada memelas.
"Pacarmu anak QC itu kan?" tanya Damar sambil mengaduk sotonya.
"Aduh, jangan dong, Mas. Saya janji nggak akan buatin kopi Mr. Jason lagi deh."
Damar menyeruput es tehnya. "Jangan genit-genit di kantor. Saya nggak mau ada ribut-ribut yang nggak ada kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan ini."
"Iya, Mas," jawab Yuni pendek lalu meminum Coca Cola-nya sampai tandas. "Saya permisi dulu. Yuk, Nit," Yuni berdiri dari duduknya lalu mencolek pundak Anita.
"Duluan ya, Mbak, Mas," pamit Anita pada kami bertiga.
Setelah Yuni dan Anita pergi, Mbak Maya mulai tertawa terkikik. "Mar, Damar. Tega banget kamu sama Yuni," katanya.
"Sebenarnya sih aku nggak peduli, Mbak. Biar pun dia sudah pacaran sama anak QC, kalau masih mau main-main sama cowok lain itu urusan dia. Tapi karena cowok yang dia taksir itu keponakannya Pak Bos, aku harus tegur dia. Aku nggak mau ada ribut-ribut yang nggak penting di sini."
"Terima kasih ya, Mar," ujarku sambil menepuk-nepuk lengannya.
"Kenapa terima kasih sama Damar, Yu?" tanya Mbak Maya heran.
"Ya berkat Damar, fans Jason yang bikin rame ruanganku berkurang satu," kataku sambil nyengir.
"Sini sun dulu," kata Damar menyodorkan pipi kanannya padaku.
"Ogah," aku tertawa sambil mendorong pipinya dengan dua jariku.
"Kalau begini sih kamu menang banyak dong, Yu," kata Mbak Maya sambil mencocol potongan timun ke sambal rujak.
"Kok bisa?" tanyaku.
"Kamu memonopoli Jason. Gantengnya kamu nikmati sendiri. Nggak bagi-bagi sama kita."
"Kita? Aku masih normal, Mbak," potong Damar cepat.
"Kita staf perempuan, maksudku. Kamu sih nggak usah ikutan," ujarnya sewot.
"Enak saja nuduh aku monopoli. Kalau bisa ya, Jason duduknya di lantai atas saja. Aku ikhlas."
"Ah, aku nggak percaya kalau kamu nggak kesengsem juga sama Jason."
"Yang ganteng-ganteng bule begitu bukan tipeku, Mbak."
"Hati-hati, Yu. Yang bukan tipemu, bisa jadi jodohmu lho," kata Mbak Maya dengan nada serius.
"Iya, Yu. Mungkin cowok kurus yang bukan tipemu kayak aku ini bisa jadi jodohmu," sambung Damar.
Mbak Maya melempar potongan mangga muda ke dada Damar, "Ngarep!"
Aku tertawa mendengar gurauan itu. Tidak pernah sedikit pun aku membayangkan pria lain yang akan menjadi jodohku. Di benakku hanya Sam yang kuharapkan menjadi jodohku. Sebelum tidur pun sering kali aku membayangkan pernikahan kami kelak. Aku dan dia menggunakan baju pernikahan adat Jawa, duduk di pelaminan sambil saling bertatapan dengan mesra. Senyum tidak lepas dari wajah kami.
"Jadi sudah pasti ya Jason mulai kerja besok?" tanya Mbak Maya membuyarkan lamunanku.
"Sudah pasti," jawab Damar sambil melap keringat di dahinya dengan tissue.
"Tinggal di mana dia? Satu rumah sama Mr. Nilsson?" tanyaku iseng.
"Iya. Untung saja aku nggak disuruh nyariin apartemen buat dia. Kerjaan lagi banyak."
"Semoga betah lah dia di sini," kataku akhirnya.
"Betah lah, ada kamu di sebelahnya. Coba yang duduk di sebelahnya Damar, pasti dia langsung minta balik ke negaranya," kata Mbak Maya sambil nyengir.
"Heran deh. Dari tadi Mbak Maya kayak lagi nyomblangin aku sama Jason."
"Apa salahnya, Yu? Dia single, kamu single."
"Salah, aku nggak single," kataku menyanggahnya.
"Halah, Sam belum nikahin kamu. Kamu masih single di mataku," kata Mbak Maya tidak mau mengalah.
"Sudah, sudah. Jangan sampai ada Yuni kedua di sini," kata Damar melerai kami.
Tiba-tiba Mbak Maya terkikik lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku masih nggak habis pikir. Bisa-bisanya dia bikin kopi setiap hari buat Jason tahun lalu. Kalau saja dia tahu yang meminum kopi buatannya itu Hayu, dia pasti mencak-mencak!"
"Sssttt! Nggak enak kalau ada yang dengar," bisikku pada Mbak Maya.
"Kamu yang minum kopinya? Bukan Jason?" tanya Damar sambil menoleh padaku.
Aku berbisik padanya, "Jason nggak suka kopi yang dikasih gula."
Meledaklah tawa Damar. Mbak Maya ikut tertawa terkikik. Beberapa karyawan yang makan di dekat meja kami melihat kami dengan keheranan. Aku rasa ada baiknya Jason mulai bekerja di sini. Pasti seru sekali melihat tingkah-tingkah aneh para staf wanita yang tergila-gila dengan ketampanannya. Aku jadi tidak sabar menunggu besok pagi.
Terlalu nyaman dengan seseorangselama bertahun-tahun bisa membuatmu terlena,membuatmu merasa bahwa apa yang kamu dapatkan saat iniadalah yang terbaik untukmu.Aku baru saja masuk lobby dan menempelkan jempolku di mesin absensi ketika Anita menghampiriku. Wangi parfum mahalnya benar-benar membuat betah siapa pun yang ada di dekatnya."Mbak Hayu, nanti makan siang bareng yuk."Wah, tumben Anita mengajakku makan siang bersama. Setahuku, dia suka sekali memakai barang branded dan hanya mau bergaul dengan staf-staf yang juga memakai barang branded. Seperti biasanya, hari ini Anita juga memakai barang-barang branded. Blazer Zara warna hitamnya yang tidak dikancingkan memperlihatkan mini dress Forever 21 warna beige yang dia kenakan. Flat shoes yang dipakainya pun ada emblem Gosh di bagian sampingnya."Ada acara apa, Nit?""Ya makan siang bareng saja sambil ngobrol. Nanti aku mampir ke ruanganmu, Mbak. Kita ke kantin bareng ya.""Oh gitu. Liat nanti yah, Nit. Aku nggak janji. Takutnya Mr.
Dalam dongeng yang berakhir bahagia pun,sang pangeran harus mati-matian membuktikan cintanya.Lalu apa yang bisa dilakukan sang putri selain menunggu?Aku pertama kali bertemu Sam sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu aku Masih bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di World Languages atau biasa disebut WL, bimbingan belajar bahasa asing yang didirikan oleh kakak tingkatku. Aku mengajar kelas conversation level advanced dimana sebagian besar muridku berusia dua puluhan dan Sam adalah salah satu dari mereka yang lebih tua dariku. Setelah pertemuan yang ke empat, aku baru tahu kalau ternyata sebelum Sam mengikuti kelas itu, dia sudah lulus TOEFL dengan skor 540. Pantas saja kemampuan berbahasa Inggrisnya paling menonjol di antara teman-teman sekelasnya."Kenapa, Miss?" tanya Sam padaku suatu malam di area parkir World Languages."Kayaknya ban motor saya bocor ini," aku berjongkok memencet-mencet ban belakang motorku."Di pertigaan ada tukang tambal ban, Miss. Biasanya jam segini masi
Dulu ketika teman-temanmu diterima di kampus favorit,maka kamu juga menginginkan hal yang sama.Begitu pula ketika satu per satu sahabatmu menikah,kamu juga merasa menginginkan pernikahan.Bukankah memang kebanyakan manusia seperti itu?Aku baru selesai memasak tumis tauge dan ayam goreng ketika Laras duduk di depanku. Dia diam saja memperhatikan aku yang sedang menyiapkan hidangan dan perlengkapan makan di atas meja."Ambilkan nasi dong, Ras," kataku sambil melap piring satu per satu.Laras menurut saja. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil nasi. Setelah dia kembali ke ruang makan, dia langsung duduk lagi. Dia menopang dagunya sambil mengamatiku yang sibuk mengeluarkan botol air minum dan buah-buahan dari dalam kulkas. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Laras karena tidak bisanya dia menjadi pendiam."Jangan lupa berdoa dulu," kataku sambil menyendok tumis tauge dari mangkok saji."Mbak, kalau aku berhenti kerja gimana?" tanya Laras tiba-tiba sambil berusaha mencabik sepoton
Kita tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.Atasan suka menuntut? Terima saja.Rekan kerja menyebalkan? Hadapi saja.Bisa saja kita memilih mau bekerja dengan siapa,asalkan kita yang jadi direkturnya. Sudah dua minggu berlalu sejak kedatangan Jason di Nilsson Home. Ruanganku tidak pernah sepi sekarang. Selalu saja ada yang datang menemuinya. Dia bahkan lebih sibuk dari Mr. Nilsson beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya sampai mana wewenang Jason di perusahaan ini. Pukul 11.55, Jason baru saja menyudahi diskusinya dengan Mas Roni, senior drafter, tentang desain ranjang tidur pesanan klien dari Denmark yang berlangsung selama tiga puluh menit non stop. Well, tiga puluh menit tadi itu memecahkan rekor. Biasanya Jason hanya menghabiskan paling lama lima belas menit untuk mendiskusikan sesuatu. "Hayu, how many times a day do you go upstairs to get coffee?" (Hayu, berapa kali sehari kamu naik ke atas untuk buat kopi?) tanyanya tiba-tiba. "I never count," (Saya
Sulit mengatakan apa yang ada di pikiranku.Rasa takut ditolak dan dikecewakan lahyang membuatku memilih untuk diam.Padahal, semakin lama diam, semakin aku merasa takut.Hujan turun di Minggu sore ini. Biasanya jalan di depan rumahku ramai anak-anak bermain sepeda atau sekedar kejar-kejaran, tapi hujan membuatnya lengang. Aku duduk di teras sambil membacaThe Lucky One-nya Nicholas Sparks. Aku suka sekali dengan bau tanah yang mulai basah tersiram air langit. Suasana begini membuatku semakin terhanyut dengan isi novel yang kubaca. Sesekali aku menyeruput secangkir teh panas yang ada di atascoffee tableproduksi Nilsson Home yang berhasil kumenangkan lewat lelang karyawan tahun lalu."Assalamu'alaikum."Aku menga
Where can we find home?It's right next to your loved ones.Then, where can we find love?Pay attention and look around.Aku baru saja kembali dari toilet ketika mendapati Damar dan Jason sedang berdiskusi. Mereka sedang membolak-balik lembar demi lembar katalog yang tebal di atas meja Jason. Aku mengintip katalog itu dari bahu Damar karena penasaran. Ternyata katalogwallpaper."I like this one. It's vinyl, right?" (Saya suka yang ini. Inivynilkan?) kata Jason sambil menunjuk salah satu gambar di katalog itu.
Masa lalumu adalah milikmu,aku tidak bisa merubahnya.Pastikan masa lalumu tinggal di tempatnya.Karena masa sekarangmu adalah milik kita.Hari ini adalah hari ulang tahun Mega, keponakan Sam. Aku sampai di the Westlake pukul 11.00 WIB. Hari ini aku memakai kaos pendek warna putih dengan garis-garis horizontal merah marun, rok jeans modelflaredyang panjangnya hanya sampai atas lututku, dan sandal jepit kulit sintetis warna putih."Mbak Hayuuu," Mega memelukku ketika aku baru saja melepaskan sandal untuk naik ke gazebo yang khusus ditempati keluarga itu."Kadoku mana, Mbak?" Mega merajuk manja."Sabar dong. Kan belum t
Semua terasa seperti melihat dalam gelap.Aku harus meraba-raba dan sesekali jatuh tersandung.Lalu, tiba-tiba kamu ada di depanku menyodorkan segelas air.Padahal kamu tahu yang kubutuhkan adalah secercah cahaya.Setelah sholat subuh, aku membersihkan kamar mandi. Aku menggosok dengan keras keramik-keramik yang sebenarnya masih bersih itu dengan bahan kimia yang baunya menyengat di hidung. Aku tidak terbiasa membersihkan kamar mandi pagi-pagi begini, tapi aku perlu mengalihkan pikiranku yang kacau dengan melakukan sesuatu yang menguras tenaga. Aduh! Punggung tanganku tergores ujung keramik yang lepas dari lantai. Aku buru-buru menyiram lukaku dengan air bersih, takut terinfeksi cairan kimia pembersih keramik."Rajin banget sih, Mbak," Laras menyapa
Cinta akan menghampiri merekayang menyambutnya tanpa ragu.Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alatmonitoringkondisi pasien.Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanan
Malam selalu datang terlambat di musim panas.Tapi bulan tak sekali pun mengeluhkan hal itu.Lalu kenapa ketika cinta terlambat dinyatakan,anak manusia meracau di akhir hari?Tak bisakah ia berbesar jiwa seperti si bulan?Aku akan minta maaf pada Jason di kantor pagi ini. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya dari kemarin, tapi rasanya kurang pas kalau meminta maaf lewat telepon padahal kami bisa bertemu langsung. Sebagai pihak yang bersalah dan mengharapkan maaf darinya, hari ini aku ingin menarik simpatinya dengan cara apapun, termasuk memakaidressbatik yang dibelikan ibunya dan parfum Versace yang dihadiahkannya padaku.Dengan rasa percaya diri yang tinggi a
Sebentar panas, sebentar hujan deras.Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,belum tentu aku bisa menemuinya.Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di b
Ketika pelukan selimut tua menghangatkan jiwa,suara detik jam merusak senyap yang tercipta.Bukti nyata bahwa waktu begitu fana.Begitu pula kita.Jatuh cinta selalu menciptakan perasaan menyenangkan. Seolah setiap hari aku melihat pelangi.Masuk ke ruangan Jason dan melihat senyumnya, merah. Kebersamaan kami menikmati kopi selama beberapa menit, jingga. Melihatnya mencuri-curi pandang padaku di tengah rapat yang berlangsung serius, kuning. Sapuan ringan jemarinya di jemariku ketika tidak seorang pun melihat, hijau. Pesan-pesannya di WhatsApp yang membuatku tersenyum sendiri di sela makan siangku dengan Mbak Maya dan Damar, biru. Ciuman yang diberikannya padaku sembunyi-sembunyi setiap sore sebelum bel pulang, nila. Rasa degdegan menyembunyikan itu semua dari orang-orang di kantor, ungu.
Jangan ajari kekasihmubagaimana untuk mencinta.Sejatinya tanpa diajari, cinta akan mewujuddalam kata dan sikap.Hubunganku dengan Sam memang sudah berakhir dengan buruk, tapi itu bukan berarti bahwa semua tindakan dan perkataannya selama kami dulu bersama adalah salah. Ada satu hal tentangnya yang tiba-tiba terlintas di benakku. Beberapa tahun yang lalu ketika Sam berulang tahun, aku memasak nasi goreng untuk sarapan kami bersama. Nasi goreng itu terlalu asin, tapi Sam tetap memakannya. Tidak ada lelaki yang akan menolak sarapan yang disiapkan dengan penuh cinta, kata Sam waktu itu.Lalu kenapa memori itu muncul sekarang? Mungkin otakku yang sedang kalang kabut mencari cara untuk mint
Guratan kecewa yang diukir olehnya di masa lalumembuatku ragu meraih tanganmu.Lantas, sampai kapan rasa mamang ini bersarang?Bantu aku menjawabnya, aku bebal tentang cinta.Dengan hati-hati aku meletakkan secangkir kopi panas di atas meja Jason. Dia sedang berdiri menyandarkan pundak kirinya pada dinding di sebelah jendela kaca besar yang ada di ruangannya. Matanya menerawang pada sesuatu di luar sana. Biasanya jendela itu tertutuproller blind. Entah mengapa, pagi iniroller blinditu tergulung rapi di bagian atas jendela."Yu, tolong ke sini sebentar," panggilnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Aku berjalan ke arahnya. Setelah aku berdiri di sebelahnya, aku menunggu dia untuk mengatakan sesuatu. Setelah sa
Gradasi kesenangan dan keresahanmembalut benak menenggelamkan tanya.Buat apa bertanya?Toh tak semua yang terjadi harus dipahami.Pagi ini Jason memintaku mencari arsip produksi dari dua tahun yang lalu. Dia memintaku mencari arsip purba dari bagian produksi, padahal gara-gara kasus Pak Herman, staf administrasi produksi juga dipecat. Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku terpaksa ke ruang arsip untuk menemukan berkas yang dia butuhkan. Kenapa sih dia tidak minta tolong Damar saja? Toh laptop yang dulu dipakai Pak Herman sekarang disimpan HR.Aku berjongkok di pojok ruang arsip sambil membaca kode-kode pada tiap odner yang tersusun rapi di rak yang paling bawah. Tubuhku tidak terlih
Di dunia yang riuh dengan ejekan,kesunyian memberi pelukan yang menenangkan.Ketika nyanyian samar tentang kebohongan bergema,menyenandungkan kebenaran tak akan berguna.Aku sedang mempelajari proposal peremajaan mesin pemotong kayu ketika Damar masuk ke ruanganku. Dia berdiri di samping mejaku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang lebih kuat dari biasanya."Agnes sudah minta maaf sama kamu?" tanyanya tanpa basa-basi."Sudah. Kamu yang nyuruh dia?""Iya.""Patas saja minta maafnya nggak ikhlas," ujarku lalu menengadah u
Hujan di tengah siang itu mengelabukan langit.Tajam butir-butir airnya menusuk wajahku.Ketika aku mulai berkawan dengan dingin dan basah,sinar matahari dengan gagahnya menerobos awan,memporak-porandakan sendu, lalu menghangatkan rasa.Kedua tangan Jason meremas lembut tanganku. Jemari tangannya terasa hangat di punggung tanganku. Aku masih menunduk melihat tangan kami yang menyatu di atas lutut kami yang bersentuhan. Isak tangisku sedikit mereda, tapi tubuhku masih sedikit tersenggal-senggal."Saya akan mulai dari Agnes," katanya serius. "Saya akan memastikan dia mendapat sanksi yang tegas. Nggak seorang pun bisa menghina atau merendahkan orang lain di perusahaan ini. Saya sendi