Kita tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.
Atasan suka menuntut? Terima saja.Rekan kerja menyebalkan? Hadapi saja.Bisa saja kita memilih mau bekerja dengan siapa,asalkan kita yang jadi direkturnya.Sudah dua minggu berlalu sejak kedatangan Jason di Nilsson Home. Ruanganku tidak pernah sepi sekarang. Selalu saja ada yang datang menemuinya. Dia bahkan lebih sibuk dari Mr. Nilsson beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya sampai mana wewenang Jason di perusahaan ini.
Pukul 11.55, Jason baru saja menyudahi diskusinya dengan Mas Roni, senior drafter, tentang desain ranjang tidur pesanan klien dari Denmark
yang berlangsung selama tiga puluh menit non stop. Well, tiga puluh menit tadi itu memecahkan rekor. Biasanya Jason hanya menghabiskan paling lama lima belas menit untuk mendiskusikan sesuatu."Hayu, how many times a day do you go upstairs to get coffee?" (Hayu, berapa kali sehari kamu naik ke atas untuk buat kopi?) tanyanya tiba-tiba.
"I never count," (Saya nggak pernah menghitungnya) jawabku sambil membuka sebuah amplop dengan cutter.
"What do you say if we have another pantry on this floor?" (Kalau kita punya satu pantry lagi di lantai ini, bagaimana?)
Aku meletakkan amplop tadi lalu memutar kursiku ke arahnya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Jason sangat enak dilihat. Kaos henley lengan panjang warna biru muda, celana corduroy warna abu tua, dan buck shoes warna putih yang dipakainya membuat Jason terlihat seperti seorang model pria yang keluar dari majalah fashion pria.
"That is absolutely a good idea," (Ide yang luar biasa) kataku.
"I know, right? I'll talk to Karl about it." (Iya kan? Saya akan bicara pada Karl)
"Do you think Mr. Nilsson will approve it?" (Menurutmu Mr. Nilsson akan setuju?)
"He'd better do." (Dia harus setuju)
"Or what?" (atau apa?)
"Or I start installing a coffee machine here on my desk." (atau saya akan memasang mesin kopi di atas meja saya)
Aku tertawa pendek sambil membayangkan hal itu di kepalaku lalu memutar kembali kursiku. Aku melanjutkan membuka amplop surat dari Kantor Kelurahan Timbulharjo tadi. Aku masih berkonsentrasi membaca surat itu ketika Jason berdiri merenggangkan tangannya ke atas dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Salah satu kebiasaan Jason adalah merenggangkan otot kalau dia sudah terlalu lama duduk.
"It's six to seven times," (Kira-kira enam sampai tujuh kali) katanya lagi.
"Hah?" aku menoleh ke arahnya.
Jason berjalan ke depan mejaku. Dia meletakkan kedua tangannya di atas mejaku, di samping kanan dan kiri laptopku tepatnya. Aku mendongak melihatnya yang balik menatapku. Berapa sih tingginya? 180 sentimeter? Atau 185 sentimeter?
"You go upstairs from six to seven times a day," (Kamu naik ke atas bisa enam sampai tujuh kali) katanya pelan.
Aku terkesiap. Jadi selama ini dia menghitung berapa kali aku mondar-mandir ke pantry. Dasar bule kurang kerjaan!
"So, your point is?" (Jadi maksudnya?) aku memancingnya untuk bicara lagi.
"If we have our own pantry on this floor, you should thank me." (Jika nanti kita punya pantry di lantai ini, kamu harus berterima kasih pada saya)
"Of course I will thank you. Why wouldn't I?" (Tentu saja. Kenapa tidak?)
"Good. I'll let you know how thank me later," (Bagus. Saya akan memberitahumu nanti bagaimana cara berterima kasih pada saya)
katanya disusul bunyi bel jam istirahat.Aku masih belum selesai memakan lotek ketika Mbak Maya menghampiriku sambil membawa sepiring rujak. Dia duduk di sebelahku. Sedangkan Damar duduk di depan kami. Dia sedang sibuk melakukan dua hal sekaligus, mengelap keringat dan menyantap soto panas.
"Aku tadi lihat ada adegan romantis, Mar!" kata Mbak Maya antusias.
"Di YouTube, Mbak?"
"YouTube lewaaaaaat. Ini live!" Mbak Maya menguyah sepotong mangga muda.
Damar melirik ke arahku meminta jawaban tentang adegan romantis apa yang dimaksud. Aku cuma mengedikkan bahu tanda tidak tahu menahu. Mbak Maya tiba-tiba berdiri lalu mencondongkan tubuhnya ke tengah meja. Tanpa disuruh, aku dan Damar kompak menghentikan makan siang kami dan siap mendengar gosip baru dari Mbak Maya.
"Jadi ya... ada bule ganteng yang kerja di sini. Dia tuh tadi berdiri begini di meja salah satu staf di sini," dia mempraktekkan posisi Jason tadi ketika berbicara denganku sebelum bel istirahat berbunyi. "Terus si bule ngomong gini, I'll let you know how to thank me later," Mbak Maya menyudahi ceritanya dengan puas lalu duduk dan memakan rujaknya lagi.
Damar tersenyum. Dia mulai paham gosip ini tentang siapa.
"Kira-kira itu bahas apaan ya, Mbak? Kayak habis dikasih sesuatu gitu ya," pancing Damar.
Mbak Maya nyengir, "Tanya langsung ke orangnya yang diajak mesra-mesraan tadi, Mar. Aku telat nonton adegannya."
"Repot punya temen mulutnya ember semua," aku merengut.
"Cerita dong, Yu. Jason naksir kamu ya?"
"Mana mungkin dia naksir aku? Fantasimu lho, Mbak."
"Tapi tadi aku lihat caranya lihat kamu, caranya ngomong sama kamu beda banget. Kayak orang naksir lah pokoknya, Yu."
"Cara dia ngomong ya memang begitu. Biasa saja," kilahku.
"Wah, berarti sudah biasa ya si Jason seromantis itu sama kamu?"
"Bisa nggak sih kita bahas yang lain saja?" tanyaku menghindar.
"Sam tahu nggak kalau kamu seruangan cuma berdua sama Jason?" tanya Mbak Maya dengan mulut yang masih mengunyah potongan mangga muda. Dia masih tidak rela mengganti topik pembicaraan tentang Jason.
"Tahu lah," jawabku berbohong.
"Dia nggak cemburu?"
"Enggak."
"Kamu sudah nunjukin foto Jason ke Sam?" tanya Damar setelah diam dari tadi.
"Lah, aku mana punya foto Jason? Lagian buat apa nunjukin fotonya ke Sam?"
"Begini ya, kalau pacarku punya temen kantor seganteng dia, trus di ruangan cuma berdua, aku bakal cemburu banget kalau dia nggak cerita. Berarti kan ada yang ditutup-tutupi," sambar Damar panjang lebar.
"Gini ya Damaaaar... satu, ruanganku sama Jason nggak ada pintunya. Orang bisa kapan saja lihat aku sama dia lagi ngapain di dalam. Dua, kamu nggak punya pacar. Jadi nggak usah mikir yang aneh-aneh deh."
"Lho, kenapa jadi status jombloku yang diungkit-ungkit?" protes Damar.
"Udah ah nggak usah dibahas lagi."
"Serius deh, Yu. Kalau aku yang satu ruangan sama Mas Bule, jiwaku bakal sejuk seharian. Nggak bakal ngerti bete itu kayak gimana rasanya. Kalau aku masih single, aku godain deh dia," Mbak Maya melap mulutnya dengan tisu.
"Ternyata Mbak Maya sudah gabung di Jason fan club.
Kamu juga, Mar?""Edan kowe, Yu!" jawab Damar pendek
"Ya maklum, Yu. Bule ganteng di sini kan cuma dia. Kalau dia berjodoh sama kamu, kita sebagai teman kan ikut seneng. Ya kan, Mar?" Mbak Maya menyikut lengan Damar.
"Mar, rekrutlah bule yang lebih ganteng dari Jason. Biar Mbak Maya nggak kepanasan."
"Gundulmu, Yu. Di sini bule cuma dua orang dan dua-duanya nama belakangnya Nilsson. HR bisa apa?"
Mbak Maya tertawa kecil, puas mendengar jawaban Damar. Aku cemberut saja. Dalam hati, lagi-lagi aku membenarkan apa yang dikatakan Mbak Maya. Berada di satu ruangan dengan Jason memang menyenangkan. Kalau mataku mulai perih karena terlalu lama melihat layar laptop, aku tinggal menoleh ke sebelah kanan dan pemandangan terbaik yang ada di Nilsson Home sudah ada di depan mataku. Keberadaannya memang seperti oasis yang menyejukkan jiwa. Bagi jiwa yang gersang tentunya. Jiwaku kan sudah sejuk dengan keberadaan Samudra. Eh, benar begitu kan?
-.-.-.-.-
Aku hampir saja terlambat masuk kerja pagi itu. Air PDAM di rumahku mati sejak kemarin sehingga aku terpaksa mengungsi mandi di rumah orang tua Laras. Walaupun rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter, tetap saja merepotkan membawa peralatan mandi dan baju ganti ke sana. Alhasil pukul 07.55 WIB jempolku baru menempel di mesin absensi.
Ketika memasuki ruanganku, aku sedikit terkejut mendapati Anita sedang duduk di kursiku dengan santainya. Pagi itu dia memakai blazer H&M kotak-kotak yang tidak dikancingkan sehingga memperlihatkan belahan dadanya yang menyembul dari tank top hitam berleher rendah di balik blazer itu. Posisi duduknya dengan kaki yang menyilang jelas sekali memamerkan kakinya yang mengenakan stockings dan stiletto warna beige bertumit tinggi, paling tidak sekitar tujuh sentimeter, yang baru kulihat pagi ini.
"Eh, yang punya meja sudah datang," sapa Anita dengan nada riang yang sedikit dipaksakan.
Aku tersenyum padanya sambil meletakkan tasku di atas meja. "Dari tadi di sini, Nit?"
"Iya, Mbak. Kasihan Mr. Jason pagi-pagi di ruangan sendirian."
Kasihan gundulmu! Dia di sini mau kerja, bukan mau haha-hihi sama kamu, batinku. "Sepatumu baru, Nit? Nggak sakit pakai heels tinggi begitu?"
"Ah, yes. I just bought them yesterday (Ah, iya. Saya baru beli kemarin). Nggak nyangka Mbak Hayu perhatian banget," Anita berdiri lalu berjalan berlenggak lenggok mendekati meja Jason. Ah, akhirnya dia berdiri juga dari kursiku! Aku segera duduk di kursiku supaya dia tidak bisa duduk lagi.
"What are you talking about?" (Apa yang kalian bicarakan)
tanya Jason menoleh padakuAku baru mau membuka mulut untuk menjawabnya, tapi Anita lebih dulu menyahut "She noticed that I'm wearing new shoes." (Dia tahu kalau saya memakai sepatu baru)
Jason mengarahkan pandangannya ke sepatu Anita.
"It must be painful wearing those shoes," (Pasti sakit memakai sepatu itu) kata Jason singkat.
"Beauty is pain." (Cantik itu sakit)
"I never see you wearing high heels," (Saya nggak pernah melihatmu memakai high heels) kata Jason menoleh ke arahku lagi.
"She's tall. She doesn't need any of them," (Dia tinggi. Dia nggak butuh high heels) sahut Anita dengan sedikit nada kesal yang membuatku cukup terhibur.
"You're right. She's quite tall compared to other girls here," (Kamu betul. Dibandingkan gadis-gadis lainnya di sini, dia cukup tinggi) kata Jason lagi.
170 sentimeter gitu lho, batinku girang.
"But most men like short girls because they are cuter," (Tapi sebagian pria suka gadis pendek karena mereka lebih imut) balas Anita cepat.
Dia punya masalah apa sih? Kenapa dia tidak bisa membiarkan orang lain senang? Di saat yang tepat, bel masuk berbunyi. Anita merapikan roknya yang panjangnya hanya sampai di atas lutut dengan pose menunduk yang sedikit berlebihan sehingga semakin menonjolkan belahan dadanya. Ukuran 34C kah itu? Dasar tukang pamer.
"Let's have lunch together later, Mister," (Nanti kita makan siang bareng yuk, Mister) ajak Anita ke Jason secara terang-terangan mengabaikanku yang ada di situ.
"I'm gonna pass. I'm going out for an appointment," (Maaf, saya sudah ada janji) jawab Jason ramah.
"Oh...I see. Maybe tomorrow?" (Oh, bagaimana kalau besok?) tanya Anita lagi.
Gigih juga nih anak, batinku kecut.
"We'll see," (Lihat saja besok) jawab Jason sambil lalu.
Jason dengan cepat mengalihkan pandangannya ke layar laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik sesuatu di atas keyboard. Anita yang masih berdiri di depan mejanya terlihat sedikit kecewa dengan jawaban yang menggantung itu. Tapi akhirnya dia keluar juga dari ruangan kami karena merasa canggung tidak lagi diperhatikan Jason.
Aku tersenyum puas melihat adegan itu. Setidaknya rasa sebalku tadi terobati. Sambil bersenandung pelan, aku berjalan ke ruang Mr. Nilsson yang masih kosong. Kuambil mug kopi kotor yang dipakai Mr. Nilsson kemarin lalu kembali ke mejaku lagi untuk mengambil mug pink milikku yang juga masih kotor.
"Are you going to make some coffee?" (Kamu mau buat kopi) tanya Jason mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke arahku.
"Yes. Do you want some?" (Iya. Mau kopi juga?)
"Yes, please." (Iya)
"Coffee and milk, no sugar. Right?" (Kopi dan susu, tanpa gula, kan?)
"As always. Thank you," (Seperti biasanya. Terima kasih) Jason tersenyum memamerkan lesung pipi di pipi kirinya.
Aku memegang dua mug tadi dengan tangan kiriku lalu meletakkan tatakan gelas Jason di atas mugnya dengan tangan kananku. Aku masih berusaha mengambil mug itu dari atas mejanya ketika Jason tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Anita must not know so many men," (Anita pasti tidak begitu banyak mengenal pria) katanya.
"Why do you think so?" (Kenapa Mister bicara begitu?) tanpa sengaja aku menjatuhkan tatakan gelas ke atas mejanya.
"Some men are like Tom Cruise," (Beberapa pria seperti Tom Cruise) Jason meletakkan tatakan gelas yang jatuh tadi di atas mug yang kugenggam. "They think tall women are irresistible," (Mereka pikir wanita tinggi lebih menggoda) lanjut Jason dengan jari-jari tangannya yang masih memegang mug di tanganku.
Aku sedikit mendongak. Serius deh, berapa sih tinggi Jason? 180 atau 185 sentimeter?
"Are you one of them?" (Apakah kamu salah satu dari pria yang berpikir begitu?) tanyaku menanggapinya.
"Have a guess." (Tebaklah)
Kami saling pandang sebentar sampai akhirnya aku pamit menuju pantry. Canggung sekali situasi tadi. Apa coba maksudnya mengatakan kalau beberapa pria menyukai perempuan yang tinggi?
Setelah sampai di pantry, aku mencucitiga mug tadi sambil melamun. Mungkin perasaanku saja, tapi sepertinya tadiJason mencoba flirting denganku. Ah,mana mungkin Jason suka sama aku kalau ada Anita yang terang-terangan mencobamenarik perhatiannya. Lelaki mana sih yang tidak tertarik dengan pertunjukanbelahan dada dan kaki berstoking yang dilakukan Anita tadi? Duh, kenapa akuharus memikirkan Jason? Lebih baik memikirkan cara untuk meminta Sam menikahikukan?
Sulit mengatakan apa yang ada di pikiranku.Rasa takut ditolak dan dikecewakan lahyang membuatku memilih untuk diam.Padahal, semakin lama diam, semakin aku merasa takut.Hujan turun di Minggu sore ini. Biasanya jalan di depan rumahku ramai anak-anak bermain sepeda atau sekedar kejar-kejaran, tapi hujan membuatnya lengang. Aku duduk di teras sambil membacaThe Lucky One-nya Nicholas Sparks. Aku suka sekali dengan bau tanah yang mulai basah tersiram air langit. Suasana begini membuatku semakin terhanyut dengan isi novel yang kubaca. Sesekali aku menyeruput secangkir teh panas yang ada di atascoffee tableproduksi Nilsson Home yang berhasil kumenangkan lewat lelang karyawan tahun lalu."Assalamu'alaikum."Aku menga
Where can we find home?It's right next to your loved ones.Then, where can we find love?Pay attention and look around.Aku baru saja kembali dari toilet ketika mendapati Damar dan Jason sedang berdiskusi. Mereka sedang membolak-balik lembar demi lembar katalog yang tebal di atas meja Jason. Aku mengintip katalog itu dari bahu Damar karena penasaran. Ternyata katalogwallpaper."I like this one. It's vinyl, right?" (Saya suka yang ini. Inivynilkan?) kata Jason sambil menunjuk salah satu gambar di katalog itu.
Masa lalumu adalah milikmu,aku tidak bisa merubahnya.Pastikan masa lalumu tinggal di tempatnya.Karena masa sekarangmu adalah milik kita.Hari ini adalah hari ulang tahun Mega, keponakan Sam. Aku sampai di the Westlake pukul 11.00 WIB. Hari ini aku memakai kaos pendek warna putih dengan garis-garis horizontal merah marun, rok jeans modelflaredyang panjangnya hanya sampai atas lututku, dan sandal jepit kulit sintetis warna putih."Mbak Hayuuu," Mega memelukku ketika aku baru saja melepaskan sandal untuk naik ke gazebo yang khusus ditempati keluarga itu."Kadoku mana, Mbak?" Mega merajuk manja."Sabar dong. Kan belum t
Semua terasa seperti melihat dalam gelap.Aku harus meraba-raba dan sesekali jatuh tersandung.Lalu, tiba-tiba kamu ada di depanku menyodorkan segelas air.Padahal kamu tahu yang kubutuhkan adalah secercah cahaya.Setelah sholat subuh, aku membersihkan kamar mandi. Aku menggosok dengan keras keramik-keramik yang sebenarnya masih bersih itu dengan bahan kimia yang baunya menyengat di hidung. Aku tidak terbiasa membersihkan kamar mandi pagi-pagi begini, tapi aku perlu mengalihkan pikiranku yang kacau dengan melakukan sesuatu yang menguras tenaga. Aduh! Punggung tanganku tergores ujung keramik yang lepas dari lantai. Aku buru-buru menyiram lukaku dengan air bersih, takut terinfeksi cairan kimia pembersih keramik."Rajin banget sih, Mbak," Laras menyapa
Tak mudah menemukan tempat kerjadengan rekan kerja yang memberi rasa nyaman.Lebih sulit lagi menemukan tempat kerjadengan atasan yang bersikap seperti keluarga.Siang ini aku menemani Mr. Nilsson di rumah sakit Panti Rapih untuk melakukancheck uprutin. Kami duduk di ruang tunggu yang tidak begitu ramai. Kuhitung hanya ada sekitar enam orang yang juga mengantri untuk diperiksa."Hayu, please pass me my coffee,"(Hayu, tolong kopi saya dong) kata Mr. Nilsson sambil meletakkanipad-nya di pangkuan.Aku mengambil cangkir kertasStarbucksyang tadi kuletakkan di kursi kosong di sebelahku."Here,"(Ini) ujarku m
Apa baiknya memendam rasa?Bicarakan saja baiknya bagaimana.Kalaupun rasamu tak berbalas, setidaknya kamu tahusekarang sudah saatnya berlalu untuk mencari rumahyang sepantasnya untuk hatimu.Aku duduk di ruang tamu rumah Sam, menunggunya selesai mandi. Kami akan menghadiri pernikahan Mas Bekti yang acaranya sudah mulai sejak pukul 19.00 WIB. Sekarang sudah pukul 19.15 WIB dan kami masih di sini. Kalau biasanya para lelaki yang menunggu kekasihnya berdandan, berbeda kami. Sering kali aku yang menunggunya bersiap.Ya, aku memang sudah tidak marah lagi padanya karena mengajak Erna ke The Westlake waktu itu. Aku sudah memaafkannya walaupun dia tidak meminta maaf. Tidak ada gunanya juga memendam kemarahan terlalu lama.
Kenangan-kenangan di masa lalu muncul begitu sajabak film yang sengaja diputar untuk menggugah getir.Dosa apa yang pernah kulakukan di masa laluhingga aku pantas merasakan sakit seperti ini?Kalau saja Laras tidak memaksaku bangun pagi ini, aku pasti masih meringkuk di tempat tidur mengasihani diriku sendiri. Dengan terpaksa, aku memakaieyeshadowwarna hitam untuk menyamarkan kelopak mataku yang bengkak karena menangis sejak kemarin. Penolakan Sam benar-benar menyakitkan. Dasar lelaki brengsek! Bisa-bisanya dia membuatku mencintainya selama bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya dia juga membuatku merana, meradang dan merasa dicampakkan dalam satu malam!"Mau aku antar, Mbak?" tanya Laras ketika aku sedang memakai sepatu.
We are a list of trials and errors.I've tried almost everything like loving himand making him love me back.Yet I can't point out the errors that fail us.(Kami adalah sekumpulan percobaan dan kesalahan. Aku sudah mencoba hampir semua hal seperti mencintainya dan membuatnya balas mencintaiku. Namun hingga kini aku masih tidak bisa menunjukkan di mana salahnya hingga kami gagal)Sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan Mas Bekti. Berarti sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari Sam. Setiap hari aku mencoba melanjutkan hidupku dengan menerima kenyataan bahwa aku lah yang memintanya pergi. Selama ini kata putus tidak pernah sekali pun keluar dari mulut kami. J
Cinta akan menghampiri merekayang menyambutnya tanpa ragu.Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alatmonitoringkondisi pasien.Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanan
Malam selalu datang terlambat di musim panas.Tapi bulan tak sekali pun mengeluhkan hal itu.Lalu kenapa ketika cinta terlambat dinyatakan,anak manusia meracau di akhir hari?Tak bisakah ia berbesar jiwa seperti si bulan?Aku akan minta maaf pada Jason di kantor pagi ini. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya dari kemarin, tapi rasanya kurang pas kalau meminta maaf lewat telepon padahal kami bisa bertemu langsung. Sebagai pihak yang bersalah dan mengharapkan maaf darinya, hari ini aku ingin menarik simpatinya dengan cara apapun, termasuk memakaidressbatik yang dibelikan ibunya dan parfum Versace yang dihadiahkannya padaku.Dengan rasa percaya diri yang tinggi a
Sebentar panas, sebentar hujan deras.Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,belum tentu aku bisa menemuinya.Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di b
Ketika pelukan selimut tua menghangatkan jiwa,suara detik jam merusak senyap yang tercipta.Bukti nyata bahwa waktu begitu fana.Begitu pula kita.Jatuh cinta selalu menciptakan perasaan menyenangkan. Seolah setiap hari aku melihat pelangi.Masuk ke ruangan Jason dan melihat senyumnya, merah. Kebersamaan kami menikmati kopi selama beberapa menit, jingga. Melihatnya mencuri-curi pandang padaku di tengah rapat yang berlangsung serius, kuning. Sapuan ringan jemarinya di jemariku ketika tidak seorang pun melihat, hijau. Pesan-pesannya di WhatsApp yang membuatku tersenyum sendiri di sela makan siangku dengan Mbak Maya dan Damar, biru. Ciuman yang diberikannya padaku sembunyi-sembunyi setiap sore sebelum bel pulang, nila. Rasa degdegan menyembunyikan itu semua dari orang-orang di kantor, ungu.
Jangan ajari kekasihmubagaimana untuk mencinta.Sejatinya tanpa diajari, cinta akan mewujuddalam kata dan sikap.Hubunganku dengan Sam memang sudah berakhir dengan buruk, tapi itu bukan berarti bahwa semua tindakan dan perkataannya selama kami dulu bersama adalah salah. Ada satu hal tentangnya yang tiba-tiba terlintas di benakku. Beberapa tahun yang lalu ketika Sam berulang tahun, aku memasak nasi goreng untuk sarapan kami bersama. Nasi goreng itu terlalu asin, tapi Sam tetap memakannya. Tidak ada lelaki yang akan menolak sarapan yang disiapkan dengan penuh cinta, kata Sam waktu itu.Lalu kenapa memori itu muncul sekarang? Mungkin otakku yang sedang kalang kabut mencari cara untuk mint
Guratan kecewa yang diukir olehnya di masa lalumembuatku ragu meraih tanganmu.Lantas, sampai kapan rasa mamang ini bersarang?Bantu aku menjawabnya, aku bebal tentang cinta.Dengan hati-hati aku meletakkan secangkir kopi panas di atas meja Jason. Dia sedang berdiri menyandarkan pundak kirinya pada dinding di sebelah jendela kaca besar yang ada di ruangannya. Matanya menerawang pada sesuatu di luar sana. Biasanya jendela itu tertutuproller blind. Entah mengapa, pagi iniroller blinditu tergulung rapi di bagian atas jendela."Yu, tolong ke sini sebentar," panggilnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Aku berjalan ke arahnya. Setelah aku berdiri di sebelahnya, aku menunggu dia untuk mengatakan sesuatu. Setelah sa
Gradasi kesenangan dan keresahanmembalut benak menenggelamkan tanya.Buat apa bertanya?Toh tak semua yang terjadi harus dipahami.Pagi ini Jason memintaku mencari arsip produksi dari dua tahun yang lalu. Dia memintaku mencari arsip purba dari bagian produksi, padahal gara-gara kasus Pak Herman, staf administrasi produksi juga dipecat. Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku terpaksa ke ruang arsip untuk menemukan berkas yang dia butuhkan. Kenapa sih dia tidak minta tolong Damar saja? Toh laptop yang dulu dipakai Pak Herman sekarang disimpan HR.Aku berjongkok di pojok ruang arsip sambil membaca kode-kode pada tiap odner yang tersusun rapi di rak yang paling bawah. Tubuhku tidak terlih
Di dunia yang riuh dengan ejekan,kesunyian memberi pelukan yang menenangkan.Ketika nyanyian samar tentang kebohongan bergema,menyenandungkan kebenaran tak akan berguna.Aku sedang mempelajari proposal peremajaan mesin pemotong kayu ketika Damar masuk ke ruanganku. Dia berdiri di samping mejaku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang lebih kuat dari biasanya."Agnes sudah minta maaf sama kamu?" tanyanya tanpa basa-basi."Sudah. Kamu yang nyuruh dia?""Iya.""Patas saja minta maafnya nggak ikhlas," ujarku lalu menengadah u
Hujan di tengah siang itu mengelabukan langit.Tajam butir-butir airnya menusuk wajahku.Ketika aku mulai berkawan dengan dingin dan basah,sinar matahari dengan gagahnya menerobos awan,memporak-porandakan sendu, lalu menghangatkan rasa.Kedua tangan Jason meremas lembut tanganku. Jemari tangannya terasa hangat di punggung tanganku. Aku masih menunduk melihat tangan kami yang menyatu di atas lutut kami yang bersentuhan. Isak tangisku sedikit mereda, tapi tubuhku masih sedikit tersenggal-senggal."Saya akan mulai dari Agnes," katanya serius. "Saya akan memastikan dia mendapat sanksi yang tegas. Nggak seorang pun bisa menghina atau merendahkan orang lain di perusahaan ini. Saya sendi