Dulu ketika teman-temanmu diterima di kampus favorit,
maka kamu juga menginginkan hal yang sama.Begitu pula ketika satu per satu sahabatmu menikah,kamu juga merasa menginginkan pernikahan.Bukankah memang kebanyakan manusia seperti itu?Aku baru selesai memasak tumis tauge dan ayam goreng ketika Laras duduk di depanku. Dia diam saja memperhatikan aku yang sedang menyiapkan hidangan dan perlengkapan makan di atas meja.
"Ambilkan nasi dong, Ras," kataku sambil melap piring satu per satu.
Laras menurut saja. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil nasi. Setelah dia kembali ke ruang makan, dia langsung duduk lagi. Dia menopang dagunya sambil mengamatiku yang sibuk mengeluarkan botol air minum dan buah-buahan dari dalam kulkas. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Laras karena tidak bisanya dia menjadi pendiam.
"Jangan lupa berdoa dulu," kataku sambil menyendok tumis tauge dari mangkok saji.
"Mbak, kalau aku berhenti kerja gimana?" tanya Laras tiba-tiba sambil berusaha mencabik sepotong ayam goreng di piringnya.
"Ngopo kok takon ngono, Ras?"
Laras memain-mainkan makanan di piringnya dengan sendok dan garpu yang dipegangnya. Dia tampak enggan menjawab pertanyaanku. "Mas Burhan minta aku pikir-pikir buat berhenti kerja, Mbak."
"Ngopo kok Burhan minta kamu berhenti?"
Laras memasukkan makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan pelan, mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku. "Mas Burhan mau ngelamar aku. Tapi dia maunya aku sudah berhenti kerja sebelum kami menikah."
Aku berusaha memahami apa yang baru saja dikatakannya. Laras dan Burhan baru berpacaran sekitar enam bulan. Enam bulan! Ternyata enam bulan sudah cukup bagi mereka untuk membicarakan komitmen.
"Memang kalau kamu masih kerja, Burhan keberatan?"
"Ora sih, Mbak. Tapi dia minta aku cari kerjaan lain yang kerjanya dari pagi sampai sore saja. Ora koyok sing saiki. Seminggu shift pagi, seminggu shift siang."
Laras bekerja sebagai sales promotion girl di Jogja City Mall. Dia mewakili merk kosmetik Islami yang sedang naik daun saat ini. Seringkali dia baru sampai di rumah pukul setengah sebelas malam ketika mendapat giliran shift siang. Sedangkan Burhan bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit daerah di Yogyakarta. Seperti perawat lain pada umumnya, Burhan bekerja dengan sistem tiga shift. Aku kurang lebih paham apa yang dikhawatirkan Burhan, yaitu jam kerja mereka yang kurang ideal untuk membangun keluarga.
"Lha menurutmu bagaimana? Masuk akal nggak permintaannya Burhan?"
"Yo masuk akal sih, Mbak. Tapi kok aku sudah terlalu nyaman kerja di tempatku yang sekarang. Lagian nyari kerja buat lulusan SMK kayak aku ini juga nggak gampang tho, Mbak."
Aku menguyah makananku perlahan sedangkan Laras hanya memainkan makanannya dengan sendok dan garpu. Sepertinya dia tidak akan menghabiskan makanan itu.
"Kamu sudah bilang Bulik kalau Burhan mau melamarmu?"
"Belum, Mbak. Kalau Ibu tahu, besok pagi aku pasti langsung disuruh berhenti kerja," kata Laras sedikit murung.
"Ya cepat atau lambat kamu harus ngomong sama Bulik, Ras."
Kami melanjutkan makan malam tanpa banyak bicara karena terlalu sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku sebenarnya merasa ikut senang Burhan akan melamar sepupuku, tapi kalau boleh jujur, aku juga merasa sedikit iri. Hubunganku dengan Samudra yang sudah bertahun-tahun saja belum ada tanda-tanda berlanjut ke tingkat yang lebih serius. Kenapa ya terkadang kehidupan bisa selucu ini?
-.-.-.-.-
Aku menguap beberapa kali ketika sampai di kantor. Aku baru bisa tidur jam tiga dini hari gara-gara tidak bisa berdamai dengan pikiranku. Bahkan aku menuliskan pertanyaan-pertanyaanku semalam di buku agenda dengan urutan seperti ini:
1. Mengapa sampai sekarang Sam belum melamarku?
2. Apa yang kurang dariku?
3. Bagaimana cara mereka membujuk kekasihnya untuk menikah?
4. Bagaimana cara para wanita meyakinkan pasangannya bahwa mereka sudah siap membangun rumah tangga?
Sekali lagi aku menguap. Kulihat jam yang ada di layar ponselku. Masih ada tiga puluh menit sebelum bel masuk. Daripada aku mengantuk seharian, lebih baik aku tidur sebentar. Aku menyetel alarm di ponsel untuk berdering pukul 07.50 WIB. Aku melipat tanganku di atas meja kerja sebagai bantalan kepalaku. Tidak perlu menunggu lama, aku tertidur begitu saja.
Dua puluh menit berlalu dan akhirnya alarm ponselku berdering. Masih dengan mata yang terpejam, aku mencoba meraih ponselku yang deringnya semakin keras. Aku meraba-raba mejaku. Sepertinya ponselku tadi ada di sebelah kiriku. Kenapa belum ketemu juga sih? Ponselku masih saja berdering dan kini aku meraba-raba meja di sebelah kanan kepalaku masih dengan mata terpejam.
"I'd like to know what help can I be to you." (Saya bisa bantu apa?)
Aku langsung membuka mataku mendengar suara itu. Tiba-tiba rasa kantukku hilang entah kemana digantikan dengan jantung yang berdebar-debar karena terkejut. Jason sudah duduk di kursinya yang diputar menghadap ke arahku. Mata kami beradu. Dia dengan santai bersandar di kursinya. Aku segera duduk tegak dan mematikan alarm di ponselku yang ternyata ada di atas laptop.
"How long have you been here?" (Sudah berapa lama Mister di situ?) tanyaku
padanya."Long enough to enjoy the view." (Cukup lama untuk menikmati pemandangan yang ada)
Mendengar jawaban itu, wajahku terasa panas. Sebaiknya aku ke toilet saja lah. Jangan-jangan rambutku berantakan! Atau jangan-jangan ada tahi mata atau bekas air liur di mukaku! Aku buru-buru berdiri lalu berjalan ke arah pintu.
"You didn't snore," (Kamu tadi nggak ngorok)
kata Jason ketika aku melewati mejanya."Pardon?" (Apa?)
aku menoleh padanya."Just in case you want to know. You didn't snore." (Kalau kamu mau tahu, tadi kamu nggak ngorok)
"Oh!"
serukulalu terburu-buru menuju ke toilet dengan muka yang benar-benar terasa panas. Setelah sampai di toilet, aku melihat pantulan wajahku di cermin. Pantas saja mukaku terasa panas, rupanya aku tersipu. Kedua pipiku memerah.Pukul 10.20 WIB, berlangsung rapat di ruang meeting utama. Aku duduk di ujung meja dekat dengan Mr. Nilsson yang memimpin rapat. Jason duduk di sebelah kiriku, sedangkan Damar, Pak Herman, dan Bu Farah duduk di seberang meja kami. Mr. Nilsson masih membahas rencana kerja minggu depan yang mengharuskan kami melemburkan karyawan selama paling tidak dua jam sehari untuk mengejar deadline pengiriman ke Italia. Masalah ini muncul karena ada pekerja yang salah mengukur dan memotong kayu yang akan diproses menjadi kursi dan meja makan.
Damar sedang menjelaskan estimasi biaya lembur yang akan dikeluarkan dengan adanya perubahan rencana kerja itu ketika Jason menggeser buku catatannya sampai menyentuh pergelangan tanganku yang ada di atas meja. Aku melirik buku yang terbuka itu dan kemudian membaca tulisan Jason yang ada di sana.
You look like you had a great time last night.
Sial! Jason pasti sedang memperhatikan lingkaran hitam di bawah mataku. Kugeser buku itu kembali padanya. Dia kembali menulis sesuatu lalu menggeser bukunya lagi kepadaku.
Take a nap during the break. You really need it.
Aku menendang pelan kaki kanan Jason, berharap dia berhenti menggangguku. Aku tidak bisa berkonsentrasi menulis notulen meeting kalau dia terus mengalihkan perhatianku. Tulisan-tulisan itu dan bau parfumnya yang maskulin benar-benar membuatku tidak bisa berkonsentrasi.
"What do you think, Farah?" (Apa pendapatmu, Farah?) tanya Mr. Nilsson
Bukan aku yang ditanya, tetapi jantungku rasanya mau melompat keluar ketika Mr. Nilsson bertanya. Aku gugup karena aku sama sekali tidak menangkap apa yang dibahas di rapat ini. Lembaran yang terbuka di buku agendaku hanya tertulis hari, tanggal, nama peserta meeting, dan ... sudah hanya itu saja. Fokusku terganggu oleh dua pertanyaan, mau dibawa kemana hubunganku dengan Sam dan apa maunya Jason yang dari tadi mengusikku?
"Can we hire additional workers for a week? Just to make sure we won't have an overdue shipment." (Bisakah kita mempekerjakan pekerja tambahan untuk satu minggu saja? Supaya pengiriman kita tidak terlambat)
"If we hire new workers, we need to teach them first to do the job correctly. It will take time and I'm afraid that their job is not good enough to pass the QC," (Kalau kita mempekerjakan pekerja baru, kita harus mengajari mereka dulu. Itu butuh waktu dan saya khawatir hasil kerja mereka nggak akan lolos QC) jelas Pak Herman dengan logat Jawa yang kental.
"Has anyone talked to the client that we need more time to finish the order? Is it possible to defer the shipment?" (Apakah sudah ada yang mencoba bicara dengan klien kita? Apakah bisa kita menunda pengirimannya?) tanya Mr. Nilsson tidak sabar.
Tidak ada yang menjawabnya. Mr. Nilsson tampak gusar. Jari-jari tangannya yang gemuk mencengkeram sandaran tangan kursi rodanya. Pelipis kirinya berkedut-kedut. Kulit wajahnya yang pucat tampak memerah menahan marah. Rambutnya yang sebagian besar sudah memutih, pipinya yang gempal, dan perutnya yang membuncit membuatnya terlihat seperti Santa Claus yang sedang kesal.
"I'll talk to the client," (Saya akan bicara pada klien kita) kata Jason akhirnya.
"He's your friend. Persuade him," (Dia kan temanmu. Bujuklah dia) tekan Mr. Nilsson.
"I'll see what I can do," (Saya coba dulu)
kata Jason dengan senyum tipis.Suasana ruang meeting terasa menegangkan ketika Mr. Nilsson meminta nama pekerja yang bertanggungjawab atas kesalahan ukur dan potong itu. Terjadi argumentasi yang sedikit alot ketika Pak Herman membela dua orang pekerja yang namanya disebut Damar.
Sial! Bukannya hilang, rasa kantukku malah bertambah ketika mereka berargumen. Aku menggoyang-goyangkan cangkirku, berharap masih ada sisa kopi yang bisa kuminum. Tinggal ampasnya saja ternyata.
You don't need more coffee. You need a nap!
Jason kembali menuliskan sesuatu di bukunya. Aku akhirnya mencorat-coret sedikit di buku itu membalas pesannya.
I know. Thank you for your concern.
Jason mengetuk-ngetukan ujung bolpoinnya di atas bukunya yang meninggalkan sedikit noda coretan. Dia mengarahkan pandangannya ke Mr. Nilsson dan Pak Herman secara bergantian. Benarkah dia memperhatikan apa yang mereka sampaikan? Atau dia cuma pura-pura saja seperti apa yang aku lakukan saat ini?
"Okay. Report it to me tomorrow before noon," (Baiklah. Laporkan pada saya sebelum besok siang)
kata Mr. Nilsson mengakhiri rapat itu dengan gusar lalu menjalankan kursi rodanya meninggalkan ruangan.Aku buru-buru berdiri mengikuti atasanku itu kembali ke ruang kerjanya. Mati aku! Laporan apa yang ditunggu besok pagi?
"Do you need anything, Mr. Nilsson?" (Ada yang Mister butuhkan?)
"No, Hayu. I'll go home now. I feel a little bit dizzy. I didn't sleep well last night." (Nggak, Hayu. Saya mau pulang sekarang. Saya sedikit pusing. Semalam saya nggak bisa tidur)
Ah, rupanya bukan cuma aku yang tidak bisa tidur semalam. "Sure, I'll ask pak Jono to drive you home." (Tentu saja. Saya akan minta Pak Jono mengantar Mister pulang.)
Setelah Mr. Nilsson pulang, Jason belum juga kembali ke mejanya. Kesempatan nih! Aku menelpon line Damar. Setelah dering kedua, dia menjawab teleponku.
"Halo," jawabnya dengan nada malas.
"Mar, ketemuan di pantry bentar dong," pintaku merajuk.
"Emoh. Aku harus manggil karyawan yang bikin Mr. Nilsson marah-marah di rapat tadi."
"Marah-marah kenapa? Siapa saja yang mau kamu panggil?"
Ada jeda sejenak di telepon, lalu terdengar suara Damar menghela nafas.
"Kamu nge-hang ya pas meeting?" tanyanya kesal.
Aku menelan ludah. Seram juga kalau Damar sedang kesal. "Bingung nih mau bikin notulennya bagaimana. Nggak ada yang nyantol di kepala karena aku lagi banyak pikiran. Please help me!"
"Ya sudah nanti pas makan siang saja," jawabnya pendek.
"Makasih Damarku sayang," kataku sebelum menutup telepon.
Aku mengetik apa yang dikatakan Damar di ponselku selama jam makan siang di kantin yang tampak ramai seperti biasanya. Kami duduk di meja yang berada di dekat pohon kamboja merah muda yang lebat. Tempat duduk yang sudah menjadi hak paten kami.
"Kowe ki lagi do ngopo?" tanya Mbak Maya pada kami sambil menyeruput es jeruknya.
"Tadi di tengah meeting ada yang sibuk pacaran, jadi nggak fokus bikin notulen," sindir Damar.
"Pacaran gundulmu. Pikiranku lagi semrawut," aku membela diri.
"Halah, aku liat Jason sama kamu tukar-tukaran pesan lewat buku catatan kayak anak SMA," Damar nyerocos lalu meminum kuah soto langsung dari mangkuknya.
"Dih, fitnah. Dibilangin pikiranku lagi semrawut kok."
Aku meletakkan ponselku lalu mengaduk-ngaduk mie ayam di depanku yang baru berkurang sepertiganya saja. Aneh, aku tidak merasa lapar padahal tadi pagi aku tidak sarapan.
"Mikir opo sih, Yu?" tanya Mbak Maya pelan.
"Laras mau dilamar Burhan, Mbak. Padahal mereka baru pacaran enam bulan."
Mbak Maya manggut-manggut mendengarkan. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menungguku bercerita lebih lanjut.
"Dua bulan lagi umurku 29 tahun, Mbak. Belum nikah. Boro-boro nikah, dilamar saja belum."
"Ya at least you have a boyfriend, Yu. I'm 29 and I'm so single," (Masih mending kamu punya pacar. Lha aku umur 29 dan jomblo) sahut Damar.
Mbak Maya mendelik ke arah Damar. Melihat sinyal itu, Damar diam sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku menopang dagu dengan tangan kiriku dan tangan kananku masih memainkan mie ayam yang sepertinya tidak akan sampai ke perutku.
"Jadi, kamu sedih karena Laras mau nikah duluan?" tanya Mbak Maya hati-hati.
"Enggak, Mbak. Bukan begitu."
"Lalu?"
"Aku sedih kenapa Sam belum ngelamar aku. Padahal aku sama dia sudah pacaran lama. Aku jadi mikir, sebenarnya aku ini kurang apa? Salahku dimana?"
"Sudah pernah coba ngomong ke Sam masalah ini?"
Aku menggeleng. Damar dan Mbak Maya bertukar pandang.
"Maybe it's time to talk about it (Mungkin sudah waktunya untuk membicarakannya). Cuma saran sih, Yu," kata Mbak Maya pelan.
"Ngomongnya mulai dari mana? Masa tiba-tiba aku minta dinikahi?"
"Nggak tiba-tiba dong namanya. Wong kalian sudah lama pacaran."
"Mauku dia yang buka omongan tentang ini, Mbak."
"Ya nyatanya kan dia nggak pernah bahas itu. Kamu masih mau nunggu?"
"Hidup tiap orang tuh fasenya beda-beda, Yu. Ada yang nikah umur 22, ada yang sudah punya anak umur 19, ada juga yang baru umur 25 sudah nikah dua kali. Nggak masalah Laras nikah duluan. Karena hidup kan bukan balapan buat cari pemenang siapa yang paling cepat melakukan sesuatu," kata Damar menengahi.
"Benar. Tapi umur Hayu sebentar lagi 29 tahun, Mar. Aku sebagai sahabat kok nggak terima kalau dia dipanggil perawan tua," Mbak Maya menggerutu.
Aku menyeruput es tehku yang rasanya mulai sedikit tawar karena sebagian esnya sudah mencair. Perawan tua. Dulu siapa sih yang pertama kali menemukan istilah keji itu? Membayangkan diriku dipanggil perawan tua membuatku bergidik. Jangan-jangan selama ini sudah banyak orang yang menjulukiku perawan tua di belakangku?
"Kamu bukan Jack dan Laras bukan Rose di Titanic. Kamu nggak perlu bilang you jump, I jump. Sepupumu nikah, ya sudah. Kamu kan nggak harus nikah juga," kata Damar membuyarkan lamunanku.
"Kamu benar, Mar. Tapi Mbak Maya juga benar. Aku nggak mungkin nunggu Sam terus karena kenyataannya sampai sekarang dia nggak pernah membahas pernikahan sama sekali. Aku yang harus memberanikan diri memulainya."
Mbak Maya mengepalkan tinju di udara merasa lega aku mengikuti sarannya. Damar hanya tersenyum tipis sambil beberapa kali menepuk bahuku.
Apa susahnya sih ngomong sama Sam tentang pernikahan? Aku mulai memikirkan skenario-skenario yang masuk akal untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan dengan Sam. Tidak bisa dihindari, otakku yang kreatif juga membayangkan macam-macam reaksi yang akan Sam tunjukkan. Tentu saja, hanya reaksi-reaksi yang buruk yang melintas di benakku.
Kita tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.Atasan suka menuntut? Terima saja.Rekan kerja menyebalkan? Hadapi saja.Bisa saja kita memilih mau bekerja dengan siapa,asalkan kita yang jadi direkturnya. Sudah dua minggu berlalu sejak kedatangan Jason di Nilsson Home. Ruanganku tidak pernah sepi sekarang. Selalu saja ada yang datang menemuinya. Dia bahkan lebih sibuk dari Mr. Nilsson beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya sampai mana wewenang Jason di perusahaan ini. Pukul 11.55, Jason baru saja menyudahi diskusinya dengan Mas Roni, senior drafter, tentang desain ranjang tidur pesanan klien dari Denmark yang berlangsung selama tiga puluh menit non stop. Well, tiga puluh menit tadi itu memecahkan rekor. Biasanya Jason hanya menghabiskan paling lama lima belas menit untuk mendiskusikan sesuatu. "Hayu, how many times a day do you go upstairs to get coffee?" (Hayu, berapa kali sehari kamu naik ke atas untuk buat kopi?) tanyanya tiba-tiba. "I never count," (Saya
Sulit mengatakan apa yang ada di pikiranku.Rasa takut ditolak dan dikecewakan lahyang membuatku memilih untuk diam.Padahal, semakin lama diam, semakin aku merasa takut.Hujan turun di Minggu sore ini. Biasanya jalan di depan rumahku ramai anak-anak bermain sepeda atau sekedar kejar-kejaran, tapi hujan membuatnya lengang. Aku duduk di teras sambil membacaThe Lucky One-nya Nicholas Sparks. Aku suka sekali dengan bau tanah yang mulai basah tersiram air langit. Suasana begini membuatku semakin terhanyut dengan isi novel yang kubaca. Sesekali aku menyeruput secangkir teh panas yang ada di atascoffee tableproduksi Nilsson Home yang berhasil kumenangkan lewat lelang karyawan tahun lalu."Assalamu'alaikum."Aku menga
Where can we find home?It's right next to your loved ones.Then, where can we find love?Pay attention and look around.Aku baru saja kembali dari toilet ketika mendapati Damar dan Jason sedang berdiskusi. Mereka sedang membolak-balik lembar demi lembar katalog yang tebal di atas meja Jason. Aku mengintip katalog itu dari bahu Damar karena penasaran. Ternyata katalogwallpaper."I like this one. It's vinyl, right?" (Saya suka yang ini. Inivynilkan?) kata Jason sambil menunjuk salah satu gambar di katalog itu.
Masa lalumu adalah milikmu,aku tidak bisa merubahnya.Pastikan masa lalumu tinggal di tempatnya.Karena masa sekarangmu adalah milik kita.Hari ini adalah hari ulang tahun Mega, keponakan Sam. Aku sampai di the Westlake pukul 11.00 WIB. Hari ini aku memakai kaos pendek warna putih dengan garis-garis horizontal merah marun, rok jeans modelflaredyang panjangnya hanya sampai atas lututku, dan sandal jepit kulit sintetis warna putih."Mbak Hayuuu," Mega memelukku ketika aku baru saja melepaskan sandal untuk naik ke gazebo yang khusus ditempati keluarga itu."Kadoku mana, Mbak?" Mega merajuk manja."Sabar dong. Kan belum t
Semua terasa seperti melihat dalam gelap.Aku harus meraba-raba dan sesekali jatuh tersandung.Lalu, tiba-tiba kamu ada di depanku menyodorkan segelas air.Padahal kamu tahu yang kubutuhkan adalah secercah cahaya.Setelah sholat subuh, aku membersihkan kamar mandi. Aku menggosok dengan keras keramik-keramik yang sebenarnya masih bersih itu dengan bahan kimia yang baunya menyengat di hidung. Aku tidak terbiasa membersihkan kamar mandi pagi-pagi begini, tapi aku perlu mengalihkan pikiranku yang kacau dengan melakukan sesuatu yang menguras tenaga. Aduh! Punggung tanganku tergores ujung keramik yang lepas dari lantai. Aku buru-buru menyiram lukaku dengan air bersih, takut terinfeksi cairan kimia pembersih keramik."Rajin banget sih, Mbak," Laras menyapa
Tak mudah menemukan tempat kerjadengan rekan kerja yang memberi rasa nyaman.Lebih sulit lagi menemukan tempat kerjadengan atasan yang bersikap seperti keluarga.Siang ini aku menemani Mr. Nilsson di rumah sakit Panti Rapih untuk melakukancheck uprutin. Kami duduk di ruang tunggu yang tidak begitu ramai. Kuhitung hanya ada sekitar enam orang yang juga mengantri untuk diperiksa."Hayu, please pass me my coffee,"(Hayu, tolong kopi saya dong) kata Mr. Nilsson sambil meletakkanipad-nya di pangkuan.Aku mengambil cangkir kertasStarbucksyang tadi kuletakkan di kursi kosong di sebelahku."Here,"(Ini) ujarku m
Apa baiknya memendam rasa?Bicarakan saja baiknya bagaimana.Kalaupun rasamu tak berbalas, setidaknya kamu tahusekarang sudah saatnya berlalu untuk mencari rumahyang sepantasnya untuk hatimu.Aku duduk di ruang tamu rumah Sam, menunggunya selesai mandi. Kami akan menghadiri pernikahan Mas Bekti yang acaranya sudah mulai sejak pukul 19.00 WIB. Sekarang sudah pukul 19.15 WIB dan kami masih di sini. Kalau biasanya para lelaki yang menunggu kekasihnya berdandan, berbeda kami. Sering kali aku yang menunggunya bersiap.Ya, aku memang sudah tidak marah lagi padanya karena mengajak Erna ke The Westlake waktu itu. Aku sudah memaafkannya walaupun dia tidak meminta maaf. Tidak ada gunanya juga memendam kemarahan terlalu lama.
Kenangan-kenangan di masa lalu muncul begitu sajabak film yang sengaja diputar untuk menggugah getir.Dosa apa yang pernah kulakukan di masa laluhingga aku pantas merasakan sakit seperti ini?Kalau saja Laras tidak memaksaku bangun pagi ini, aku pasti masih meringkuk di tempat tidur mengasihani diriku sendiri. Dengan terpaksa, aku memakaieyeshadowwarna hitam untuk menyamarkan kelopak mataku yang bengkak karena menangis sejak kemarin. Penolakan Sam benar-benar menyakitkan. Dasar lelaki brengsek! Bisa-bisanya dia membuatku mencintainya selama bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya dia juga membuatku merana, meradang dan merasa dicampakkan dalam satu malam!"Mau aku antar, Mbak?" tanya Laras ketika aku sedang memakai sepatu.
Cinta akan menghampiri merekayang menyambutnya tanpa ragu.Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alatmonitoringkondisi pasien.Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanan
Malam selalu datang terlambat di musim panas.Tapi bulan tak sekali pun mengeluhkan hal itu.Lalu kenapa ketika cinta terlambat dinyatakan,anak manusia meracau di akhir hari?Tak bisakah ia berbesar jiwa seperti si bulan?Aku akan minta maaf pada Jason di kantor pagi ini. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya dari kemarin, tapi rasanya kurang pas kalau meminta maaf lewat telepon padahal kami bisa bertemu langsung. Sebagai pihak yang bersalah dan mengharapkan maaf darinya, hari ini aku ingin menarik simpatinya dengan cara apapun, termasuk memakaidressbatik yang dibelikan ibunya dan parfum Versace yang dihadiahkannya padaku.Dengan rasa percaya diri yang tinggi a
Sebentar panas, sebentar hujan deras.Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,belum tentu aku bisa menemuinya.Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di b
Ketika pelukan selimut tua menghangatkan jiwa,suara detik jam merusak senyap yang tercipta.Bukti nyata bahwa waktu begitu fana.Begitu pula kita.Jatuh cinta selalu menciptakan perasaan menyenangkan. Seolah setiap hari aku melihat pelangi.Masuk ke ruangan Jason dan melihat senyumnya, merah. Kebersamaan kami menikmati kopi selama beberapa menit, jingga. Melihatnya mencuri-curi pandang padaku di tengah rapat yang berlangsung serius, kuning. Sapuan ringan jemarinya di jemariku ketika tidak seorang pun melihat, hijau. Pesan-pesannya di WhatsApp yang membuatku tersenyum sendiri di sela makan siangku dengan Mbak Maya dan Damar, biru. Ciuman yang diberikannya padaku sembunyi-sembunyi setiap sore sebelum bel pulang, nila. Rasa degdegan menyembunyikan itu semua dari orang-orang di kantor, ungu.
Jangan ajari kekasihmubagaimana untuk mencinta.Sejatinya tanpa diajari, cinta akan mewujuddalam kata dan sikap.Hubunganku dengan Sam memang sudah berakhir dengan buruk, tapi itu bukan berarti bahwa semua tindakan dan perkataannya selama kami dulu bersama adalah salah. Ada satu hal tentangnya yang tiba-tiba terlintas di benakku. Beberapa tahun yang lalu ketika Sam berulang tahun, aku memasak nasi goreng untuk sarapan kami bersama. Nasi goreng itu terlalu asin, tapi Sam tetap memakannya. Tidak ada lelaki yang akan menolak sarapan yang disiapkan dengan penuh cinta, kata Sam waktu itu.Lalu kenapa memori itu muncul sekarang? Mungkin otakku yang sedang kalang kabut mencari cara untuk mint
Guratan kecewa yang diukir olehnya di masa lalumembuatku ragu meraih tanganmu.Lantas, sampai kapan rasa mamang ini bersarang?Bantu aku menjawabnya, aku bebal tentang cinta.Dengan hati-hati aku meletakkan secangkir kopi panas di atas meja Jason. Dia sedang berdiri menyandarkan pundak kirinya pada dinding di sebelah jendela kaca besar yang ada di ruangannya. Matanya menerawang pada sesuatu di luar sana. Biasanya jendela itu tertutuproller blind. Entah mengapa, pagi iniroller blinditu tergulung rapi di bagian atas jendela."Yu, tolong ke sini sebentar," panggilnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Aku berjalan ke arahnya. Setelah aku berdiri di sebelahnya, aku menunggu dia untuk mengatakan sesuatu. Setelah sa
Gradasi kesenangan dan keresahanmembalut benak menenggelamkan tanya.Buat apa bertanya?Toh tak semua yang terjadi harus dipahami.Pagi ini Jason memintaku mencari arsip produksi dari dua tahun yang lalu. Dia memintaku mencari arsip purba dari bagian produksi, padahal gara-gara kasus Pak Herman, staf administrasi produksi juga dipecat. Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku terpaksa ke ruang arsip untuk menemukan berkas yang dia butuhkan. Kenapa sih dia tidak minta tolong Damar saja? Toh laptop yang dulu dipakai Pak Herman sekarang disimpan HR.Aku berjongkok di pojok ruang arsip sambil membaca kode-kode pada tiap odner yang tersusun rapi di rak yang paling bawah. Tubuhku tidak terlih
Di dunia yang riuh dengan ejekan,kesunyian memberi pelukan yang menenangkan.Ketika nyanyian samar tentang kebohongan bergema,menyenandungkan kebenaran tak akan berguna.Aku sedang mempelajari proposal peremajaan mesin pemotong kayu ketika Damar masuk ke ruanganku. Dia berdiri di samping mejaku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang lebih kuat dari biasanya."Agnes sudah minta maaf sama kamu?" tanyanya tanpa basa-basi."Sudah. Kamu yang nyuruh dia?""Iya.""Patas saja minta maafnya nggak ikhlas," ujarku lalu menengadah u
Hujan di tengah siang itu mengelabukan langit.Tajam butir-butir airnya menusuk wajahku.Ketika aku mulai berkawan dengan dingin dan basah,sinar matahari dengan gagahnya menerobos awan,memporak-porandakan sendu, lalu menghangatkan rasa.Kedua tangan Jason meremas lembut tanganku. Jemari tangannya terasa hangat di punggung tanganku. Aku masih menunduk melihat tangan kami yang menyatu di atas lutut kami yang bersentuhan. Isak tangisku sedikit mereda, tapi tubuhku masih sedikit tersenggal-senggal."Saya akan mulai dari Agnes," katanya serius. "Saya akan memastikan dia mendapat sanksi yang tegas. Nggak seorang pun bisa menghina atau merendahkan orang lain di perusahaan ini. Saya sendi