Bara membisu, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Melisa. Jantungnya terus berdetak kencang. Badannya mulai panas dingin. Sungguh tidak ada kejantanan jika Bara sudah di hadapkan dengan Melisa.
Sial memang, baru pertama kali iseng nongkrong di café dengan teman wanita, sudah ketahuan. Rasa takut menyelimuti hati Bara, dia sudah menduga jika jujur, pasti akan terjadi perang dunia ke tiga.
Kenapa Intan meninggalkan jejak? kata Bara dalam hati.
"Ini rambut siapa mas ?" pekik Melisa menggulai pertanyaan yang sama.
Kaki Bara mengijak rem dengan spontan, kaget dengan teriakan Melisa, sembari menoleh melihat sehelai rambut di tanggan Melisa.
"Mana aku tau itu rambut siapa?" jawab Bara mengigit bibir, tidak berani memandang Melisa.
"Terus kamu pikir ini rambutku?" gerutu Melisa sambil menujuk rambut pendek berwarna blonde.
Bara terus saja mengelak tidak mengakui tentang rambut di dalam mobilnya. Melisa bukan sosok wanita mudah ditipu, sosoknya yang sangat pencemburu tidak akan diam jika suaminya ada main dengan wanita lain, walau setetes embun.
Perdebatan panjang terjadi di dalam mobil. Suara Melisa semakin melengking membuat bayi di pangkuanya mengeliat, menangis.
Bayi itu pintar membuat orang tuanya berhenti bertengkar. Melisa mencoba mengayun pelan bayinya, sambil mengeluarkan satu susu di dadanya, dimasukan perlahan putingnya, bayi itu diam, menikmati susu ibunya.
"Mobilku ini tadi di bawa temenku ngak tau kalo dibawa kencan sama cewek," jawab Bara dengan lembut.
Hening, Melisa menguci bibirnya tanpa suara. Geram hatinya merasakan ada sesuatu yang Bara sembunyikan. Tapi ada benarnya jika mobil Bara dipinjam temanya siapa tau buat jemput cewek, pikir Melisa.
"Kita jadi ke mall ngak, katanya mau beli perhiasan? Aku baru dapat bonus dari kantor," celetuk Bara mencoba merayu, dengan hipnotis yang paling disukai semua wanita.
"Iya jadi," jawab singkat Melisa dengan wajah masamnya, tapi tak bisa menolak tawaran suaminya.
*
Seesok harinya pukul setengah tujuh pagi Intan sudah bersiap berangkat kerja. Tapi tak akan melewatkan sarapan bersama Mama Eva.
"Tan, itu polisi yang kasih kerjaan Stif siapa namanya?" tanya Mama Eva sambil menyiapkan bekal kerja Intan.
"Bara, Ma." Sambil menguyah sepotong roti.
"Kamu telfon ya, suruh ke sini abis magrib mama undang makan malam, sebagai ucapan tanda terimakasih." kata Mama Eva sambil menyiapkan bekal untuk kedua anaknya berkerja.
"Iya Ma." Jawab singkat Intan.
Ditengah kesibukan laporan yang harus diselesaikan Intan, teringat pesan Mama Eva untuk menghubungi Bara.
Sambil tersenyum-senyum mengingat bagaimana Bara begitu cerewet di café kemarin, gemas rasanya. Diambilah ponselnya lalu mengetik pesan singkat untuk Bara.
Intan {Tolong nanti datang ke rumah, Mama mengundang anda untuk makan malam}
Bara {Ok}
Makan malam yang berkesan untuk mereka walaupun tanpa kehadiran Ayah, Bara mampu merubah suasana tidak kaku, meskipun baru pertama kali makan bersama kelurga Intan.
"Masakan siapa ini?" kata Bara, sambil menguyah ikan bakar. "Enak banget," melanjutkan ucapanya.
"Yang jelas bukan aku," celetuk Intan, matanya melirik Mama Eva.
"Iya. Aku pun tau kamu pasti tidak bisa masak seenak ini." jawab Bara.
Stif dan Mama Eva tertawa renyah, tapi tidak dengan Intan, justru mengerutu
Sebagai anggota kepolisian Bara terlatih untuk berinteraksi dengan banyak manusia, tidak heran mudah membuat orang nyaman kenal denganya.
Bara melirik jam tanggannya yang menunjukan pukul 8 malam, Bara bergegas pulang.
Melisa sudah berdandan dengan makeup natural, memakai wewangian beraroma blossom, sesukaan Bara, lengkap denagn lingerie sutra berwarna merah darah, membuat lekuk tubuhnya begitu jelas. Kostum tempur dengan Bara, tapi kenyataan tidak selalu sama seperti yang diharapkan!
Sampai rumah Bara pukul 9 malam, yang tersisa hanya rasa lelah dibadannya. Melisa megigit bibir, tidak ada respon yang menyenangkan dari Bara tentang penampilanya malam ini. Bara mencium bayi mungilnya lalu pergi mandi.
Tapi bukan Melisa, jika tidak gigih mendapatkan apa yang dia mau.
Melisa mendengar gemerici air shower berjatuhan, mencoba membuka gagang pintu kamar mandi, ternyata Bara tak menguncinya. Melisa tersenyum dan melangkah masuk, memeluk suaminya dari belakang seraya mencium pundak kekar Bara.
Tangganya melingkar di perut Bara membelai halus dada dan tanggan satunya mulai turun menyentuh junior Bara. Bibirnya terus mencium tengkuk Bara, membiarkan dirinya basah karena air shower.
Bara pasrah, kejantanya mulai bereaksi, suhu tubuhnya mulai panas. Melisa mulai menyadari hal itu, tanggannya semakin nakal bermain di area sensitif Bara.
Bara membalikkan badan, dengan cepat mencium dan menghisap rakus bibir Intan. Ya, di otak Bara di hadapanya bukan Melisa tapi Intan.
Tanggannya mulai meraba bokong, naik kepundak dan melepas kain tipis di tubuh Melisa. Tangganya mulai bermain di area dada Melisa. Dan tanggan Melisa terus merangsang Bara.
Ah...
Melisa mendesah panjang, baru kali ini merasakan Bara liar mencumbuhnya.
Bara memejamkan mata, tetap menikmati walaupun hanya bayang-bayang Intan yang hadir saat ini
*
"Kamu dapat undangan makan siapa?" Tanya Melisa sambil meletakan ponsel Bara di atas meja.
"Orang tua dari anak yang aku kasih kerja kemarin," jawab Bara sambil memakai celana kolor.
"Ini siapa? kok masih muda kayaknya cantik dilihat dari fotonya." Melisa melihat foto Intan dengan serius, hampir tidak berkedip.
"Itu kakaknya." Sambil merebahkan badan di atas ranjang, Bara mulai panik dengan cercaan Melisa.
Lebih baik aku tidur dari pada berdebat soal foto, bisik dalam hati Bara. Bara mulai memejamkan mata, tidak sampai sepuluh menit tidurnya sudah seperti orang mati.
Melisa masih sibuk memeriksa isi ponsel Bara, riwayat telfon, riwayat chat, isi kontak semua tidak ada yang terlewatkan dari pandangnya.
Hatinya berkecambuk tau Bara mendapat undangan makan wanita single dan juga cantik. Rasa cemburu terus berkecambuk.
Melisa mengambil sehelai rambut yang dia simpan di dalam tas, yang di temukan kemarin. Dilihatlah kembali foto Intan, rambut itu sama persis panjangnya. Dada Melisa panas, api cemburu berkobar.
“Sial, bedebah, mau mencoba menipuku!” gumam Melisa sambil melirik suaminya yang sudah terlelap
Melisa yang tengah sibuk menyisisir rambutnya di depan meja rias, bibirnya terkunci rapat, tapi tidak dengan pikiranya, yang terus berkelana.
Bara baru saja keluar dari kamar mandi langsung memeluk Melisa dari belakang, menciumnya lehernya dan tangganya mulai meremas dua gundukan di dadanya. Melisa tidak merespon, diam mematung padahal hal seperti itu yang paling dia suka, tapi tidak untuk hari ini, hatinya sedang kacau!
“Mas, kamu bohong ya? Rambut di dalam mobilmu itu bukan gandengan temenmu, tapi itu gandenganmu?” tanya Melisa rasa penasaranya tidak bisa dibendung.
“Kamu ngomong apa sih? Ngawur!”
Melisa berdiri, membalikan badan berhadapan dengan Bara, tangganya mengambil gunting kecil di meja riasnya, tanggan satunya melinggar di leher Bara.
“Kamu jangan macem-macem sama aku, kalo kamu ingin juniormu baik-baik saja!” bisik Melisa tepat di telinga Bara sambil menyentuh junior Bara dengan ujung gunting.
Bara membisu, hatinya bergetar, rasa sakit di palung hatinya tak tebendung, dilecehan istri sendiri.
Dua tahun pernikahan Melisa tetap tak berubah, sosok arogan, egois, sangat posesif.
Kalo bukan karena kesepakatan dengan ayah Melisa, Subroto adalah ayah Melisa sebagai Jendral Polisi, yang membantu Bara masuk sebagai anggota kepolisian tanpa tes ataupun uang.
Dua kali Bara mengiuti tes kepolisian, berakir kegagalan, Melisa mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan Bara, setelah cintanya di tolak berkali-kali, dengan bantuan Subroto akirnya Melisa mendapatan Bara. Cerdas bukan?
Bukan Melisa kalo tidak mendapatkan keinginanya, maklum sejak kecil selalu dimanja ayahnya.
Bara berangkat kerja dengan kecambuk di hatinya, ancaman Melisa benar-benar melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Susah payah Bara belajar mencintai Melisa, tapi dia sendiri membuat benteng dengan sikapnya yang membuat Bara jera. Perlakuan Melisa tidak melambangkan seorang istri yang ideal.
Melisa melarang Bara untuk berteman dengan wanita manapun, bila perlu tidak boleh berinterasi. Sedangkan Bara seorang polisi, mana mungkin tidak berintraksi dengan wanita.
Hari ini Bara benar-benar tidak focus berkerja, berkali-kali mengaruk rambutnya.
Di tengah berantakan kerjaannya Bara teringat Intan, membayangkan manis senyum Intan, rambutnya hitam nan panjang.
Intan begitu menyenangan untuk diajak ngobrol. Meskipun cemderung singkat menjawab. Hal itu tidak ada di diri Melisa, yang ada ngobrol dengannya akan terjadi perdebatan yang sia-sia.
Apakah aku jatuh cinta? Hati Bara berbisik, sambil tersenyum. Apa seperti ini rasanya jatuh cinta, bersama Melisa aku hatiku tak sehangat ini?
Bara { Nanti jam 5 sore kita ngopi yuk di cafe kemarin} pesan singkat itu dikirim ke Intan.
“Ya tuhan tolong hambamu ini, semoga Intan tidak menolak.” Komat kamit Bara sambil melipat kedua tangganya. Belum genap dua menit Intan sudah membalas.
Intan { Ya }
Pulang kerja dirasa hal biasa tapi tidak untuk kali ini, rasanya luar biasa bagi Bara. Lupakan istri posesif itu untuk malam ini saja! Bisik hati Bara.
Pertemuan itu menjadi agenda rutin Intan dan Bara hampir setiap sore hingga malam pukul delapan malam.
Semakin hari Bara makin dekat, bertemu sambil membawa hadiah kecil untuk Intan, buku, jam tanggan, topi, bunga. Awalnya Intan menolak tapi lama kelamaan Intan nyaman saja, menerima hadiah itu. Justru Intan menanti kejutan itu.
Pertemuan demi pertemuan menumbuhan rasa cinta untuk pertama kalinya. Sikapnya yang biasa saja, sekarang semakin hangat, meskipun masih sulit untuk menerima kehadiran Bara dihatinya.
Bayang-bayang Ayah selalu menghantui, ayah adalah cinta pertama putrinya, tapi cinta di hati Intan pupus sejak kejadian di hotel itu, ditambah sikap Ayah yang masa bodoh dengan kelurga. Semakin jauh Intan dengan Ayah.
Bukan saja Ayah, Om Aldi, adik ayah dengan mata kepala Intan sendiri melihat sedang berciuman dengan wanita bukan istrinya, di dalam mobil yang terparkir di mall. Mei, teman sebangkunya waktu SMA mati bunuh diri karena pacarnya ketahuan menduakanya. Fakta-fakta itu membuat doktrin di pikiranya bahwa laki-laki itu jahat.
Semakin menjauhi Bara justru hatinya tersiksa oleh rindu, setiap ajakan tak mampuh dia tolak. Sejak jatuh cinta, badannya terasa ringan, pikiranya lebih relaks , ide menulis mengalir seperti air dan lebih bersemangat. Hormon dopamine meningkat dan melakukan fungsinya dengan semestinya.
Bara {Aku seneng setiap hari bisa bertemu denganmu, melihat senyummu membuat hari-hariku semakin berwarna}
Pesan singkat di notifikasi ponsel Intan membuyarkan lamunanya.
Intan {Oh ya....}
Bara {nanti ke cafe}
Intan {Oke, hari ini mau bawa hadiah apa lagi}
Bara {permata yang indah}
Bukan hanya sekedar kata, Bara membeli cincin dengan permata berwarna biru, indah sekali. Intan seperti tidak percaya melihat cincin begitu indah, dari kilaunya, semua mata tau jika itu terbuat dari batu mulia.Dan bukan barang murahan.
“Aku hanya bercanda, kenapa kamu belikan? Aku ngak mau terima.” Tolak Intan dengan lembut.
“Sudah jangan berisik, pake saja!” kata Bara memaksa Intan, sambil meraih tanggan Intan memaksa memakaikan cincin itu dijari manisnya.
Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.Beres!Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sam
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap