Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.
Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering.
“Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.
“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.
“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.
Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapannya.
“Kapan-kapan kenalin sama aku ya!” pinta Intan.
Bara yang sedang menikmati kopi hampir tersedak, mendengar apa yang dikatakan Intan. Keningnya berkerut, wajahnya sangat serius melihat Intan yang nampak menggebu. “Kamu gila!” ujar Bara teramat sinis.
Intan tersenyum geli, ia tak menduga jawaban Bara sesadis itu.
Kini Intan yang merasakan getaran benda pintar di dalam tasnya. Setelah melihat nama yang tertera di sana, senyumnya merekah, kedua bola matanya terbuka lebar. Bara yang melihatnya hampir tak percaya dengan pancaran bahagia dari wajah Intan saat itu.
“Maaf ya aku angkat telefon dulu!” tutur Intan sambil berdiri meninggalkan Bara yang hanya mengangguk pelan.
Dari jarak kejauhan Bara mamandang Intan yang sedang bercakap, setiap detik penuh senyum dan tawa yang sangat renyah. Menambah manisnya wajah Intan, tapi entah mengapa Bara tak suka segala senyuman itu.
Intan tak pernah seceria itu saat bersamanya, dulu atau pun sekarang. Bara mulai menduga dengan siapa Intan bercakap. Dadanya terasa hangat, hatinya seperti sedang terbakar saat itu juga.
Lima menit kemudian Intan kembali menghampiri Bara. Matanya tertuju pada kusutnya wajah Bara. “Maaf ya!” ucap Intan.
“Ngak masalah. Siapa yang berbicara denganmu?” tanya Bara sedikit sengit.
Intan tersenyum tipis. “Jimmy,” jawab Intan singkat.
“Apa kamu benar-benar mencintainya?” Bara menatap kopi di hadapnya. Gemuruh di dalam dadanya benar-benar ingin meledak.
Pandangan Intan begitu tajam menatap Bara, pertanyanya membuatnya terkejut. “Seberapa penting jawaban itu untuk kamu?”
Mulut Bara kaku diikuti darah yang semakin mendidih. Tangannya mengepal kuat, sorot matanya semakin tajam. Sedikit rasa ngeri Intan melihat ekpresi Bara untuk saat ini.
Perlahan Intan menyentuh lembut tangan Bara. Sontak Bara sedikit kaget, matanya kini memandang Intan dengan sendu. Ia menyadari betapa jiwa dan raganya masih menginginkan wanita itu.
“Apakah pantas yang sudah berlalu diungkit kembali?” tanya Intan dengan sangat lembut.
Bara tak bergeming, sentuhan Intan membuat dirinya semakin tenang. Setelah hampir lima belas detik sudut bibirnya bergerak ke atas. Ia tersenyum.
“Seharusnya aku tak begini, maafkan aku!” pungkas Bara lirih.
“Kita sudah punya pasangan masing-masing, lupakan masa lalu kita dan fokus dengan garis takdir kita saat ini!” tutur ucapan Intan begitu tenang.
Bara membisu, tubuhnya terasa berat untuk sekedar bergerak. Entah mengapa hatinya begitu pilu dengan ucapan Intan.
“Apakah aku salah jika masih mencintaimu?” Bara tertunduk lemas.
Tangan Intan menjauh dari jemari Bara. Wajahnya kini ikut pucat, bukan karena ucapan Bara, tapi sedih dengan apa yang dirasakan laki-laki di hadapnya, dia begitu kerasa kepala.
“Kamu tidak melatih hatimu untuk mencintai orang lain.” Intan menatap atap cafe dengan piluh.
“Tidak, karena kamu adalah cinta pertamaku. Aku sudah terlatih mendapatkan apa yang aku inginkan.”
Hening, dua manusia yang sama-sama membisu. Intan yang awalnya mampu menguasai hatinya kini juga merasakan kegelisahan, kecemasan mulai menghampiri dirinya.
“Kamu harus belajar untuk menerima!” celetuk Intan.
Bara tersenyum sinis. “Kamu pikir ini mudah bagiku?”
“Kamu pikir siapa yang mengobati aku dari keterpurukan selama ini?” Mata Intan tajam menusuk Bara. “Kamu pikir aku selama ini baik-baik saja sejak kejadian saat itu? Aku gila Bara!” kata Intan dengan mata yang mulai berembun.
Mendengar ucapan Intan, hatinya terasa perih tak ada kata yang mampu keluar dari dalam dirinya. Sesaat suasana menjadi hening tanpa suara, yang ada nada lagu dari dalam café.
Have I ever told you
I want you to the bone
Have I ever called you
When you are ala alone
And if I ever forget
To tell you how I feel
Listen to me now, baby
I want you to the bone
I want you to the bone
Syair indah dari musisi Pamukas menambah hati Bara semakin menciut, seolah-olah lagu ‘To The Bone’ melukiskan isi hatinya saat ini.
Intan menarik nafas panjang. “Apakah kamu tega menyakiti tunanganmu?” Intan memecah keheningan.
“Entahlah. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri,” jawab Bara.
“Tapi tidak semua yang kamu inginkan harus terpenuhi.” Intan menatap sendu Bara.
“Hatiku masih ada kamu, hanya kamu. Apa aku salah?” tanya Bara.
Wajah Intan terasa panas. “Lalu, kamu mau meninggalkan wanita yang sekarang menjadi tunanganmu?” tanya Intan gemas.
Kini hanya gundah gulana yang ia rasakan. Antara Intan wanita yang membuatnya jatuh cinta dan Vanya wanita yang selalu ada untuknya. Kini sederet rasa bersalah yang menyelimuti perasaan Bara. Mungkin badannya terlihat gagah dan kuat tapi soal hati Bara adalah kerapuhan.
“Lalu aku harus bagaimana?” tanya Bara lirih.
Intan memaksa bibirnya tersenyum. “Kita mulai dari awal. Dengan ikatan sebuah pertemanan.”
“Aku akan coba.” Bara tertunduk. “Meskipun aku sendiri tidak yakin itu akan membuatku bahagia,”
Intan tersenyum pilu, ada sedikit keraguan dalam hatinya apakah yang ia lakukan ini benar. Perasaanya yang dulu hanya untuk Bara kini benar-benar sudah lenyap, tidak tersisa. Yang Intan inginkan saat ini hubungan mereka tidak lebih dari teman, dan tanpa dendam.
Membuat lembaran baru tanpa banyang-banyang masa lalu yang cukup pekat. Keputusan Intan semakin bulat setelah memahami apa arti cinta sesungguhnya. Pengalaman hidup membuatnya semakin yakin untuk mengambil keputusan ini. Intan tidak bisa kembali kepada sesuatu yang pernah menyakitinya.
“Apa aku salah melakukan ini?” batin Intan dalam hati.
“Hati itu seperti otot kalo dilatih nanti lama-lama terbiasa !” pungkas Intan mencoba memecah keheningan.
Senyumnya terus melukis wajahnya seolah-olah memberi semangat laki-laki yang masih membeku di hadapanya saat ini.
Dua bola mata bulat memandang arah kolam ikan di cafe, lampu–lampu di sekitar kolam memperlihatkan kelincahan ikan koi berenang. Lumayan bisa mengalihakn focus Bara sejenak.
Bibir Bara terkunci rapat, tak menjawab ucapan wanita di hadapnya, kini matanya beralih memandang Intan dengan tatapan sangat sendu. Di dalam hatinya kini bergelut apakah ia mampu untuk menganggap Intan sebagai temannya.
Tak lama kemudian mereka berajak meninggalkan cafe.
Meskipun Bara merasa berat akan pilihan Intan. Tapi Bara harus belajar menerima. Ia tau jika memaksa kehendaknya yang ada Intan akan semakin menjauh dan akan kehilangan wanita itu lagi.
Dua langkah sepasang kaki menembus parkiran yang remang-remang. Bara mengantar Intan ke tempat mobilnya parkir. Rambut hitam lurus yang agak tipis Intan terlihat cantik, usia tiga puluh tahun tapi wajahnya jauh lebih muda.
Tangan Bara menyentuh rambut Intan dari belakang, sentuhan itu Intan rasakan sangat lembut. Intan yang merasa sedikit terusik, berbalik badan.
“Rambutku kotor ya?” Intan terkekeh.
Bara menggeleng pelan, senyum manis menghiasi pipinya.
“Kamu masih sama cantik seperti yang dulu.” Senyum manis Bara lontarkan.
Intan menarik ujung bibirnya ke atas. “Ngaklah sekarang sedikit gendut,” jawab Intan.
“Kamu tetap cantik,” jawab Bara.
“Udah ah! Aku mau pulang dulu.” Intan membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
Mata Bara tak sedetik pun bisa berpaling dari Intan. Seolah-olah sedang mengobati ke rinduannya. Dalam dadanya terus bergemuruh dengan sejuta rasa tak menentu.
Sebenarnya Bara ingin memeluk Intan dari belakang tapi entah mengapa kali ini Bara tak punya nyali. Lalu, membiarkan Intan masuk ke dalam mobilnya.
Perlahan Intan membuka jendela mobilnya. Terlihat dari luar rok pendek memperlihatkan hampir separuh paha putih nan mulus. Bara sekilas memandang tak tahan dengan pemandangan itu lantas lebih memilih memandang wajah Intan.
Tapi sial matanya tertuju pada leher Intan yang mulus tanpa kerutan, Bara menelan ludah. Kemudian satu tangannya memijat pelipisnya.
“Kamu sakit?” tanya Intan.
Bara menggeleng. “Ngak kok, ngak hanya sedikit pusing,” jawab Bara.
“Perasaan tadi ngak apa-apa kok sekarang pusing?” Intan mengerutkan kedua alisnya.
“Iya gara-gara lihat anu—itu—jadi pikiran macem-macem.” Bara terbata-bata.
“Lihat apa?” Intan penasaran.
“Udah ah jangan banyak tanya, kamu pulang saja!” Bara ketus.
“Ya udah deh!” Intan sama sekali tidak menyadari jika dirinya membuat bangun kejantanan Bara. “Minggu depan Stif ulang tahun, bakal ada acara kecil-kecilan di rumah. Pasti dia seneng kamu dateng, kamu dateng ya! jangan lupa ajak tunanganmu!” Intan bergitu bersemangat.
“Oh iya, kalo ngak ada sesuatu yang mendesak aku datang dan kalo dia ngak sibuk kuliah aku ajak.” Matanya yang sulit beralih dari pesona Intan, kini semakin resah dengan permintaan Intan.
Sial! gumam Bara sambil mengusap kasar rambut tipisnya, setelah mobil Intan pergi meninggalkan parkiran.
Derung suara mobil Intan melesat di keheningan malam, kini hati Intan menjadi lebih tenang dari biasanya. Ayah, Mama, Jimmy dan Bara mengajarkan dirinya akan arti dari sebuah cinta. Rasa cinta tak perah salah hanya saja setiap individu yang keliru menempatkanya. Cinta tidak menyakiti, hanya manusia itu sendiri yang menodai cerita cinta.
Intan tahu jika saat ini Bara pasti sedang kecewa, tapi dia harus belajar berkomitmen dan tanggung jawab. Sesuci apa pun perasaanya terhadap Intan, rasa itu tidak pantas terus singgah di diri Bara karena ada wanita lain yang telah ia ikat hati dan juga separuh hidupnya.
Hatinya ini sedikit lebih putih, menerima luka dan kenangan perih semasa hidupnya. Memaafkan Bara, Melisa dan dirinya sendiri menjadi pilihan paling tepat untuk Intan saat ini dan seterusnya.
Ia mulai menyadari saat ini bagi Intan rasa damai dan tenang menjalani hidup lebih penting dari apa pun. Intan seperti manusia yang terlahir kembali, dengan segala rasa dan pikiran yang lebih positif.
Semua berkat Mama Eva yang mendidiknya sewatktu kecil untuk selalu bisa bertanggung jawab dan pantang menyerah. Terlebih lagi Jimmy laki-laki yang menerima dirinya semua masalalu Intan. Meskipun pondasi kepercayaan Intan masih ia bangun, tapi langkahnya semakin mantap dengan pria pilihanya sekarang.
Intan melihat arah keluar candela kaca rumah sakit, dilihatnya seorang ayah mengendong putri kecilnya, membuatnya teringat kenangan perih masa kecil bersama Ayah. Waktu itu Intan duduk di kelas 4 SD, untuk pertama kalinya diajak Ayah pergi ke sebuah restoran Itali yang berada di tengah kota Surabaya, pergi hanya berdua tanpa Stif ataupun Mama. "Ayah, kenapa mama sama Stif tidak di ajak?" tanya Intan kecil dengan rambut di kepang dua. "Tidak apa. Kamu jangan bilang sama mama ya! Kalo kita ke sini, bilang saja kita ke toko buku!” ujar ayah dengan wajah senyum sumeringah, badannya membungguk sejajar dengan Intan, yang tingginya baru satu meter lebih sedikit. "Oke !" jawab Intan dengan polos dengan kedua jempolnya berdiri dan keempat jarinya ditekuk. Pelayan datang membawa sebuah nampan dua jus jeruk dan pizza dengan toping keju, makanan kesukaan Intan. Secar
Bengkel itu sedang ramai pengunjung. Meskipun ini hari libur. Terlihat dari antrian mobil yang berjejer-jejer. Joni pemilik bengkel segera menyambut Bara ketika melihat dari kejauhan.Pemilik bengkel cukup ramah, terlihat akrab sekali dengan Bara, setelah berbincang-bincang singkat Bara pamit pulang."Aku titip Stif ya, ajari cara menghasilkan rupiah!" ujar Bara sambil menepuk pundak pemilik bengkel."Siap Pak Polisi!" Pemilik bengkel terkekeh.***Saat itu juga Stif langsung boleh berkerja. Pengalaman kerja Stif untuk pertama kalinya, kalo bukan karena faktor Bara mungkin hal itu sulit terjadi.Stif sejak kecil tidak mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, sering kali membuat ulah hanya untuk mendapat perhatian Ayah.Sering bekelahi seolah-olah mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya, mabok, bolos sekolah, hampir semua kenalakan remaja dijabahi kecua
Bara membisu, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Melisa. Jantungnya terus berdetak kencang. Badannya mulai panas dingin. Sungguh tidak ada kejantanan jika Bara sudah di hadapkan dengan Melisa.Sial memang, baru pertama kali iseng nongkrong di café dengan teman wanita, sudah ketahuan. Rasa takut menyelimuti hati Bara, dia sudah menduga jika jujur, pasti akan terjadi perang dunia ke tiga.Kenapa Intan meninggalkan jejak? kata Bara dalam hati."Ini rambut siapa mas ?" pekik Melisa menggulai pertanyaan yang sama.Kaki Bara mengijak rem dengan spontan, kaget dengan teriakan Melisa, sembari menoleh melihat sehelai rambut di tanggan Melisa."Mana aku tau itu rambut siapa?" jawab Bara mengigit bibir, tidak berani memandang Melisa."Terus kamu pikir ini rambutku?" gerutu Melisa sambil menujuk rambut pendek berwarna blonde.Bara terus saja mengelak tidak mengakui tent
Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.Beres!Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sam
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap