Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.
Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.
Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!
Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.
Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan.
"Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.
Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu pukulan wajahnya! Untung saja ada Mama Eva, bagamana pun Intan tetap menjaga sikapnya.
"Intan, kamu sudah pulang? kamu ngak kerja?" Tanya Melisa dengan nada mengejek dan senyum sinisnya.
"Mbak Melisa, saya tidak ada hubungan apa pun dengan suami Mbak, jadi tolong jangan semena-mena terhadap saya?" Jawab Intan dengan suara yang cukup keras, tanpa basa basi, dengan tanggan mengepal kuat.
"Semena-mena! bukannya kamu yang semena-mena terhadap saya? Melisa berkata dengan ketusnya.
"Suami Mbak Melisa tidak pernah bilang jika sudah menikah!" Jawab Intan dengan tegas.
"Iya Mbak Melisa, memang benar begitu adanya Mas Bara ndak pernah ngomong kalo sudah menikah." Mama Eva berkata membenarkan apa yang Intan katakan.
"Ya seharusnya Intanya bertanya dong, bukan malah minta-minta barang mahal ke suami orang." Jawab Melisa dengan wajah culas, senyumnya sangat menyakitkan.
"Jaga omongan anda! Lebih baik pulang saja!" Intan berkata dengan wajah merah padam, tangan mengepal.
"Kamu tidak terima, lalu ini apa?" Melisa berkata sambil melempar kertas kecil lusuh ke arah Intan jatuh pas di kakinya.
"Ini baru babak pertama, tunggu kejutan berikutnya." Melisa berkata pas ditelinga Intan, hingga bau nafasnya wangi melewati hidung Intan.
Melisa melangkah keluar, meninggalkan rumah Intan.
Intan masih berdiri mematung, tiba-tiba air matanya berjatuhan, dirasakanya badannya lemas, kepalanya berat, apa yang di lihat seperti kunang-kunang lalu padangan matanya berubah menjadi hitam pekat.
"Brrrruuuk."
Intan terkulai lemas dilantai saat itu juga. Mama Eva yang duduk di kursi langsung terduduk di sebelah Intan. Menjerit histeris. " Stif tolong kakamu!"
Stif datang langsung mengendong Intan kekamar. Minyak angin sudah di balurkan keseluruh tubuh Intan. Lima menit tak sadarkan diri, mata Intan terbuka perlahan, badannya nyeri semua dari ujung kepala hingga ujung kaki, isi perut seperti ingin di keluarkan semua.
"Ayo Tan, ke rumah sakit saja?" Kata Mama Eva panik sambil memijit talapak tangan Intan
"Ngak Ma." jawab Intan dengan lirih sambil meremas kepala.
Bayangan Ayah waktu kecil berserta wanita-wanita itu, senyuman Bara, tamparanan Melisa. Memory itu muncul seperti dvd player yang diputar kembali di otak Intan.
Sesak luar biasa dada Intan, kepalanya semakin berat, jantungnya terus berdeta kencang, diikuti air mataku menetes mengalir ke pipi membasahi bantal.
"Sini sayang, peluk Mama, menangislah!" kata Mama Eva mengetahui putrinya menangis.
Intan memeluk tubuh dan menangis di pangkuan Mama Eva.
Kali ini Mama Eva berbeda, dari biasanya bersikap tegas, jika putrinya menangis. Mencari sebab menangis dengan cepat selesaikan.
Saat ini Mama Eva seperti tau jika situasinya rumit. Tau putrinya butuh dukungan bukan sekelumit pertanyaan.
"Intan, mau curhat sama Mama biar enak hatinya!" kata Mama Eva sambil membelai rambut putrinya.
Intan semakin keras menangis tanpa mampuh mengeluarkan kata-kata.
Intan terbiasa menelan sendiri apa pun yang dia rasakan atau dia akan mencurahkan ke dalam buku kesayanganya.
Dadanya sakit di ujung dalam rasanya nyeri sekali. Baru kali ini merasakan sakit hati hingga tulang dada ikut nyeri.
Ditambah bayang-bayang menyakitkan terus bergantian, wajah-wajah perempuan teman kencan Ayah masih jelas di ingatan Intan. Intan merasa semakin kacau.
"Intan, ayo makan dulu! Kamu dari pagi belum makan! " Kata Mama Eva membujuk putrinya agar berhenti menangis
Intan mendongak ke atas melihat Mama Eva, matanya sembab karena ikut menangis. Intan menyadari ini pertama kalinya membuat Mama Eva bersedih, karena Intan terbiasa menelan segala perasanya sendiri.
"Temenin makan ya Ma!" Jawab Intan sambil tersenyum tipis, merajuk sambil mengusap air mata dipipinya.
Sebenarnya Intan sedang tidak bernafsu makan tapi melihat kecemasan diwajah Mama Eva ia tidak mau semakin membuat sedih.
Mama Eva menahan diri untuk tidak bertanya apa pun ,padahal banyak hal yang ingin ditanyakan. Mama Eva meraba kertas nota di kantong saku.
Sebaiknya tunggu Intan selasai makan baru aku tanyakan. Bisik dalam hati Mama Eva.
Intan makan dengan lahap, sayur asem, pepes ikan, dan sambal perpaduan dari bumbu pepes, rasa asam segar dan pedas bersatu di mulut, sekejap dia lupa akan masalahnya.
"Ma, Intan di PHK." Intan berkata sambil mengentikan kunyahanya.
Beberapa detik hening Mama Eva terkejut tapi tetap mejaga raut wajah agar tetap tenang. Itulah Mama Eva segenting apa pun masalahnya masih ada sisa-sisa keyakinan.
Tetap nampa tenang, berusaha menampilkan expresi terbaik di depan anak-anaknya.
"Kamu ada masalah di kantor?" Tanya Mama Eva sambil meletakan sendok di tangannya.
Intan terdiam, mengatur kata yang keluar dari dalam mulutnya yang masih menguyah pelan.
"Habiskan dulu makannya nanti dilanjutkan." Mama Eva berkata sambil tersenyum, walaupun rasa penasaranya tak terbendung, dia mampuh membaca wajah Intan penuh kebinggungan.
Mama Eva cuci piring dan Intan masih di posisi yang sama. Perlaham, penuh kehati-hatian Intan mulai menceritakan apa yang telah terjadi.
Satu hal yang Intan tidak katakan yaitu soal perselingkuhan Ayah dan dia telah jatuh cinta pada Bara.
Untuk apa bicara soal cinta,jika ada sepenggal dusta, tai. Kata Intan sengit dalam hati.
"Karirku juga hancur Ma, berita bohong tentangku sudah meluas, pasti orang-orang tidak mau kerjasama sama aku." kata Intan jujur. Intan sudah tidak mampuh menyembunyikan apapun dari Mama Eva.
Sudah terlanjur basah, lebih baik mengatakan sejujurnya sekarang dari pada Mama Eva tau dari mulut orang lain. Mama Eva meletakan piring di tanggannya dan membalikan badan melihat Intan. Menghampiri Intan, lalu duduk di depan Intan.
"Mama mau tanya dulu, apa benar kamu minta barang Bara?" tanya Mama sambil mengeluarkan nota pembelian cincin.
"Tidak Ma, Bara yang selalu kasih sesuatu ke aku, sudahku tolak tapi dia memaksa." Jawab Intan tertunduk, meskipun sebenarnya dia begitu bahagia setiap kali Bara membawa sesuatu untuknya.
Terjadi pebincangan panjang antara ibu dan anak, yang sebelumnya belum pernah terjadi. Kedekatan Intan dengan Mama Eva hanya biasa saja, tidak terlalu dekat, tapi tidak untuk kali ini, berbeda. Mama Eva hadir memberi secerca harapan yang baru.
"Apa yang harus aku lakukan Ma?" keluh Intan.
Belum sempat Mama Eva menjawab, terpotong kala terdengar suara motor berhenti di pekarangan rumah, Intan mengintip ternyata Bara datang lagi.
Intan berlari menuju kamar dan Mama Eva paham jika ada tamu datang yang tidak di inginkan.
Mau apa lagi Bara datang ke rumah Intan?
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Stif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya
Lima belas menit mobil Intan melaju. Berusaha menghindari Bara. Meskipun kerinduan di hatinya benar-benar masih untuk Bara. Hanya untuk Bara.Tuhan, kenapa dia muncul lagi? Bara tidak akan mungkin bisa menerimaku jika dia tau sebenarnya aku yang membunuh Melisa. Intan ngoceh sendiri di dalam mobil.Air mata Intan mengalir membasahi pipi mulusnya. Intan berusaha mengambil kotak kecil tisu di sebelahnya. Tisu itu jatuh di dekat kakinya. Intan berusaha mengambil tisu itu, membungkukkan badan sambil menyetir.Bruk!!!Intan sedikit kehilangan pandangan arah depan. Intan menabrak sesuatu dengan cukup keras. Kakinya dengan cepat menekan rem. Di tegakkanya tubuhnya, Intan melihat seorang kakek tua tersungkur bersama gerobaknya.Oh Tuhan apa lagi ini?Kakek tua itu berdiri dengan susah payah, wajahnya teramat sedih. Berusaha menegakan gerobaknya yang
Malam ini Intan tidak bisa memejam matanya. Hingga pukul 1 malam jam mata Intan masih terang benderang, sama sekali tidak ada rasa kantuk.Terngiyang-iyang saat pertama kali Bara mencium telapak tanggannya dengan begitu romantis.Samar-samar Intan mendengar suara rintihan tangisan suaranya sangat jelas terdengar dari kamar Mama Eva. Intan melangkah perlahan, dengan kaki berjinjit. Lalu menempelkan daun telingnya ke pintu.Benar Mama Eva menangis, sama seperti sore saat Intan pulang kerja. Intan tak kuasa mendengar mamanya menangis. Hatinya hancur, seoalah-olah merasakan kepiluhan Mama Eva.Perlahan Intan membuka pintu kamar, terlihat jelas Mama Eva meringkuk sedih. Intan menghampiri Mama Eva. Menyentuh pundak Mama Eva perlahan, lalu memeluknya.“Menangislah Ma, menangislah! Tapi jangan sendirian. Izinkan Intan jadi sandaran.”
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap