Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah.
Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.
Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang.
"Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya.
"Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga.
"Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!"
"Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
"Plaaaak!"
Tanggan Melisa mendarat di pipi Intan, darah mengucur dari ujung bibir. Intan seperti di sambar petir di pagi buta.
Apa dosaku hingga seperti ini? Pacaran belum pernah, sekalinya dekat dengan pria di tipu.
Tamparan itu mencabik-cabik harga dirinya, rasanya ingin membalas tapi Intan tak punya daya, hatinya hancur membuatnya lupa cara menangkis pukulan.
IImu bela diri yang dia kuasai berasa tidak berguna di hadapan Melisa, hatinya sudah terkoyah-koyah setelah tau Bara menipunya.
"Jangan macam-macam sama saya, tunggu pembalasan dari saya, dasar perek!" Melisa mengancam, jari telunjuk pas berada di depan hidung Intan.
Melisa pergi dan Intan masih tersungkur di depan pintu, menangis tersedu-sedu. Rasa perih di pipi tidak terasa, yang benar-benar terluka adalah hatinya.
Mama Eva datang membawa belanjaan, melihat Intan menangis di depan pintu langkah kakinya semakin cepat, Intan menyadari jika mamanya menghampiri, cepat-cepat menghapus air mata. Tak ingin menambah beban pikiran Mama Eva!
Tapi luka di bibir dan darah yang masih mengalir tidak bisa di sembunyikan. Mama Eva berkali-kali bertanya Intan selalu diam, semakin bertanya Intan justru menangis.
“Ma, tolong biar Intan sendiri dulu!” kata Intan sambil menghapus air mata.
Mama Eva meninggalkan Intan sendiri di kamar, meskipun sangat kuatir.
Hari ini Intan tidak masuk kerja, izin satu hari tidak akan jadi masalah. Mengurung diri di kamar untuk mengembalikan semangat yang sudah mulai memudar.
"Intan, kamu sudah baca berita terbaru di sosial media." Tanya Anggi bernada cepat, jelas dari nada bicaranya nampak kuatir
"Berita apa? aku belum buka instagram?"
"Kamu lihat instagrammu, sudah aku tag!" suruh Anggi, dari suaranya terdengar panic.
Berita tentang dirinya dan Bara kini sudah meluas padahal baru tadi malam masalah itu muncul.
Hujataan dan berita fitnah tentangnya tersebar luas. Kejam memang hidup di era modern, cara mudah membunuh orang dengan perlahan, bunuh saja mentalnya. Nanti juga mati perlahan!
Berita tentangnya sudah sampai kantor, bahkan vidio dirinya waktu di beri cincin Bara tersebar. Entah dari mana vidio cctv itu di dapat? Siapa yang menyebarkan? Tidak ada yang benar- benar tau!
Perek!
Lonte!
Pelakor!
Wanita jalang!
Wanita matre!
Komentar pedas netizen benar-benar menyakitkan. Semaunya tanpa tau yang sebenarnya terjadi.
Intan menarik nafas sekuat-kuatnya dan di ulangnya beberapa kali. Mencoba menenangkan diri.
Harus bagaimana ini aku? Bisik dalam hati Intan, rasa syukur masih terselip, baru di awal kenal sudah Tuhan tunjukan siapa itu Bara
Bagaimana jika Intan sudah jatuh di pelukan Bara? Tidak bisa dibayangkan nasip Intan!
Seharian Intan hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa mandi atau makan. Mencoba menulis, tapi tidak bisa. Otaknya buntu, yang ada hanya seribu pertanyaan dan bayang-bayang orang-orang yang menyakitinya.
"Tan, Bara mencarimu sekarang dia di ruang tamu." Kata Mama sambil membuka pintu kamar Intan.
Intan tidak menjawab tapi nanar wajahnya bisa dibaca oleh Mama Eva, Intan berdiri dengan tangan mengepal, tanggannya gatal ingin memukul wajah orang!
Bara berdiri melihat Intan penampilanya tidak biasa, rambut kusut dan pipi lebam.
"Intan, maafkan saya." kata Bara sambil meraih tanggan Intan.
Seketika itu tanggan Intan diayun kebelakang menolak untuk disentuh Bara. Intan melihat Bara dengan tatapan kemarahan.
"Keparat." Intan mengumpat.
Bara terkejut Intan mengelurkan kata-kata itu, tapi tidak berani melarang, Bara tau diri jika dirinya salah.
"Kamu penipu, hidupku hancur karena kamu!" Kata Intan, pecah tangisanya seketika itu.
Terduduk Intan sambil menangis tersedu-sedu. Bara menyentuh pundak Intan ,dengan kasar Intan menolak.
"Katakan pada istrimu itu, aku bukan perek, kamu pergi jangan pernah temui aku kembali!" Bentak Intan.
"Aku minta maaf Intan, aku tidak sengaja bukan maksutku membohongi dirimu." Kata Bara sangat memelas.
Intan tidak menjawab, dirinya sudah tak mampu berada di dekat Bara, Intam berlari masuk kamar melewati Mama Eva di balik tembok, ditutup pintu dengan keras hingga dentumnya terdengar di seluruh rumah.
Bara masih berdiri dengan kaku, Mama Eva menghampiri Bara, telinganya memerah.
"Nak Bara sebaiknya pulang, jangan ke sini hanya akan memperkeruh suasana." Kata Mama Eva penuh kemarahan, wajahnya merah padam.
Bara pulang karena desakan Mama Eva. Langkah kaki gontai meninggalkan rumah Mama Eva. Harapannya untuk bertemu Intan pupus.
*
Pikiran kacau dan hati tidak semangat Intan dengan terpaksa tetap berangkat kerja.
"Ma, maafkan Intan bikin malu." Intan sambil mencium tanggan Mama Eva
"Mama tau betul anak mama itu wanita baik-baik, jangan putus asa, hadapi jika kamu memang benar!" Kata Mama Eva yang membuat mata Intan berbinar.
Hadapi jika kamu benar, lawan! Kata-kata itu terakir di lontarkan saat SD kelas 6. Kini Mama Eva mengucapkan lagi, kata-kata itu seperti cambuk semangat buat Intan.
***
Watku Intan kelas 6 SD, pulang sekolah dengan keadaan baju kotor, tanggan dan kaki lecet. Menangis di hadapan Mama Eva menceritakan kenakalan temanya.
“Hadapi jika kamu benar, lawan! Kalo ada apa-apa mama yang tanggung jawab!” Kata Mama Eva.
Besok harinya Mama Eva dipanggil kepala sekolah, teman Intan patah tulang karena berkelahi dengan Intan. Intan kecil menyerap mentah kata mamanya. Saat itu juga Mama Eva menyesal mengatakan hal itu.
Sejak kerjadian itu Intan semangkin pemberani meskipun pendiam, jika ada yang menganggunya tidak usah lama-lama pasti dibikin kapok.
Sampai kantor semua mata tertuju pada Intan, sambil berbisik-bisik satu sama lain. Intan tetap berusaha tenang, tidak panik. Hanya yang Anggi yang menyapa, dengan wajah cemas meskipun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Di meja kantor ada sepujuk surat dan beberapa uang , wajah Intan merah nanar membaca baik pertama surat itu. Surat pemecatan secara sepihak dari kantor.
Intan memasukan surat itu ke tas lalu berlari keluar menuju parkiran. Mengabaikan rekan-rekan kantornya yang memandangnya penuh tanda tanya?
"Intan, tunggu dulu!" Anggi berlari sambil memanggil Intan.
Intan berhenti sambil menoleh ke sahabatnya. Air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi.
Anggi sempat melihat jika kemarin waktu Intan tidak masuk ada seorang wanita berambut pendek berwarna blonde ketemu dengan Derektur, dan juga sempat mendengar sekilas nama Intan di sebut sebagai penghancur rumah tangga orang.
Intan tersenyum masam, dia paham benar wanita yang dimaksut Anggi.
Melisa memang kejam! Bukan hanya karirnya tapi juga hidup Intan hingga titik paling bawah.
Intan memeluk Anggi sangat erat sambil menangis, terbata-bata menjelaskan apa yang sudah terjadi.
"Aku dituduh perusak rumah tangga orang Anggi, aku benar–benar di tipu laki–laki itu!" kata Intan dengan terbata–bata.
Semua mata tertuju dengan Intan dan Anggi yang berpelukan, Intan menyadari hal itu bergegas melepas pelukan Anggi. Di hapus air mata sahabatnya.
"Sudah jangan menangis, kamu sana kerja aku mau pulang." Kata Intan sambil memaksa senyum getir di bibirnya.
Intan bergegas pulang, meninggalkan Anggi yang masih berdiri di halaman kantor.
Sampai rumah Intan melihat mobil terparkir di halaman rumahnya. Jantung Intan berdetak dengan kencang berjalan menuju rumah.
Terlihat Mama Eva sedang ngobrol dengan wanita. Wanita berambut pendek warna blonde sedang duduk di ruang tamu.
Ternyata benar dugaan Intan, Melisa datang lagi, untuk apa dia datang ? Apa belum cukup menghancurkan hidup Intan.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Stif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya
Lima belas menit mobil Intan melaju. Berusaha menghindari Bara. Meskipun kerinduan di hatinya benar-benar masih untuk Bara. Hanya untuk Bara.Tuhan, kenapa dia muncul lagi? Bara tidak akan mungkin bisa menerimaku jika dia tau sebenarnya aku yang membunuh Melisa. Intan ngoceh sendiri di dalam mobil.Air mata Intan mengalir membasahi pipi mulusnya. Intan berusaha mengambil kotak kecil tisu di sebelahnya. Tisu itu jatuh di dekat kakinya. Intan berusaha mengambil tisu itu, membungkukkan badan sambil menyetir.Bruk!!!Intan sedikit kehilangan pandangan arah depan. Intan menabrak sesuatu dengan cukup keras. Kakinya dengan cepat menekan rem. Di tegakkanya tubuhnya, Intan melihat seorang kakek tua tersungkur bersama gerobaknya.Oh Tuhan apa lagi ini?Kakek tua itu berdiri dengan susah payah, wajahnya teramat sedih. Berusaha menegakan gerobaknya yang
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap