Alma sampai kantor jam 07.00
Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.
Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!
Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.
“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik
“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.
“Pagi MbaStif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya
Lima belas menit mobil Intan melaju. Berusaha menghindari Bara. Meskipun kerinduan di hatinya benar-benar masih untuk Bara. Hanya untuk Bara.Tuhan, kenapa dia muncul lagi? Bara tidak akan mungkin bisa menerimaku jika dia tau sebenarnya aku yang membunuh Melisa. Intan ngoceh sendiri di dalam mobil.Air mata Intan mengalir membasahi pipi mulusnya. Intan berusaha mengambil kotak kecil tisu di sebelahnya. Tisu itu jatuh di dekat kakinya. Intan berusaha mengambil tisu itu, membungkukkan badan sambil menyetir.Bruk!!!Intan sedikit kehilangan pandangan arah depan. Intan menabrak sesuatu dengan cukup keras. Kakinya dengan cepat menekan rem. Di tegakkanya tubuhnya, Intan melihat seorang kakek tua tersungkur bersama gerobaknya.Oh Tuhan apa lagi ini?Kakek tua itu berdiri dengan susah payah, wajahnya teramat sedih. Berusaha menegakan gerobaknya yang
Malam ini Intan tidak bisa memejam matanya. Hingga pukul 1 malam jam mata Intan masih terang benderang, sama sekali tidak ada rasa kantuk.Terngiyang-iyang saat pertama kali Bara mencium telapak tanggannya dengan begitu romantis.Samar-samar Intan mendengar suara rintihan tangisan suaranya sangat jelas terdengar dari kamar Mama Eva. Intan melangkah perlahan, dengan kaki berjinjit. Lalu menempelkan daun telingnya ke pintu.Benar Mama Eva menangis, sama seperti sore saat Intan pulang kerja. Intan tak kuasa mendengar mamanya menangis. Hatinya hancur, seoalah-olah merasakan kepiluhan Mama Eva.Perlahan Intan membuka pintu kamar, terlihat jelas Mama Eva meringkuk sedih. Intan menghampiri Mama Eva. Menyentuh pundak Mama Eva perlahan, lalu memeluknya.“Menangislah Ma, menangislah! Tapi jangan sendirian. Izinkan Intan jadi sandaran.”
Wanita itu meneguk minuman yang diberikan Bara seperti orang kehausan.“Kamu ngak apa–apa?” tanya Bara.Wanita itu menoleh, matanya sendu di ikuti air berlinang menetes di pipinya. Ada kepiluhan yang tak terbendung.“Om. Aku diputusin pacarku Om. Tolongin aku!” wanita itu menangis histeris.Bara nyaris pingsan di panggil sebutan Om, rasanya panggilan itu tak pantas untuknya. Menjijikan sekali.“Jangan diam aja dong! Om ayo tolongin aku!” rajuk wanita itu.Bara menarik nafas panjang, “kamu ini siapa tau–tau maksa saya?”“Aku Vanya Om.” Wanita itu menjawab pelan.Bara geleng–geleng, “siapa yang tanya namamu?”“Om tadi yang tanya?”Bara terdiam sambil memandang wajah wanita imut itu.“Om mau—kan tolongin saya?” ucap Vanya.“Gini ya aku
Bara menemui Intan di dalam sebuah kamar dengan nuasa putih. Tembok putih, sprei putih dan selimut putih. Dan ada seikat mawar merah yang dimasukan dalam vas kaca berisi air, tepat di sebelah meja ranjang.Intan hanya berbalut lingerie merah sama seperti warna bunga mawar. Kain sutra yang hanya menutup sebagian tubuh Intan. Dadanya dibiarkan terbuka tanpa bra, pundaknya putih mulus hanya ada sehelai kecil kain lingerie.“Kamu sungguh mengoda gairahku!” kata Bara sambil berbisik di telingga Intan.Intan hanya tersenyum tipis. Tanpa minta izin Bara mencium kening Intan, ke pipi dan turun leher.Bara merasakan hangat bibirnya saat bertemu dengan bibir Intan, perlahan Intan membuka mulut. Mengizinkan lidah Bara berkelana di rongga mulut Intan. Tanggan Bara di pinggul kecil Intan, seolah-olah pinggul itu sudah diciptakan pas dengan tikaman tanggan Bara.Lenggan Intan melingkar di le
Pukul 09.30 semua jajaran staf, semua kepala bagian telah mengisi bangku kosong. Bersiap untuk acara pelepas dan penyambutan manager lama dengan yang baru.Alma datang tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Kali ini Alma beda dari biasanya, dandanya lebih formal nan juga elegan. Dengan celana panjang warna merah maroon, lengkap dengan kemeja putih dipadu dengan balzer warna merah sama persis seperti bawahanya.Arya yang sedari tadi selalu curi-curi pandang terhadap Alma. Tapi rasa gengsinya lebih besar untuk sekedar jujur jika dirinya menganggumi mantan sekertarisnya. Jadi untuk sekedar melirik Alma itu sudah cukup baginya.Intan sedari tadi badanya sudah panas dingin. Tapi untuk menolak kemauan Jimmy pun itu hal mustahil.Akirnya acara dimulai, dengan gemetar Intan membuka acara seperti pada umumnya. Dengan salam dan kata ucapan terimakasih.Karena Intan terlalu gugup, bicaranya awut
Dengan pandangan semakin kabur dan kesadaran semakin menurun, Jimmy masih mampuh melihat keganasan sekertaris pribadinya. Rasanya ingin bangun dan membantu Intan melawan dua pria itu, tapi benar-benar badannya lemah, seperti tenaganya sudah tak tersisa di serap belati.Dengan cepat Intan melangkah mendekati Jimmy yang di sebelahnya masih berdiri pria yang menusuknya. “Kau menjauh dari bosku atau ingin nasipmu sama seperti dia!” pekik Intan, dengan tanggan membawa belati.“Oh kamu mengancamku? Kamu tidak lihat bosmu lagi sekarat? Mendingan kamu pasrah, aku cuma ingin hartamu!” ejek pria itu.Intan berjalan ke belakang sambil berteriak, “aku sudah sering membunuh orang, jangan sampai kau aku bunuh seperti korban-korbanku!” Belati itu ditancapkan pada betis pria yang masih meringkuk kesakitan, darah keluar mengenai telapak tanggan Intan."Ah ….!"Pria itu m
Terlihat layar ponsel Intan tertera puluhan notifikasi panggilan tak tertawab. Dari Mama Eva, Stif dan juga Bara.Ada apa Bara menelfonku?” tanya dalam hati Intan.Pertanyaan itu segera Intan abaikan, lebih baik sekarang memberi kabar Mama Eva. Pasti sekarang sangat mencemaskan Intan.“Ma, Intan di rumah sakit. Tadi malam waktu perjalanan pulang ada perampok. Bosku jadi korban penusukan dan sekarang sedang di rawat,” ujar Intan.“Kamu baik-baik saja—kan?” tanya Mama Eva, dengan panik.“Baik Ma, tenang saja. Tolong kirimkan saja baju ganti untukku. Aku akan pulang jika keluarga Bosku sudah datang.” Suara Intan teramat paruh.Mama Eva menghujani Intan dengan sejuta pertanyaan. Hal wajar sebenarnya jika seorang ibu kuatir secara berlebihan pada anaknya.Intan juga berkali-kali mengucapkan terima kasih. Teringat kemarin pagi sebelum Intan b
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap