Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!
Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.
Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.
Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.
Beres!
Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.
Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.
Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sampai rumah pukul sembilan malam.
Melisa sengaja mengambil ponsel Bara saat mandi.
Sial memang hari ini. Bara lalai menghapus chat hari ini dengan Intan.
“Bajingan, ternyata begini.” Segala umpatan keluar dari mulut Melisa. Amarahnya seperti gunung meletus, yang tak terbendung.
“Keparat memang!” Melisa terus komat kamit, sambil melihat layar ponsel Bara.
Darah Melisa mendidih membaca seluruh chat Bara dengan Intan. Tanpa berfikir panjang, Melisa mengeledah tas kerja Bara, benar ada nota pembelian cincin.
“Bangsat. Bajingan!” umpat Melisa sambil meremas-remas nota.
Melisa dikuasai amarah. Tubuhnya terasa panas, terbakar cemburu. Suaminya sudah coba–coba bermain di belakangnya.
Bukan Melisa kalo dia akan menangis, pasrah lalu minta cerai. Bara adalah separuh hidupnya. Tidak akan dilepaskan begitu saja.
*
"Benar ini dengan Intan?" tanya Melisa tanpa basa basi
"Iya benar saya Intania, dengan siapa ini?" Intan berbalik tanya.
"Saya Melisa, istri dari Bapak Bara Adiputra."
Intan terdiam ponselnya jatuh seketika itu, seluruh badanya bergetar seperti disambar petir. Diraih kembali ponsel itu, terdengar suara Melisa mengumat dengan kata-kata kotor.
“Hay budek, denger suara sayakan? Oh dasar keparat, perempuan jalang!" pekik Melisa terdengar suaranya keras dan sangat marah.
Melisa tidak berani meletakan ponsel ke telinganya hanya dipegang namun masih ada suara Melisa dengan jelas. Intan mengambil nafas dalam-dalam lalu berbicara kembali dengan Melisa
"Saya minta maaf sama sekali saya tidak tau jika Pak Bara sudah berkelurga, jika saya di beritahu Pak Bara sudah berkelurga tidak akan saya berteman dengan beliau." jawab Intan dengan nada merendah.
"Apa kamu buta tidak melihat cincin melingkar di jarinya, dasar perempuam jalang, pelacur murahan, Saya akan menghancurkan kamu." tutur Melisa penuh emosi.
"Tut tut tut." telfon itu di matikan.
Cincin apa ? Bisik hati Intan.
Bara tidak pernah memakai cincin. Tidak pernah cerita soal istri. Selama ini Bara menipu Intan.
Badan Intan serasa hancur bersama hatinya, tiba-tiba badannya lemah terkulai di atas tempat tidur. Intan menangis di atas bantal.
Terlintas bayangan Bara memakaikan cincin baru sore tadi, dengan mesra meraih telapak tanggan Intan dan memakaikan cincin permata biru itu di jari manis Intan, mencium mesra punggung tanggan Intan.
Dengan murka Intan lepaskan cincin itu di lempar entah kemana.
"Penipu! Penipu! Dasar brengsek!" Intan menangis sambil memeluk bantal.
“Bedebah, dasar bedebah!” Intan terus mengumpat.
Wanita pendiam, sedikit bicara seperti Intan, bisa mengeluarkan kata-kata kotor, karena hatinya benar-benar hancur. Jatuh cinta dan patah hati untuk pertama kalinya.
Pukul satu dini hari Intan masih menangis di kamar, tidak habis-habis rasanya air mata itu. Tangisan itu terhenti tapi pikiran Intan kosong.
Berganti dengan gema suara dari pikiranya, suara Melisa, suara Bara silih berganti, memory kenangan buruk bersama Ayah muncul kembali, wanita-wanita yang bersama Ayah masih jelas di kepala Intan. Dada Intan sesak, kepala berat luar biasa, sakit yang bertubi-tubi.
Ponselnya berbunyi, chat dari seseorang.
Melisa {aku tidak akan membiarkan kamu mengambil suami saya, akan aku balas perbuatanmu, aku akan hancurkan hidupmu! perek}
Intan menangis sesaat, lalu diusap air mata dari di pipinya dengan kasar. Diraihnya lalu mengetik balasan untuk Melisa. Dia harus tau yang sebenarnya, bisik dalam hati Intan.
Intan {aku tidak pernah mengambil suamimu! dia tidak pernah mengatakan jika dia sudah berkeluarga, aku benar-benar tidak tau}
*
Di kediaman Bara perang dunia benar-benar terjadi. Dini hari Melisa teriak,menjerit dan menangis tidak perduli tetangga terganggu.
“Sebenarnya apa yang kamu cari Mas, apa aku ini buruk di matamu?” tanya Melisa sambil membuka kimono, mencoba memperlihatkan keindahan tubuhnya.
“Saya tidak hubungan apa pun dengan Intan?” jawab Bara merendah, wajahnya nampak ketakutan.
Melisa meninggalkan Bara sendirian di ruang tamu, kembali beberapa menit sambil melempar buntelan nota dan ponsel Bara.
Ponsel itu terbelah menjadi tiga, layar ponsel itu berhambuan. Bara memijat kening melihat pemandangan itu. Entah berapa kali ponselnya beradu dengan tembok.
Tapi untuk kali ini Bara tidak mencari pembenaran, dia benar-benar bersalah, tidak ada celah untuk membela diri. Sial, gumamnya.
“Saya tidak ada hubungan apa pun dengan dia, saya kemarin kilaf. Melisa!” kata Bara sambil berusaha memeluk Melisa dari belakang.
Dengan kasar Melisa menghindari dengan kasar, berbalik badan.
“Plaaak!” tamparaan keras mendaat di pipi Bara.
“Kamu pikir saya goblok, cincin itu apa? Bongkahan tai?” jawab Melisa dengan mata melotot tajam.
Bara terdiam, memenggang pipi yang terasa nyeri. Dia bisa begitu berwibahwa, nampak berani bertindak tegas dengan preman-preman pasar, tapi tidak dengan istrinya.
Ciut nyalinya! Bara mirip anak kucing bertemu kucing dewasa, meringkuk ketakutan.
“Aku tidak tinggal diam Mas, lihat saja perekmu itu, akan hancur! Dan aku akan bilang soal ini pada papa, tamat riwayatmu!” ketus Melisa, meninggalkan Bara mematung, menutup pintu kamar dengan keras.
Terdengar bayi mungil itu menangis sebentar kemudian hening kembali.
Berkali-kali Intan memajamkan matanya, tapi enggan tidur. Pikiranya menolak tidur, terus bertanya-tanya kenapa Bara menipunya? Kenapa laki-laki itu jahat? Ayah dan Bara sama saja!
Hingga pukul tiga pagi Intan belum bisa tidur, akirnya ke kamar Mama Eva memaksa tidur di sebelahnya
“Ma, aku tidak bisa tidur, aku tidur sini ya?” pinta Intan sambil menarik selimut.
“Ya, ya sini.” Jawab Mama Eva sambil mengeser tubuhnya.
Intan melihat wajah Mama Eva begitu teduh, meskipun sedang terlelap. Air matanya menetes tanpa ada suara isyak tangis.
Bagaimana mungkin Ayah masih mencari kehangatan di luar jika mama sehangat ini? Bisik lirih Intan, mencoba memejamkan mata.
Setelah beberapa saat akirnya tubuh dan pikiranya istirahat.
Intan terbangun ketika ada suara mobil dilihat dari luar cendela kamar ternyata mobil Bara tapi yang keluar seorang perempuan. Badan ramping berambut blonde.
Hati Intan bergetar tapi tidak membuatnya takut bertemu dengan wanita yang dia sudah bisa menebak.
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Stif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap