Bengkel itu sedang ramai pengunjung. Meskipun ini hari libur. Terlihat dari antrian mobil yang berjejer-jejer. Joni pemilik bengkel segera menyambut Bara ketika melihat dari kejauhan.
Pemilik bengkel cukup ramah, terlihat akrab sekali dengan Bara, setelah berbincang-bincang singkat Bara pamit pulang.
"Aku titip Stif ya, ajari cara menghasilkan rupiah!" ujar Bara sambil menepuk pundak pemilik bengkel.
"Siap Pak Polisi!" Pemilik bengkel terkekeh.
***
Saat itu juga Stif langsung boleh berkerja. Pengalaman kerja Stif untuk pertama kalinya, kalo bukan karena faktor Bara mungkin hal itu sulit terjadi.
Stif sejak kecil tidak mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, sering kali membuat ulah hanya untuk mendapat perhatian Ayah.
Sering bekelahi seolah-olah mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya, mabok, bolos sekolah, hampir semua kenalakan remaja dijabahi kecuali soal wanita.
Tiga hari sebelum ujian nasional Stif berkelahi dengan adik kelasnya sampai retak di pergelanggan tanggan, pihak sekolah sudah mengancam Stif tidak dapat mengikuti ujian nasional tahun ini.
Masalah ditambah lagi,orang tua korban tidak terima, lalu melaporkan Stif ke kantor polisi.
Dengan bantuan Bara yang mempertimbangkan Stif masih di bawah umur.
Akirnya masalah bisa diselesaikan dengan kekeluargaan, hanya saja Mama Eva harus menanggung semua biaya pengobatan korban hingga sembuh.
Bara juga yang ikut mendesak pihak kepala sekolah untuk Stif tetap bisa mengikuti ujian nasional.
Bara juga yang berinisiatif menawarkan pekerjaan setelah Stif lulus SMK. Dengan tujuan agar Stif tidak banyak berulah.
"Mbak pulang dulu ya?" kata Intan bergegas pulang.
"Iya Mbak, terimakasih ya." jawab Stif sambil tersenyum.
Intan berjalan beriringan dengan Bara menuju parkiran motor yang berada di kantor polisi, sambil ngobrol ringan seputar kenakalan Stif.
"Gimana kalo kita makan sebentar, ada cafe deket sini yang nyaman tempatnya buat santai?" Bara berkata sambil menghentikan langkahnya.
"Hmmm, gimana ya, oke ngak apa-apa." jawab Intan, sebenarnya ingin menolak tapi merasa sungkan karena Bara telah banyak menolong, apa salahnya jika hanya makan bareng di cafe.
Dengan mobil Bara mereka berangkat menuju Café Brow, yang terletak tidak jauh dari sana, hanya butuh 10 menit untuk ke sana.
Keheningan terjadi di dalam mobil selama sepuluh menit, sekilas Bara melirik Intan yang berambut panjang, pipi tembem, hidungnya sedikit mancung. Cukup menawan, catik, tapi lebih menonjolkan manis di wajahnya.
"Pacar kamu ada berapa?" tanya Bara memecah keheningan sambil terkekeh.
"Aku tidak punya pacar." jawab Intan dengan nada tinggi dengan tatapan tajam ke Bara, tidak suka dengan pertanyaan itu.
"Bohong, wanita jaman sekarang itu 99% punya pacar kalo atau sudah berpacaran."
"Aku 1% dari wanita itu." jawab singkat Intan.
"Aku tak percaya," terkekeh Bara
"Terserah!" Intan acuh.
Tiba-tiba suasana hening kembali, hanya terdengar suara mesin mobil Bara yang melaju. Bara melirik lagi Intan.
"Maaf pertanyaanku hanya bercanda saja, jangan di pikirkan," Bara berkata memecah kesunyian di dalam mobil.
"Tidak masalah, banyak yang tidak percaya kalo saya tidak pernah pacaran," jawab Intan sambil tersenyum menoleh ke arah Bara.
Intan tidak pernah punya hubungan serius dengan pria, semua teman prianya dianggap teman biasa tidak ada yang special dihatinya.
Setiap kali mulai terpesona dengan teman prianya Intan selalu teringat peristiwa masa kecilnya, ayahnya yang berselingkuh. Membuatnya enggan berpacaran apalagi memikirkan sebuah pernikahan.
Baginya jomblo adalah kebebasan dan pilihan.
"Oh ya, kenapa tidak pacaran?" tanya Bara seperti biasa tidak suka basa basi.
"Aku sibuk, tidak sempat kepikiran pacaran." jawab Intan dengan kebohongan.
Semakin ketus jawaban Intan, membuat Bara tidak berani berkata banyak hal soal pria, bisa-bisa Intan ngamuk tidak jadi nongkrong bareng.
Cafe itu lumayan rame dengan anak muda mau pun tua, meskipun baru pukul 10, mungkin karena ini hari libur. Bara turun terlebih dahulu, berlari kecil membukakan pintu untuk Intan. Sungguh perhatian sekali.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Bara
"Kopi arabica tanpa gula atau susu," jawab Intan sambil membuka daftar menu.
"Kamu suka kopi?"
"Aku pecinta kopi."
"Oh selaramu klasik. Kopi tanpa gula. mau makan apa?"
"Steak kentang." Jawab Intan sambil menutup buku menu.
"Biasanya cewek suka minum jus buah atau sayur, tapi kamu malah milih kopi," kata Bara mengejek.
"Aku tidak bisa menulis tanpa kopi, tapi aku menghindari gula dan krimer. Diabetes." Jawab Intan singkat sambil nyengir.
"Kamu penulis?"
"Iya, menulis sejak SMP tapi baru berani cetak buku tiga tahun lalu."
Bagi pecinta kopi, kopi bukan hanya minuman tapi teman untu berbagai kegiatan, kandungan kafein membuat orang bisa fokus tiga kali lipat, kopi juga menjadi jembatan obrolan manusia nyaman, termasuk Intan dan Bara. Sama-sama pecinta kafein.
Berawal dari kopi, tema pembicaran terus berkembang hingga membuat penasaran Bara pada sosok Intan semakin bertambah.
Bara mulai menanyakan judul buku yang Intan tulis, berapa penghasilan dari novelis, kenapa suka menulis, dapat ide menulis dari mana, Bara memberi pertanyaan selayaknya Intan sedang diintrogasi.
"Apa setiap polisi itu suka mengintrogasi setiap orang yang di temuinya?" Kali ini Intan balik bertanya dengan kening berkerut, jengkel bertubi-tubi ditanya.
"Ha ha ha aku penasaran saja?" jawab Bara terkekeh sambil geleng-geleng kepala.
Suasana semakin asik dengan Bara yang tidak segan bertanya sesekali mengoda Intan, walaupun Intan tidak menjawab dan tersenyum tipis.
Dua cangkir kopi sudah datang menambah suasana semakin nyaman. Tak terasa sudah satu jam lamanya mereka berbincang-bincang, kecerdasan dan kerja keras Intan membuat takjub Bara, Intan tidak menjual kecantikanya tapi otaknya.
Berbeda dengan wanita pada zaman sekarang yang percaya diri dengan wajahnya ayu tapi otaknya kosong.
"Kamu ada janji sama orang?" Bara bertanya, membaca bahasa tubuh Intan yang melihat jam melingkar di tangganya.
"Tidak, aku ada endorse yang belum sempat aku kerjakan, sepertinya kita pulang saja!" jawab Intan sambil tersenyum.
"Ok, kita pulang." Bara segera berdiri, dia juga baru sadar ada janji dengan Melisa, istrinya.
Mobil Bara kembali ke kantor melaju dengan kecepatan sedang saja. Intan melihat kearah cendela terlihat jalan rame meskipun tidak sampai macet, di pinggiran jalan terlihat lalu lalang berbagai macam orang dan kumpulan komunitas sedang berkumpul.
Membuat ide menulisnya muncul dengan otomatis. Intan tersenyum imajenasi di dalam kepalanya menari-nari.
"Kamu sibuk sekali ya ? Kerja, masih menulis, terima endorse?" celetuk Bara memecah keheningan
"Tidak sesibuk itu, aku suka melakukanya." jawab Intan singkat yang masih melihat ke arah cendela.
"Ha ha ha pantes gak punya pacar." jawab Bara sambil ketawa
Intan tidak menjawab, wajahnya datar dengan tatapan kosong matanya dan sehampa hatinya. Rasa trauma yang memaksanya sedemikian rupa, mendorongnya untuk kerja keras dan mandiri, tidak mengandalkan orang tua. Terlebih lagi timbul rasa kecewa kepada Ayah.
Intan bertekat untuk tidak meminta sesuatu kepada Ayah, sejak peristiwa naas di hotel itu. Rasa kasihan kepada Mama Eva yang sudah di bohongi Ayah membuatnya bertekat untuk mencari pundi-pundi uang sejak sekolah menengah pertama.
Sedia payung sebelum hujan, jika suatu saat perselingkuhan Ayah terbongkar dan mereka bercerai. Intan bisa membantu perekonomian Mama Eva. Karena cepat atau lambat bangkai akan tercium juga busuknya.
Intan mengubur rasa kecewa dan benci kepada Ayahnya dengan cara menyibukan diri mencari sumber pengahasilan, hingga tenaganya tidak tersisa memikirkan ayahnya.
Beda dengan Stif yang nyaris tidak mendapat kasih sayang ayah secara utuh sejak lahir, ayah tidak pernah memuji atau sekedar mengendongnya. Paling-paling membelikan mainan lalu diletakan di hadapan Stif kemudian ditinggal dengan sesibukan lain.
Seperti ada benteng besar antara ayah dan anak, memang aneh!
"Aku minta maaf bukan maksutku tadi mengejekmu, aku hanya bercanda." kata Bara yang diam-diam membaca kekecewan wajah Intan.
"Tidak apa, tenang saja," jawab Intan memaksa senyuman di bibirnya.
"Kapan kita bisa minum kopi bersama lagi?" tanya Bara sambil tersenyum guratan wajahnya nampak berharap sekali.
"Entahlah, aku belum kepikiran." Intan mengakat bahu.
Bara tak memaksa, tapi napak kecewa dengan jawaban Intan. Mobil Bara masuk di pekarangan parkir kantor polisi, dia keluar terlebih dahulu sambil berlari kecil membukakan pintu Intan. Intan keluar bergegas melaju dengan motor maticnya.
Bara masih berdiri melihat hingga punggung Intan hingga tak terlihat, setelah Intan tak terlihat Bara teringat Melisa, pasti sedang menunggunya.
*
Wajah Melisa berbinar, akirnya suaminya datang. Melisa sudah berdandan rapi dengan jumpsuit warna hitam, makeup power full membuat nampak sexy walaupun habis melahirkan.
Seperti janji Bara kemarin selesai urusanya, weekend ini akan mengajak Melisa berjalan-jalan ke mall untuk belanja perhiasan baru.
“Kita langsung berangkat aja ya sayang?” pinta Bara sambil menutup pintu mobil.
“Ya udah kalo gitu, aku sudah siap kok!” jawab Melisa kegirangan sambil mendekati Bara.
Mobil itu perlahan meninggalkan pekarangan rumah Bara. Sepuluh menit mobil itu melaju, Melisa menarik rambut hitam panjang yang menempel di bucket seat mobil, matanya melotot tajam dengan kening berkerut. Rasa penasarannya mulai muncul.
"Mas ini rambut siapa?" tanya Melisa sambil menoleh ke arah Bara.
Bara membisu, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Melisa. Jantungnya terus berdetak kencang. Badannya mulai panas dingin. Sungguh tidak ada kejantanan jika Bara sudah di hadapkan dengan Melisa.Sial memang, baru pertama kali iseng nongkrong di café dengan teman wanita, sudah ketahuan. Rasa takut menyelimuti hati Bara, dia sudah menduga jika jujur, pasti akan terjadi perang dunia ke tiga.Kenapa Intan meninggalkan jejak? kata Bara dalam hati."Ini rambut siapa mas ?" pekik Melisa menggulai pertanyaan yang sama.Kaki Bara mengijak rem dengan spontan, kaget dengan teriakan Melisa, sembari menoleh melihat sehelai rambut di tanggan Melisa."Mana aku tau itu rambut siapa?" jawab Bara mengigit bibir, tidak berani memandang Melisa."Terus kamu pikir ini rambutku?" gerutu Melisa sambil menujuk rambut pendek berwarna blonde.Bara terus saja mengelak tidak mengakui tent
Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.Beres!Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sam
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap