“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.
“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Mas Fai.“Mas, baik-baik saja?”“Baik. Memang kenapa, Mi?”“Dari tadi aku dengar ponsel Mas berdering. Kenapa tidak dijawab? Jadi aku pikir Mas kenapa gitu.”“Ooh. Iya, tadi beberapa kali ibu telepon. Tapi aku lagi tanggung, jadi malas jawab.”“Oh gitu. Kirain Mas kenapa?”“Kiya lagi apa, Mi?”“Lagi mainan di ruang tengah. Ayo, istirahat dulu, Mas! Sebentar lagi adzan maghrib.”“Oke.”*Selepas sholat maghrib, kami makan malam. Mas Fai bilang, setelah makan akan menelepon ibunya. Semoga saja tidak ada pertengkaran lagi di antara mereka.Aku mengajak Kiya bermain di ruang tengah. Sementara Mas Fai menelepon ibunya dari ruang tamu. Masih bisa kudengar suara Mas Fai yang berbicara dengan ibunya. Semakin lama nada bicara Mas Fai semakin tinggi. Rupanya Mas Fai sudah terpancing emosinya. Ada baiknya aku hampiri, untuk menenangkannya.“Mas,” Kuusap punggung Mas Fai lembut.“Hh ….” Mas Fai menghela napas.“Ya sudah, Bu. Fai minta maaf, kalau tidak bisa menuruti keinginan ibu.”“Assalamu’alaikum.”Mas Fai memutuskan sambungan telepon.“Ayo, kita main sama Kiya!” ajak Mas Fai.“Ayo!”*Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kiya sudah mengantuk, sebaiknya aku segera menidurkannya. Mas Fai kembali melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja.Setelah Kiya tidur, aku mengecek ponsel. Ternyata ada banyak panggilan dari ibu. Ada beberapa pesan juga darinya. Apa harus kubaca pesannya? Aku malas kalau ibu hanya mengomel dan menghinaku saja. Ah, lebih baik aku abaikan saja, daripada malam ini aku tak enak hati.Baru saja aku mau memejamkan mata. Ponselku berdering. Kulihat dari ibu. Aku abaikan atau kujawab saja, ya?Disaat aku bingung, pintu kamar terbuka. Mas Fai masuk. “Dari siapa? Kok gak dijawab?” tanya Mas Fai.“Ibu.”“Jangan dijawab! Matikan saja ponselmu! Lebih baik kita tidur. Aku lelah sekali.”“Iya, Mas.”Aku turuti perintah Mas Fai untuk mematikan ponsel. Aman tidurku malam ini.*Pagi-pagi Mas Fai berangkat kerja, ada rapat penting katanya. Aku bawakan bekal sarapan, karena tadi tidak sempat sarapan.Ponsel baru saja aku aktifkan. Pesan beruntun masuk, semuanya dari ibu. Tapi mas Fai sudah berpesan padaku, kalau ada telepon atau pesan dari ibu, abaikan saja.Pagi ini, setelah memandikan Kiya, aku berniat akan mengajaknya jalan-jalan ke taman perumahan. Biasanya di sana banyak anak-anak yang seumuran dengan Kiya.Sepertinya Kiya sudah mengerti mau diajak jalan-jalan, dari tadi mulutnya tidak berhenti berceloteh, semakin menggemaskan saja. Oke, semua sudah siap, saatnya jalan-jalan.Tapi ponselku kembali berdering. Kuhentikan langkah, apa mungkin ibu lagi yang menelepon? Kulihat layar ponsel, ternyata mama."Assalamu'alaikum, ma," ucapku."Wa'alaikumussalam. Dari tadi mama telepon, kok gak dijawab, Mi?” tanya mama.“Maaf, ya ma. Soalnya tadi … ehm ….”“Ibu mertuamu telepon mama. Katanya dari kemarin dia telepon kamu, tidak dijawab. Kirim pesan juga tidak dibalas. Kenapa, Mia?”“Iya, ma. Makanya waktu mama telepon, aku pikir ibu, jadi tidak aku jawab.”“Memangnya ada masalah apa? Sampai kamu tidak menjawab telepon dari mertuamu?”“Panjang ceritanya, ma.”“Tidak baik, Mia! Tidak boleh mengabaikan mertuamu seperti itu. Dia, kan sudah seperti orang tua kamu juga,” nasihat mama.“Iya, ma. Aku mengerti. Tapi mas Fai yang suruh aku mengabaikan semua pesan dan telepon dari ibu,” jelasku.“Lho, kenapa begitu? Jelaskan ke mama! Sebenarnya ada masalah apa?”“Kita ketemuan aja, yuk ma. Biar lebih enak ceritanya,” ajakku.“Ya sudah. Nanti mama datang ke rumah kamu.”“Gak usah, ma. Kita ketemuan di Breakfast’O aja, ya. Aku lagi pengen makan roti bakarnya, nih. Kebetulan belum sarapan, tadi niatnya mau ngajak Kiya jalan-jalan ke taman, sekalian cari sarapan.”“Oh gitu. Baiklah. Mama langsung berangkat sekarang, ya. Kamu sudah siap, kan?”“Sudah, ma. Kalau gitu, aku langsung pesan taksi online. Sampai ketemu di sana, ya ma.”“Oke. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.”*Jam delapan lewat aku baru tiba di Breakfast’O, tempat sarapan favorit keluargaku. Dulu sebelum menikah, hampir setiap akhir pekan kami sarapan di sini.Kulihat Mama sudah sampai dan menempati tempat biasa kami duduk. Aku tergesa menghampiri Mama. Tapi kuperhatikan, Mama justru sedang memandang ke arah lain dengan wajah seperti orang yang heran sekaligus kesal.“Assalamu’alaikum, Ma,” Kuucap salam dan mencium tangan Mama.“Wa’alaikumussalam,” Mama menjawab salam tapi matanya justru melihat ke arah lain.“Mama lihat apa, sih? Kok Kiya malah dicuekin!?” “Oh iya … ya ampun cucu nenek yang cantik. Maaf, ya. Sini-sini, sama nenek.”Aku melihat ke arah yang Mama lihat dari tadi. Aku pun terkejut. Itu, kan Mbak Desi bersama keluarganya. Tapi yang membuat aku terkejut adalah Mbak Desi sedang memunguti roti yang jatuh di lantai. Bahkan terdengar omelan dari seorang ibu yang kuketahui adalah mertuanya.“Sstt, Mia. Itu kakak iparmu, kan?” tanya Mama.“Iya, Ma. Kenapa Mbak Desi memunguti roti begitu? Padahal itu ada pelayan restoran berdiri di dekatnya. Kenapa bukan pelayan itu yang memunguti roti?” tanyaku heran.“Mama juga heran sekaligus kesal melihat keluarga itu memperlakukan kakak iparmu.”“Lho, memangnya apa yang mereka lakukan, Ma?”“Tadi itu pelayan datang, membawakan pesanan roti mereka. Terus nggak sengaja, kakak iparmu itu menyenggol tangan pelayan itu, sampai semua roti jatuh ke lantai. Yang bikin mama kaget, reaksi Ibu mertuanya itu berlebihan banget. Masa dia sampai berteriak memarahi kakak iparmu,” jelas Mama.“Memangnya Mbak Desi sedang apa, Ma? Kok sampai nggak sengaja menyenggol tangan pelayan itu?” tanyaku penasaran.“Dia itu baru kembali dari toilet. Jadi pas dia mau duduk, bersamaan dengan pelayan itu mau naruh pesanan mereka. Mama heran sama sikap suaminya itu. Kok nggak ada empati sama sekali ke Mbak Desi. Terkesan cuek gitu, malah matanya ikut melotot ke arah istrinya. Haduh … mama nggak habis pikir suami kok macam gitu,” ucap Mama.“Itu juga bapak mertuanya. Kenapa diam aja melihat istrinya teriak-teriak ke menantunya? Apa mereka nggak merasa malu jadi pusat perhatian orang lain?” “Kasihan Mbak Desi,” ucapku.Jadi seperti ini kehidupan Mbak Desi di keluarga suaminya. Aku selama ini selalu merasakan sakit hati atas perlakuan mertuaku, tapi masih lebih beruntung karena ada mas Fai yang selalu menghibur, mendukung dan melindungiku. Tapi kulihat nasib Mbak Desi jauh lebih buruk daripada apa yang kualami. Dia sama sekali tidak mendapatkan perlindungan dari suaminya sendiri.Apa yang akan dirasakan ibu? Melihat anaknya sendiri diperlakukan seperti itu di keluarga besannya.“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm