“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.
Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakmu. Memangnya kamu mau lihat mbakmu jadi perawan tua terus?!”“Sudah, sudah! Pusing bapak melihat kalian ribut terus. Fai dan Mia, kalian harus bersabar! Jangan sampai kalian melangkahi Desi,” Pak Gani, bapaknya Mas Fai, menghentikan pertengkaran Bu Emi dan Mas Fai.Aku hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepala. Sementara Mas Fai dan ibunya terdiam."Nanti bapak akan carikan jodoh dulu untuk Desi. Semoga saja Desi cocok, sehingga bisa cepat menikah. Jadi kalian juga bisa menikah, atau bahkan sekalian saja menikah bareng," ujar Pak Gani."Pak, masa nikah bareng sih?! Ibu gak setuju. Mereka baru bisa menikah, setahun setelah Desi menikah," seru Bu Emi."Ibu ini … aturan dari mana yang melarang menikah bareng? Bapak cuma ingin anak-anak bisa bahagia semua. Gak usah dibikin susah!" tegas Pak Gani."Lagipula Fai dan Mia sudah terlampau lama pacaran. Gak baik dipandang orang," lanjut Pak Gani."Ya putus aja! Gitu aja repot!" ketus Bu Emi."Bu. Kok Ibu ngomong gitu, sih?" protes Mas Fai.Aku pun tak kalah terkejut, sehingga aku spontan melihat ke arah Bu Emi."Apa kamu lihat-lihat? Tidak suka dengan omongan saya?" Bu Emi melotot ke arahku.Aku kembali menunduk dan meremas ujung jilbabku. Entah apa yang membuat sikap Bu Emi seperti itu padaku. Selama aku pacaran dengan Mas Fai, Bu Emi bersikap seolah acuh tak acuh padaku. Bila bertemu hanya menyapa sekedarnya saja, itu pun aku yang berusaha menyapa atau bertanya lebih dulu padanya. Tapi kali ini sikapnya sungguh membuatku takut untuk melanjutkan hubungan dengan Mas Fai ke jenjang pernikahan. "Bu!" tegur Pak Gani."Ibu jangan membuat keruh situasi! Biarkan Fai dengan pilihannya. Ibu tidak perlu ikut campur! Bapak tidak mau ada ribut-ribut lagi soal ini!" tegas Pak Gani.Dapat kudengar Mas Fai menghela napas, mungkin lega mendengar perkataan Pak Gani. Bu Emi malah terdengar menggerutu pelan, entah apa yang diucapkannya.* Huf! Aku menghela napas, mengingat kejadian saat aku dan mas Fai meminta izin untuk menikah pada kedua orang tua mas Fai. Saat ini kami telah menikah. Sesuai perintah bapak mertua, kami menikah pada hari yang sama dengan mbak Desi. Aku bersyukur saat itu semuanya berjalan lancar.Pernikahan kami baru saja memasuki bulan kedua. Alhamdulillah Allah telah memberikan kepercayaan pada kami untuk memiliki keturunan.Baru saja aku menggunakan alat tes kehamilan, dan menunjukkan dua garis berwarna merah. Tidak bisa kugambarkan rasa bahagia yang kurasakan. Begitu pula dengan mas Fai, begitu senang hingga menggendongku sambil menari-nari.Tentu saja kami langsung berbagi kabar bahagia ini pada kedua orang tua masing-masing. Jangan ditanya bagaimana reaksi mama dan papaku. Mereka langsung tertawa gembira dan mengucapkan selamat, bahkan berjanji akan datang pada akhir pekan.Namun kebahagiaan tercoreng saat kami mengabarkan pada mertuaku.“Assalamu’alaikum, Bu,” Mas Fai menelepon ibunya, tidak lupa mengaktifkan pengeras suara.“Wa’alaikumussalam,” jawab ibu.“Bu. Bapak ada gak?” “Ada. Ini di sebelah ibu, lagi ngopi.”“Bu, pengeras suara teleponnya diaktifkan, ya!”“Memangnya kenapa harus diaktifkan, Fai?”“Supaya bapak juga bisa dengar, Bu. Ada kabar gembira yang mau Fai sampaikan.”“Iya. Ini sudah aktif.”“Bu, Pak. Fai dan Mia akan menjadi orang tua,” Wajah Mas Fai begitu berbinar bahagia.“Maksud kamu apa, Fai?” tanya bapak.“Mia hamil, Pak, Bu.”“Alhamdulillah,” ucap bapak spontan.“Alaaah, gugurin aja!” Suara ibu begitu menggelegar, bagai petir menyambar.Seketika wajah Mas Fai berubah tegang, gerahamnya bergemeletuk. Aku pun tak kalah kaget mendengar ucapan ibu. Badanku terasa lemas, aku terduduk di ranjang, meremas baju di dada. Tak percaya dan sangat kecewa mendengarnya. Tanpa terasa air mata mengalir deras tanpa bisa kutahan.“Ibu! Apa-apaan ngomong begitu?!” Bapak menegur ibu keras.Tangan Mas Fai bergetar, ponsel digenggamnya kuat-kuat. Ada amarah yang sekuat tenaga ia tahan.“Iyalah. Buat apa hamil? Baru kawin, kok udah hamil? Kayak kucing aja!” ketus ibu.“Ibu!!!” Mas Fai berteriak keras.“Apa? Ibu tidak budek!” bentak ibu.“Ibu benar-benar keterlaluan! Fai tidak sangka, ibu sanggup mengucapkan kata-kata itu. Fai kecewa sama ibu!”“Kamu pikirlah, Fai! Apa kata orang, kalau baru saja kalian kawin, masa sudah hamil?! Nanti dikira kalian sudah tanam saham duluan! Ngerti gak, kamu?” teriak ibu.“Astaghfirullah, Bu. Sudah cukup! Bapak gak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Kabar bahagia malah kamu buat hancur begini. Lebih baik Ibu diam!” omel bapak.“Bapak ini yang berpikirnya pendek. Malu, Pak kalau sampai orang bicara yang tidak-tidak. Lihat Desi! Dia saja belum hamil, masa si Mia udah hami duluan. Apa jangan-jangan kalian memang sudah tanam saham duluan? Hah? Jawab ibu!!!” “Ibu! Cukup!” bentak bapak.“Ibu keterlaluan!!!” Mas Fai langsung memutuskan panggilan telepon.Air mataku terus mengalir. Semua bayangan tentang sikap ibu selama ini berputar-putar di pikiranku. Kupikir setelah kami menikah, sikap ibu akan baik, menerima aku sepenuhnya sebagai menantu. “Mi. Maafin ibu, ya. Kamu jangan pikirkan yang ibu bilang. Kamu harus tenang dan sehat, demi anak kita,” Mas Fai memelukku erat.“Aku janji akan selalu melindungi kamu dan buah cinta kita. Jangan nangis lagi, ya! Nanti dede bayinya ikut sedih, lho,” Tangan Mas Fai membingkai wajahku.Ah, Mas Fai. Aku terlalu mencintaimu, hingga aku berani memutuskan mengarungi bahtera rumah tangga bersamamu. Walaupun sempat ada rasa ragu akan sikap ibumu, tapi kamu berhasil meyakinkanku, bahwa kamu akan selalu menjagaku.Tapi ternyata keraguanku terbukti di hari ini. Seorang ibu begitu tega memberi perintah menggugurkan janin yang tak berdosa, bahkan menuduh kami berbuat zina. Kupandangi kedua bola mata Mas Fai. Kutemukan kasih sayang, rasa nyaman dan ketulusan. Ya Allah, aku sungguh mencintai suamiku. Baiklah, aku akan kuat menghadapi sikap ibu mertua, asalkan suamiku selalu bersamaku.“Iya, Mas. Aku maafin ibu. Tapi tolong, jaga aku dan anak kita selamanya,” ucapku pelan.“Pasti sayang. Aku akan selalu menjaga kalian.”Drrt!Drrt!Drrt!Ponselku bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Kulihat nama ibu mertua memanggil. Aku bertanya pada Mas Fai melalui tatapan mata, apa aku boleh menjawab telepon dari ibu atau tidak? Mas Fai mengangguk, menandakan aku boleh menjawabnya.“Assalamu’alaikum, Bu.”Langsung kuucapkan salam begitu telepon tersambung, namun sebelumnya tombol pengeras suara sudah kuaktifkan terlebih dahulu.“Alah … gak usah pakai salam segala!” Sambar ibu.Aku tersentak. Mas Fai langsung menggenggam tanganku.“Heh, Mia. Kamu cekokin apa anakku, Fai? Sampai dia berani melawanku?” Sentak ibu.“Sejak Fai mengenal kamu, dia jadi rusak. Apalagi setelah menikah, makin gak karuan saja sikapnya padaku!”“Ibu!” Mas Fai menegur ibunya keras.“Cukup, Bu! Tolong, jangan membuat Mia stres! Dia lagi hamil, Bu.”“Fai, kamu itu benar-benar sudah tidak tahu tata krama, ya! Ibu ini sedang bicara dengan Mia. Kenapa malah kamu yang bicara?!”“Bu. Mia itu istriku, aku wajib menjaga perasaannya. Apalagi dia sedang hamil anakku, Bu. Tolonglah, aku mohon pengertian Ibu!”“Fai! Jangan sampai kamu jadi anak durhaka, hanya karena membela istrimu itu!”“Bu. Mia punya salah apa sama Ibu?” Akhirnya aku tanyakan juga pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati.“Banyak. Tapi kesalahan terbesarmu itu menjadikan Fai sebagai suamimu!”“Lho, Bu. Kenapa begitu? Fai gak ngerti maksud Ibu?” Potong Mas Fai.“Ibu pernah katakan padamu, kalau dia itu tidak pantas buatmu. Tapi entah apa yang dia cekokin ke kamu, sampai kamu berani melawan ibu dan memaksa untuk menikahinya. Semoga saja pernikahan kalian tidak langgeng!”“Ibu!!!” Sambungan telepon terputus.Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm