“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.
“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawabku.“Jangan jadikan Kiya alasan untuk kamu bermalas-malasan. Itu banyak kerjaan di belakang yang harus kamu kerjain. Bukannya tidur di sini!” omel Ibu.“Tapi, Bu ….”“Gak usah pakai tapi-tapi. Sini Kiya, biar ibu yang gendong. Sana kamu ke belakang!” usir Ibu.Kiya yang sedang rewel, langsung menangis keras saat Ibu merebutnya dari gendonganku.“Bu, jangan! Kasihan Kiya. Dia ngantuk, Bu,” Aku berusaha meraih Kiya kembali.“Ah … sudah! Nanti juga Kiya tenang sendiri. Anak jangan terlalu dimanja, nanti jadi kayak kamu, cengeng!”“Tapi, Bu ….”“Lho, Kiya kenapa? Bukannya tadi mau tidur?” tanya Tante Mar yang ternyata sudah berdiri di belakangku.“Alah … itu alasan si Mia aja, Mar. Padahal dia yang mau tidur, malas-malasan,” ucap Ibu sinis.“Mbak. Masa Mbak gak bisa bedain anak rewel mau tidur, sih?! Lihat itu Kiya, sampai nangis kencang begitu. Apa Mbak gak kasihan lihatnya?” tanya Tante Mar lantang.“Nanti juga Kiya diam sendiri, kalau udah aku gendong sebentar. Biarin aja si Mia suruh bantu-bantu di belakang. Daripada malas-malasan di kamar.”“Itu Kiya digendong Mbak, bukannya diam malah makin kencang nangisnya. Lagipula di belakang itu kerjaan orang catering, keluarga tidak ada yang saya suruh bantu kerja. Ini kumpul keluarga, buat senang-senang. Bukan hajatan ka*pung, ya Mbak! Sudah cepat berikan Kiya ke Mia. Jangan bikin ribut! Merusak suasana saja! Kebiasaan!”Mendengar Tante Mar bicara begitu, aku sedikit kaget. Tapi buru-buru aku ambil Kiya dari gendongan Ibu.“Sana cepat Kiya ditenangin di kamar!” titah Tante Mar padaku.“Iya, Tan. Makasih, ya,” ucapku.Aku segera masuk ke kamar. Tidak peduli lagi dengan Ibu yang menatapku penuh kebencian.Aku segera menyusui Kiya dan menidurkannya. Teringat lagi dengan apa yang diucapkan tante Mar tadi. Apa maksudnya dengan kebiasaan ibu yang merusak suasana?Tante Mar itu adiknya bapak. Bahkan hanya adik tiri. Dulu ayahnya tante Mar menikah dengan ibunya bapak. Jadi tidak ada hubungan darah, tapi tante Mar tetap baik dan menganggap bapak adalah bagian dari keluarga besarnya. Hh … kenapa aku punya mertua seperti ibu? Kenapa mertuaku tidak seperti tante Mar? Astaghfirullah. Kenapa aku punya pikiran begitu? Tok!Tok!Tok!Suara pintu diketuk dari luar.“Siapa?” tanyaku.“Aku, Mi,” jawab Mas Fai.“Oh. Masuk, Mas!”Mas Fai masuk ke dalam kamar.“Gimana Kiya? Bobo?” tanya Mas Fai berbisik.“Iya, Mas. Bobo.”“Tadi kata tante Mar, Kiya nangis.”“Iya, Mas. Tadi rewel, mungkin ngantuk.”“Mi. Maafin ibu, ya. Tante Mar cerita semuanya.”“Iya, Mas. Tapi kali ini ibu sudah keterlaluan, karena merebut Kiya sembarangan dan membuat Kiya nangis kencang. Kalau selama ini sikap ibu padaku, masih bisa kutahan. Tapi kalau ibu sudah mengganggu Kiya, aku terus terang tidak suka, Mas.”“Iya, Mi. Aku mengerti perasaanmu. Maaf tadi aku tidak ada untuk melindungimu dan Kiya.”“Tidak apa-apa, Mas. Untung tadi ada tante Mar.”“Alhamdulillah tante Mar baik, ya Mi.”“Iya, Mas.”“Oh iya. Sebentar lagi kita pulang, ya. Soalnya aku harus mengerjakan tugas kantor. Besok mau dibawa rapat.”“Oh gitu. Kalau gitu, aku siap-siap dulu. Tolong Mas gendong Kiya, ya. Terus kita pamit sama tante Mar dan semuanya.”*Waktu sudah mendekati ashar saat kami berpamitan pulang. Tante Mar memberikan banyak sekali buah tangan untuk kami. Semuanya dimasukkan ke bagasi mobil.Akhirnya jam empat lebih tiga puluh menit, kami sampai di rumah. Kami langsung membersihkan diri dan melaksanakan sholat ashar yang hampir telat waktunya.Setelah selesai sholat, kulihat Kiya masih tidur. Mas Fai langsung bekerja di ruang kerjanya. Aku memutuskan untuk mengeluarkan isi bagasi mobil. Saat sibuk mondar-mandir memasukkan buah tangan dari tante Mar ke dalam rumah, tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkanku.Tiiin!!!Siapa yang membunyikan klakson? Membunyikan klakson kencang sekali. Aku khawatir Kiya terbangun.Kulihat ternyata Mas Agung datang bersama Mbak Desi. Ada apa mereka ke sini?“Assalamu’alaikum, Mia,” ucap Mbak Desi.“Wa’alaikumussalam, Mbak. Mari masuk,” Aku membukakan pintu pagar.“Tidak perlu. Langsung saja kamu bicara, mau apa kita ke sini!” titah Mas Agung ketus.“Ada apa, Mbak?” tanyaku.“Ehm … eng … itu, Mia. Sebelumnya maaf, ya.”“Memangnya ada apa, Mbak?” tanyaku bingung.“Itu, Mia. Ibu meminta buah tangan dari tante Mar.”“Maksudnya gimana, Mbak?” tanyaku semakin bingung.“Ck … langsung saja kamu bilang kalau ibu meminta semua buah tangan yang diberi tante Mar ke Mia! Bikin lama dan bikin malu saja!” ucap Mas Agung ketus.“Hah! Benar begitu, Mbak?”“I– iya, Mia.” Mbak Desi memainkan jemari tangannya.“Mi. Kiya bangun, nih. Siapa sih yang membunyikan klakson sembarangan?” teriak Mas Fai dari dalam rumah.“Duh, gimana, ya Mbak. Aku masuk dulu, ya. Mbak Desi dan Mas Agung juga masuk dulu, ya,” pintaku.“Mi!” Mas Fai sudah berdiri di depan pintu sambil menggendong Kiya.“Oh, ada tamu. Suruh masuk saja, Mi.”“Di sini saja, Fai,” ucap Mbak Desi tak enak.Mas Fai berjalan menghampiri kami.“Kenapa gak mau masuk, Mbak?” tanya Mas Fai.“Kami gak lama, kok Fai.”“Oh gitu. Ada perlu apa, Mbak?” tanya Mas Fai.Kulihat Mas Agung sudah terlihat kesal, Mbak Desi semakin gugup.“Eng … ehm … ibu, Fai.”“Ibu kenapa, Mbak? Terjadi sesuatu sama ibu?”“Gak, Fai. Ibu meminta semua buah tangan dari tante Mar yang diberikan ke Mia,” jelas Mbak Desi gugup.“Maksudnya gimana, Mbak?” tanya Mas Fai bingung.“Mas. Ibu menyuruh Mbak Desi ke sini, untuk meminta semua buah tangan yang tante Mar berikan pada kita,” jelasku sehalus mungkin.“Apa? Aku tidak salah dengar?”“Benar itu, Mbak?”Mas Fai terlihat kesal. Aku segera meraih Kiya dari gendongannya.“I⎼ iya, Fai,” jawab Mbak Desi menunduk.“Sudah. Mbak Desi, pulang saja. Nanti aku yang bicara sama ibu.”“Tapi, Fai ….”“Sudah, Des. Jangan buat aku semakin malu di sini! Sudah aku bilang, jangan turuti kemauan ibumu yang memalukan itu! Ayo pulang!” sentak Mas Agung.“I⎼ iya, Mas,” jawab Mbak Desi ketakutan.“Mbak. Jangan khawatir, soal ibu biar aku yang urus. Lain kali, kalau ada permintaan ibu yang gak wajar, Mbak jangan turuti. Gak enak sama Mas Agung,” ucap Mas Fai lembut.“Iya, Fai. Maafin mbak, ya.”“Iya, Mbak. Jaga diri baik-baik, ya Mbak.”Mbak Desi mengangguk pelan.“Mia, mbak pulang, ya. Sekali lagi, maaf.”“Iya, Mbak. Tidak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya Mbak,” ucapku.Mbak Desi masuk ke mobil yang langsung dipacu kencang oleh Mas Agung.Aku dan Mas Fai hanya bisa geleng-geleng melihatnya hingga hilang di tikungan.“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm