“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!”
“Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seorang istri yang untuk hamil saja sakit-sakitan. Ibu tidak mau ya, kalau kalian memberi cucu yang cacat!” ucap Ibu.“Ibu apa-apaan sih, bicara seperti itu? Doakan saja yang baik-baik untuk Mia dan bayi kami!” “Alah, dari awal ibu sudah tidak setuju kamu pacaran sama dia. Tapi kamu ngeyel dan dibutakan oleh cinta. Pokoknya ingat, kalau sampai anak yang dilahirkannya cacat, kamu harus menceraikan dia!”“Apa?” Mas Fai terdengar kaget.Aku pun tidak kalah kaget, mendengar ucapan Ibu. Kututup mulut dengan kedua tangan, meredam suara tangis yang tiba-tiba saja datang tanpa bisa kubendung. Ya Tuhan, tega sekali ibu mertuaku bicara seperti itu. “Sudah, sudah! Jangan bicara keras-keras, nanti Mia dengar!” Suara Bapak terdengar menengahi.“Fai, kali ini Ibu ada benarnya. Bapak lihat Mia terlalu lemah untuk menjadi seorang istri, apalagi menjadi seorang ibu. Melihat kondisi kehamilannya, bapak tidak yakin kalau anak yang dikandungnya sehat. Lihat saja, badannya malah kurus, wajahnya pucat.”“Tapi, Pak. Dokter bilang tidak apa-apa, asalkan Mia istirahat total,” ucap Mas Fai.“Mau sampai kapan dia istirahat? Kamu tidak bisa mengandalkan istri yang kebanyakan istirahat. Rumah tangga macam apa, yang istrinya selalu istirahat hingga suaminya harus mengerjakan semua pekerjaan rumah? Nanti kamu akan capai sendiri!”“Tapi, Pak ….”“Sudah! Kamu jangan membantah! Bapak juga tidak mau punya cucu cacat!” sentak Bapak.Ya Tuhan, ternyata Bapak tidak ada bedanya dengan Ibu. Selama ini kupikir Bapak menerima dan menyayangiku sebagai menantunya. Tapi kenyataannya sungguh membuat hatiku sakit tak terkira.Kini hanya Mas Fai yang menjadi tempatku berlindung. Ya Tuhan tolong jangan sampai Mas Fai berpaling dariku. Kini aku sudah terduduk di balik pintu, air mata deras mengalir tak terbendung. Kudengar suara mobil bapak pergi menjauh.“Lho, Mi. Kenapa kamu duduk di sini?”Mas Fai jongkok di hadapanku, kedua tangannya memegang pundakku.“Kamu kenapa nangis, Mi?“Apa Mas akan meninggalkanku?” tanyaku terisak.“Apa maksudmu? Kok, kamu ngomong begitu, Mi?”“Aku dengar semua pembicaraan kalian. Sungguh tega sekali orang tuamu, Mas. Aku tidak menyangka, bagi mereka pernikahan hanyalah hal sepele yang begitu mudahnya dipermainkan. Bukan kemauanku, kalau kehamilan ini membuatku lemah. Tapi aku tidak pernah memanfaatkan kehamilan ini untuk bersantai-santai dan membiarkanmu mengerjakan semua pekerjaan rumah.”“Sudahlah, Mi. Jangan kamu pikirkan, apa yang orang tuaku bicarakan! Aku tidak pernah menganggap kamu santai-santai. Aku sayang kamu dan bayi kita. Cukup kita saja yang ada di pikiran dan hatimu. Jangan memikirkan hal lain, ya!”Mas Fai memelukku erat. Wajahku terbenam di dadanya. Sungguh nyaman berada di dalam pelukannya. Laki-laki yang aku cintai, begitu penuh kasih sayang. Kini aku begitu takut kehilangan dirinya.*Perutku terasa sakit sekali. Kontraksi sudah berjarak lima menit sekali, aku akan melahirkan. Usia kehamilanku memang sudah tiga puluh delapan minggu. Mama sibuk memasukkan semua keperluanku ke dalam mobil. Untung ada Mama yang memang sengaja menginap sejak beberapa hari terakhir, untuk menemaniku di masa seperti ini.Mas Fai yang dikabari sejak dua jam lalu, hingga kini belum sampai di rumah. Aku terpaksa berangkat lebih dulu ke rumah sakit, bersama Mama dan Papa.Aku sudah duduk di kursi belakang, ditemani Mama. Aku terus berusaha mempraktekkan mengatur napas yang diajarkan saat senam hamil.Ponselku berdering, dari Mas Fai. Tapi aku tidak dapat bicara, karena rasa sakit ini begitu hebat.“Halo, Fai,” Mama yang menjawab telepon dari Mas Fai.“Iya, ini sudah mau jalan ke rumah sakit. Kamu langsung saja ke rumah sakit!”“Iya. Kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut!”“Wa’alaikumussalam.”“Fai kena macet. Jadi mama suruh saja dia langsung ke rumah sakit,” jelas Mama.Aku hanya menganggukkan kepala.“Kamu sudah beritahu mertuamu?” tanya Mama.Aku menggeleng keras.“Apa perlu mama yang telepon mereka?”“Tidak … nanti … Mas fai … saja,” Aku terbata menahan sakit.“Ya sudah. Pa, ayo dipercepat jalannya!” titah Mama.“Macet, Ma. Tuh, lihat!” ucap Papa.“Duh, iya macet. Bagaimana ini?” Mama mulai panik.“Mama jangan panik! Kasihan Mia, nanti ikutan panik.”“Oh, iya ya. Maaf … maaf.”Beruntung hanya sekitar sepuluh menit kami terjebak macet di persimpangan ini. Tidak lama lagi akan sampai di rumah sakit, gedungnya sudah terlihat dari kejauhan.Ponselku kembali berdering, panggilan dari Mas Fai.“Iya, Fai,” Mama lagi yang menjawab.“Sebentar lagi sampai. Itu rumah sakitnya sudah kelihatan. Kamu sudah sampai mana?” “Oh, iya. Iya, baiklah. Hati-hati di jalan.”“Wa’alaikumussalam.”“Fai masih terjebak macet. Ada kecelakaan bus yang menabrak trotoar dekat kantornya,” jelas Mama.“Duh, kenapa harus kecelakaan di saat begini, sih! Hh … hh …,” Aku masih terus mengatur napas.“Sabar, Mia. Kamu fokus saja ke bayimu.”“Iya, Ma.”Mobil kami memasuki pelataran rumah sakit. Papa langsung mengarahkan mobil ke area instalasi gawat darurat. Mobil berhenti tepat di depan pintu. Papa segera turun, mencari bantuan petugas rumah sakit.Tak lama beberapa orang petugas rumah sakit berdatangan. Membantuku turun dari mobil dan mendudukkanku di kursi roda. Semuanya bergerak cepat. Aku dimasukkan ke ruang bersalin, mama dan papa menunggu di luar.“Bu. Saya bidan yang berjaga di sini. Dokter Meisya sudah diberitahu, beliau yang akan menangani saat Ibu melahirkan nanti. Saat ini beliau sedang di poli dan segera bersiap-siap terlebih dahulu.”Aku hanya menganggukkan kepala. Rasa sakit ini begitu hebat. Mama, begini rupanya dulu saat melahirkanku. Hingga saat ini pun, mama selalu menjagaku. Tanpa terasa aku menangis, mengingat perjuangan mama.“Sekarang saya periksa dulu, ya Bu. Lho, Ibu kenapa nangis? Sakit?” tanya bidan.“Oh, iya sakit, Bu. Tapi saya nangis karena ingat mama saya,” jawabku.“Oh, begitu. Iya, Bu kalau sudah merasakan saat-saat seperti ini, memang biasanya yang kita ingat adalah mama yang dulu melahirkan kita,” ucap bidan itu tersenyum.“Suaminya belum datang, Bu?” tanyanya lagi.“Masih di jalan, kena macet. Nanti suami saya boleh menemani di sini, kan Bu?” “Boleh, Bu.”Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Dokter Meisya muncul dengan wajah penuh senyuman.“Halo, Bu Mia. Akhirnya kita sampai di proses melahirkan, ya. Alhamdulillah. Semoga semuanya berjalan lancar dan dimudahkan. Aamiin,” ucap dokter Meisya.“Iya. dok. Aamiin.”“Sudah bukaan berapa?” tanya dokter Meisya pada bidan.“Sembilan, dok.”“Wah, sebentar lagi. Bersiap-siap, ya Bu. Mau minum dulu?” tanya dokter Meisya padaku.“Tidak, dok.”*Akhirnya bayiku lahir dengan selamat, melalui proses normal. Alhamdulillah bayi mungil dan cantik, Allah amanahkan pada kami. Sehat, sempurna anggota tubuhnya. Alhamdulillah. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur.Hanya saja aku sedikit sedih, karena selama proses melahirkan Mas Fai tidak menemaniku.Bayiku masih dibersihkan. Dokter pun masih memeriksa kondisiku, dan bersiap untuk menjahit luka robek akibat melahirkan.Pintu terbuka, Mas Fai masuk dengan wajah panik.“Saya suaminya, dok. Boleh saya masuk?” tanya Mas Fai.“Boleh. Silahkan, Pak!”“Mas. Anak kita sudah lahir,” ucapku.“Alhamdulillah. Kamu baik-baik saja, Mi?” Mas Fai mengecup keningku.“Iya, Mas.”“Bu, saya akan mulai menjahit lukanya, ya. Ini akan terasa sakit. Bersiap, ya!” titah dokter.Aku mengangguk dan menggenggam erat tangan Mas Fai.“Aaah!” jeritku kesakitan.“Tahan, ya Bu!” ucap dokter.Mas Fai mengeratkan genggamannya. Tangannya yang lain, mengusap-usap kepalaku.“Sabar, ya Mi. Tahan, ya. Mas sayang Mia,” bisik Mas Fai di telingaku.*Akhirnya semua proses telah selesai. Aku sudah dipindahkan ke ruangan rawat. Mas Fai juga sudah mengadzani bayi kami.“Ibu dan bapak sudah diberitahu, Mas?” tanyaku.“Sudah. Tadi waktu mas terjebak macet, sekalian telepon ibu,” jawab Mas Fai.“Mereka mau datang ke sini, Mas?”“Iya, nanti. Tadi ibu bilang mau tidur siang dulu.”“Oh.”Tiba-tiba hatiku kembali perih. Jadi begitu reaksi ibu mertuaku, ketika dikabari aku akan melahirkan? Mau tidur siang dulu.Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm