Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.
Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begitu, hari ini aku berusaha merapikan rumah. Sebenarnya mas Fai melarangku melakukan apa pun, mengingat kondisi kehamilanku. Tapi aku tidak mau ibu mertua semakin punya alasan untuk tidak menyukaiku.Tanpa terasa waktu sudah sore, mas Fai sebentar lagi pulang. Tapi tiba-tiba tubuhku terasa begitu lemah, keringat dingin bercucuran. Aku berusaha meraih punggung sofa, tapi tanganku tak cukup kuat menopang tubuh ini, hingga akhirnya aku terduduk di lantai.Sayup-sayup kudengar suara mas Fai memanggil-manggil namaku. Kurasakan tepukan lembut di pipiku. Perlahan kubuka mata dan tampak wajah mas Fai yang terlihat begitu cemas."Mi. Kamu gak apa-apa?"Kujawab dengan anggukan lemah."Kita ke dokter, ya!"Aku menggeleng."Mas sudah pulang. Maaf, aku tadi tidak dengar Mas pulang.""Gak apa-apa, Mi. Aku malah kaget lihat kamu duduk di lantai, kupegang badanmu dingin. Bajumu basah oleh keringat. Aku panggil-panggil kamu tidak menyahut, sepertinya kamu tidak sadarkan diri. Sekarang aku gendong ke kamar, ya!"Aku pasrah, membiarkan Mas Fai menggendong dan membaringkanku di kasur."Aku bantu ganti bajumu, ya, supaya gak masuk angin."Lagi-lagi aku pasrah, mengangguk, memberikan izin pada Mas Fai untuk mengganti pakaianku yang basah oleh keringat."Tadi kamu makan siang, gak Mi?" tanya Mas Fai.Aku menggeleng."Jangan gitu, dong Mi. Kamu harus makan teratur. Kasihan bayi kita, Mi.""Iya, Mas. Maaf, tadi aku benar-benar tidak selera makan.""Ya sudah. Sekarang, aku suapin bubur ayam, ya. Tadi aku mampir ke warung buburnya mas Toto, bubur favorit kamu."Aku mengangguk, walaupun sebenarnya aku tidak nafsu mendengar kata bubur ayam.*Pagi ini matahari bersinar cerah. Namun hatiku tidak secerah sinar matahari. Hatiku diliputi kekhawatiran akan kunjungan mertua hari ini."Mi, kenapa murung?" tanya Mas Fai."Tidak apa-apa, Mas.""Mengenai kedatangan orang tuaku hari ini. Kamu tidak usah cemas, ya! Ada aku, yang selalu siap melindungimu," Sepertinya Mas Fai bisa membaca isi hatiku."Iya, Mas. Terima kasih, ya."Tok!Tok!Tok!"Assalamu'alaikum."Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dan ucapan salam.Aku dan Mas Fai berbarengan menjawab salam."Wa'alaikumussalam.""Lho, ibu dan bapak sudah datang. Ayo kita sambut mereka, Mi!"Kami pun berjalan beriringan menuju pintu depan."Lama sekali buka pintunya, Fai."Ibu langsung mengomel ketika pintu dibuka."Maaf, Bu. Kami tadi sedang sarapan," ucap Mas Fai.Ibu langsung menerobos masuk, tidak mempedulikan tanganku yang menjulur hendak mencium tangannya.Bapak menyambut tanganku, tersenyum dan berbisik."Maafin ibu, ya."Aku mengangguk dan buru-buru mencium tangan Bapak dengan takzim.Kami semua duduk di sofa ruang tamu. "Bagaimana kabarmu, Mia? Berapa usia kandunganmu sekarang?" tanya Bapak."Alhamdulillah baik, Pak. Sudah empat bulan," jawabku."Tapi kata dokter, Mia harus istirahat total, Pak. Beberapa kali keluar flek," sambung Mas Fai."Oh, pantas saja mukamu terlihat pucat, Mia. Apa perlu dirawat di rumah sakit?" tanya Bapak."Tidak perlu, Pak. Mia masih kuat, kok," jawabku."Ck ...manja!" celetuk Ibu.Kami semua spontan melihat ke arah ibu."Bu. Kumohon jangan bicara seperti itu. Kemarin sore saja, Mia tidak sadarkan diri. Untung aku keburu pulang," ucap Mas Fai."Bu. Ingat pesan bapak!" tegas Bapak.Ibu diam, lalu menyibukkan diri dengan ponselnya."Maaf, ya. Bapak dan ibu datang pagi-pagi sekali. Ibu ingin sarapan bubur ayamnya mas Toto. Jadi tadi sebelum ke sini, bapak dan ibu sarapan di sana," ucap Bapak."Iya, Pak. Tidak apa-apa. Sebentar, Fai buatkan teh dulu, ya."Mendengar ucapan Mas Fai, ibu langsung menatapku tajam. Begitu Mas Fai sudah beranjak ke dapur, Ibu langsung berkata."Untuk urusan membuat teh saja, kamu biarkan Fai yang membuatnya. Apa kamu setiap hari seperti ini, menjadikan Fai budak kamu?" tanya Ibu tajam."Bu!" tegur Bapak."Ibu tidak bisa diam saja, Pak. Ibu tidak mau Fai melakukan hal yang bukan kewajiban dia di rumah. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh istri!" ketus Ibu."Tapi Mia sedang kurang sehat, Bu. Kamu harus bisa memaklumi. Sudah jangan bikin ribut!" tegas Bapak."Kamu itu jangan merasa bangga, ada Bapak dan Fai yang selalu membela kamu. Seharusnya kamu sadar diri sebagai seorang istri, apa saja yang menjadi tugas kamu. Jangan karena hamil, kamu jadikan alasan untuk santai-santai! Paling juga nanti anakmu lahir cacat.""Apa?" Aku langsung menatap mata Ibu."Ibu!” Sentak Bapak.“Mulutmu itu kalau bicara yang baik-baik. Itu cucumu yang ada di kandungannya Mia. Tidak baik kamu bicara seperti itu.”“Terus saja Bapak membela dia. Makin besar kepala saja! Bapak lihat sendiri kelakuannya. Apa pantas Fai yang membuat teh, sementara dia ongkang-ongkang kaki di sini?!” ketus Ibu.“Sudahlah, Bu! Ibu tahu bagaimana kondisi kehamilan Mia, dan wajar saja kalau Fai membantu pekerjaan di rumah. Namanya berumah tangga, harus saling bantu. Selama ini bapak juga selalu membantu ibu di rumah. Iya, kan?”“Ah, Bapak ini!” ketus Ibu.“Lho, Mi. Kamu kenapa nangis?” tanya Mas Fai bingung saat kembali dari dapur membawa empat gelas teh.Aku tidak sanggup menceritakan apa yang baru saja Ibu katakan. Aku hanya bisa menangis sambil mengusap-usap perutku dan berdoa dalam hati, semoga apa yang Ibu ucapkan tidak menjadi kenyataan.“Ibu mengatakan sesuatu pada Mia?” tanya Mas Fai pada Ibu.“Ah, Mia aja yang kelewat cengeng. Dikit-dikit nangis,” jawab Ibu sinis.“Bu, Fai mohon, tolong jaga perasaan Mia. Kondisi kehamilan Mia butuh perhatian khusus. Jangan sampai Mia semakin stres. Takut membahayakan bayinya, cucu Ibu. Anak pertamaku, Bu,” mohon Mas Fai.“Ah itu, kan ….”“Sudah, Bu,” potong Bapak.“Mia, maafkan semua ucapan dan perilaku Ibu, ya. Tolong jaga cucu bapak baik-baik, ya! Bapak yakin, nanti saat lahir pasti cantik seperti Mia, atau ganteng seperti Fai,” lanjut Bapak.Mendengar ucapan Bapak, aku hanya bisa mengangguk pelan. Walaupun hatiku hancur mendengar sumpah Ibu tentang anak yang kukandung. Ya Allah, tolong jangan Kau kabulkan ucapan Ibu! Aku akan menjaga amanah-Mu dengan baik. Kumohon, bantu aku untuk selalu kuat.Mas Fai terus mengusap-usap punggungku. Sungguh hanya dirimu, Mas yang mampu menghiburku di saat-saat seperti ini. “Ayo, Bu, diminum tehnya. Setelah itu kita langsung pulang!” titah Bapak.“Lho, kok buru-buru, Pak?” tanya Mas Fai.“Iya, Fai. Bapak dan Ibu cuma ingin melihat keadaan Mia saja. Lain kali bapak dan Ibu main lagi, insya Allah,” jawab Bapak.Ibu segera meminum teh yang dibuat oleh Mas Fai. Dalam sekali minum langsung habis. Entah Ibu buru-buru ingin segera pulang atau memang haus.“Uhuk … huk!” Ibu tersedak.“Pelan-pelan, Bu minumnya!” ucap Bapak.“Uhuk! Biar cepat pulang!” ketus Ibu.“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm