Sayur bayam, tempe goreng, tahu kecap, sambat terasi dan segelas air putih tersaji di hadapan Bryan. Hidangan sederhana, namun mampu membuat hatinya terenyuh. Apalagi selagi menyajikan itu Ibu mertuanya tidak lepas dari senyum dan mengajaknya berbincang.
"Kalau Zeliya ada berbuat hal yang kamu nggak ridho sepanjang itu kebaikan, katakan pada Ibu."
Bryan tersenyum, seharusnya peringatan itu bukan ditujukan untuk Zeliya, perempuan itu sudah terlampau baik, justru dirinyalah yang harus mendapatkannya. "Dia istri yang baik dan cerdas. Saya kagum sama dia Bu. Kagum juga sama wanita hebat yang melahirkannya."
Syifa tersenyum mendengar pujian dari menantunya. Tangannya semakin mendekatkan piring berisi goreng tempe untuk semakin dekat ke arah Bryan agar anak laki-laki dewasa itu dengan mudah menjangkau. "Kami ini, bisa aja membuat hati Ibu berbunga-bunga. Apa kabar putriku yang setiap hari kamu puji-puji begitu? aku membayangkan pasti wajahnya udah merah. N
Senja hari ini Zeliya disibukkan dengan event buka bersama yang diadakan di panti asuhan Aisyah bersama dengan organisasi rohis kampus. Program kerja yang setiap Ramdhan dilaksanakan. Ah, ia akan rindu masa-masa ini kelak ketika dirinya sudah menjadi alumni kampus dan organisasinya."Selalu rindu masa-masa ini," komentar Sisca yang sudah selesai membagikan kotak-kotak nasi di masjid yang tidak terlalu jauh dari panti. Anggota rohis kini berkumpul di depan bangunan panti, berlantai dua dengan cat putih. Halaman panti cukup luas dan bisa di pakai untuk anak-anak bermain bola sekali pun.Zeliya membenarkan. "Pengen lama-lama di rohis ini, tapi, aku harus lulus," katanya dengan terkekeh."Ya iyalah apalagi kamu udah punya suami, pasti pengen cepet-cepet minggat aja dari kampus, biar fokus ngelayanin dia gitu," goda Sisca yang membuat mata Zeliya mendelik."Kenapa kamu nggak ada Bryan ikut event ini?" Sisca bertanya sembari ikut mendudukkan dirinya di te
Terpaksa menabung ia lakukan demi mendapatkan tempat tinggal yang bisa ia sewa nantinya. Bryan tidak ingin terus menumpang di Apartemen Arham yang mengaku-ngaku saudaranya itu. Beberapa kali, pria itu membujuknya juga untuk pulang, karena ia menolak tegas, akhirnya pria itu hanya membiarkan Bryan menempati apartemen yang jarang terpakai itu.Entah tujuannya untuk apa, padahal Arham memiliki rumah besar yang ditinggali keluarganya, begitu pula rumah Eric yang bisa dijadikan tempat tinggal. Namun, pria itu masih saja belum merasa cukup dengan itu semua. Saat ditanyakan mengenai tempat tinggal itu, ternyata Arham menjawab diluar dugaan."Tempat ini aku gunakan untuk menyendiri, menyembuhkan galau." Walau menjawab dengan nada bergurau, tapi Bryan yakin apa yang diucapkan Arham serius. Pria itu ternyata tidak sebahagia yang dilihat. Bryan menjadi sadar, bahwa setiap orang pasti memiliki masalah, tidak hanya dirinya."Bukannya lo benci ama gue? setelah terakhir
Geng Bryan malam ini harus berhadapan dengan Geng Kukuruyuk yang di kepalai oleh Ardan Adikusuma. Mereka semua telah sepakat dan melakukan perjanjian untuk tanding di daerah Blok C dengan sedikit kemungkinan aparat akan ke sana, mengingat daerah itu yang sepi penduduk dan jarang di lewati.Tiga orang itu berangkat dengan semangat membara. Ferdinand sedari tadi merengek pengen ikut serta, namun lagi-lagi Alex yang bijak itu tidak membiarkan. Ia takut terjadi apa-apa pada Ferdinand yang masih lemah secara fisik."Kita bukan mau tawuran, cuma tanding doang. Percaya deh, setelah tanding, mereka nggak bakal nyerang kita." Ferdinand memberi argumen kuatnya untuk tetap diijinkan ikut."Biarin dia ama gue." Angkasa nyeletuk, sembari memakai kaos tangan terbuat dari kulit. Ia menatap kearah Alex.Bryan juga sebenarnya tidak mengizinkaj Ferdinand karena pria itu masih lemah kondisinya. "Awas lo kalau boong, bilang aja kalau masih sakit," ucap Bryan. Daripada nanti
"Mau kemana lo? jangan bilang mau Balapan?" Arham memicing ke arah adiknya yang sudah mengenakan pakaian dinasnya.Anak punk itu tersenyum sebelah. "Biasanya lo nggak negur gue juga, kenapa tiba-tiba?""Aku denger dari Bibi, kalau malam ini, Paman berpatroli. Kalau kali ini kamu membuat masalah lagi, aku akan membiarkanmu di balik jeruji besi," ancam Arham. Ia tadi siang berkunjung ke rumah keponakannya yang menggemaskan, sekedar menghibur diri dari kepenatan hidup. Ternyata ia mendapat informasi bahwa akan ada razia yang dilakukan suaminya."Heh, gue nggak takut. Lo tau? kalau Geng gue itu udah biasa berantem ama polisi. Jangan remehin kami," sombong Ardan sambil melipat tangan di depan dada."Lagian, Ibu juga nggak ngelarang anaknya begini, asal sekolah yang bener. Lo kenapa malah jadi kayak ibu-ibu sih," ketus Ardan tidak suka perhatian yang di tujukan untuk dirinya dari sang Kakak."Terserahmu, pokoknya kali ini, aku nggak mau ikut campur
"Aku haus..." Zeliya memilih menyelamatkan diri dari menjawab pertanyaan dengan beranjak dari duduknya, walau ia sempat meringis. Dorongak keras di bahunya hingga membuat pantatnya kembali mencium sofa, membuat dirinya tekejut."Mas, kamu mau ngapain?" Zeliya menatap was-was ke arah Bryan. Mata pria itu yang tajam, membuatnya takut jika pria itu berniat macam-macam. Bibir itu tiba-tiba melengkung tipis.Bryan tersenyum. Padanya? baru kali ini ia melihat senyum itu begitu alami. Zeliya mengerjap tidak percaya."Lo disini aja, biar gue yang ambilin." Bryan pergi menjauh, melangkah ke arah dapur, lalu mengambil gelas dan mengisinya dari dispenser. Ia langsung menyodorkan gelas pada istrinya setelah sampai di dekat sofa."Jangan banyak bergerak, biar obatnya kering dulu. Tidurlah sebentar, sebelum kamu sahur. Puasa 'kan besok kamu?" tanya Bryan sembari menatap Zeliya lekat-lekat. Membuat yang di tatap risih.Anggukkan kepala, Zeliya gunakan untuk menja
"Astaga, apa yang gue lakuin?" Bryan menyugar rambutnya yang basah, jaket denim yang ia kenakan sudah kuyup. Kaca helmnya di penuhi embun. Tanpa sadar, ia telah mengikuti Zeliya dan Arham, mulai dari mereka mengunjungi toko tekstil di pusat kota, hingga ke Mall.Ada bara dalam sasa setiap Arham menunjukkan perhatian pada istrinya. Mulai dari menghampiri Zeliya yang kebasahan karena berusaha membujuk anak kecil menangis di bahu jalan sambil hujan-hujanan. Entah apa yang dikatakan oleh istrinya pada anak kecil itu, yang jelas anak itu langsung ikut ke mobil Arham.Jangan lupa, Arham membawa payung dan memayungi istrinya. Walau Zeliya terlihat menjaga jarak, tapi tatapan Arham yang begitu memuja membuat Bryan menghembuskan nafas kasar."Kalau gue yang bertemu dia duluan, mungkin gue langsung jadiin dia istri." Perkataan Alex kembali terngiang di telinganya, menggelitiknya, membuat matanya lagi-lagi menatap ke arah sana. Tepat di basement Mall, ia melihat sang
Semua orang yang berada di ruangan itu berhenti berbincang ketika menyadari kehadiran Bryan dan Zeliya di sampingnya. Arham yang tidak tahu jika buka bersama ini akan mengajak serta saudaranya, terkejut. Matanya menatap ke arah Zeliya yang terlihat melirik Bryan dari samping."Kemarilah, kita sudah lama nggak berkumpul." Suara Eric yang berat itu menginterupsi. Nadanya tenang dan lembut.Bryan di tempatnya sudah mengepalkan tangan dengan dada kembang kempis. Zeliya yang menyadari hal itu, segera menggenggam kepalan tangan suaminya, ia berbisik. "Mas, sekali ini aja ya. Aku minta maaf nggak terus terang sama kamu sebelumnya.""Apa kamu sudah begitu kaya hingga duduk bersama kami membuatmu enggan?" Eric berdiri, menatap Bryan tajam. Ia tadi sudah bicara namun malah diabaikan oleh putranya yang begeming di tempat"Apa kamu sudah merasa bisa hidup tanpa orang lain, sehingga mengabaikan orang lain yang menyapamu? apa kamu merasa lebih baik, sehingg
"Aku titip dia sama kamu." Alex berucap itu sebelum benar-benar pergi dari kediaman sahabatnya.Zeliya mengangguk, tersenyum di balik cadarnya. "Hati-hati dijalan."Setelah mengucapkan itu, ia menatap kepergian sahabat suaminya itu. Alex adalah pria yang baik, Allah memang menjaga suaminya lewat pria itu. Allah masih menyayangi suaminya, maka bukan hal yang mustahil suatu ketika Bryan juga akan seperti Alex, berusaha menjemput hidayah tuhan, walau masih merangkak dan tertatih-tatih. Ya semoga saja.Zeliya kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Bryan pasti sangat marah padanya, jika pria itu tidak mabuk, tentu akan marah-marah padanya saat ini."Maafkan aku Mas," lirihnya sambil melepas cadar. Menghela nafas dalam-dalam sambil berdo'a semoga hati suaminya bisa luluh dan memaafkan perbuatan Ayahnya di masa lalu.Ia menyadari, betapa tatapan benci itu sangat kentara di tujukan Bryan untuk Ayahnya. Walau begitu, Zeliya berharap ada keajaiban