"Biar aku yang menggantikan Ibu. Pak Davidson sudah sangat baik pada keluarga kita Bu, kita nggak boleh korupsi, ada gaji ada jasa,” ucap Zeliya yang tidak setuju, sang Ibu melarangnya untuk bekerja ke rumah seorang pengusaha terkenal. Erick Davidson.
Ibunya sudah dua hari mengalami sakit demam dan flu serta pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Zeliya tidak bisa tinggal diam dan tega membiarkan sang Ibu terus bekerja.
“Ibu hanya takut,” lirih Syifa yang mengkhawatirkan sesuatu.
“Takut kenapa Bu?” tanya Zeliya tidak mengerti.
“Ibu takut saja, Pak Davidson menyukaimu.”
Mendengar pernyataan Ibunya yang tidak masuk akal itu Zeliya mengernyitkan dahi. Ia tertawa, memperlihatkan gigi gingsul yang manis, selalu tersimpan dibalik cadarnya itu. Kini, dihadapan sang Ibu, ia hanya memakai kerudung serut biasa. “Nggak mungkin lah Bu. Wong aku berpakaian seperti ini, lagian Pak Davidson sudah tua Bu. Bisa-bisanya ibu suuzon.”
“Pak Davidson, sering bergonta-ganti wanita. Kami, para pembantu dirumahnya tahu itu. Walau Bapak itu baik kepada kami, tetap
saja, rasa takut itu ada.” Syifa mengelus kerudung anaknya dengan sayang. Sebenarnya, bukan bermakasud menjelekkan majikannya yang seorang Casanova itu, hanya saja ia mengkhawatirkan sang putri. Erick Davidson, siapa yang tahu jika ia memiliki banyak istri dan juga simpanan. Semua karyawan dirumahnya tahu. Bahkan Syifa sendiri, kerap kali melihat majikannya membawa wanita-wanita seksi beberapa orang sekaligus ke rumah kebesarannya.
“Innalillahi.” Zeliya menutup mulutnya sendiri. Selama berpuluh tahun sang Ibu bekerja di sana, ia memang tidak pernah mengunjungi kediaman Davidson. Bahkan, menginjakkan kaki di depan gerbangnya saja sudah membuatnya bergidik, khawatir di usir satpam yang wajahnya menyeramkan.
Mungkin, itu juga alasan sang Ibu, selama ini jika Zeliya suntuk dan meminta ikut bekerja membantu Ibunya, wanita paruh baya itu selalu menolak dengan berbagai macam alasan. Alhasil, karena Ibunya melarang, Zeliya patuh-patuh saja tanpa bertanya banyak.
“Insyaa Allah. Pak Davidson nggak akan begitu ke aku Bu. Ibu tenang aja, ingat-ingat kebaikan beliau. Lagian, tugas Ibu di dapur doang ‘kan? Nggak juga sampai bertemu tuan besar rumah itu.” Zeliya masih membujuk sang Ibu. Ia berprasangka baik dulu saja, belum tentu apa yang di rumorkan pada majikan Ibu benar adanya.
“Bisanya, ada jadwalnya. Ada saat Ibu tugasnya membersihkan kamar, membersihkan gudang, kebun atau bisa juga di dapur.” Syifa yang tengah berbaring di kasur tanpa dipan itu menjelaskan kepada anaknya.
“Ah itu tenang aja Bu. Insyaa Allah, Allah akan jaga aku. Aku siap-siap berangkat ya.”
Zeliya menatap bangunan megah berlantai tiga itu. Gerbangnya saja sudah melewati tinggi orang dewasa. Zeliya tidak bisa melihat ada aktifitas apa di dalam rumah besar itu, saking tertutupnya bangunan itu oleh pagar-pagar yang menjulang tinggi.
“Cari apa Mbak?” pertanyaan tiba-tiba itu membuat Zeliya terkejut. Ia membetulkan kacamata.
“Saya mau bekerja,” ujar Zeliya.
“Oh kirain, ada ustadzah yang mau ceramah.” Nada satpam itu terdengar mengejek di telinga Zeliya, namun ia mengabaikannya. Sudah biasa diejek seperti itu.
“Boleh saya masuk Pak? Saya salah satu pembantu di rumah ini.” Zeliya kembali menegaskan, barangkali satpam rumah itu belum paham, hingga sampai detik ini, tidak ada kata ‘silakan’ yang keluar dari mulut bapak-bapak itu. Bahkan, gerbang pun tidak kunjung di bukakan.
“Hah? pembantu?” kaget satpam itu. Zeliya mengangguk sabar.
“Saya mengantikan Ibu saya, bekerja disini. Pak, bisa segera bukakan? Nanti saya terlambat dan majikan bisa memarahi saya,” jelas Zeliya dengan nada yang sopan. Satrpam itu hanya menggedikan bahu, lalu membuka gerbang.
“Masyaa Allah, seperti istana.” Zeliya mau tidak mau, sejenak mengagumi bangunan mewah milik keluarga Davidson itu. Matanya melihat ke arah garasi yang berjejer tiga mobil keluaran terbaru.
“Sekaya ini… pantas saja memiliki banyak wanita simpanan,” gumam Zeliya, sedetik kemudian ia menggelengkan kepada. Malah terkesan dirinya merendahkan Davidson.
Zeliya terus melangkah ke arah bangunan besar di hadapannya. Sesuai arahan sang Ibu, Zeliya tidak boleh masuk lewat pintu utama, namun harus berkeliling dulu hingga menemuka beberapa gazebo yang berarti tempat itu nanti akan menghubungkan dengan dapur kotor. Tempat dimana, para karyawan Davidson memasak.
“Siapa?” tanya seorang wanita dengan perawakan sintal. Wajahnya terhias bedak dan bibirnya terlihat merah. Zeliya berfikir, ciri-ciri yang ada pada wanita yang seperti seumuran ibunya ini, seperti ciri dari petinggi pelayan yang digambarkan sang Ibu padanya.
“Assalamualaikum Bu, saya Zeliya, anaknya Ibu Syifa, ingin menggantikan beliau untuk jadwal hari ini,” jelas Zeliya. Ibu yang wajahnya terlihat menyeramkan itu, tersenyum akrab, membuat hati Zeliya lega.
“Oh, Zeliya? Yang biasa diceritakan Ibu Syifa, ya ‘kan?” tanyanya. Zeliya mengangguk.
“Ayo ikut,” ajak Bu Santi dengan langkah yang terlihat seperti biduan. Zeliya hanya tersenyum melihatnya. Jika Pak Davidson doyan kepada wanita, apa Bu Santi merupakan salah satu diantaranya? Ah, Zeliya menggelengkan pikiran tidak benarnya terhadap Majikannya.
“Jadwal Ibu kamu hari ini, di kamar lantai dua. Ada nomornya kok, kamar 201, 202, terus nanti kamu ke lantai bawah, di ujung lorong tepatnya, itu kamar khusus tempat album-album disimpan. Hati-hati kalau membersihkan kamar itu.”
Zeliya menyimak penjelasan Bu Santi, wanita itu juga memberi arahan agar ia tidak sembarangan memasuki ruangan, harus sesuai dengan perintah.
“Kalau udah selesai, nggak usah lama-lama mengangumi kamar atau ruangannya. Segera pergi ke dapur. Dan… abaikan setiap kejadian yang kamu lihat di rumah ini,” pesan Bu Santi terakhir kali dan diangguki oleh Zeliya. Walau dalam hati, ia bertanya-tanya, memangnya kejadian apa yang kerap terjadi di sini dan harus diabaikan?
Zeliya memasuki kamar bernomor 201, tidak ada penghuninya, namun ia tahu ruangan ini ada yang mengisinya. Terlihat, bed king size yang berantakan. Bercak air yang menggenang di depan pintu kamar mandinya, serta handuk yang dilempar ke sembarang arah tampaknya, hingga menggantuk tepat di meja rias. “Orang kaya, emang bebas,” ujar Zelia menggelengkan kepala.
Saat ia membersihkan, telinganya peka mendengar suara ramai-ramai, seperti dari lantai bawah. Rasa penasaran membuat Zeliya melangkah ke luar dan menengok dari atas ke bawah.
“Makasih udah anter gue,” ucap seorang pria yang suaranya entah mengapa tidak asing di telinga Zeliya.
“Iya Bro. Tidur yang nyenyak dan siap-siap, lo bakal jadi artis besok,” timpal seorang pria lagi.
“Hahaha, aku nggak ada cita-cita buat itu. Btw, makasih Lex, lo udah aturin semua jadwalnya. Termasuk, foto-foto buat jadi model itu.” Pria yang ternyata Bryan itu berkata-kata dengan mata yang sudah menyipit. Jalannya sempoyongan tidak jelas.
“Masuk ke kamar lo sana. Gue nggak harus mapah lo sampe ke kamar ‘kan? Soalnya gue mau ada urusan lain,” sahut si pria lain lagi. Zeliya terus menguping, namun ketika tersadar, ia segera ke kamar tadi, melanjutkan pekerjaanya.
“Nevermind.” Bryan mengibaskan tangan, tanda ia tidak apa-apa untuk ditinggal oleh temannya itu. Setelah kepergian Alex, Bryan merasakan tubuhnya panas dan gerah. Ia segera berjalan menapaki anak tangga satu persatu untuk sampai ke kamarnya di lantai dua.
Bryan menyipit begitu mendapati kamarnya terbuka dan di dalamnya terlihat seseorang yang mengenakan penutup diseluruh tubuhnya. Ia melangkah, bertanya-tanya mengapa hari ini pembantunya berpakaian seperti ninja.
Zeliya menoleh mendapati langkah kaki mendekat. Saat matanya bersirobok dengan pria yang berjalan sempoyongan, lidahnya seperti tercekat. “Pria ini…”
Bryan terus berjalan mendekat, matanya semakin memicing. “Kamu… kamu… wanita bercadar itu bukan?” tanya Bryan menunjuk wajah Zeliya.
Zeliya hendak segera pergi, namun tangannya di tahan, reflek ia menepis kasar tangan kurang ngajar itu. Mendapat perlakuan tidak menyenangkan, Bryan marah, ia menghempaskan tubuh Zeliya ke ranjang dan tidak menunggu waktu lama. Ia sudah berada tepat di atas Zeliya yang masih terkejut karena terbanting.
“Benar ‘kan tebakanku. Kamu wanita bercadar itu? mau apa kamu disini huh? Meminta maaf? Hahahaha… nggak berlaku lagi.” Bryan seperti meracau.
Zeliya berusaha mendorong tubuh Bryan dari atasnya. Ia ingin berteriak, namun ia takut membuat kegaduhan dan membuat Bu Santi marah. Bukankan wanita itu sudah berpesan padanya agar tidak bertindak aneh-aneh.
“Minggir,” geram Zeliya.
“Kamu sudah masuk dalam perangkapku,” ucap Bryan membuat Zeliya yang mendengarnya begidik. Siapa sebenarnya pria di depannya ini? Apakah dia anak dari Davidson? Jika memang benar Davidson pecinta wanita, maka jika Bryan putrnya, bisa jadi, nular pula pada Bryan. Zeliya menggeleng keras, ia tidak ingin menjadi korban kebuasan keluarga Davidson. Mendadak, ia teringat perkataan Ibunya. Ia menyesal berada disini.
“Lepaskan. Lepas!” berontak Zeliya, matanya sudah berkaca-kaca karena takut Bryan melakukan apa-apa padanya.
Bryan yang dipengaruhi alkohol itu perlahan melepaskan kaca mata yang dipakai oleh Zeliya, memperlihatkan mata yang begitu indah yang seketika tertegun.
“Apa yang kamu lakukan?” geram seorang pria dengan suara berat. Bryan seketika menoleh mendapati seorang pira tengah menatapnya tajam.
Baca ceritaku yang lain juga ya, judulnya Dinikahi Dosen
“Apa yang kamu lakukan?” geram Eric Davidson yang baru saja datang dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri.Melihat putranya yang menindihi seorang wanita, ia merasa geram. Segera saja, ia tarik jaket yang dikenakan Bryan dan membanting tubuh anaknya ke lantai. “Bodoh! Sudah ku bilang, jangan pernah melampiaskan amarahmu pada wanita!"Bryan mengusap wajahnya yang membentur keramik. “Apa kamu bilang? Nggak salah denger aku? Bukankah kamu yang mengajariku seperti itu hah? bajingan laknat?” hardik Bryan dengan suaranya yang keras. Zeliya segera bangkit, ia bingung sendiri apakah harus pergi atau tetap menyaksikan pertengkaran antara Bryan dan seorang pria paruh baya namun masih terlihat seperti anak muda itu. Pria itu mengenakan jas, rambutnya bergaya undercut, perawakannya masih kencang.“Kamu boleh pergi,” ujar Eric pada wanita bercadar yang terlihat ketakutan. Zeliya tidak membuang kesempatan, ia segera keluar dari kamar yang kini terlaknat menurutnya. Hampir saja ia ternodai,
"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. “Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?Deg!Seketika bulu kuduk dibalik kerud
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku