“Apa yang kamu lakukan?” geram Eric Davidson yang baru saja datang dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri.
Melihat putranya yang menindihi seorang wanita, ia merasa geram. Segera saja, ia tarik jaket yang dikenakan Bryan dan membanting tubuh anaknya ke lantai. “Bodoh! Sudah ku bilang, jangan pernah melampiaskan amarahmu pada wanita!"
Bryan mengusap wajahnya yang membentur keramik. “Apa kamu bilang? Nggak salah denger aku? Bukankah kamu yang mengajariku seperti itu hah? bajingan laknat?” hardik Bryan dengan suaranya yang keras. Zeliya segera bangkit, ia bingung sendiri apakah harus pergi atau tetap menyaksikan pertengkaran antara Bryan dan seorang pria paruh baya namun masih terlihat seperti anak muda itu. Pria itu mengenakan jas, rambutnya bergaya undercut, perawakannya masih kencang.
“Kamu boleh pergi,” ujar Eric pada wanita bercadar yang terlihat ketakutan. Zeliya tidak membuang kesempatan, ia segera keluar dari kamar yang kini terlaknat menurutnya. Hampir saja ia ternodai, jika tidak ada pria paruh baya itu, mungkin kehormatannya sudah direnggut paksa oleh pria yang telah memakinya di café itu.
Prang!
Langkah Zeliya terhenti, ia terkejut mendengar suara benda pecah. Namun, ia tidak akan berbalik. Merasa trauma. Mungkin saja, dua pria itu berkelahi atau apalah, pikir Zeliya. Setelah ini, ia akan meminta izin langsung pulang saja.
“Hei Zeliya.” Suara Bu Santi terdengar. Zeliya terkejut dibuatnya, dadanya masih berdebar tidak karuan.
“Ada apa?” tanya Bu Santi, terlihat khawatir.
“Em, maaf Bu. Saya boleh izin pulang ya? Nggak papa, jika hari ini status Ibu saya alpa bekerja. Tapi, saya harus pulang saat ini,” jelas Zeliya terlihat ketakutan.
“Santi.” Panggilan itu, reflek membuat Zeliya menoleh, begitupula Santi. Terlihat wanita tua itu membungkuk sopan.
“Siapa ini? Pembantu baru?” tanya pria itu.
“Dia menggantikan Ibunya sementara Pak disini. Namanya Zeliya.”
Zeliya merasa pria yang barusan ia temui dikamar pria bertindik itu, memindainya dari atas kebawah, membuatnya risih. “Maaf ya, atas kelakuan anak saya,” ujarnya membuat Zeliya terkejut. Siapa sebenarnya pria dihadapannya ini.
“Saya akan ganti rugi, jika kamu merasa dirugikan.”
“Zeliya, ini Pak Eric Davidson. Tuan besar di rumah ini. Majika aku dan Ibumu,” jelas Bu Santi, menjawab kebingungan Zeliya.
Akhirnya Zeliya tahu, jika pria dengan jambang lebat di depannya adalah Eric Davidson. Zeliya mengangguk sopan. “Nggak papa Pak. Saya, hanya kaget tadi Pak. Saya rasa nggak usah diperpajang. Tapi, jika boleh, saya izin hari ini untuk pulang. Khawatir dengan keadaan Ibu yang masih sakit.”
Eric Davidson mengangguk sembari mengulas senyum, membuat Zeliya jelas berpikiran yang tidak-tidak pada majikannya. Sepertinya otaknya sudah dipenuh dengan pikiran-pikiran suuzon atas majikan Ibunya itu. Tapi, mengingat pria itu menolongnya dari cengkraman bajingan itu, Zeliya menepis pikiran itu dari kepalanya. “Nama kamu siapa?”
Deg!
Zeliya merasa takut, jika Tuan besar itu ternyata langsung tertarik padanya walau mereka baru pertama kali bertemu. “Zeliya?” Bu Santi menginterupsi.
“Zeliya Khayria Pak.”
“Oh Zeliya. Kamu boleh pulang hari ini. Tapi, besok kamu datang lagi ya. Sekalian saya ada yang mau dibicarakan dengan kamu.”
Deg!
Zeliya menelan ludah, perasaannya mulai tidak enak. Apa yang mau dibicarakan Tuan Davidson dengannya? Mereka baru pertama bertemu dan mengapa pria itu mengajaknya bicara?
Zeliya mencoba tenang, ia tidak boleh seperti orang ketakutan. Khawatirnya orang kaya itu malah menggertak dirinya. “Baik Pak.”
“Iya. Sekali lagi, saya minta maaf atas nama anak saya," ungkap Eric dengan wajah bersalahnya, namun Zeliya tidak melihat itu karena matanya menunduk ke bawah.
Zeliya mengangguk pelan. Setelah kepergian Erick, ia menghela nafas dengan lega. Bu Santi terlihat memicing, menunggu penjelasan akan apa yang terjadi dengan Zeliya di lantai dua sana.
Di kampus, Zeliya terus kepikiran mengenai ajakan Tuan Davidson untuk mengajaknya bicara. Ia takut apa yang ibunya katakan terbukti. Bagaimana jika Tuan itu menyukainya? Ah, apa yang harus ia lakukan? Kejadian di rumah besar itu sama sekali tidak ia ceritakan kepada sang Ibu. Takut wanita itu khawatir.
“Hei, kenapa melamun?” tanya Sisca yang merupakan sahabat Zeliya. Mereka kini sedang bersantai di kantin yang ada dikampus.
“Sejak kapan aku melamun?” Zeliya justru balik bertanya. Ia paling anti sebenarnye melamun yang kurang kerjaan. Namun pikiran negatif itu terus menghantuinya. Ia merutuki keputusannya menggantikan Ibunya. Tapi ia juga tidak ingin, Ibunya tetap di gaji walau tidak bekerja. Memang sebaik itu, Tuan Davidson.
“Huh, malah balik bertanya,” kesal Sisca. “Kamu mikirin apa? nggak biasa seorang Zeliya melamun. Biasanya selalu waspada dan gercep,” komentar Sisca. Zeliya tersenyum paksa dibalik cadarnya.
“Aku hanya sedang memikirkan, agenda rohis kita bulan depan.”
“Sampek segitunya? Emang belum kamu bicarain konsepnya sama ketua?” tanya Sisca mengernyitkan dahi. Biasanya, masalah konsep mudah bagi seornag Zeliya. Ketika ide ada di kepala wanita itu, pasti langsung di kemukakan kepada sang ketua rohis kampus.
“Belum. Aku lupa.”
“Hah? seorang Zeliya lupa?” Sisca melebarkan mulut, tidak percaya dengan sosok Zeliya yang begitu berbeda. Sudahlah mendadak melamun, terus juga lupa. Ah, mungkin memang manusiawi, ayolah Zeliya bukan bidadari apalagi malaikat.
Ingin sekali Zeliya menceritakan kerisauannya pada Sisca, namun ia urungkan. Takut sahabatnya ikut kepikiran. Padahal, wanita itu sedang fokus menggarap proposal skripsnya.
Keesokan harinya, Zeliya tetap memberanikan diri untuk datang ke rumah kebesaran Tuan Davidson. Dalam hati, ia berharap untuk tidak bertemu dengan pria itu. Tapi anehnya, kini tangannya sudah menggenggam plastik hitam berisi jaket denim yang sudah ia cuci kering atas pemintaan pria bertindik itu.
“Kira-kira apa yang mau dibicarain Tuan Davidson?” gumam Zeliya gusar, dibalik cadar, ia menggigit bibir bawahnya.
“Liya. Kamu udah ditunggu Pak Erick di ruang tamu.” Interupsi dari Bu Santi membuat Zeliya yang sedang mendudukkan pantatnya di kursi yang ada di dapur, telonjak kaget. Bahkan kresek hitam yang dibawanya sampai jatuh.
Eric Davidson menganggukkan kepala sebagai bentuk sapaan sopan kepada anak pembantunya. Zeliya merasa heran dengan sikap majikannya. Dadanya bergemuruh.
“Kamu nggak inget saya?” tanya Eric Davidson dengan suara berat. Mendadak, jantung Zeliya meronta. Ia takut, pria di depannya bermaksud apa-apa. Dan atas dasar apa pula, pertanyaan itu terlontar padanya?
Zeliya mengangkat kepalanya. “Maaf, saya tidak ingat Bapak.”
“Tidak papa. Wajar saja. Saat itu saya belum seterkenal sekarang. Ingat panti asuhan Aisyah?” tanya Eric.
Zeliya mengangguk, sangat hafal betul dengan nama panti yang terucap. Matanya berusaha agar tidak bertatapan lama dengan pria itu.
“Dompet yang dicuri preman di pinggir jalan itu. Punya saya. Kamu ngembalikan pada saya saat itu.”
Zeliya mengingat kembali momen itu. Memang, ketika ia dan anggota rohis mengadakan bakti sosial di panti asuhan. Ia yang memastikan para donatur selamat perjalanan, bertugas untuk berjaga di depan gerbang panti. Saat itu, ia meliahat seorang pria yang baru saja dari warung yang ada di depan panti, tengah di palak oleh dua orang pria dengan pakaian punknya.
Zeliya entah keberanian dari mana, ia menegur dua pria itu. Ia sudah ancang-ancang membawa pentungan kayu untuk membuat pria-pria itu berlari dan benar saja dugaannya, dua pria itu berlarian. Satunya sempat ia dengar mengatakan, tidak ingin kena azab karena berurusan dengan wanita ahli syurga. Ada-ada saja memang.
“Terimakasih banyak, saya berhutang sama kamu.”
“Oh itu.” Zeliya telah ingat.
“Iya.”
Zeliya tersenyum kikuk dibalik cadarnya. Padahal, tidak perlu ia diajak bicara empat mata untuk sekedar mengucapkan terimakasih. Menurut Zeliya ini berlebihan.
“Kamu kuliah jurusan Bisnis dan Fashion ‘kan?” tanya Eric, membuat Zeliya kembali takut. Padahal, sebelumnya ia sudah merasa aman, saat Erick berkaya ramah dan berterimakasih atas pertolongannya tempo hari.
“Betul Pak.”
“Berapa biaya UKT kamu?”
“Tujuh juta Pak.”
“Kamu tahu Ibumu biayain kamu dari uang siapa?"
Deg!
Jangan-jangan Eric Davidson bermaksud yang tidak-tidak padanya?
"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. “Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?Deg!Seketika bulu kuduk dibalik kerud
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman