"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?”
Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.
“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.
Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya.
“Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.
“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?
Deg!
Seketika bulu kuduk dibalik kerudung Zeliya meremang. Jantungnya berdetak lebih cepat, ia menduga yang tidak-tidak. Jangan-jangan Eric ingin menjadikannya istri atau wanita simpanan yang kesekian? Tidak, Zeliya harus bisa menolak dengan tegas. Padahal, kemarin ia sudah menaruh kepercayaan pada pria paruh baya itu, bahwa mungkin saja kabar mengenai Eric memiliki banyak wanita disisinya hanyalah rumor belaka. Namun kini, sepertinya perkataan Ibunya benar. Zeliya menyesal, karena relah ceroboh dan kin masuk ke kandang serigala.
“Saya masih kuliah Pak,” jawab Zeliya dengan nada yang ia buat setenang mungkin.
“Sanggup jika sambil menikah?” tanya Eric lagi.
“Kenapa bapak tanya begitu? Saya belum mau menikah, lagi pula, saya merasa belum ada pria yang cocok. Insyaa Allah, jika saya udah siap, akan minta dicarikan saja ke ustadzah yang saya kenal,” jelas Zeliya secara tidak langsung ia ingin Eric mengerti perkataannya bahwa wanita bercadar ini belum siap menikah dan ketika siap nanti, akan menjemputnya dengan cara yang baik dalam Islam, taaruf.
“Kalau ada yang mau menikah dengan kamu, kamu mau?”
Seketika jantung Zeliya mencelos, kini Eric terang-terangan memberi kode jika pria itu menawarkan diri untuk menikahinya. Ia tidak habis pikir, apa yang menarik dari dirinya yang hanya anak pembantu, memakai pakaian tertutup, jauh dari kata seksi dan pria itu tidak pernah melihat keadaan wajahnya. Mengapa tiba-tiba ingin menikahinya? Apa karena peristiwa ia menyelamatkan Eric?
“S-saya… tidak bisa Pak,” tolak Zeliya tanpa mempertanyakan siapa pria yang bersedia menikah dengannya. Jelaslah, Eric Davidson, si Casanova, pecinta wanita. Zeliya rasanya ingin pergi dari sana, namun kakinya terasa berat, serta ia juga masih memiliki rasa sopan kepada orang yang lebih tua darinya.
“Kalau Ibumu saya pecat dari pekerjaan ini, kira-kira dia masih mampu membiayai kuliahmu?”
Pertanyaan Eric yang to the point dan tanpa Zeliya harus memutar otak untuk memahaminya, membuat wanita bercadar itu kembali tersentak. Ah, sepertinya setelah ini ia harus merehatkan jantungnya yang berdetak kencang terus menerus.
“Maksud Bapak apa? kenapa Ibu saya di pecat Pak?” tanya Zeliya tidak mengerti. Ia berfikir, apakah Eric tengah bermaksud mengancamnya.
“Ya kalau kamu tidak mengikuti kata saya,” ujar Eric dengan santai. Pria itu seperti senang mendapatkan ekspresi mengiba yang ditujukan oleh Zeliya walau lewat nada bicaranya. Wanita bercadar itu jelas tidak ingin Ibunya kehilangan pekerjaan yang itu berarti biaya untuk uang kuliah juga menghilang. Hanya Eric yang memberikan banyak gaji dan tunjuangan untuk karyawannya. Kerjaan dimana lagi yang mampu membuat seorang pembantu, menyekolahkan anaknya di sekolahan yang cukup ternama?
“Silakan pikirkan baik-baik. Jika kamu bersedia menikah, maka kamu tidak perlu repot mengeluarkan dana sepeserpun. Semua, akan saya tanggung."
Zeliya tidak bisa lagi menyembunyikan kegundahan dan ketakutannya terhadap ancaman yang secara langsung ditujukan Tuan Davidson kepadanya. Saat pulang dari menggantikan pekerjaan Ibunya, wanita bercadar itu terus menerus menangis.
“Apa yang harus aku katakan pada Ibu?” gumam Zeliya. “Ini semua salahku. Coba saja, menurut sama Ibu, tidak akan aku berurusan dengan Davidson. Ya Allah, tolonglah hamba dari kejahatan makhlukmu.”
Walau ditengah suasana hati yang tidak karuan, Zeliya tidak melupakan kewajibannya menuntut ilmu. Bertolak dari rumah besar Tuan Davidson untuk pergi ke kampusnya. Sayang, jika ia menyia-nyiakan waktu dengan membolos karena permasalahan pribadi. Akan sangat rugi sang Ibu memeras keringat hanya demi menyekolahkannya di perguruan tinggi.
Zeliya menatap nanar kresek yang ia bawa, walau ia berniat mengembalikan saat berkunjung ke rumah pria bertindik itu. Tapi, ia urungkan karena suasana hatinya memburuk setelah bertemu Eric Davidson. Ancaman pria itu terus terngiang di telinganya.
Sesuai dengan perkataan pria bertindik tempo hari, agar mereka bertemu kembali di café, Zeliya menunggu, berharap hari ini pria itu memang berkunjung ke café, sehingga tidak sia-sia ia membawakan kresek itu.
Terlihat tiga orang pria kembali meriuhkan suasana café, mereka tetawa terbahak tanpa beban, seolah hidup masih lama dan ajal masihlah jauh. Pria yang kemarin mabuk dan hampir memperkosa dirinya. Zeliya bergidik membayangkan itu dan lebih bergidik dan ngeri jika membayangkan harus bersanding dengan Ayah dari pria itu lalu hidup serumah dengan pria bertindik yang akan menjadi anak tirinya. Naudzubillah, Zeliya menggeleng kuat.
“Kenapa lo masih nolak cinta dia huh?” Angkasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Bryan yang membuang kesempatan untuk berpacaran dengan wanita yang bernama Selena Adverson, seorang model terkenal yang kini juga tengah berusaha menggaet nama Bryan untuk menjadi seorang model.
Mengingat wajah dan postur tubuh Bryan yang oke, tidak akan rugi bagi Selena untuk membuat pria yang disukainya menjadi model papan atas.
Padahal, Bryan menyetujui permintaan Selena untuk menjadi model, bukan karena ia mencintai wanita itu. Ia hanya ingin menambah uang sakunya, karena sang Ayah diam-diam menonaktifkan beberapa kartu atmnya. Entah apa tujuan dari pria tua itu, Bryan masih tidak mengerti. Apa pria itu mencoba membuat anaknya menderita bertambah-tambah? Setelah apa yang selama ini diperbuatnya? Bryan tidak tahu. Yang jelas, Bryan semakin benci segala hal menyangkut Ayahnya dan yang ia terima dari sang Ayah adalah uangnya.
“Dan lo nggak usah campurin urusan cinta gue.” Tanpa menjawab Angkasa, Bryan justru berkata pedas.
“Oh yaya, ampun-ampun,” ucap Angkasa dengan meringis, ia beranjak seperti biasa, memesan minuman.
Sedangkan Ferdinand, matanya membulat melihat Zeliya yang berada di pojok, tengah duduk sambil menatap laptop,
“Itu cewek bercadar tempo hari,” tunjuk Ferdinad. Bryan dan Alex serempak menoleh.
“Gue datangin dia dulu,” ujar Bryan angkat pantat. Namun, tangan Alex menahan.
“Nggak usah cari gara-gara. Lupain kejadian kemarin itu,” ucap Alex dengan bijak. Bryan menepisnya.
“Gue emang ada urusan sama dia. Jaket gue ada di dia,” jelas Bryan, membuat Alex dan Ferdinand saling pandang tidak mengerti. Mereka kemarin tidak sadar, jika Alex tidak memakai jaket lagi hingga mereka berpesta di apartemen Ferdinad dan pulang dalam keadaan mabuk, kecuali Alex yang masih terjaga kewarasannya.
“Mana jaket gue?” Bryan tanpa aba-aba lagi langsung bertanya kepada wanita yang tengah menatap layar laptop dengan keanggunannya itu.
Mendengar suara berat itu, Zeliya mendongak. Matanya yang terbalut kacamata itu kembali bersirobok dengan netra pria bertindik yang membuatnya trauma. Zeliya membuang pandangan, sedangkan Bryan kembali terpaku. Ia seperti tidak asing dengan mata itu, mata yang membuatnya suka menatap lama-lama.
Zeliya menyodorkan kresek tanpa berkata-kata, membuat Bryan menghembuskan nafas. Bahkan setelah berhari-hari mereka tidak bertemu, tidak adakah koreksi dalam diri wanita bercadar itu, bahwa yang salah tempo hari bukan dirinya, tapi Zeliya. Atau minimal, Zeliya meminta maaf karena membuatnya di tonjok habis-habisan oleh Ayahnya.
“Nggak ada yang mau kamu katakan?” tanya Bryan, rasanya ia ingin duduk dan memastikan. Namun, tangan Zeliya yang dibalut kain yang entah apa itu menahannya. Melarangnya duduk.
“Nggak ada. Kecuali kejadian kemarin, kamu telah melecehkanku, setidaknya sadari kelakuanmu dan jangan lakukan itu lagi, kepada wanita lain,” jelas Zeliya memperingatkan. Bryan tertawa remeh.
“Lo kira, aku bakal memperkosamu? Cuih.” Bryan meludah ke samping. Hampir saja mengenai orang yang beru saja lewat.
“Siapa yang tertarik dengan cewek ninja kayak lo?” lanjutnya dengan menggidikkan bahu.
“Urusan kita selesai ya. Kalau kamu nggak ingin minta maaf untuk kejadian kemarin, terserah. Yang jelas, jangan ulangi perilaku tidak bermoral itu.” Zeliya tidak tahan untuk berdebat dengan Bryan. Apalagi menatap wajah pria itu, mengingatkannya pada Eric yang memintanya untuk menikah. Segera saja, ia mematikan laptop, memasukkannya ke dalam tas.
Sekali lagi, kerudung Zeliya tertarik ke belakang dan pelakunya adalah pria tidak sopan yang bertindik itu. “Lepas!” gertak Zeliya dengan mata berkilat, kali ini pria itu keterlaluan.
“Bryan! Ngapain lo disana?!” teriak Angkasa yang sudah membawakan pesanan minuman ke meja mereka.
“Tuan Bryan. Bisakah anda menghargai wanita sedikit saja? Anda, jika saya tuntut karena pelecehan, dipastikan akan berakhir di penjara,” ancam Zeliya.
“Hahaha. Berani ngancem gue lo. Lo nggak tau bapak gue? Eric Davidson? Dia itu kaya, kalau pun aku dipenjara, paling cuma sehari, habis itu Bapak gue bisa ngeluarin gue darisana.” Bryan membanggakan kekayaan sang Ayah, karena hanya itu yang bisa dibanggakan dari pria itu, selainnya minus semua, menurut Bryan.
“Anak sama Bapak, sama aja,” lirih Zeliya yang masih bisa di dengar oleh telinga Bryan.
“Maksud lo apa?” Bryan terlihat murka. Ia sangat tidak suka disamakan dengan pria yang dibencinya.
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti
"Setelah semua yang aku lakukan, adakah jalan tobat bagi wanita seperti aku ini, Zeliya?" lirih Selena seolah terdengar berputus asa. Zeliya mengusap bahunya lembut."Jangan pernah berputus asa, Allah itu maha pengampun. Justru, Allah senang kalau hamba-hamba yang melampaui batas datang kembali padanya. Kamu sudah menyesali semua perbuatanmu, Selena. Kamu hanya perlu memperbaiki diri, hijrah dan banyak solat tobat diiringi istighfar.""Setiap aku ingat momen-momen itu, rasanya malu dan marah pada diriku sendiri.""Itu masa lalu, Selena. Allah nggak akan liat masa lalumu, yang penting masa depanmu ini kamu gunakan sebaik-baiknya buat taat sama Allah, juga membesarkan anakmu dengan sepenuh hati. Dia bisa jadi ladang pahala buatmu.""Aamin, terimakasih Zeliya. Hanya kamu yang nggak menghakimi aku, semua keluargaku mengusirku, menatapku seolah aku adalah wanita yang hina, pelacur dan tidak pantas hidup. Aku bener-bener nggak tau lagi harus gimana.""Ka
Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
Zeliya beranjak dari sajadahnya karena mendengar suara ketukan pintu dan suara orang mengucap salam. Dahinya mengernyit, tumben malam-malam begini ada tamu laki-laki ke rumah Ibunya, kira-kira siapa? "Wa'alaikumussalam, iya sebentar," jawab Zeliya, ia memasang cadar, lalu membuka pintu. Matanya membulat melihat siapa yang datang. "M-mas, k-kenapa kamu ada di sini?" bisik Zeliya lirih. Ia hampir tidak percaya ada sang suami di depan matanya, pasalnya tadi sore Bryan terlihat muak sekali melihat dirinya. Tapi kenapa kini menemuinya? "Sayang, maafkan aku," lirih Bryan dengan raut menyesal. "Siapa tamunya Nak?" Ibu Zeliya bertanya sembali menyusul keluar dari kamar. "Loh, suamimu Nak, ayo ajak ke dalam, malah pada bengong di luar, gimana tho." Syifa tersenyum menyambut menantunya. Bryan segera bersalaman dan menciumi tanyan mertuanya. "Maafkan Bryan Bu, maaf." Wajah Bryan terlihat lesu dan merasa bersalah. Ia pikir istrinya sudah menferutakan keburukan dirinya kepada Iby mertua. "Eh
Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
Teringat kembali kata-kata suaminya, Zeliya kembali menitikkan air matanya. Bryan terlihat murka ketika tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan seorang pria di masa lalu. Tapi, ia berani bersumpah, tidak pernah disentuh oleh Reno, dalam artian kehormatannya tidak pernah ia gadaikan kepada pria brengsek itu."Mas... Kalau kamu mau dengerin aku..." lirih Zeliya, berdiri mematung di depan kamar. Ia tahu Bryan pasti mendengarnya, tapi pria itu memilih diam tanpa menyahut. Tidak ingin membuat suaminya semakin murka, akhirnya Zeliya memutuskan untuk pergi dari rumah, karena toh suaminya sudah menyuruhmya untuk pergi. "Mas, kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi," ucap Zeliya sembari menyeka air mata. Ia hanya ingin membiarkan Bryan untuk mencerna semua yang terjadi. Pria itu sedang lelah karena pekerjaan ditambah kedatangan pria bernama Reno yang pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang hubungan sang istri dan pria itu."Tapi, aku mau pergi kemana? Kalau ke rumah Ayah, nant
Zeliya kembali ke kamar mandi karena ia merasa mual terus menerus, bahkan wajahnya sudah pucat saat ini. Sudah lima kali ia memuntahkan isi perutnya, walau hanya air. Kepalanya pun sangat pening, padahal ia ditarget oleh dosen pembimbingnya untuk menyelesaikan revisi bab dua skripsinya."Zeliya!" panggil Bryan dengan namanya, bukan seperti panggilan biasanya. Zeliya yang hanya mendengar sayup-sayup panggilan itu menyahut dengan lirih dengan keadaan tubuh yang lemah.Derap kaki yang terdengar, membuat Zeliya segera keluar kamar mandi dan mendapati wajah Bryan yang lelah, bahkan pria itu kini memiliki kumis sedikit di bagian bibirnya, mungkin tidak sempat cukur. Zeliya memaksakan senyum manisnya."Kamu udah datang Mas? kamu minum apa?" tanya Zeliya. Kini ia hanya berpakaian tank top, karena ia baru selesai mandi namun ternyata ia kembali muntah terus menerus dan belum sempat berpakaian. Bryan menatap tubuh istrinya dari atas ke bawah, tubuh yang ternyata tidak han
Zeliya belakangan memang disibukkan oleh konsultasi skripsi yang dilakukannya di kampus. Padahal, ia sudah negosiasi kepada dua dosen pembimbingnya agar bisa konsultasi online karena ia merasa sering tidak enak badan akhir-akhir ini, tapi sayangnya kedua dosen itu tidak mau tahu, Saat ia berjalan pelan di koridor ruangan para dosen, ia mendapat pesan dari Bryan yakni sang suami. Pria itu juga akhir-akhir ini bertambah sibuk, karena setelah resign dari perusahaan agensi modelnya, kini bergelut mengurus perusahaan Ayahnya yang besar dan memang sedang acak-acakkan, untunglah teman-teman pria itu membantu. [Sayang, maaf, malam ini aku nggak pulang ya, kerjaan aku di kantor banyak banget, nggak kelar-kelar, nggak papa ya, kamu sendirian di rumah?] Zeliya membalas dengan cepat, ia juga ingin segera agar urusan perusahaan suaminya lancar dan cepat selesai, tentu saja ia mengizinkannya, asal Bryan sibuk dengan pekerjaan dan bukan dengan yang lain. [Iya Mas, nggak papa, jangan lupa makan y
Seminggu sejak Ayahnya di pindahkan ke ruang VVIP, Bryan kini sudah bisa beraktifitas kembali, juga Zeliya yang mulai fokus kuliah dan bekerja di Butik Arham.Hari ini, tepat dimana Ayahnya akan pulang dari rumah sakit karena kondisinya sudah membaik. "Kalau kamu ada kuliah, nggak papa, nggak usah ke rumah sakit Zeliya," ucap Bryan pada istrinya yang tengah mematut diri di cermin, setelah malam yang menjadikan keduanya suami istri seutuhnya, Bryan dan Zeliya menempati hanya satu kamar. Tepatnya di kamar Bryan."Iya Mas, hari ini aku juga ada janji sama dosen untuk konsul skripsiku."Bryan mengangguk, ia memasang hem berwarna biru di tubuhnya. Menjadi outer dari kaos putih polos yang begitu serasi di kulit putih bersihnya. Menghampiri istrinya yang terduduk di meja rias, menatap wajah ayu itu dari pantulan kaca."Ada apa Mas?" tanya Zeliya, membalas tatapan suaminya dari kaca."Kamu selalu cantik di mataku," balas Bryan, membuat wajah Zeliya merona.
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada