"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?”
Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.
“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.
Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya.
“Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.
“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?
Deg!
Seketika bulu kuduk dibalik kerudung Zeliya meremang. Jantungnya berdetak lebih cepat, ia menduga yang tidak-tidak. Jangan-jangan Eric ingin menjadikannya istri atau wanita simpanan yang kesekian? Tidak, Zeliya harus bisa menolak dengan tegas. Padahal, kemarin ia sudah menaruh kepercayaan pada pria paruh baya itu, bahwa mungkin saja kabar mengenai Eric memiliki banyak wanita disisinya hanyalah rumor belaka. Namun kini, sepertinya perkataan Ibunya benar. Zeliya menyesal, karena relah ceroboh dan kin masuk ke kandang serigala.
“Saya masih kuliah Pak,” jawab Zeliya dengan nada yang ia buat setenang mungkin.
“Sanggup jika sambil menikah?” tanya Eric lagi.
“Kenapa bapak tanya begitu? Saya belum mau menikah, lagi pula, saya merasa belum ada pria yang cocok. Insyaa Allah, jika saya udah siap, akan minta dicarikan saja ke ustadzah yang saya kenal,” jelas Zeliya secara tidak langsung ia ingin Eric mengerti perkataannya bahwa wanita bercadar ini belum siap menikah dan ketika siap nanti, akan menjemputnya dengan cara yang baik dalam Islam, taaruf.
“Kalau ada yang mau menikah dengan kamu, kamu mau?”
Seketika jantung Zeliya mencelos, kini Eric terang-terangan memberi kode jika pria itu menawarkan diri untuk menikahinya. Ia tidak habis pikir, apa yang menarik dari dirinya yang hanya anak pembantu, memakai pakaian tertutup, jauh dari kata seksi dan pria itu tidak pernah melihat keadaan wajahnya. Mengapa tiba-tiba ingin menikahinya? Apa karena peristiwa ia menyelamatkan Eric?
“S-saya… tidak bisa Pak,” tolak Zeliya tanpa mempertanyakan siapa pria yang bersedia menikah dengannya. Jelaslah, Eric Davidson, si Casanova, pecinta wanita. Zeliya rasanya ingin pergi dari sana, namun kakinya terasa berat, serta ia juga masih memiliki rasa sopan kepada orang yang lebih tua darinya.
“Kalau Ibumu saya pecat dari pekerjaan ini, kira-kira dia masih mampu membiayai kuliahmu?”
Pertanyaan Eric yang to the point dan tanpa Zeliya harus memutar otak untuk memahaminya, membuat wanita bercadar itu kembali tersentak. Ah, sepertinya setelah ini ia harus merehatkan jantungnya yang berdetak kencang terus menerus.
“Maksud Bapak apa? kenapa Ibu saya di pecat Pak?” tanya Zeliya tidak mengerti. Ia berfikir, apakah Eric tengah bermaksud mengancamnya.
“Ya kalau kamu tidak mengikuti kata saya,” ujar Eric dengan santai. Pria itu seperti senang mendapatkan ekspresi mengiba yang ditujukan oleh Zeliya walau lewat nada bicaranya. Wanita bercadar itu jelas tidak ingin Ibunya kehilangan pekerjaan yang itu berarti biaya untuk uang kuliah juga menghilang. Hanya Eric yang memberikan banyak gaji dan tunjuangan untuk karyawannya. Kerjaan dimana lagi yang mampu membuat seorang pembantu, menyekolahkan anaknya di sekolahan yang cukup ternama?
“Silakan pikirkan baik-baik. Jika kamu bersedia menikah, maka kamu tidak perlu repot mengeluarkan dana sepeserpun. Semua, akan saya tanggung."
Zeliya tidak bisa lagi menyembunyikan kegundahan dan ketakutannya terhadap ancaman yang secara langsung ditujukan Tuan Davidson kepadanya. Saat pulang dari menggantikan pekerjaan Ibunya, wanita bercadar itu terus menerus menangis.
“Apa yang harus aku katakan pada Ibu?” gumam Zeliya. “Ini semua salahku. Coba saja, menurut sama Ibu, tidak akan aku berurusan dengan Davidson. Ya Allah, tolonglah hamba dari kejahatan makhlukmu.”
Walau ditengah suasana hati yang tidak karuan, Zeliya tidak melupakan kewajibannya menuntut ilmu. Bertolak dari rumah besar Tuan Davidson untuk pergi ke kampusnya. Sayang, jika ia menyia-nyiakan waktu dengan membolos karena permasalahan pribadi. Akan sangat rugi sang Ibu memeras keringat hanya demi menyekolahkannya di perguruan tinggi.
Zeliya menatap nanar kresek yang ia bawa, walau ia berniat mengembalikan saat berkunjung ke rumah pria bertindik itu. Tapi, ia urungkan karena suasana hatinya memburuk setelah bertemu Eric Davidson. Ancaman pria itu terus terngiang di telinganya.
Sesuai dengan perkataan pria bertindik tempo hari, agar mereka bertemu kembali di café, Zeliya menunggu, berharap hari ini pria itu memang berkunjung ke café, sehingga tidak sia-sia ia membawakan kresek itu.
Terlihat tiga orang pria kembali meriuhkan suasana café, mereka tetawa terbahak tanpa beban, seolah hidup masih lama dan ajal masihlah jauh. Pria yang kemarin mabuk dan hampir memperkosa dirinya. Zeliya bergidik membayangkan itu dan lebih bergidik dan ngeri jika membayangkan harus bersanding dengan Ayah dari pria itu lalu hidup serumah dengan pria bertindik yang akan menjadi anak tirinya. Naudzubillah, Zeliya menggeleng kuat.
“Kenapa lo masih nolak cinta dia huh?” Angkasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Bryan yang membuang kesempatan untuk berpacaran dengan wanita yang bernama Selena Adverson, seorang model terkenal yang kini juga tengah berusaha menggaet nama Bryan untuk menjadi seorang model.
Mengingat wajah dan postur tubuh Bryan yang oke, tidak akan rugi bagi Selena untuk membuat pria yang disukainya menjadi model papan atas.
Padahal, Bryan menyetujui permintaan Selena untuk menjadi model, bukan karena ia mencintai wanita itu. Ia hanya ingin menambah uang sakunya, karena sang Ayah diam-diam menonaktifkan beberapa kartu atmnya. Entah apa tujuan dari pria tua itu, Bryan masih tidak mengerti. Apa pria itu mencoba membuat anaknya menderita bertambah-tambah? Setelah apa yang selama ini diperbuatnya? Bryan tidak tahu. Yang jelas, Bryan semakin benci segala hal menyangkut Ayahnya dan yang ia terima dari sang Ayah adalah uangnya.
“Dan lo nggak usah campurin urusan cinta gue.” Tanpa menjawab Angkasa, Bryan justru berkata pedas.
“Oh yaya, ampun-ampun,” ucap Angkasa dengan meringis, ia beranjak seperti biasa, memesan minuman.
Sedangkan Ferdinand, matanya membulat melihat Zeliya yang berada di pojok, tengah duduk sambil menatap laptop,
“Itu cewek bercadar tempo hari,” tunjuk Ferdinad. Bryan dan Alex serempak menoleh.
“Gue datangin dia dulu,” ujar Bryan angkat pantat. Namun, tangan Alex menahan.
“Nggak usah cari gara-gara. Lupain kejadian kemarin itu,” ucap Alex dengan bijak. Bryan menepisnya.
“Gue emang ada urusan sama dia. Jaket gue ada di dia,” jelas Bryan, membuat Alex dan Ferdinand saling pandang tidak mengerti. Mereka kemarin tidak sadar, jika Alex tidak memakai jaket lagi hingga mereka berpesta di apartemen Ferdinad dan pulang dalam keadaan mabuk, kecuali Alex yang masih terjaga kewarasannya.
“Mana jaket gue?” Bryan tanpa aba-aba lagi langsung bertanya kepada wanita yang tengah menatap layar laptop dengan keanggunannya itu.
Mendengar suara berat itu, Zeliya mendongak. Matanya yang terbalut kacamata itu kembali bersirobok dengan netra pria bertindik yang membuatnya trauma. Zeliya membuang pandangan, sedangkan Bryan kembali terpaku. Ia seperti tidak asing dengan mata itu, mata yang membuatnya suka menatap lama-lama.
Zeliya menyodorkan kresek tanpa berkata-kata, membuat Bryan menghembuskan nafas. Bahkan setelah berhari-hari mereka tidak bertemu, tidak adakah koreksi dalam diri wanita bercadar itu, bahwa yang salah tempo hari bukan dirinya, tapi Zeliya. Atau minimal, Zeliya meminta maaf karena membuatnya di tonjok habis-habisan oleh Ayahnya.
“Nggak ada yang mau kamu katakan?” tanya Bryan, rasanya ia ingin duduk dan memastikan. Namun, tangan Zeliya yang dibalut kain yang entah apa itu menahannya. Melarangnya duduk.
“Nggak ada. Kecuali kejadian kemarin, kamu telah melecehkanku, setidaknya sadari kelakuanmu dan jangan lakukan itu lagi, kepada wanita lain,” jelas Zeliya memperingatkan. Bryan tertawa remeh.
“Lo kira, aku bakal memperkosamu? Cuih.” Bryan meludah ke samping. Hampir saja mengenai orang yang beru saja lewat.
“Siapa yang tertarik dengan cewek ninja kayak lo?” lanjutnya dengan menggidikkan bahu.
“Urusan kita selesai ya. Kalau kamu nggak ingin minta maaf untuk kejadian kemarin, terserah. Yang jelas, jangan ulangi perilaku tidak bermoral itu.” Zeliya tidak tahan untuk berdebat dengan Bryan. Apalagi menatap wajah pria itu, mengingatkannya pada Eric yang memintanya untuk menikah. Segera saja, ia mematikan laptop, memasukkannya ke dalam tas.
Sekali lagi, kerudung Zeliya tertarik ke belakang dan pelakunya adalah pria tidak sopan yang bertindik itu. “Lepas!” gertak Zeliya dengan mata berkilat, kali ini pria itu keterlaluan.
“Bryan! Ngapain lo disana?!” teriak Angkasa yang sudah membawakan pesanan minuman ke meja mereka.
“Tuan Bryan. Bisakah anda menghargai wanita sedikit saja? Anda, jika saya tuntut karena pelecehan, dipastikan akan berakhir di penjara,” ancam Zeliya.
“Hahaha. Berani ngancem gue lo. Lo nggak tau bapak gue? Eric Davidson? Dia itu kaya, kalau pun aku dipenjara, paling cuma sehari, habis itu Bapak gue bisa ngeluarin gue darisana.” Bryan membanggakan kekayaan sang Ayah, karena hanya itu yang bisa dibanggakan dari pria itu, selainnya minus semua, menurut Bryan.
“Anak sama Bapak, sama aja,” lirih Zeliya yang masih bisa di dengar oleh telinga Bryan.
“Maksud lo apa?” Bryan terlihat murka. Ia sangat tidak suka disamakan dengan pria yang dibencinya.
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti