Beranda / Pernikahan / Hijrah Cinta Bryan / Ancaman Eric Davidson

Share

Ancaman Eric Davidson

"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” 

Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.

“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.

Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. 

“Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.

“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?

Deg!

Seketika bulu kuduk dibalik kerudung Zeliya meremang. Jantungnya berdetak lebih cepat, ia menduga yang tidak-tidak. Jangan-jangan Eric ingin menjadikannya istri atau wanita simpanan yang kesekian? Tidak, Zeliya harus bisa menolak dengan tegas. Padahal, kemarin ia sudah menaruh kepercayaan pada pria paruh baya itu, bahwa mungkin saja kabar mengenai Eric memiliki banyak wanita disisinya hanyalah rumor belaka. Namun kini, sepertinya perkataan Ibunya benar. Zeliya menyesal, karena relah ceroboh dan kin masuk ke kandang serigala. 

“Saya masih kuliah Pak,” jawab Zeliya dengan nada yang ia buat setenang mungkin.

“Sanggup jika sambil menikah?” tanya Eric lagi.

“Kenapa bapak tanya begitu? Saya belum mau menikah, lagi pula, saya merasa belum ada pria yang cocok. Insyaa Allah, jika saya udah siap, akan minta dicarikan saja ke ustadzah yang saya kenal,” jelas Zeliya secara tidak langsung ia ingin Eric mengerti perkataannya bahwa wanita bercadar ini belum siap menikah dan ketika siap nanti, akan menjemputnya dengan cara yang baik dalam Islam, taaruf.

“Kalau ada yang mau menikah dengan kamu, kamu mau?”

Seketika jantung Zeliya mencelos, kini Eric terang-terangan memberi kode jika pria itu menawarkan diri untuk menikahinya. Ia tidak habis pikir, apa yang menarik dari dirinya yang hanya anak pembantu, memakai pakaian tertutup, jauh dari kata seksi dan pria itu tidak pernah melihat keadaan wajahnya. Mengapa tiba-tiba ingin menikahinya? Apa karena peristiwa ia menyelamatkan Eric?

“S-saya… tidak bisa Pak,” tolak Zeliya tanpa mempertanyakan siapa pria yang bersedia menikah dengannya. Jelaslah, Eric Davidson, si Casanova, pecinta wanita. Zeliya rasanya ingin pergi dari sana, namun kakinya terasa berat, serta ia juga masih memiliki rasa sopan kepada orang yang lebih tua darinya.

“Kalau Ibumu saya pecat dari pekerjaan ini, kira-kira dia masih mampu membiayai kuliahmu?” 

Pertanyaan Eric yang to the point dan tanpa Zeliya harus memutar otak untuk memahaminya, membuat wanita bercadar itu kembali tersentak. Ah, sepertinya setelah ini ia harus merehatkan jantungnya yang berdetak kencang terus menerus.

“Maksud Bapak apa? kenapa Ibu saya di pecat Pak?” tanya Zeliya tidak mengerti. Ia berfikir, apakah Eric tengah bermaksud mengancamnya.

“Ya kalau kamu tidak mengikuti kata saya,” ujar Eric dengan santai. Pria itu seperti senang mendapatkan ekspresi mengiba yang ditujukan oleh Zeliya walau lewat nada bicaranya. Wanita bercadar itu jelas tidak ingin Ibunya kehilangan pekerjaan yang itu berarti biaya untuk uang kuliah juga menghilang. Hanya Eric yang memberikan banyak gaji dan tunjuangan untuk karyawannya. Kerjaan dimana lagi yang mampu membuat seorang pembantu, menyekolahkan anaknya di sekolahan yang cukup ternama?

“Silakan pikirkan baik-baik. Jika kamu bersedia menikah, maka kamu tidak perlu repot mengeluarkan dana sepeserpun. Semua, akan saya tanggung."

Zeliya tidak bisa lagi menyembunyikan kegundahan dan ketakutannya terhadap ancaman yang secara langsung ditujukan Tuan Davidson kepadanya. Saat pulang dari menggantikan pekerjaan Ibunya, wanita bercadar itu terus menerus menangis. 

“Apa yang harus aku katakan pada Ibu?” gumam Zeliya. “Ini semua salahku. Coba saja, menurut sama Ibu, tidak akan aku berurusan dengan Davidson. Ya Allah, tolonglah hamba dari kejahatan makhlukmu.”

Walau ditengah suasana hati yang tidak karuan, Zeliya tidak melupakan kewajibannya menuntut ilmu. Bertolak dari rumah besar Tuan Davidson untuk pergi ke kampusnya. Sayang, jika ia menyia-nyiakan waktu dengan membolos karena permasalahan pribadi. Akan sangat rugi sang Ibu memeras keringat hanya demi menyekolahkannya di perguruan tinggi.

Zeliya menatap nanar kresek yang ia bawa, walau ia berniat mengembalikan saat berkunjung ke rumah pria bertindik itu. Tapi, ia urungkan karena suasana hatinya memburuk setelah bertemu Eric Davidson. Ancaman pria itu terus terngiang di telinganya.

Sesuai dengan perkataan pria bertindik tempo hari, agar mereka bertemu kembali di café, Zeliya menunggu, berharap hari ini pria itu memang berkunjung ke café, sehingga tidak sia-sia ia membawakan kresek itu. 

Terlihat tiga orang pria kembali meriuhkan suasana café, mereka tetawa terbahak tanpa beban, seolah hidup masih lama dan ajal masihlah jauh. Pria yang kemarin mabuk dan hampir memperkosa dirinya. Zeliya bergidik membayangkan itu dan lebih bergidik dan ngeri jika membayangkan harus bersanding dengan Ayah dari pria itu lalu hidup serumah dengan pria bertindik yang akan menjadi anak tirinya. Naudzubillah, Zeliya menggeleng kuat.

“Kenapa lo masih nolak cinta dia huh?” Angkasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Bryan yang membuang kesempatan untuk berpacaran dengan wanita yang bernama Selena Adverson, seorang model terkenal yang kini juga tengah berusaha menggaet nama Bryan untuk menjadi seorang model.

Mengingat wajah dan postur tubuh Bryan yang oke, tidak akan rugi bagi Selena untuk membuat pria yang disukainya menjadi model papan atas.

Padahal, Bryan menyetujui permintaan Selena untuk menjadi model, bukan karena ia mencintai wanita itu. Ia hanya ingin menambah uang sakunya, karena sang Ayah diam-diam menonaktifkan beberapa kartu atmnya. Entah apa tujuan dari pria tua itu, Bryan masih tidak mengerti. Apa pria itu mencoba membuat anaknya menderita bertambah-tambah? Setelah apa yang selama ini diperbuatnya? Bryan tidak tahu. Yang jelas, Bryan semakin benci segala hal menyangkut Ayahnya dan yang ia terima dari sang Ayah adalah uangnya.

“Dan lo nggak usah campurin urusan cinta gue.” Tanpa menjawab Angkasa, Bryan justru berkata pedas.

“Oh yaya, ampun-ampun,” ucap Angkasa dengan meringis, ia beranjak seperti biasa, memesan minuman.

Sedangkan Ferdinand, matanya membulat melihat Zeliya yang berada di pojok, tengah duduk sambil menatap laptop,

“Itu cewek bercadar tempo hari,” tunjuk Ferdinad. Bryan dan Alex serempak menoleh.

“Gue datangin dia dulu,” ujar Bryan angkat pantat. Namun, tangan Alex menahan.

“Nggak usah cari gara-gara. Lupain kejadian kemarin itu,” ucap Alex dengan bijak. Bryan menepisnya.

“Gue emang ada urusan sama dia. Jaket gue ada di dia,” jelas Bryan, membuat Alex dan Ferdinand saling pandang tidak mengerti. Mereka kemarin tidak sadar, jika Alex tidak memakai jaket lagi hingga mereka berpesta di apartemen Ferdinad dan pulang dalam keadaan mabuk, kecuali Alex yang masih terjaga kewarasannya.

“Mana jaket gue?” Bryan tanpa aba-aba lagi langsung bertanya kepada wanita yang tengah menatap layar laptop dengan keanggunannya itu.

Mendengar suara berat itu, Zeliya mendongak. Matanya yang terbalut kacamata itu kembali bersirobok dengan netra pria bertindik yang membuatnya trauma. Zeliya membuang pandangan, sedangkan Bryan kembali terpaku. Ia seperti tidak asing dengan mata itu, mata yang membuatnya suka menatap lama-lama.

Zeliya menyodorkan kresek tanpa berkata-kata, membuat Bryan menghembuskan nafas. Bahkan setelah berhari-hari mereka tidak bertemu, tidak adakah koreksi dalam diri wanita bercadar itu, bahwa yang salah tempo hari bukan dirinya, tapi Zeliya. Atau minimal, Zeliya meminta maaf karena membuatnya di tonjok habis-habisan oleh Ayahnya.

“Nggak ada yang mau kamu katakan?” tanya Bryan, rasanya ia ingin duduk dan memastikan. Namun, tangan Zeliya yang dibalut kain yang entah apa itu menahannya. Melarangnya duduk.

“Nggak ada. Kecuali kejadian kemarin, kamu telah melecehkanku, setidaknya sadari kelakuanmu dan jangan lakukan itu lagi, kepada wanita lain,” jelas Zeliya memperingatkan. Bryan tertawa remeh.

“Lo kira, aku bakal memperkosamu? Cuih.” Bryan meludah ke samping. Hampir saja mengenai orang yang beru saja lewat. 

“Siapa yang tertarik dengan cewek ninja kayak lo?” lanjutnya dengan menggidikkan bahu.

“Urusan kita selesai ya. Kalau kamu nggak ingin minta maaf untuk kejadian kemarin, terserah. Yang jelas, jangan ulangi perilaku tidak bermoral itu.” Zeliya tidak tahan untuk berdebat dengan Bryan. Apalagi menatap wajah pria itu, mengingatkannya pada Eric yang memintanya untuk menikah. Segera saja, ia mematikan laptop, memasukkannya ke dalam tas. 

Sekali lagi, kerudung Zeliya tertarik ke belakang dan pelakunya adalah pria tidak sopan yang bertindik itu. “Lepas!” gertak Zeliya dengan mata berkilat, kali ini pria itu keterlaluan.

“Bryan! Ngapain lo disana?!” teriak Angkasa yang sudah membawakan pesanan minuman ke meja mereka. 

“Tuan Bryan. Bisakah anda menghargai wanita sedikit saja? Anda, jika saya tuntut karena pelecehan, dipastikan akan berakhir di penjara,” ancam Zeliya. 

“Hahaha. Berani ngancem gue lo. Lo nggak tau bapak gue? Eric Davidson? Dia itu kaya, kalau pun aku dipenjara, paling cuma sehari, habis itu Bapak gue bisa ngeluarin gue darisana.” Bryan membanggakan kekayaan sang Ayah, karena hanya itu yang bisa dibanggakan dari pria itu, selainnya minus semua, menurut Bryan.

“Anak sama Bapak, sama aja,” lirih Zeliya yang masih bisa di dengar oleh telinga Bryan.

“Maksud lo apa?” Bryan terlihat murka. Ia sangat tidak suka disamakan dengan pria yang dibencinya.

1497/5000

Lanjut kah? Like komen dong? biar otornya semangat lanjut

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status