"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun.
Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.
Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu.
Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.
Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.
“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lemah, ia sebenarnya tidak tega membiarkan putrinya kuliah nyambi kerja. Anaknya pasti lelah seharian diluar rumah.
“Iya. Kamu nggak capek kerja hampir seharian, terus kuliah sampai sore?” tanya Syifa sambil mengelus balik punggung tangan sang putri.
“Nggak. Ibu santai aja.”
“Bagaimana Tuan Davidson?”
Deg!
Zeliya terdiam, ia bingung harus menceritakan mulai dari mana. Haruskah ia mengatakan jika ia tengah diancam? Atau haruskah ia mengatakan lebih dulu, bahwa sang Ibu akan di pecat karena alasan yang tidak jelas? Ibunya pasti sedih. Kehilangan pekerjaan utama yang berharga, untuk menopang hidup dan membiayai kuliahnya.
“Bu. Bagaimana jika Ibu berhenti bekerja di rumah besar itu. Ibu nggak usah kerja lagi. Istirahat total pokoknya. Aku mau nyambi jadi supir kaget,” jelas Zeliya tiba-tiba, membuat kening Syifa berkerut dalam.
Zeliya telah berfikir keras untuk lebih baik ia menghindari keluarga Devidson, untuk keselamatannya. Ia sudah mencari pekerjaan yang kira-kira bisa menambal biaya UKTnya sendiri. Menurut salah satu temannya, menjadi supir kaget atau supir dadakan bayarannya lumayan. Karena klien bisa memesan kapanpun, dimanapun dan dengan kelebihan supir kaget harus menjaga rahasia klien. Misalnya, jika supir kaget menjemput pejabat yang sedang selingkuh, supir akan tinggal diam dan menjaga rahasia. Atau misal, supir kaget menjemput artis yang sedang berusaha menghindari paparazi, supir itu akan diam-diam dan tidak mengumbar bahwa sang arti tengah bersamanya. Dan masih banyak lagi, keuntungan supir kaget. Mereka tidak berafiliasi pada perusahaan besar semisal Gojek atau Grab. Mereka memiliki perusahaan sendiri.
Namun, disamping itu alasan Zeliya memilih pekerjaan sebagai supir kaget, tidak semua kliennya negatif. Bisa saja kliennya adalah turis, orang-orang yang malas menggunakan jasa Grab/Gojek dan lain-lainnya.
“Setidaknya, gaji untuk pekerjaan itu menggiurkan,” batin Zeliya, padahal resikonya besar. Namun, menurutnya menjaga rahasia itu tidak sulit baginya.
“Kamu mau jadi supir kaget?” Syifa terkejut, hingga tubuhnya ikut bangkit, menyender di tembok.
“Iya Bu. Gajinya lumayan, daripada kerja hampir seharian di café,” jelas Zeliya.
"Apa tidak beresiko Nak? Kamu mungkin ketemu orang-orang asing yang nggak kamu kenal. Kamu ketemu pria-pria asing. Ibu khawatir terjadi apa-apa."
“Ya Allah Bu, seperti nggak tahu Zeliya aja. begini-begini, Zeliya mainnya udah jauh. Tenang aja, berkal pencak silat, Zeliya bisa menjaga diri.” Zeliya berusaha meyakinkan Ibunya bahwa ia bisa menjaga diri dengan baik.
“Sepanjang niatku nggak membenarkan kelakuan bejat klien, misalnya aku dapat klien semisal itu, sepertinya tidak apa-apa,” batin Zeliya. Ia juga sebenarnya merasa ragu dengan pekerjaan supir kaget. Tapi, sepanjang pekerjaan itu mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya, ia bisa melakukan. Dan kabar baiknya, bekerja sebagai supir kaget tidak harus bepenampilan menarik, seksi, harus pakai rok, celana ketat atau aturan-aturan lain yang Zeliya temukan ketika melamar pekerjaan sampingan seperti di café atau restoran.
Ia pernah ditolak mentah-mentah saat melamar di restoran, bukan karena wawancaranya tidak bagus, tapi karena Zeliya menolak memakai seragam restoran yang berbentuk hem, dengan rok ketat sampai betis, namun ada belahan di tengahnya. Oh no, Zeliya tidak bisa membayangkan ia mengenakan itu. Menurutnya, tidak benar mengorbankan pakaian muslimahnya, untuk pekerjaan.
“Kenapa kamu nyuruh Ibu berhenti kerja untuk keluarga Davidson?” tanya Syifa yang mengetahui gelagat putrinya.
“Nggak papa. Aku rasa, Ibu tidak harus lelah bekerja lagi. Dari pekerjaan menjadi supir kaget, aku sudah mempehitungkan, bisa membayar UKT-ku sendiri. Nah, tabungan yang ada ini, nanti buat usaha kita aja dirumah, jualan gorengan atau cemilan aja,” jelas Zeliya menggebu-gebu. Namun, melihat Ibunya menggeleng, wajahanya berubah abu-abu.
“Ada apa? apa terjadi sesuatu saat kamu bekerja di sana?” tebak Syifa, menatap mata putrinya, berusaha menggali alasan mengapa putrinya mendadak menyuruhnya berhenti kerja. Padahal, jika tidak sakit, pekerjaan di keluarga Davidson ringan saja bagi tubuhnya yang sudah renta.
“Bu. Aku nggak ingin bertemu dengan Tuan Davidson lagi,” ujar Zeliya akhirnya jujur. Ia menunduk.
“Maafkan aku, nggak nurut perkataan Ibu tempo hari.”
“Ada apa Nak? Apa tuan Davidson marah padamu?”
Zeliya menggeleng. “Ibu harus behenti bekerja disana. Pak Davidson berniat memecat Ibu.”
“Apa?” kaget Syifa. Untuk alasan apa Davidson memecatnya? Bukankah ia tidak pernah melakukan kesalahan? Apa putrinya telah melakukan kesalahan, hingga membuat pria itu murka dan mengancam memecat sang ibu?
“Iya, beliau mengatakan akan memecat Ibu jika aku…” Zeliya menggantung ucapannya. Menggigit bibir bawahnya. Lama terdiam hingga ia menitikkan air mata. Ia takut.
“Aku takut Bu.”
Syifa yang melihat anaknya menangis segera memeluk untuk menenangkan. “Ada apa? apa yang sebenranya terjadi? Apa Tuan Davidson…” Syifa tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Takut dugaan sementaranya benar-benar terjadi pada sang putri.
“Benar kata Ibu, Tuan Davidson adalah maniak wanita. Dia mengajakku menikah Bu,” jelas Zeliya dengan tangis yang semakin keras.
“Ya Allah, bagaimana bisa Nak? Kamu tertutup begini, bagaiaman bisa Davidson tertarik padamu?”
Zeliya menggeleng. “Aku juga tidak tahu Bu. Aku takut. Sebaiknya kita tidak usah lagi berurusan dengan dia Bu.”
Di tempat lain. Tepatnya, di kediaman keluarga Davidson. Bryan mengundang teman-temannya untuk party bersama. Tidak peduli sudah berapa kali Ayahnya melarang ia membawa teman-temannya ke rumah, ia akan terus melakukannya.
“Om Eric kemana?” tanya Ferdinad sembari celingukkan. Bryan mengangkat bahu, ia tidak peduli keberadaan pria yang selalu sibuk itu, jika bukan dengan pekerjaan ya dengan wanita jalang.
“Jadi, kita akan bertanding besok malam dengan Geng Kukuruyuk?” tanya Bryan pada Alex yang paham betul jadwal balapan mereka. Alex mengangguk, pria itu menghirup rokok dengan tenang, kepalanya menyender, tidak ada raut bijak lagi pada wajahnya, karena sedang teler akibat alkohol.
“Guys, kayaknya aku nggak bisa party lama-lama,” celetuk Angkasa yang sudah menandaskan satu botol minuman keras. Ferdinad yang tengah menggigit gemas kulit ayam crispy menatap Angkasa tidak setuju.
“Mau kemana? Disini dulu lah, kita party buat keberhasilan kita melawan Geng Odong-odong,” ucap Ferdinand yang memang hampir kemana-mana mengikut Angkasa. Bahkan jika ke toilet boleh ikut, Ferdinand akan ikut. Ia memang penasaran dengan pesona Angkasa yang mampu menggaet wanita lalu menidurinya.
“Gue mau nganu,” ucap Angkasa dengan datar, membuat Bryan, Alex dan Ferdinand melongo.
“Gila! Nganu siang bolong lo. Cewek mana lagi yang lo embat?” Ferdinand sampai ketar-ketir. Ia sebenarnya masih tidak menyangka, pria yang cenderung dingin, kalem dan perhatian seperti Angkasa, paling doyan berhubungan dengan wanita.
“Ada deh. Gue pamit ya, kebelet. Nah, lo lo minum dulu, udah gue tuangin tambahan obat di gela-gelas ini,” tunjuk Angkasa pada gelas-gelas yang sudah berisi cairan haram dipadukan dengan obat-obatan yang akan membuat teman-temannya bertambah melayang-layang. Sepanjang tidak mati, biarkan saya. Angkasa sangat suka meracik minuman, karena dia ternyata pemilik salah satu Bar dipusat kota.
“Mau sampai kapan kalian begini?” suara berat seseorang membuat Bryan dan kedua temannya menoleh. Mendapati Eric yang baru saja datang dari luar. Sepertinya pria itu baru pulang dari kantor.
“Om… apa kabar?” sapa Ferdinand walau sudah setengah sadar. Ia mengangukkan kepala sebagai bentuk kesopanan pada yang lebih tua. Sedangkan Alex, pria dengan perawakan tinggi yang menyamai Bryan itu berdiri, langsung rukuk ke arah Ayah Bryan. Beda dengan Bryan, pria itu acuh tidak acuh. Malah menyilangkan kaki di atas sofa.
“Sampai kami puas,” sahut Bryan dingin.
“Kalian bisa pulang sendiri ‘kan?” tanya Eric dengan nada datar, membuat Ferdinand yang sedikit waras menyadari, jika maksud Eric adalah ‘kalian nggak pulang sekarang?’
“Iya Om. Siap, kami akan pulang. Alex, yuk!” ajak Ferdinand, ia berusaha memapah orang bijak bernama Alex yang kini sudah tidak karuan akibat mabuk.
Bryan melempar botol-botol minuman haram itu, hingga cairan dan beling-belingnya berceceran kemana-mana. Ia tidak suka jika Ayahnya mengatur hidupnya, mengusir teman-temannya dan mengganggu kesenangannya.
“Kenapa kau usir mereka huh?!” geram Bryan. Ia berdiri, menatap nyalang ke arah Eric yang hanya menggelengkan kepala.
“Tidurlah. Malam ini, aku mau ngomong serius denganmu,” ujar Eric dan belarlu begitu saja. Membuat Bryan melempar kembali botol minuman ke arah punggung Ayahnya, walau tidak kenal.
“Sial! Sial! Kenapa gue harus bergantung pada pria seperti dia? Sial!” makinya sembari mencakar wajah tampannya sendiri.
Jangan lupa tambahkan cerita ini ke dalam keranjang baca kalian. Baca juga ceritaku yang lain ya, judulnya Dinikahi Dosen
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti
Zeliya mengamati Ibunya yang tengah sibuk memasak nasi goreng. Padahal ia sudah menawarkan diri untuk membantu tapi wanita yang melahirkan itu menolaknya halus dengan alasan ingin membuat nasi goreng khasnya sendiri khusus untuk sang buah hati. Zeliya begitu terharu dengan kasih sayang Ibunya, ia semakin takut jika harus membicarakan perihal perjodohan itu. Khawatir sang Ibu kaget lalu kembali jatuh sakit lagi.“Kamu ke kampus jam berapa?” tanya Syifa sembari terbatuk-batuk. Ia menyajikan dua porsi nasi goreng di meja.“Sore Bu,” balas Zeliya, tidak henti memperhatikan gerak Ibunya.“Kenapa kamu merhatiin Ibu terus? Ada yang mau dibicarakan?” tanya Syifa yang seolah memahami geak-gerik putrinya.Zeliya menghela nafas, lalu mengangguk dengan ragu. “Ya udah, dimakan dulu, setelah kenyang baru bicara,” jelas Syifa.“Bu, selama ini Ibu pernah mikir nggak kita berhutang banyak pada Pak Eric?” t
"Setelah semua yang aku lakukan, adakah jalan tobat bagi wanita seperti aku ini, Zeliya?" lirih Selena seolah terdengar berputus asa. Zeliya mengusap bahunya lembut."Jangan pernah berputus asa, Allah itu maha pengampun. Justru, Allah senang kalau hamba-hamba yang melampaui batas datang kembali padanya. Kamu sudah menyesali semua perbuatanmu, Selena. Kamu hanya perlu memperbaiki diri, hijrah dan banyak solat tobat diiringi istighfar.""Setiap aku ingat momen-momen itu, rasanya malu dan marah pada diriku sendiri.""Itu masa lalu, Selena. Allah nggak akan liat masa lalumu, yang penting masa depanmu ini kamu gunakan sebaik-baiknya buat taat sama Allah, juga membesarkan anakmu dengan sepenuh hati. Dia bisa jadi ladang pahala buatmu.""Aamin, terimakasih Zeliya. Hanya kamu yang nggak menghakimi aku, semua keluargaku mengusirku, menatapku seolah aku adalah wanita yang hina, pelacur dan tidak pantas hidup. Aku bener-bener nggak tau lagi harus gimana.""Ka
Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
Zeliya beranjak dari sajadahnya karena mendengar suara ketukan pintu dan suara orang mengucap salam. Dahinya mengernyit, tumben malam-malam begini ada tamu laki-laki ke rumah Ibunya, kira-kira siapa? "Wa'alaikumussalam, iya sebentar," jawab Zeliya, ia memasang cadar, lalu membuka pintu. Matanya membulat melihat siapa yang datang. "M-mas, k-kenapa kamu ada di sini?" bisik Zeliya lirih. Ia hampir tidak percaya ada sang suami di depan matanya, pasalnya tadi sore Bryan terlihat muak sekali melihat dirinya. Tapi kenapa kini menemuinya? "Sayang, maafkan aku," lirih Bryan dengan raut menyesal. "Siapa tamunya Nak?" Ibu Zeliya bertanya sembali menyusul keluar dari kamar. "Loh, suamimu Nak, ayo ajak ke dalam, malah pada bengong di luar, gimana tho." Syifa tersenyum menyambut menantunya. Bryan segera bersalaman dan menciumi tanyan mertuanya. "Maafkan Bryan Bu, maaf." Wajah Bryan terlihat lesu dan merasa bersalah. Ia pikir istrinya sudah menferutakan keburukan dirinya kepada Iby mertua. "Eh
Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
Teringat kembali kata-kata suaminya, Zeliya kembali menitikkan air matanya. Bryan terlihat murka ketika tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan seorang pria di masa lalu. Tapi, ia berani bersumpah, tidak pernah disentuh oleh Reno, dalam artian kehormatannya tidak pernah ia gadaikan kepada pria brengsek itu."Mas... Kalau kamu mau dengerin aku..." lirih Zeliya, berdiri mematung di depan kamar. Ia tahu Bryan pasti mendengarnya, tapi pria itu memilih diam tanpa menyahut. Tidak ingin membuat suaminya semakin murka, akhirnya Zeliya memutuskan untuk pergi dari rumah, karena toh suaminya sudah menyuruhmya untuk pergi. "Mas, kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi," ucap Zeliya sembari menyeka air mata. Ia hanya ingin membiarkan Bryan untuk mencerna semua yang terjadi. Pria itu sedang lelah karena pekerjaan ditambah kedatangan pria bernama Reno yang pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang hubungan sang istri dan pria itu."Tapi, aku mau pergi kemana? Kalau ke rumah Ayah, nant
Zeliya kembali ke kamar mandi karena ia merasa mual terus menerus, bahkan wajahnya sudah pucat saat ini. Sudah lima kali ia memuntahkan isi perutnya, walau hanya air. Kepalanya pun sangat pening, padahal ia ditarget oleh dosen pembimbingnya untuk menyelesaikan revisi bab dua skripsinya."Zeliya!" panggil Bryan dengan namanya, bukan seperti panggilan biasanya. Zeliya yang hanya mendengar sayup-sayup panggilan itu menyahut dengan lirih dengan keadaan tubuh yang lemah.Derap kaki yang terdengar, membuat Zeliya segera keluar kamar mandi dan mendapati wajah Bryan yang lelah, bahkan pria itu kini memiliki kumis sedikit di bagian bibirnya, mungkin tidak sempat cukur. Zeliya memaksakan senyum manisnya."Kamu udah datang Mas? kamu minum apa?" tanya Zeliya. Kini ia hanya berpakaian tank top, karena ia baru selesai mandi namun ternyata ia kembali muntah terus menerus dan belum sempat berpakaian. Bryan menatap tubuh istrinya dari atas ke bawah, tubuh yang ternyata tidak han
Zeliya belakangan memang disibukkan oleh konsultasi skripsi yang dilakukannya di kampus. Padahal, ia sudah negosiasi kepada dua dosen pembimbingnya agar bisa konsultasi online karena ia merasa sering tidak enak badan akhir-akhir ini, tapi sayangnya kedua dosen itu tidak mau tahu, Saat ia berjalan pelan di koridor ruangan para dosen, ia mendapat pesan dari Bryan yakni sang suami. Pria itu juga akhir-akhir ini bertambah sibuk, karena setelah resign dari perusahaan agensi modelnya, kini bergelut mengurus perusahaan Ayahnya yang besar dan memang sedang acak-acakkan, untunglah teman-teman pria itu membantu. [Sayang, maaf, malam ini aku nggak pulang ya, kerjaan aku di kantor banyak banget, nggak kelar-kelar, nggak papa ya, kamu sendirian di rumah?] Zeliya membalas dengan cepat, ia juga ingin segera agar urusan perusahaan suaminya lancar dan cepat selesai, tentu saja ia mengizinkannya, asal Bryan sibuk dengan pekerjaan dan bukan dengan yang lain. [Iya Mas, nggak papa, jangan lupa makan y
Seminggu sejak Ayahnya di pindahkan ke ruang VVIP, Bryan kini sudah bisa beraktifitas kembali, juga Zeliya yang mulai fokus kuliah dan bekerja di Butik Arham.Hari ini, tepat dimana Ayahnya akan pulang dari rumah sakit karena kondisinya sudah membaik. "Kalau kamu ada kuliah, nggak papa, nggak usah ke rumah sakit Zeliya," ucap Bryan pada istrinya yang tengah mematut diri di cermin, setelah malam yang menjadikan keduanya suami istri seutuhnya, Bryan dan Zeliya menempati hanya satu kamar. Tepatnya di kamar Bryan."Iya Mas, hari ini aku juga ada janji sama dosen untuk konsul skripsiku."Bryan mengangguk, ia memasang hem berwarna biru di tubuhnya. Menjadi outer dari kaos putih polos yang begitu serasi di kulit putih bersihnya. Menghampiri istrinya yang terduduk di meja rias, menatap wajah ayu itu dari pantulan kaca."Ada apa Mas?" tanya Zeliya, membalas tatapan suaminya dari kaca."Kamu selalu cantik di mataku," balas Bryan, membuat wajah Zeliya merona.
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada