"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun.
Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.
Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu.
Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.
Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.
“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lemah, ia sebenarnya tidak tega membiarkan putrinya kuliah nyambi kerja. Anaknya pasti lelah seharian diluar rumah.
“Iya. Kamu nggak capek kerja hampir seharian, terus kuliah sampai sore?” tanya Syifa sambil mengelus balik punggung tangan sang putri.
“Nggak. Ibu santai aja.”
“Bagaimana Tuan Davidson?”
Deg!
Zeliya terdiam, ia bingung harus menceritakan mulai dari mana. Haruskah ia mengatakan jika ia tengah diancam? Atau haruskah ia mengatakan lebih dulu, bahwa sang Ibu akan di pecat karena alasan yang tidak jelas? Ibunya pasti sedih. Kehilangan pekerjaan utama yang berharga, untuk menopang hidup dan membiayai kuliahnya.
“Bu. Bagaimana jika Ibu berhenti bekerja di rumah besar itu. Ibu nggak usah kerja lagi. Istirahat total pokoknya. Aku mau nyambi jadi supir kaget,” jelas Zeliya tiba-tiba, membuat kening Syifa berkerut dalam.
Zeliya telah berfikir keras untuk lebih baik ia menghindari keluarga Devidson, untuk keselamatannya. Ia sudah mencari pekerjaan yang kira-kira bisa menambal biaya UKTnya sendiri. Menurut salah satu temannya, menjadi supir kaget atau supir dadakan bayarannya lumayan. Karena klien bisa memesan kapanpun, dimanapun dan dengan kelebihan supir kaget harus menjaga rahasia klien. Misalnya, jika supir kaget menjemput pejabat yang sedang selingkuh, supir akan tinggal diam dan menjaga rahasia. Atau misal, supir kaget menjemput artis yang sedang berusaha menghindari paparazi, supir itu akan diam-diam dan tidak mengumbar bahwa sang arti tengah bersamanya. Dan masih banyak lagi, keuntungan supir kaget. Mereka tidak berafiliasi pada perusahaan besar semisal Gojek atau Grab. Mereka memiliki perusahaan sendiri.
Namun, disamping itu alasan Zeliya memilih pekerjaan sebagai supir kaget, tidak semua kliennya negatif. Bisa saja kliennya adalah turis, orang-orang yang malas menggunakan jasa Grab/Gojek dan lain-lainnya.
“Setidaknya, gaji untuk pekerjaan itu menggiurkan,” batin Zeliya, padahal resikonya besar. Namun, menurutnya menjaga rahasia itu tidak sulit baginya.
“Kamu mau jadi supir kaget?” Syifa terkejut, hingga tubuhnya ikut bangkit, menyender di tembok.
“Iya Bu. Gajinya lumayan, daripada kerja hampir seharian di café,” jelas Zeliya.
"Apa tidak beresiko Nak? Kamu mungkin ketemu orang-orang asing yang nggak kamu kenal. Kamu ketemu pria-pria asing. Ibu khawatir terjadi apa-apa."
“Ya Allah Bu, seperti nggak tahu Zeliya aja. begini-begini, Zeliya mainnya udah jauh. Tenang aja, berkal pencak silat, Zeliya bisa menjaga diri.” Zeliya berusaha meyakinkan Ibunya bahwa ia bisa menjaga diri dengan baik.
“Sepanjang niatku nggak membenarkan kelakuan bejat klien, misalnya aku dapat klien semisal itu, sepertinya tidak apa-apa,” batin Zeliya. Ia juga sebenarnya merasa ragu dengan pekerjaan supir kaget. Tapi, sepanjang pekerjaan itu mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya, ia bisa melakukan. Dan kabar baiknya, bekerja sebagai supir kaget tidak harus bepenampilan menarik, seksi, harus pakai rok, celana ketat atau aturan-aturan lain yang Zeliya temukan ketika melamar pekerjaan sampingan seperti di café atau restoran.
Ia pernah ditolak mentah-mentah saat melamar di restoran, bukan karena wawancaranya tidak bagus, tapi karena Zeliya menolak memakai seragam restoran yang berbentuk hem, dengan rok ketat sampai betis, namun ada belahan di tengahnya. Oh no, Zeliya tidak bisa membayangkan ia mengenakan itu. Menurutnya, tidak benar mengorbankan pakaian muslimahnya, untuk pekerjaan.
“Kenapa kamu nyuruh Ibu berhenti kerja untuk keluarga Davidson?” tanya Syifa yang mengetahui gelagat putrinya.
“Nggak papa. Aku rasa, Ibu tidak harus lelah bekerja lagi. Dari pekerjaan menjadi supir kaget, aku sudah mempehitungkan, bisa membayar UKT-ku sendiri. Nah, tabungan yang ada ini, nanti buat usaha kita aja dirumah, jualan gorengan atau cemilan aja,” jelas Zeliya menggebu-gebu. Namun, melihat Ibunya menggeleng, wajahanya berubah abu-abu.
“Ada apa? apa terjadi sesuatu saat kamu bekerja di sana?” tebak Syifa, menatap mata putrinya, berusaha menggali alasan mengapa putrinya mendadak menyuruhnya berhenti kerja. Padahal, jika tidak sakit, pekerjaan di keluarga Davidson ringan saja bagi tubuhnya yang sudah renta.
“Bu. Aku nggak ingin bertemu dengan Tuan Davidson lagi,” ujar Zeliya akhirnya jujur. Ia menunduk.
“Maafkan aku, nggak nurut perkataan Ibu tempo hari.”
“Ada apa Nak? Apa tuan Davidson marah padamu?”
Zeliya menggeleng. “Ibu harus behenti bekerja disana. Pak Davidson berniat memecat Ibu.”
“Apa?” kaget Syifa. Untuk alasan apa Davidson memecatnya? Bukankah ia tidak pernah melakukan kesalahan? Apa putrinya telah melakukan kesalahan, hingga membuat pria itu murka dan mengancam memecat sang ibu?
“Iya, beliau mengatakan akan memecat Ibu jika aku…” Zeliya menggantung ucapannya. Menggigit bibir bawahnya. Lama terdiam hingga ia menitikkan air mata. Ia takut.
“Aku takut Bu.”
Syifa yang melihat anaknya menangis segera memeluk untuk menenangkan. “Ada apa? apa yang sebenranya terjadi? Apa Tuan Davidson…” Syifa tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Takut dugaan sementaranya benar-benar terjadi pada sang putri.
“Benar kata Ibu, Tuan Davidson adalah maniak wanita. Dia mengajakku menikah Bu,” jelas Zeliya dengan tangis yang semakin keras.
“Ya Allah, bagaimana bisa Nak? Kamu tertutup begini, bagaiaman bisa Davidson tertarik padamu?”
Zeliya menggeleng. “Aku juga tidak tahu Bu. Aku takut. Sebaiknya kita tidak usah lagi berurusan dengan dia Bu.”
Di tempat lain. Tepatnya, di kediaman keluarga Davidson. Bryan mengundang teman-temannya untuk party bersama. Tidak peduli sudah berapa kali Ayahnya melarang ia membawa teman-temannya ke rumah, ia akan terus melakukannya.
“Om Eric kemana?” tanya Ferdinad sembari celingukkan. Bryan mengangkat bahu, ia tidak peduli keberadaan pria yang selalu sibuk itu, jika bukan dengan pekerjaan ya dengan wanita jalang.
“Jadi, kita akan bertanding besok malam dengan Geng Kukuruyuk?” tanya Bryan pada Alex yang paham betul jadwal balapan mereka. Alex mengangguk, pria itu menghirup rokok dengan tenang, kepalanya menyender, tidak ada raut bijak lagi pada wajahnya, karena sedang teler akibat alkohol.
“Guys, kayaknya aku nggak bisa party lama-lama,” celetuk Angkasa yang sudah menandaskan satu botol minuman keras. Ferdinad yang tengah menggigit gemas kulit ayam crispy menatap Angkasa tidak setuju.
“Mau kemana? Disini dulu lah, kita party buat keberhasilan kita melawan Geng Odong-odong,” ucap Ferdinand yang memang hampir kemana-mana mengikut Angkasa. Bahkan jika ke toilet boleh ikut, Ferdinand akan ikut. Ia memang penasaran dengan pesona Angkasa yang mampu menggaet wanita lalu menidurinya.
“Gue mau nganu,” ucap Angkasa dengan datar, membuat Bryan, Alex dan Ferdinand melongo.
“Gila! Nganu siang bolong lo. Cewek mana lagi yang lo embat?” Ferdinand sampai ketar-ketir. Ia sebenarnya masih tidak menyangka, pria yang cenderung dingin, kalem dan perhatian seperti Angkasa, paling doyan berhubungan dengan wanita.
“Ada deh. Gue pamit ya, kebelet. Nah, lo lo minum dulu, udah gue tuangin tambahan obat di gela-gelas ini,” tunjuk Angkasa pada gelas-gelas yang sudah berisi cairan haram dipadukan dengan obat-obatan yang akan membuat teman-temannya bertambah melayang-layang. Sepanjang tidak mati, biarkan saya. Angkasa sangat suka meracik minuman, karena dia ternyata pemilik salah satu Bar dipusat kota.
“Mau sampai kapan kalian begini?” suara berat seseorang membuat Bryan dan kedua temannya menoleh. Mendapati Eric yang baru saja datang dari luar. Sepertinya pria itu baru pulang dari kantor.
“Om… apa kabar?” sapa Ferdinand walau sudah setengah sadar. Ia mengangukkan kepala sebagai bentuk kesopanan pada yang lebih tua. Sedangkan Alex, pria dengan perawakan tinggi yang menyamai Bryan itu berdiri, langsung rukuk ke arah Ayah Bryan. Beda dengan Bryan, pria itu acuh tidak acuh. Malah menyilangkan kaki di atas sofa.
“Sampai kami puas,” sahut Bryan dingin.
“Kalian bisa pulang sendiri ‘kan?” tanya Eric dengan nada datar, membuat Ferdinand yang sedikit waras menyadari, jika maksud Eric adalah ‘kalian nggak pulang sekarang?’
“Iya Om. Siap, kami akan pulang. Alex, yuk!” ajak Ferdinand, ia berusaha memapah orang bijak bernama Alex yang kini sudah tidak karuan akibat mabuk.
Bryan melempar botol-botol minuman haram itu, hingga cairan dan beling-belingnya berceceran kemana-mana. Ia tidak suka jika Ayahnya mengatur hidupnya, mengusir teman-temannya dan mengganggu kesenangannya.
“Kenapa kau usir mereka huh?!” geram Bryan. Ia berdiri, menatap nyalang ke arah Eric yang hanya menggelengkan kepala.
“Tidurlah. Malam ini, aku mau ngomong serius denganmu,” ujar Eric dan belarlu begitu saja. Membuat Bryan melempar kembali botol minuman ke arah punggung Ayahnya, walau tidak kenal.
“Sial! Sial! Kenapa gue harus bergantung pada pria seperti dia? Sial!” makinya sembari mencakar wajah tampannya sendiri.
Jangan lupa tambahkan cerita ini ke dalam keranjang baca kalian. Baca juga ceritaku yang lain ya, judulnya Dinikahi Dosen
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti
Zeliya mengamati Ibunya yang tengah sibuk memasak nasi goreng. Padahal ia sudah menawarkan diri untuk membantu tapi wanita yang melahirkan itu menolaknya halus dengan alasan ingin membuat nasi goreng khasnya sendiri khusus untuk sang buah hati. Zeliya begitu terharu dengan kasih sayang Ibunya, ia semakin takut jika harus membicarakan perihal perjodohan itu. Khawatir sang Ibu kaget lalu kembali jatuh sakit lagi.“Kamu ke kampus jam berapa?” tanya Syifa sembari terbatuk-batuk. Ia menyajikan dua porsi nasi goreng di meja.“Sore Bu,” balas Zeliya, tidak henti memperhatikan gerak Ibunya.“Kenapa kamu merhatiin Ibu terus? Ada yang mau dibicarakan?” tanya Syifa yang seolah memahami geak-gerik putrinya.Zeliya menghela nafas, lalu mengangguk dengan ragu. “Ya udah, dimakan dulu, setelah kenyang baru bicara,” jelas Syifa.“Bu, selama ini Ibu pernah mikir nggak kita berhutang banyak pada Pak Eric?” t