“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.
“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”
“Sial!”
Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.
“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.
“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadarannnya seratus persen ada padanya. Sikap dewasanya muncul, bentuk perhatiannya ia tujukan terang-terangan pada Bryan.
“Iya, tumben lo kayak nggak semangat gitu. Lawan kita malam ini geng Kukuruyuk loh,” timpal Angkasa yang tidak mau kehilangan kesempatan untuk membalaskan dendam lama, karena sebulan lalu saat melawan Geng pongah itu, mereka kalah telak dan harus menyerahkan sejumlah tiga digit tabungan Geng motornya itu pun tidak cukup, karena ia sendiri harus meraup tambahan dari penghasilan Barnya. Benar-benar kesialan hakiki, sampai-sampai, ia menahan diri untuk tidak mengonsumsi alkohol termahal simpanannya, demi menjualnya kepada konsumen dulu.
“Wah, gue nggak sabar, ngeliat muka ketua gengnya kusut bin kesusut, hahah.” Ferdinand justru tertawa sendiri, ia pikir leluconnya lucu. Padahal tiga temannya tengah menatap Bryan serius.
“Bokap gue, mau nikahin gue,” keluh Bryan akhirnya. Bola mata teman-temannya membulat, termasuk Alex yang bisa menetralkan wajah, kali ini tidak terkendali lagi sakit terkejutnya.
Ferdinand yang tadi mengatupkan mulut karena bercanda di saat yang tidak tepat, kini menutup mulut sendiri dengan tangannya. Sedangkan Angkasa, merasa tiba-tiba tenggorokannya kering.
“Gimana bisa bokap lo nyuruh nikah? Gila apa? eh…” Ferdinand menepuk mulutnya yang salah bicara, karena telah mengatakan secara langsung bahwa Eric Davidson telah gila.
“Maksud gue, Bokap lo kenapa sih tiba-tiba mau nikahin lo. Sama siapa?” tanya Ferdinad setelah meralat kata-katanya.
“Gue juga nggak tahu. Dia yang nyariin buat gue. Kalau gue nolak, fasilitas yang dia beri akan dicabut dan lo tau yang paling parah? Koleksi motor gue, bakal dia sita. Bajingan!” maki Bryan lagi, pikirannya buntu, ia tidak tahu mesti menolak dengan cara apa. Ia memikirkan bagaimana agar bisa menolak ancaman Ayahnya dan fasilitas tetap diberikan padanya.
“Sabar, sabar dulu, kita cari solusi bersama.” Alex menatap bergantian teman-temannya. Lalu, menepuk bahu Bryan.
“Kami tau permasalahan lo berat, gue jika di posis lo juga bakal kepikiran. Tapi, malam ini sesuai kesepakatan kita, harus profesional untuk menghadapi Geng Kukuruyuk. Lo bisa ‘kan Bry?” tanya Alex penuh harap. Di dalam kepalanya sudah berputar kemenangan telak bagi Geng motornya. Ia juga membayangkan bisa membawa adik-adiknya ke beberapa tempat liburan dan menambah biaya perobatan Ayahnya yang tengah sakit. Mungkin karena itulah, terkadang atau bahkan sering Alex yang paling bisa mengatur keuangan diantara teman-temannya yang lain. Ia juga sigap mengatur jadwal Balap dengan baik karena tidak ingin melewatkan kesempatan mendapatkan cuan.
“Argh!” Bryan yang telah melepas helmnya, mengacak rambut, namun tetap tidak mengurangi ketampanannya. Wajar saja, Selena sampai klepek-kelepek, Ferdinand bahkan geleng-geleng kepala, saking heran kenapa dengan wajah kacau begitu Bryan masih terlihat ganteng.
“Gue ada ide,” celetuk Angkasa yang membuat tiga temannya menatapnya. Angkasa memang cerdas dan banyak ide, terbukti beberapa Balapan liar yang berhasil, karena strategi dari pria itu.
“Jika kita menang taruhan dengan Geng Kukuruyuk, duit itu, kita simpan dan kita harus komitmen libur Clubbing selama sebulan. Nah, misalnya selama sebulan Om Eric menarik fasilitas Bryan dan kamu Bryan khususnya,” tunjuk Angkasa pada Bryan. “Kamu… berhenti minum dulu, jadi anak rumahan, rebahan aja, nggak usah Clubbing, pokoknya memingit diri di rumah. Itu bisa—“
“Gila lo Ka!” kesal Bryan menolak mentah-mentah ide yang cemerlang yang dikeluarkan Angkasa. “Mana bisa gue lepas dari minum, itu oase bagi jiawa gue,” lanjut Bryan.
Angkasa mengangkat tangannya di udara. “Tenang bro, sementara doang. Gue yakin, Bokap lo bakal ngira lo berhenti dan setelah itu mengembalikan fasilitas yang dia berikan pada lo. Yakin sama gue, bukankah ide gue nggak pernah meleset?”
“Gue bisa mati dengan cara itu. Ide buruk,” keluh Bryan. Suara sirine dari motor Geng Kukuruyuk membuat mereka saling pandang. Alex yang memang selalu memakai arloji kemana dan dimana pun, menengok benda itu di tangan kirinya, tiga puluh menit lagi, pertandingan akan dimulai.
“Kita nggak ada waktu buat mikirin itu sekarang. Bry, kita nggak akan maksa lo. Tapi kita tanya ke lo, siap nggak untuk pertandingan malam ini?” tanya Alex tidak memaksakan kehendak, walau hatinya ingin. Bryan mendesah panjang.
“Gue juga nggak ingin melewatkan kesempatan ini,” ujar Bryan akhirnya mereka tancap gas untuk pergi menuju area Balapan.
Zeliya berusaha fokus menyelesaikan tugas makalanya, namun pikirannya terus dihantui oleh ancaman Eric Davidson. “Apa yang menarik dari diriku bagi dia?” keluh Zeliya. Ia masih tidak habis pikir dengan pria paruh baya itu.
“Bagaimana pun caranya, aku harus bisa menolaknya. Dan biarlah, jika memang harus kehilangan pekerjaan itu. Toh, orang kaya tidak hanya Eric Davidson. Masih bisa mencari pekerjaan ditempat lain,” ujarnya pada diri sendiri. Zeliya melihat kalender, ia saat ini baru menginjak semester enam, masih dua semester yang harus ia lalui untuk lulus dari kampus. Itu pun jika ia semangat mengerjakan setiap tugas, hingga akhir. Jika luput sedikit saja, ia akan menambah kuota semesternya. Dan hal itu, tidak bisa ia bayangkan.
Mengingat biaya uang kuliah tunggalnya, bukan berarti Zeliya tidak memiliki beasiswa. Ia mendapat dana dari kampus karena ia sebagai mahasiswa teladan, namun tetap tidak mencukupi untuk biaya uang kuliah, hanya mencukupi untuk kebutuhan biaya praktek dan keperluan sehari-harinya.
“Kenapa belum ada orderan masuk ke aku ya?” tanya Zeliya begitu ia memperhatikan layar ponselnya tidak hidup sama sekali. Ia menunggu telpon dari klien yang memintanya untuk menjemput.
“Sabar, rezeki Allah yang ngatur,” katanya menyemangati diri sendiri.
Sedangkan Bryan dan teman-temannya. Tengah bersusah payah melawan Geng Kukuruyuk dalam pertandingan balapan liar dengan taruhan yang kalah harus membayar sebanyak sebesar tiga digit untuk geng yang menang.
Selena, wanita yang telah mengagumi Bryan sejak lama, ternyata hadir juga. Model terkenal itu, pergi dengan beberapa teman wanita yang ternyata sering digunakan sebagai tim hore untuk menyamangati para pria-pria yang akan memulai balapan.
Seorang wanita dengan penampilan yang terbuka dibawah dan atasnya, memegang bendera dengan simbol Naga yang dipadukan dengan simbol Singa, dia berdiri di depan para pembalap yang matanya sudah sama-sama tajam. Bukan melihat paha terbuka di depan, tapi melihat mata satu sama lain dengan nuansa permusuhan.
Bryan menancap gas begitu pluit tanda Balapan ready telah dibunyikan. Tiga temannya yang berada persis di sampingnya terlihat fokus, sedangkan Bryan ternyata tidak bisa. Berkali-kali ia tersalib oleh salah satu anggota Geng Kukuruyuk, membuat mulutnya tidak berhenti menyebutkan satu-satu nama binatang di kebun Ragunan.
“Gara-gara lo nggak fokus Bry, kita rugi banyak.” Angkasa terlihat murka, dengan tatapannya yang dingin menusuk ke arah Bryan yang hanya bisa memaki sambil mencakar-cakar wajah sendiri. Alex menghela nafas, ia sebenarnya kecewa juga pada Bryan karena pertandingan di menangkan oleh Kukuruyuk. Dan sepanjang pertandingan, ia tahu Bryan tida fokus.
“Maafin gue,” lirih Bryan.
“Gue mau tenangin diri dulu,” ujar Angkasa dengan wajah datar. Ia menatap ke arah Ferdinand yang hanya bisa terdiam, takut-takut jika teman-temannya malah berantem gara-gara kekalahan telak ini. Matanya sedikit bergoyang begitu tatapan Angkasa jatuh padanya. “Lo mau ikut gue atau mereka?” tanya Angkasa, maksud mereka adalah ‘Bryan dan Alex’ ia tahu, Alex dalam kondisi apapun akan tetap disisi Bryan.
“G-gue…” Ferdinand terlihat bingung dan ragu.
“Gue, ikut lo.” Ferdinand mencicit diakhir dengan suaranya. Angkasa menatap sekilas ke arah Bryam dan ia pun pergi, di susul Ferdinand.
“Shit!” maki Bryan, ia segera melengos juga meninggalkan Alex tanpa kata-kata. Dan Alex yang paling dewasa itu, tahu tujuan Bryan kemana. Jika pria itu sedang emosi dan tidak karuan pasti pergi ke Club lalu mencari mangsa untuk dianiaya.
“Dia mau kemana?” tanya Selena khawatir.
“Clubbing,” jawab Alex singkat namun dengan helaan nafas.
“Aku akan ikuti dia,” ucap gadis dengan balutan jaket hitam, topi hitam di kepala dan dengan paha yang terkeskpos itu. Wanita itu memang sengaja berpakaian begitu, agar ia tidak bertemu atau dikenali oleh fansnya. Alex menggeleng, bukan saat yang tepat menemui Bryan. Khawatir Selena jadi sasaran.
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti
Zeliya mengamati Ibunya yang tengah sibuk memasak nasi goreng. Padahal ia sudah menawarkan diri untuk membantu tapi wanita yang melahirkan itu menolaknya halus dengan alasan ingin membuat nasi goreng khasnya sendiri khusus untuk sang buah hati. Zeliya begitu terharu dengan kasih sayang Ibunya, ia semakin takut jika harus membicarakan perihal perjodohan itu. Khawatir sang Ibu kaget lalu kembali jatuh sakit lagi.“Kamu ke kampus jam berapa?” tanya Syifa sembari terbatuk-batuk. Ia menyajikan dua porsi nasi goreng di meja.“Sore Bu,” balas Zeliya, tidak henti memperhatikan gerak Ibunya.“Kenapa kamu merhatiin Ibu terus? Ada yang mau dibicarakan?” tanya Syifa yang seolah memahami geak-gerik putrinya.Zeliya menghela nafas, lalu mengangguk dengan ragu. “Ya udah, dimakan dulu, setelah kenyang baru bicara,” jelas Syifa.“Bu, selama ini Ibu pernah mikir nggak kita berhutang banyak pada Pak Eric?” t
Bryan memilih salah satu out fit yang telah dipilihkan oleh Ayahnya yaitu kemeja berwarna putih dengan celana slim fit berwarna hitam. “Daripada gue makai ini, bisa-bisa di kira Pak Ustadz,” gumam Bryan dengan menatap ngeri pakaian lainnnya yang berbentuk koko, ditambah kopiahnya pula.“Papah kayak nggak ngerti seleraku aja,” celetuknya kesal. “Tapi, ini bolehlah, walau gue nggak suka juga.” Bryan tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya di cermin. Pria itu mengambil ponsel di atas nakas dan terakhir, menyampirkan jas hitam di bahunya. “Let’s go!” gumamnya.Detak langkah Bryan mengiringinya menuruni anak tangga, terlihat Eric tengah duduk di ruang tamu sembari sesekali menengok arlojinya. Bryan berdiri saja di depan sang Ayah, tanpa berbicara apapun. Wajahnya jelas ia buat masam, karena tidak suka dengan pakaian dan acara hari ini.Eric tersenyum kecil di balik wajah datarnya ketika melihat penampilan