Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.
“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.
“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.
“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.
“Abang Arham?” Zeliya menyipitkan mata begitu seorang pria keluar dari sebuah mobil yang mengeluarkan sirine polisi.Pria dengan perawakan jangkung itu tersenyum ramah, “Gimana keadaan pria tadi?” tanya Arham yang ternyata menyimak perkelahian antara Bryan dan Geng motor Odong-odong.“Dia baik-baik aja,” balas Zeliya. “Ngomong-ngomong Bang, aku tadi denger suara sirine, tapi nggak ada mobil polisi pun disini. Sumbernya dari mobil Abang?” Zeliya memastikan sambil menatap mobil berwarna silver di depannya.Arham tertawa kecil. “Iya. Keponakanku ingin agar mobil ini diberi fitur sirine. Bapakanya ‘kan polisi, jadi dia ingin mobil Omnya pakai itu. Ada-ada aja anak kecil, tapi ternyata berguna juga ya? Mampu buat geng motor ketar-ketir,” ujar Arham.“Oh begitu. Kakak sekedar lewat aja atau ada kepentingan ke aku?” tanya Zeliya langsung, barangkali pria itu memiliki kepentingan pula dengan dirinya, jika tidak, ia tidak ingin membuang waktu untuk pergi ke panti asuhan.“Sementara nggak. Aku
Bryan berniat untuk menemui Zeliya di café tempat dimana ia bisa menemukan wanita itu. “Semoga dia ke café hari ini,” gumam Bryan.Ia menikmati kopi pahit seorang diri, tanpa kehadiran teman-temannya karena ia sendiri yang menyuruh mereka untuk menemani Alex dimasa-masa terpuruknya. Sedangkan dirinya, tengah berusaha untuk mendapatkan dana yang akan memudahkan pengobatan Ayahnya Alex.Mulai matahari terbit hingga terbenamnya, Bryan menunggu kedatangan Zeliya ke café namun ternyata wanita itu tidak ada. “Argh, aku harus cari dia kemana?” gusarnya. Namun, ia baru ingat jika bisa jadi Alex masih menyimpan nomor Supir kagetnya tempo hari. Siapa tahu apa yang diduga Alex benar, jika yang menjadi supir kaget, adalah benar Zeliya."Kenapa baru kepikiran," kesalnya pada diri sendiri.Setelah mendapat balasan pesan dari Alex, segera saja Bryan menelpon. Hari semakin senja dan sudah lewat azan Maghrib. Boro-boro salat, Bryan memilih untuk duduk diam di motornya yang masih terparkir di halaman
Zeliya mendapatkan orderan supir kaget, pukul sembilan malam. Wanita itu menimbang dengan rasa ragu, kali ini entah mengapa perasaannya tidak enak. Ia juga masih terpikir kejadian tadi siang, saat bertemu Eric Davidson dan bahwa dirinya menyetujui perjodohan dengan Bryan.“Mungkin karena perasaanku nggak enak belakangan ini,” gumam Zeliya dan bersiap untuk mengenakan cadarnya.Saat dirinya hendak keluar, panggilan sang Ibu menghentikannya. “Kemana Nak?” tanya Syifa walau ia tahu, anaknya pasti mendapatkan pelanggan.“Em…aku, nggak papa ya Bu, aku keluar malam ini ya? Sebentar saja,” ucap Zeliya dengan ragu-ragu, tanpa mengucap tujuannya.“Supir kaget?” tebak Syifa. Zeliya mengangguk terbata.Syifa menghela nafas, ia sebenarnya khawatir dengan pekerjaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya yang teguh pendirian itu sering sulit untuk diingatkan. Syifa menjadi kepikiran tentan rencana perjodohan yang diminta mantan Majikannya itu. Jika dia dan Zeliya menerima, bukankah putrinya ti
Zeliya mengamati Ibunya yang tengah sibuk memasak nasi goreng. Padahal ia sudah menawarkan diri untuk membantu tapi wanita yang melahirkan itu menolaknya halus dengan alasan ingin membuat nasi goreng khasnya sendiri khusus untuk sang buah hati. Zeliya begitu terharu dengan kasih sayang Ibunya, ia semakin takut jika harus membicarakan perihal perjodohan itu. Khawatir sang Ibu kaget lalu kembali jatuh sakit lagi.“Kamu ke kampus jam berapa?” tanya Syifa sembari terbatuk-batuk. Ia menyajikan dua porsi nasi goreng di meja.“Sore Bu,” balas Zeliya, tidak henti memperhatikan gerak Ibunya.“Kenapa kamu merhatiin Ibu terus? Ada yang mau dibicarakan?” tanya Syifa yang seolah memahami geak-gerik putrinya.Zeliya menghela nafas, lalu mengangguk dengan ragu. “Ya udah, dimakan dulu, setelah kenyang baru bicara,” jelas Syifa.“Bu, selama ini Ibu pernah mikir nggak kita berhutang banyak pada Pak Eric?” t
Bryan memilih salah satu out fit yang telah dipilihkan oleh Ayahnya yaitu kemeja berwarna putih dengan celana slim fit berwarna hitam. “Daripada gue makai ini, bisa-bisa di kira Pak Ustadz,” gumam Bryan dengan menatap ngeri pakaian lainnnya yang berbentuk koko, ditambah kopiahnya pula.“Papah kayak nggak ngerti seleraku aja,” celetuknya kesal. “Tapi, ini bolehlah, walau gue nggak suka juga.” Bryan tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya di cermin. Pria itu mengambil ponsel di atas nakas dan terakhir, menyampirkan jas hitam di bahunya. “Let’s go!” gumamnya.Detak langkah Bryan mengiringinya menuruni anak tangga, terlihat Eric tengah duduk di ruang tamu sembari sesekali menengok arlojinya. Bryan berdiri saja di depan sang Ayah, tanpa berbicara apapun. Wajahnya jelas ia buat masam, karena tidak suka dengan pakaian dan acara hari ini.Eric tersenyum kecil di balik wajah datarnya ketika melihat penampilan
Sesampainya di basement hotel bintang lima, kepala Bryan masih saja dipenuhi oleh bayangan Zeliya yang menyetop taksi. Dirinya menduga malam ini pasti Zeliya akan mendapat beberapa kali orderan karena ada pernikahan besar yang membuat para artis, pejabat dan pengusaha berkumpul. Tentu, Bryan tahu konsep pernikahan sahabat Selena ini, di sana pasti akan banyak tersaji minuman memabukkan dan tentunya beberapa para undangan akan teler.Bryan berjalan di depan diikuti Selena, pria itu tidak sadar jika sedari tadi Selena terus saja berusaha mengaitkan lengannya. “Bry,” panggil Selena di belakang. “Oh iya, sory gue kecepetan jalan ya?” Bryan terkekeh. Selena mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya.“Bry, boleh aku pegang tanganmu?” tanya Selena, Bryan menyamakan langkah, membuat pose agar Selena bisa menaruh lengannya di sana. Jangan ditanya, Selena kini jantungnya berdebar tidak karuan, merasa ini adalah kemajuan bagi hubungan mereka berdua.Tidak ada awak kamera yang di sewa, bahkan
Memberontak dari kekangan tangan pria mabuk itu tidak mudah, Zeliya akhirnya menggigit tangan itu dengan gigi dibalik cadarnya. Merasakan kesakitan yang sangat, Angkasa melepaskan cekalannya.Kelengahan Angkasa sembari meniup punggung telapak tangannya, dimanfaatkan oleh Zeliya untuk kabur. Ia membuka pintu mobil mewah itu dengan tergesa. Sedangkan Angkasa, ia dalam keadaan sadar dan tidak mabuk sama sekali, beberapa menit lalu ia hanya beprurapura saja. Tidak ingin melewatkan kesempatan, ia keluar dari mobil menyusul Zeliya.“Hei, mau kemana?” tanya Angkasa dengan santainya. Zeliya beralari semampu yang ia bisa. Namun, pria asing itu ternyata mampu menyusulnya. Jalanan yang sepi, membuat Zeliya bertambah ketakutan.“Ya Allah, lindungi hambamu dari pria mabuk ini,” lirih Zeliya dengan menepis kasar tangan pria asing yang kembali menahannya.Tubuhnya kembali terseret mendekat ke arah mobil. Zeliya berusaha memberontak tubuhnya
“Coba aja kamu melamar lebih cepat Bang, aku tidak harus berurusan dengan keluarga Davidson,” lirih Zeliya begitu saja. Entah mengapa, di lubuk hatinya yang terdalam tidak dapat ia pungkiri bahwa begitu menyayangkan Arham yang terlambat melamarnya.“Astahfirullah, Zeliya, kamu mikir apa,” gumam Zeliya menggelengkan kepala. Ia sudah terlanjur mengambil keputusan untuk menikah dengan Bryan dan ia tidak boleh mundur.Menata hati untuk meluruskan niat ibadah menikah adalah PR-nya sekarang. Walau pun Bryan telah memberi kesepakatan bahwa pernikahan in akan berjalan sementara, tapi Zeliya, tidak begitu. Ia akan mencoba membina rumah tangga dengan benar sesuai dengan yang Tuhan perintahkan padanya, karena pernikahan bukan ajang untuk bermain-main, urusannya menyangkut dunia dan akhirat. Ia tidak mau ikut permainan Bryan yang konyol itu.“Ah, kacamataku.” Zeliya menatap kaca mata yang sudah tidak berbentuk di atas meja riasnya. Lalu, tangannya menyentuh wajahnya yang bersih yang tidak sembara