"Aku tidak memesan minuman ini,” gumam seorang wanita dengan cadar yang menutupi sebagian wajah. Jemari lentiknya membetulkan kacamata yang dikenakannya. Ia mencari pelayang café itu, namun trlihat para pegawai café berlalu lalang dan masing-masing sibuk melayani pelanggan yang lain. Tidak ingin menunggu lama karena ia begitu haus dan sepuluh menit lagi kelasnya akan mulai, Zeliya akhirnya memilih bertindak sendiri. Mengembalikan minuman yang tidak dipesannya.
Tiga orang pria menginjakkan kaki di teras café. Di tengah hiruk pikuk orang yang berlalu lalang, mereka masih sempat tertawa-tawa sambil saling mengejek satu sama lain. Satu orang pria dengan tindik di telinganya, melangkah terbalik, karena ia sibuk berbincang sambil berjalan. Tanpa sengaja, punggungnya menubruk sesuatu.
“Aw, panas!” erang pria itu. Ia segera melepas jaket denim yang telah tersimbur minuman dan melemparnya ke lantai.
“Perhatikan jalan dengan baik, Mas,” ujar Zeliya setengah kesal, karena saat ia melangkah, punggung seorang pria tiba-tiba menuburuknya yang tengah membawa nampan berisi minuman cofe yang masih mengebul. Tanpa ingin mendengar kata maaf, Zeliya meneruskan jalan, namun suara pria menghentikannya.
“Hei wanita bercadar!” panggilnya. Zeliya merasa, semua pengunjung café memusatkan perhatian padanya.
Zeliya tidak menggubris, ia memiliki nama. “Hei!” teriak pria itu yang tanpa Zeliya duga, menarik ujung kerudungnya yang panjang dan membuat langkah Zelia terhenti. Emosinya tersulut karena kelakuan kurang ngajar dari pria tidak dikenalnya itu.
“Jangan kurang ngajar ya Mas, anda bisa saya laporkan,” ucap Zeliya yang kini menatap tajam seorang pria yang juga menatapnya tidak kalah tajam. Ia merasa telah dilecehkan karena pria asing itu berani-beraninya menarik kerudungnya.
“Hei hei sudah Bry, minta maaf sama ustadzah,” celetuk teman pria itu dibelakangnya. Bryan mengeluarkan nafas kasar. Masih tidak menyangka, wanita dengan cadar itu mengabaikannya beberapa detik lalu, dan kini malah menuduhnya kurang ngajar. Berani sekali.
“Apa? kurang ngajar kamu bilang? Kurang ngajar mana sama orang yang bahkan nggak minta maaf padahal udah numpahin kopi panas ke pakaian orang lain?” tanya pria yang dipanggil Bry.
Zeliya tidak menyunggingkan senyum remeh di balik cadarnya, pria didepannya ini yang ia tidak suka. Menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dia buat sendiri. Bukankah kopi tumpah tadi salahnya dan Zeliya tanpa harus mendapat maaf, sudah melupakan kejadian itu. Tapi kenapa, pria itu malah memperpanjangnya? Kekanak-kanakkan sekali.
“Saya tanya, siapa yang jalan tapi kayak undur-undur? Anda ‘kan? Seharusnya anda yang meminta maaf,” jelas Zeliya.
Teman-teman Bry yang berada di belakang terkikeh pelan, mentertawakan Bryan yang dibilang seperti hewan bernama Undur-undur. “Diam!” sentak Bryan kepada kawan-kawannya.
“Sudahlah Bry, nggak usah diperpanjang, cuma urusan kopi tumpah doang,” sela temannya. Bryan tidak mau tahu, wanita bercadar ini telah mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.
“Aku? Hei, wanita bercadar yang tidak tahu sopan santun. Penampilanmu aja yang sok alim, tapi nggak tahu cara menghormati orang lain. Apa di ajaran agamamu nggak diajarkan cara meminta maaf huh?”
“Jangan singgung agama saya ya. Itu tidak ada kaitan dengan perilaku saya. Dan, jika anda marah karena kopi ini tumpah di baju anda, salahkan diri anda yang berjalan tidak normal. Lagi pula, pakaian itu, tinggal di cuci, beres ‘kan? Saya nggak merasa salah, karena anda yang menabrak saya,” jelas Zeliya tidak mau kalah. Ia tidak bersalah disini, mengapa dirinya yang harus meminta maaf.
Ah, tugas kuliahnya menjadi terbengkalai dan ia bisa tidak jadi memesan minuman jika berlama-lama adu urat dengan pria di hadapannya ini. Zeliya menghembuskan nafas, lalu berbalik.
“Awas aja kamu,” ancam pria yang bernama Bryan yang masih di dengar oleh telinga Zeliya yang tertutup kerudung.
“Santai bro, jangan main urat sama wanita,” ucap Alex, pria berambut pirang dengan gaya undercut. Salah satu teman Bryan yang sedikit bijak. Sedangkan tiga temannya masih menertawakan Bryan yang tampak bodoh di depan wanita itu. Beraninya hanya menggertak.
“Diem nggak kalian?!” ancam Bryan sambil menunjukkan tinjunya ke arah dua orang temannya, Fernand dan Angkasa.
“Ampun-ampun.” Ferdinand yang wajahnya paling imut diantara teman-teman Bryan mengatupkan tangan, namun bibirnya tetap tersenyum.
“Kasian cewek bercadar tadi, lo bentak-bentak gitu ya ‘kan Lex?” Ferdinand bertanya hanya ia tujukan kepada Alex yang paling bijak diantara mereka.
Alex tidak menyahut lagi, ia menunjukkan sebuah catatan. Selain bijak, pria itu ternyata suka menulis. “Gue udah catat, jadwal kita seminggu ke depan balapan di mana aja,” kata Alex menyodorkannya pada Bryan yang wajahnya masih tidak karuan.
“Kita nggak pesan minum dulu gitu?” tanya Angkasa yang sedari tadi tenggorokannya sudah kering. Apalagi ditambah melihat Bryan yang kekanak-kanakkan mencoba melawan wanita bercadar. Bertambah haruslah dirinya.
“Ah iya, biar gue yang pesankan.” Ferdinand dengan sigap langsung berjalan ke arah pelayan dan memesan beberapa minuman yang sudah sangat ia hafal. Masing-masing teman-temannya memiliki kesukaan berbeda.
“Bry? Lo denger gue?” Alex menginterupsi karena saat ia menjelaskan jadwal dan jam yang telah ia catat, si ketua geng motor yang bernama Bryan itu malah melamun.
“Oh. Kita ada tanding sama Geng Kukuruyuk?” tanya Bryan langsung, karena geng motor yang telah diucapkannya adalah geng yang sudah menjadi musuh bebuyutannya.
“Ada, malam jum’at. Tapi tenang aja, persiapan kita sudah matang menghadapi mereka. Kalau seandainya ada baku hantam, aku udah siapin personel buat lawan mereka,” jelas Alex yang penuh perencanaan itu. Bryan hanya mengangguk, menyilangkan tangan di depan dada, lantas matanya menatap ke arah jaket denim yang teronggok di kursi kosong, Ferdinand yang mengambilkan untuknya.
Saat mereka tengah mengobrol, mata Bryan melihat wanita bercadar yang adu mulut dengannya berjalan ke arah parkiran. Entah dorongan dari mana, ia yang masih belum puas membalas perlakukan wanita itu, berpamitan sebentar kepada teman-temannya.
“Aku ke parkiran bentar,” pamit Bryan, membuat teman-temannya saling pandang, namun akhirnya mengangguk saja.
Brya mengambil jaketnya yang terkena tumpahan kopi. Sesampainya di parkiran yang tepat berada di bawah pohon beringin yang rindang, ia bisa melihat wanita bercadar itu tengah memakai helem dan bersiap tancap gas.
Zeliya mengaduh saat sebuah jaket melayang ke atas kepalanya. Matanya melotot begitu melihat pria yang tadi berurusan dengannya di café tengah menyeringai. “Kenapa kamu lempar ini ke saya? Nggak sopan,” sindir Zeliya tajam, ia melipat jaket denim itu walau hatinya dongkol.
“Untuk apa sopan sama orang yang nggak tau sopan santun huh? Kamu… cucikan jaket itu.” Bryan dengan seenaknya menyuruh Zeliya untuk mencucikan jaketnya.
“Anda kenapa sih? Bukankah urusan kita sudah selesai di café tadi? Dan kenapa, saya harus mencucikan baju anda?” tanya Zeliya, ia rasanya ingin melemparkan lagi jaket denim itu ke arah wajah pria dengan perawakan tinggi itu. Namun ia urungkann, kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Zeliya menaruh jaket denim yang sudah terlipt itu di tanah.
“Hei, itu jaket mahal. Walau kamu menjual motor bututmu itu, nggak akan mampu untuk membelinya.” Bryan berkata dengan angkuh sambil menunjuk-nunjuk jaketnya.
“Saya nggak peduli,” balas Zeliya datar. Ia menaiki motornya, namun tanpa ia duga, kuncinya justru di rampas paksa.
“Kembalikan!” pinta Zeliya, emosinya mulai tersulut kembali. Mengapa pria ini bergitu menyebalkan?
“Nggak, sampai kamu mencucikan jaket ku.”
Zeliya mendengus, ia harus buru-buru ke kampus, “Iya. Kembalikan kucinya, aku buru-buru.”
Zeliya menengadahkan tangan, Bryan tersenyum puas seraya memberikan kunci motor itu, namun tidak sengaja tangan mereka bersentuhan, membuat Bryan seketika menatap ke arah tangannya. Ada rasa aneh dalam dirinya, namun ia menepisnya.
"Biar aku yang menggantikan Ibu. Pak Davidson sudah sangat baik pada keluarga kita Bu, kita nggak boleh korupsi, ada gaji ada jasa,” ucap Zeliya yang tidak setuju, sang Ibu melarangnya untuk bekerja ke rumah seorang pengusaha terkenal. Erick Davidson. Ibunya sudah dua hari mengalami sakit demam dan flu serta pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Zeliya tidak bisa tinggal diam dan tega membiarkan sang Ibu terus bekerja. “Ibu hanya takut,” lirih Syifa yang mengkhawatirkan sesuatu. “Takut kenapa Bu?” tanya Zeliya tidak mengerti.“Ibu takut saja, Pak Davidson menyukaimu.”Mendengar pernyataan Ibunya yang tidak masuk akal itu Zeliya mengernyitkan dahi. Ia tertawa, memperlihatkan gigi gingsul yang manis, selalu tersimpan dibalik cadarnya itu. Kini, dihadapan sang Ibu, ia hanya memakai kerudung serut biasa. “Nggak mungkin lah Bu. Wong aku berpakaian seperti ini, lagian Pak Davidson sudah tua Bu. Bisa-bisanya ibu suuzon.”“Pak Davidson, sering bergonta-ganti wanita. Kami, para pembantu dirumahn
“Apa yang kamu lakukan?” geram Eric Davidson yang baru saja datang dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri.Melihat putranya yang menindihi seorang wanita, ia merasa geram. Segera saja, ia tarik jaket yang dikenakan Bryan dan membanting tubuh anaknya ke lantai. “Bodoh! Sudah ku bilang, jangan pernah melampiaskan amarahmu pada wanita!"Bryan mengusap wajahnya yang membentur keramik. “Apa kamu bilang? Nggak salah denger aku? Bukankah kamu yang mengajariku seperti itu hah? bajingan laknat?” hardik Bryan dengan suaranya yang keras. Zeliya segera bangkit, ia bingung sendiri apakah harus pergi atau tetap menyaksikan pertengkaran antara Bryan dan seorang pria paruh baya namun masih terlihat seperti anak muda itu. Pria itu mengenakan jas, rambutnya bergaya undercut, perawakannya masih kencang.“Kamu boleh pergi,” ujar Eric pada wanita bercadar yang terlihat ketakutan. Zeliya tidak membuang kesempatan, ia segera keluar dari kamar yang kini terlaknat menurutnya. Hampir saja ia ternodai,
"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. “Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?Deg!Seketika bulu kuduk dibalik kerud
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya
“Antarkan dia ke alamat yang sudah saya kirimkan,” ucap Alex, matanya mau tidak mau semakin jeli menatap wanita bercadar yang aneh menurutnya, karena menjadi Supir kaget. Baru kali ini, ia menemui, apa wanita itu tidak takut jika kliennya berbuat yang tidak-tidak? “Baik Pak,” ucap Zeliya. Ia tidak tahu, jika yang telah dimasukkan Alex ke dalam mobil adalah Bryan. Sedangkan Alex, ia tiba-tiba teringat Zeliya dari suaranya. Ingin bertanya, namun ia urungkan, karena harus mengantar Selena dengan selamat ke rumahnya. Ia lebih memdulikan Selena yang notabenenya wanita, dari pada sahabatnya, Bryan yang ia yakini akan aman bersama wanita bercadar itu. Zeliya mengernyitkan alis begitu sampai di kediaman rumah kliennya yang tentu ia tahu rumah milik siapa. Zeliya menoleh ke belakang dan ia dapati, seorang pria tertidur dengan posisi terlentang di jok belakang. Wajah pria itu, oh pria bertindik itu. “Ah pria ini lagi.” “Astaghfirullah,” lirih Zeliya. Tiba-tiba ia merasa takut jika nanti bert
Bryan terbangun dari tidurnya saat matahari telah meninggi. Kepalanya masih terasa begitu pening, hingga ia terus menerus memijitnya. Matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.Ponselnya yang masih setia berada di saku celana bergetar. Bahkan, Bryan tertidur dalam keadaan memakai pakaian Balap tadi malam. Bryan menggeleng sendri melihat kondisinya.“Hallo, ada apa?” tanya Bryan setelah menyambut panggilan.“Gimana keadaanmu?” suara wanita terdengar di seberang. Bryan menjauhkan ponsel dari telinga, ternyata Selena yang menelpon.“Ah… aku baik-baik aja. Baru bangun tidur. Maaf ya, tadi malam nggak sempat nemuin kamu di tempat Balapan,” ujar Bryan mengingat bahwa Selena juga hadir saat acara Balapan tadi malam dan ternyata pria itu tidak mengingat bahwa tadi malam Selena menyusulnya ke Club dan hampir menyiksa wanita itu.