Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
“Itu bukan hal pribadi, Nyonya. Anda bisa memberitahukannya pada saya agar saya bisa melakukan tugas saya sebagai asisten pribadi Anda.”Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku, menatapnya dengan bingung selama beberapa saat sebelum bertanya, “Bukannya kau asisten pribadi suamiku?”Sofi tiba-tiba tersenyum, membuatku bingung dengan apa yang membuat ekspresinya tiba-tiba saja berubah sampai aku sadar kalau baru saja menyebut Steven sebagai suamiku di depannya. 'Haha... aku keceplosan...'“Saat Tuan tidak membawa saya untuk pekerjaannya dan meninggalkan saya pada Anda, maka saya akan menjadi asisten pribadi Anda. Untuk itulah saya berada di sini bersama Anda.”‘Begitu… ku kira kita teman…’“Karena itu, menyelesaikan urusan Anda adalah bagian dari tanggung jawab saya,” lanjut Sofi.Ucapannya barusan membuatku merasa ada sesuatu yang mengerikan di baliknya hingga aku bertanya, “Apa kau akan mendapat hukuman jika tidak membantuku menyelesaikan masalah? Tidak bisakah kau ada hanya untuk menema
Melihat ayahku duduk sendiri untuk pertama kalinya setelah 15 tahun, membuatku hampir saja menangis terharu dan berbagi kebahagiaanku dengan Lintang yang selalu berjaga di rumah sakit bersama 4 bawahannya dengan bergantian.Oh, bukan hanya dengan tim pembaca pikiran saja. Tentu aku lebih dulu memberitahu Steven, hanya saja status pesanku masih tertunda sampai hari ini. Bahkan setiap hari aku selalu mengirimkan pesan padanya, entah hanya ucapan “selamat pagi”, “semoga harimu menyenangkan”, dan yang paling sering tentu saja “Hubby... cepatlah pulang, aku sangat merindukanmu”. Begitulah... Mungkin karena terlalu merindukan dirinya, aku sampai berani memanggilnya seperti itu. ‘Hiks... aku benar-benar merindukannya...’❀❀❀Hari sudah sore ketika Sofi datang menjemputku pulang dan dia mengajakku berhenti di tanah berukuran 30x30 meter di depan gang rumahku untuk melihat proses pembangunan yang dilakukan di tempat itu.Dulu Steven mengatakan jika ia ingin membeli tanah ini dan berniat memba
♤Steven Steve♤“Sial! Kenapa harus mendadak seperti ini? Benar-benar mengganggu!”Aku berjalan menuju mobil hitam milik Sofi sambil terus mengumpat kesal. Bagaimana tidak, di saat aku sedang lapar karena gairah pada istriku, seenaknya saja dia meneleponku.‘Si terlalu berhati nurani brengs*k itu...!’Aku bahkan nyaris ingin membanting ponselku karena mereka sudah merusak momen terindah yang sudah lama kunantikan. Untung saja tidak kulakukan, aku tak ingin menakuti istri cantikku.‘Key... Dia sangat memesona,’ tanpa sadar aku tersenyum membayangkan wajahnya tadi yang tampak merona. ‘Apa dia malu?’Walau masih diliputi rasa kesal, aku tetap melajukan mobil menuju bandara, karena pesawat pribadi milik Sofi sudah menunggu sejak lama dan harus segera lepas landas. ‘Tsk… Untung saja Sofi tempo hari menyarankan kami untuk membawa pesawat pribadinya.’Harusnya aku berangkat pagi tadi, hanya saja aku menundanya sebelum sore karena ingin menjemput Key sepulang dari kantor dan pamit padanya. Ent
Kegaduhan yang terjadi di mansion membuatku membatalkan niat untuk langsung menghubungi Keysa setibanya helikopter kami di komplek rumahku.“Apa yang terjadi?” tanyaku pada salah satu petugas penjaga mansion yang bahkan hampir tidak mengenaliku.“T-tuan Steve?!”“Ada apa ini? Kenapa semua orang terlihat panik?”“Nyo-nyonya dalam masalah tuan!” serunya dengan wajah pucat.“Nyonya? Nyonya siapa?” tanyaku bingung.Tentu saja aku bingung. Tidak ada nyonya di mansionku. Hanya ada aku pemilik tunggalnya setelah ayahku meninggal. Keysa juga tidak berada di sini bahkan masih belum tahu tempat ini, jadi belum ada nyonya atas mansion ini.Tapi jantungku langsung berdebar lebih kencang karena panik yang tiba-tiba saja kurasakan setelah melihat Sofi sedang duduk dengan wajah frustrasi di sebuah kursi kayu yang ada di gazebo —bersama beberapa pelayan yang sepertinya sedang berusaha menenangkannya.“K-kenapa Sofi ada di sini? Jangan-jangan…”Tanpa berpikir panjang lagi aku berlari menghampiri Sofi y
Semua usaha dan upaya terbaik telah kuberikan dengan segenap hati pada presentasiku, dan aku baru saja menyelesaikan presentasiku tanpa adanya kebohongan atau embel-embel keuntungan berlebih, tidak seperti yang biasanya rekan-rekanku lakukan saat berusaha memacu minat para penyuplai dengan melebih-lebihkan persentase keuntungan yang akan calon mitra bisnis kami dapatkan. Aku tidak ingin membuat masalah di kemudian hari sehingga tidak melakukannya.Hanya dengan memperhatikan ekspresi wajah orang-orang dari perusahaan Green Borneo setelah menyelesaikan presentasiku, aku menyadari bahwa mereka tidak terlihat penuh minat.Mungkin karena persentase keuntungan yang baru saja kutawarkan terkesan apa adanya, padahal memang sebesar itulah kenyataan yang mampu perusahaan kami tawarkan.Namun demikian aku tidak terlalu kecewa. Sebenarnya aku sudah bisa menebak reaksi dan tanggapan mereka akan seperti ini sejak tadi malam hingga membuatku tidak berharap lebih.Jujur saja, walau pikiranku berkata t
“Kota ini sangat bagus, aku sampai merasa seperti sedang berada di negeri dongeng,” aku berbicara pada Sofi yang duduk di sampingku sembari memandangi bangunan-bangunan megah di luar sana.“Semua ini dibangun oleh Ayah mertua Anda, Nyonya,” sahut Lintang yang sedang mengemudikan mobil.‘Hah?! Mertua? Astaga...’ Aku sampai tidak bisa menanggapinya. Aku hanya membuka mulutku lebar saat membalas tatapan Lintang dari kaca spion.“Tapi mau ke mana kita sekarang?” tanyaku setelah Lintang melewati hotel tempat kami menginap kemarin.“Ke rumah Anda, Nyonya,” Sofi menjawab pertanyaanku.“Y-ya?”“Rumah Tuan Steve, yang berarti rumah Anda juga.”“Steven tinggal di kota ini?!” tanyaku terkejut.“Ya, Nyonya. Kami semua tinggal di sini.”Aku menatap kembali ke luar jendela. Apa yang kulihat sejauh ini hanyalah sebuah kota modern yang bahkan lebih bagus dari pemandangan ibu kota, dan tentunya sangat bersih.‘Jadi dia bukan orang kampung.’ Mengingat bagaimana aku mengira Steven sebagai orang kampung,
“Senang bertemu Anda, kakak sepupu. Saya Lilian...,” sapa Lilian sembari mengulurkan tangannya padaku. “Kakak bisa memanggil saya Lili.”“Halo Lili, aku Keysa. Senang bertemu denganmu. Kau juga bisa memanggilku Key saja,” sahutku sembari membalas senyum ramah Lili yang sangat manis.Aku sebenarnya hendak menyapa si wanita keturunan Eropa juga, namun entah kenapa ia masih membuang muka bahkan akhirnya pergi meninggalkan kami dan berjalan ke arah bunga-bunga yang tampak baru bermekaran.“Bunga ini sudah mekar? Ini sangat indah?” ucap wanita itu dalam bahasa Inggris, hingga awalnya kukira kalau dia tidak bisa berbicara dalam Indonesia.Namun tebakanku ternyata salah karena aku mendengar Lili memintanya untuk berbicara bahasa Indonesia saja karena ada aku di sini, namun langsung wanita itu tolak dengan nada ketus.‘Hmmm... ada apa dengannya? Apa sikapku menyinggungnya? Padahal kan baru bertemu.’Seperti merasa tidak enak padaku Lili pun berusaha menjelaskan padaku kalau wanita itu tidak b
“Ah, akhirnya... Hari ini benar-benar hari yang melelahkan,” aku menghela napas lega setelah menutup rapat pintu kamar Steven. Saking lelahnya, tubuh dan pikiranku seolah berubah menjadi magnet yang dengan cepat menarikku tepat menuju tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan.“Yuhu, kasur... aku datang, aku merindukanmu sejak tadi,” aku langsung melompat ke atas tempat tidur milik Steven, lalu berbaring terlentang sambil menggesekkan kedua tangan dan kakiku merasakan betapa halus dan lembutnya kain sprei di bawah tubuhku.‘Wah... kasurnya besar sekali, benar-benar nyaman. Andai Steven ada di sini...’Bergegas kuambil ponselku begitu aku memikirkan Steven, lalu mencoba memeriksa kembali pesan di ponselku dan berharap semoga saja ada kabar dari pria yang sangat kurindukan itu. Tapi begitu melihat semua pesan yang sudah lama kukirim masih belum juga terbaca, aku langsung membisukan ponselku.“Huh... sampai kapan sih di hutan sana?” gerutuku kesal, lalu menatap nyalang langit-langit