Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
♤Steven Steve♤“Sial! Kenapa harus mendadak seperti ini? Benar-benar mengganggu!”Aku berjalan menuju mobil hitam milik Sofi sambil terus mengumpat kesal. Bagaimana tidak, di saat aku sedang lapar karena gairah pada istriku, seenaknya saja dia meneleponku.‘Si terlalu berhati nurani brengs*k itu...!’Aku bahkan nyaris ingin membanting ponselku karena mereka sudah merusak momen terindah yang sudah lama kunantikan. Untung saja tidak kulakukan, aku tak ingin menakuti istri cantikku.‘Key... Dia sangat memesona,’ tanpa sadar aku tersenyum membayangkan wajahnya tadi yang tampak merona. ‘Apa dia malu?’Walau masih diliputi rasa kesal, aku tetap melajukan mobil menuju bandara, karena pesawat pribadi milik Sofi sudah menunggu sejak lama dan harus segera lepas landas. ‘Tsk… Untung saja Sofi tempo hari menyarankan kami untuk membawa pesawat pribadinya.’Harusnya aku berangkat pagi tadi, hanya saja aku menundanya sebelum sore karena ingin menjemput Key sepulang dari kantor dan pamit padanya. Ent
Kegaduhan yang terjadi di mansion membuatku membatalkan niat untuk langsung menghubungi Keysa setibanya helikopter kami di komplek rumahku.“Apa yang terjadi?” tanyaku pada salah satu petugas penjaga mansion yang bahkan hampir tidak mengenaliku.“T-tuan Steve?!”“Ada apa ini? Kenapa semua orang terlihat panik?”“Nyo-nyonya dalam masalah tuan!” serunya dengan wajah pucat.“Nyonya? Nyonya siapa?” tanyaku bingung.Tentu saja aku bingung. Tidak ada nyonya di mansionku. Hanya ada aku pemilik tunggalnya setelah ayahku meninggal. Keysa juga tidak berada di sini bahkan masih belum tahu tempat ini, jadi belum ada nyonya atas mansion ini.Tapi jantungku langsung berdebar lebih kencang karena panik yang tiba-tiba saja kurasakan setelah melihat Sofi sedang duduk dengan wajah frustrasi di sebuah kursi kayu yang ada di gazebo —bersama beberapa pelayan yang sepertinya sedang berusaha menenangkannya.“K-kenapa Sofi ada di sini? Jangan-jangan…”Tanpa berpikir panjang lagi aku berlari menghampiri Sofi y
Semua usaha dan upaya terbaik telah kuberikan dengan segenap hati pada presentasiku, dan aku baru saja menyelesaikan presentasiku tanpa adanya kebohongan atau embel-embel keuntungan berlebih, tidak seperti yang biasanya rekan-rekanku lakukan saat berusaha memacu minat para penyuplai dengan melebih-lebihkan persentase keuntungan yang akan calon mitra bisnis kami dapatkan. Aku tidak ingin membuat masalah di kemudian hari sehingga tidak melakukannya.Hanya dengan memperhatikan ekspresi wajah orang-orang dari perusahaan Green Borneo setelah menyelesaikan presentasiku, aku menyadari bahwa mereka tidak terlihat penuh minat.Mungkin karena persentase keuntungan yang baru saja kutawarkan terkesan apa adanya, padahal memang sebesar itulah kenyataan yang mampu perusahaan kami tawarkan.Namun demikian aku tidak terlalu kecewa. Sebenarnya aku sudah bisa menebak reaksi dan tanggapan mereka akan seperti ini sejak tadi malam hingga membuatku tidak berharap lebih.Jujur saja, walau pikiranku berkata t
“Kota ini sangat bagus, aku sampai merasa seperti sedang berada di negeri dongeng,” aku berbicara pada Sofi yang duduk di sampingku sembari memandangi bangunan-bangunan megah di luar sana.“Semua ini dibangun oleh Ayah mertua Anda, Nyonya,” sahut Lintang yang sedang mengemudikan mobil.‘Hah?! Mertua? Astaga...’ Aku sampai tidak bisa menanggapinya. Aku hanya membuka mulutku lebar saat membalas tatapan Lintang dari kaca spion.“Tapi mau ke mana kita sekarang?” tanyaku setelah Lintang melewati hotel tempat kami menginap kemarin.“Ke rumah Anda, Nyonya,” Sofi menjawab pertanyaanku.“Y-ya?”“Rumah Tuan Steve, yang berarti rumah Anda juga.”“Steven tinggal di kota ini?!” tanyaku terkejut.“Ya, Nyonya. Kami semua tinggal di sini.”Aku menatap kembali ke luar jendela. Apa yang kulihat sejauh ini hanyalah sebuah kota modern yang bahkan lebih bagus dari pemandangan ibu kota, dan tentunya sangat bersih.‘Jadi dia bukan orang kampung.’ Mengingat bagaimana aku mengira Steven sebagai orang kampung,
“Senang bertemu Anda, kakak sepupu. Saya Lilian...,” sapa Lilian sembari mengulurkan tangannya padaku. “Kakak bisa memanggil saya Lili.”“Halo Lili, aku Keysa. Senang bertemu denganmu. Kau juga bisa memanggilku Key saja,” sahutku sembari membalas senyum ramah Lili yang sangat manis.Aku sebenarnya hendak menyapa si wanita keturunan Eropa juga, namun entah kenapa ia masih membuang muka bahkan akhirnya pergi meninggalkan kami dan berjalan ke arah bunga-bunga yang tampak baru bermekaran.“Bunga ini sudah mekar? Ini sangat indah?” ucap wanita itu dalam bahasa Inggris, hingga awalnya kukira kalau dia tidak bisa berbicara dalam Indonesia.Namun tebakanku ternyata salah karena aku mendengar Lili memintanya untuk berbicara bahasa Indonesia saja karena ada aku di sini, namun langsung wanita itu tolak dengan nada ketus.‘Hmmm... ada apa dengannya? Apa sikapku menyinggungnya? Padahal kan baru bertemu.’Seperti merasa tidak enak padaku Lili pun berusaha menjelaskan padaku kalau wanita itu tidak b
“Ah, akhirnya... Hari ini benar-benar hari yang melelahkan,” aku menghela napas lega setelah menutup rapat pintu kamar Steven. Saking lelahnya, tubuh dan pikiranku seolah berubah menjadi magnet yang dengan cepat menarikku tepat menuju tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan.“Yuhu, kasur... aku datang, aku merindukanmu sejak tadi,” aku langsung melompat ke atas tempat tidur milik Steven, lalu berbaring terlentang sambil menggesekkan kedua tangan dan kakiku merasakan betapa halus dan lembutnya kain sprei di bawah tubuhku.‘Wah... kasurnya besar sekali, benar-benar nyaman. Andai Steven ada di sini...’Bergegas kuambil ponselku begitu aku memikirkan Steven, lalu mencoba memeriksa kembali pesan di ponselku dan berharap semoga saja ada kabar dari pria yang sangat kurindukan itu. Tapi begitu melihat semua pesan yang sudah lama kukirim masih belum juga terbaca, aku langsung membisukan ponselku.“Huh... sampai kapan sih di hutan sana?” gerutuku kesal, lalu menatap nyalang langit-langit
◇Sofia Jørgensen◇“Luv, kemarilah. Menurutmu mau ke mana mereka?” pertanyaan Lintang, suamiku, membuat konsentrasiku sedikit terganggu. Aku mengalihkan tatapan dari tablet yang sedang kupegang pada dirinya lalu berjalan menghampirinya ke balkon ruang kerja kami yang berada di lantai 5 mansion kediaman keluarga Steve.Ingin tahu siapa yang dia maksud, aku mengikuti ke mana arah tatapannya. Di bawah sana, aku melihat Nyonya Steve sedang berjalan bersama Bu Roseta menuju gerbang di tembok belakang mansion.“Mungkin mereka mau ke taman yang ada di luar tembok sana,” sahutku akhirnya.Aku memperhatikan kalau Nyonya Steve sepertinya sangat menyukai taman beserta isinya ketika kami sedang berada di taman tengah mansion. Raut wajahnya tampak bahagia saat melihat bunga-bunga yang bermekaran dan aku menebak kalau dia ke taman yang berada di luar tembok sana juga karena tertarik pada bunga dan pepohonan yang tumbuh alami karena memang tampak lebih indah dipandang mata dibandingkan taman yang ber
Aku bertengkar dengan asisten pribadi Tuan Wise melalui panggilan telepon saat ia menolak untuk membuat janji bertemu antara aku dengan bosnya hingga aku pun memutuskan untuk datang langsung dan memeriksa sendiri ke kediaman keluarga Wise bersama 30 pasukan bersenjata yang berada di bawah kepemimpinanku —juga bersama Robet dan Anto tentunya.Situasi tembak menembak hampir saja terjadi andai saja pemimpin keamanan dari keluarga Wise tidak bersedia mengalah dan mengizinkan kami untuk masuk memeriksa ke dalam mansion.“Pak Ronald, Anda mengenal siapa bos Anda, kan?” ucapku pada pemimpin pasukan keamanan keluarga Wise.Dia pasti mengerti maksudku. Bosnya yang terkenal c*bul itu mungkin sudah menculik Nyonya kami setelah —kulihat dengan sangat jelas— tampak terpikat padanya.“Kau juga tahu kan, sebagai tim keamanan kami tidak boleh mengizinkan orang lain, apalagi yang memiliki pasukan dan bersenjata lengkap seperti Anda untuk masuk? Itu tugasku. Sama seperti tugas yang suamimu lakukan di ke
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku