“Ma, Keysa tidak suka pria ini. Dia terlalu muda. Lagian pekerjaannya juga tidak jelas," rengekku pada Camila, ibu tiriku.
Dia memaksaku menikah dengan sembarang pria sesuai kemauannya hanya karena merasa malu pada teman-teman dan tetangga yang sering menyindirku karena aku belum menikah juga di usiaku yang sudah menginjak 36 tahun.
“Sampai kapan putrimu mau hidup sendiri Jeng? Malu loh dikatain perawan tua terus sama teman-teman kita.”
Kalimat sindiran itu hampir berulang kali terdengar dari Bu Imah, tetangga sebelah rumah kami.
Bu Imah hanya salah satu contoh dari sekian banyak penggosip yang tak pernah lelah membicarakan kehidupanku. Masih ada Bu Devi, Bu Siti, Bu Rosa dan banyak lagi. Mereka selalu membicarakan hal yang sama berulang kali, dan pada akhirnya membuat ibu tiriku juga turut menyindirku setiap hari.
Sampai pada suatu saat, teman-teman bedebahnya itu membawa foto beberapa pria, yang juga sedang mencari istri, untuk dijodohkan padaku. Totalitas sekali, bukan?
Lelah menghadapi ibu tiri yang terus memaksaku untuk menikah, aku pun menyerah dan memilih foto salah satu pria yang sedikit lebih tua dariku, juga memiliki pekerjaan yang ku anggap baik dibanding calon lainnya, sebagai seorang ASN di kantor Kecamatan.
Tapi beberapa hari kemudian, dengan seenaknya ibu tiriku malah memilihkan pria lain. Pria yang fotonya pernah kusingkirkan setelah tahu kalau usianya terpaut 10 tahun lebih muda dariku.
Bukannya aku terlalu pemilih hingga hanya menilai seseorang dari usianya saja. Bukan berarti aku tidak suka dengan pria yang lebih muda. Bukan… Tentu saja bukan begitu maksudku. Andai dia lebih muda, setidaknya cukup dengan jarak 1 atau 2 tahun saja. Apalagi jika dia memiliki pekerjaan yang baik, tentu aku pasti akan menerimanya. Sungguh!
"Sepuluh tahun?! Oh..., yang benar saja. Jarak usia kami terlalu jauh untuk menjalin hubungan cinta apalagi menjadi suami-istri," protesku setelah mengetahui calon suami yang ibu tiriku pilihkan.
Jika prianya yang lebih tua 10 tahun mungkin tidak terlalu aneh. Kalau wanitanya? Entah untuk wanita lain, tapi bagiku itu sangat memalukan.
Selain itu, pria pilihan ibu tiriku juga tidak memiliki pekerjaan jelas. Belum lagi dia juga orang kampung yang tinggal di salah satu desa antah berantah yang berada di Pulau Kalimantan.
Bukan aku ingin meremehkannya. Aku bisa menebak, hidup di Jakarta bagi mereka tentu tidaklah mudah. Jangankan untuk mencari pekerjaan, untuk mencari makan saja dia mungkin akan kesulitan dan ujung-ujungnya akulah yang akan direpotkan.
“Cuma dia yang mau sama kamu, Keysa Andini!” umpat ibu tiriku.
Aku tahu kalau ibu tiriku sudah menyebut namaku secara lengkap, dia pasti sedang merasa gemas padaku. Andai sedang tidak ada maunya seperti ini, dia biasanya bukan hanya membentakku tapi juga tak segan mengambil dan melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya padaku.
“Lagian sudah untung Mama mencarikan kamu suami. Ingat, usiamu sudah mendekati kepala 4!” Tambahnya dengan nada ketus. Matanya mendelik padaku dengan sangat lebar seakan hendak keluar.
Aku ingin memprotesnya, tapi tatapan matanya membuatku menelan kembali kata-kataku. 'Masih ada empat tahun sebelum aku berusia 40 dan itu masih lama. Kenapa Mama membulatkan usiaku sesukanya saja?! Yah… membulatkan ke 30 memang lebih jauh sih.'
“Dia terlalu muda, Ma. Kerjanya juga tidak jelas,” keluhku lagi.
“Tidak usah memikirkan pekerjaannya! Harusnya sudah cukup dengan penghasilanmu bekerja di perusahaan manufaktur itu, kan? Lebih baik juga kalau dia di rumah, mengurus rumah. Dia juga bisa kerja sambilan membantu adikmu di toko kelontong kita.”
'Haiss… Yang benar saja!'
Ucapan itu membuatku meringis ngeri. Lelaki yang akan kunikahi sangatlah jauh dari yang kuimpikan selama ini. Lagian keinginan untuk menikah sudah terhapus dari kamus hidupku.
Selain itu aku juga tidak yakin apakah pria itu benar-benar mau menerimaku yang usianya jauh lebih tua darinya sebagai istri. Bisa saja dia memanfaatkanku, ingin hidup cukup sembari bermalas-malasan.
Beberapa teman segeng ku dari sejak SMA pernah bercerita kalau suami mereka hanya sibuk bermain game sepulang kerja, tanpa mau membantu mengurus rumah yang berantakan, juga anak.
Jika pria yang dalam pengawasan istri saat mereka sedang bersama di rumah saja seperti itu, bagaimana dengan suamiku nanti? Dia akan berada di rumah seharian selama aku bekerja.
Dia tentu akan bebas bermain game dan bermalas-malasan, atau malah membawa wanita lain untuk berduaan di rumah sementara aku sedang bekerja. Apalagi selama ini dia hidup di desa, tentu dia akan mudah tergoda untuk merayu wanita-wanita cantik Jakarta.
Harus kuakui jika melihat dari fotonya, dia cukup tampan —walau agak dekil juga sih—. Ku rasa dia tidak bodoh untuk tidak menyadari kelebihannya itu untuk digunakan memikat wanita.
Belum lagi aku pernah mendengar Bu Devi, orang yang merekomendasikan pria itu pada ibu tiriku, memberikan informasi kalau pria itu mungkin anak luar nikah dari seorang pengusaha besar di Jakarta yang dibuang ke desa.
Bu Siti waktu itu menyela dan mengatakan kalau sebenarnya dia dulu pernah buka usaha dan bangkrut karena membuka usaha saat masih berusia 18 tahun, jadi belum punya pengalaman. Karena malu, pria itu akhirnya pindah ke Kalimantan.
Yang membuatku ngeri adalah ucapan Bu Rosa yang mengatakan kalau pria itu mungkin anggota mafia yang kabur ke Kalimantan saat kelompoknya diburu polisi. Walaupun yang dikatakan Bu Rosa hanyalah terkaan, namun kata-katanya lah yang paling kuingat.
Karena perkataan mereka jugalah aku —saat pertama kali melihat fotonya beberapa hari lalu— langsung mengeleminasinya, selain karena alasan jarak usia dan status pekerjaaannya.
'Huft… Jika itu benar, membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Menikah bukan akan membuatku nyaman dan bahagia berada dalam lindungan dan tanggung jawab suami, malah justru akan menambah masalah dalam hidupku.'
Sebenarnya yang paling penting di sini adalah aku. Aku sebenarnya bukan tidak laku, bukan pula terlalu mematok standar yang terlalu tinggi sehingga tak kunjung menikah juga. Ada banyak pria yang ingin melamarku —bahkan sudah melamarku—, namun kutolak mentah-mentah.
Bukan karena aku angkuh atau sok cantik, melainkan karena aku memang ingin hidup sendiri. Aku ingin hidup bebas di hari tuaku. Berjalan-jalan keliling dunia dengan uang yang sudah kusisihkan hingga saatnya nanti aku akan memakainya.
“Mama sudah menghubungi dia. Kamu tunggu saja. Pokoknya siapkan saja foto ukuran 4x6 sebanyak dua lembar,” ucap ibu tiriku sebelum berlalu pergi.
Aku hendak memprotes lagi, namun ibu tiriku sudah melengos pergi keluar rumah. Bisa kutebak dia pasti ingin bergosip ke rumah Bu Imah tetangga kami yang terdekat.
"Woah… Benar-benar tiada hari tanpa bergosip, bahkan aku harus jadi korbannya."
Aku hanya bisa mengurut dada sembari menghela napas panjang, berusaha menyabarkan diriku sendiri. “Sial… aku harus menemukan cara untuk keluar dari nikah paksa ini,” gerutuku sembari menatap punggung ibu tiriku dengan kesal.
Dari pintu tempat ibu tiriku baru saja pergi, tatapanku beralih pada pintu lain di mana ayah kandungku, yang lumpuh karena terkena serangan stroke selama 15 tahun ini, berada.
Karena dialah aku tidak bisa melakukan apa-apa. Maksudku, aku terpaksa selalu mengikuti kemauan ibu tiriku. Bukan hanya kali ini saja, namun di banyak hal yang jika kuingat satu per satu akan membuatku sakit kepala.
“Kenapa nasibku sesial ini?”
Aku pergi menghampiri kamar ayahku, membuka pintunya sedikit lalu mengintip ayahku yang sedang terbaring lemah tanpa daya.
Aku hanya berharap kalau ayahku tidak mendengar apa yang baru saja aku dan ibu tiriku bicarakan. Aku tidak ingin menambah beban pikiran padanya karena dia sudah cukup menderita dengan penyakitnya.
Saat sedang memerhatikan ayahku, aku tiba-tiba teringat pada rumah yang kami tempati ini. Rumah yang memiliki tanah luas hingga terhubung ke dua jalan besar Kota Jakarta. Ibu tiriku selalu ingin menjual rumah dan tanah kami ini karena ada beberapa pengusaha yang sudah menawar untuk membeli, namun aku menolaknya.
Sebagai ahli waris pertama dari rumah dan tanah ini, penjualannya harus dengan persetujuanku. Sayangnya ayahku telah melakukan kesalahan karena setuju dengan ide ibu tiriku yang pernah memintanya untuk membebaskanku dari status ahli waris ketika aku sudah menikah.
“Jadi Mama memaksaku menikah karena ingin mendapatkan rumah dan tanah ini, kan? Tsk…, halus sekali caranya.”
❀❀❀❀❀❀❀Hallo salam kenal, saya penulis baru... Mohon dukungannya ya... thank you (^^)
Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha untuk mengikuti kemana arah angin membawaku.Maksudku…, angin takdir yang dihembuskan oleh ibu tiriku.Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah menginjak 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah karena aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini.Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube.Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa, bukan?Kekangan dan mendapat sikap posesif. Ya, bisa dibilang itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti
“Baru pertama kali ke Jakarta?” tanyaku, ingin membuat suasana sedikit mencair setelah seharian ini agak mengabaikannya.Steven menoleh dan tersenyum padaku.'Oh astaga, ayo bernapas Keysa... Oke baiklah, jantung? Aman…' Aku baru menyadari, selain tampan, dia memiliki senyum yang sangat memesona.“Ya, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta,” sahutnya sebelum kembali tersenyum, membuatku buru-buru mengalihkan mataku dari bibirnya.'Astaga, yang benar saja! Bagaimana bisa ada pria yang tersenyum semanis ini?'“Apa jalanan di Kalimantan tidak seramai ini?” tanyaku lagi seraya berusaha menjauhkan tatapan dari bibirnya.“Di kotanya cukup ramai. Tapi tidak seramai ini. Dan...,” ia mengernyitkan kedua alis sembari tersenyum aneh, “jalanannya tidak berisik,” lanjutnya.“Tidak berisik? Bukankah semua jalanan pasti akan berisik kalau sedang ramai?”“Tidak ada yang membunyikan klakson sesering ini.” Steven tersenyum kaku.“Oh...”Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum kaku yang sama. Sepanja
Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran."Kalau pakaiannya ada di kant
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.'Dia…'Steven...Suamiku...Senjata api...Mafia...'Astaga!'Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempa
“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang d
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku