Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha untuk mengikuti kemana arah angin membawaku.
Maksudku…, angin takdir yang dihembuskan oleh ibu tiriku.
Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah menginjak 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah karena aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini.
Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube.
Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa, bukan?
Kekangan dan mendapat sikap posesif. Ya, bisa dibilang itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti itu.
Apa yang kualami di dalam rumah sudah cukup membuatku jera. Aku tidak mau lagi hidup terkekang oleh orang lain. Cukup hanya karena rasa terima kasih pada ibu tiriku yang sudah merawat ayahku —saat aku tidak bisa mengurusnya karena disibukkan oleh kuliahku pada saat ayahku mulai lumpuh.
Tidak lagi. Aku tidak mau lagi hidup dalam aturan dari siapapun.
Tapi, seperti yang kukatakan tadi…
Hidup, terkhusus hidupku, hampir selalu tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan. Saat aku sudah mengikuti arah angin ―untuk mau dijodohkan— tetap saja, dari semua calon yang ada pada akhirnya aku tetap dijodohkan dengan pria yang paling tidak ingin kunikahi.
'Walau kuakui dia sebenarnya cukup tampan sih… Upsss…'
Aku meliriknya sebentar, sembari menyesap teh hangat untuk mengusir rasa kesal yang masih melandaku.
Ya, pria itu, suami mudaku... Eh tidak... Maksudku, suamiku yang masih berusia muda, saat ini ada tepat di hadapanku. Duduk di seberangku dalam acara makan keluarga.
Sebenarnya waktu sudah berlalu selama 3 minggu sejak ibu tiriku mengumumkan perjodohan paksa itu.
Aku juga sudah melakukan perang gerilya untuk membatalkan rencana tersebut. Sudah juga mengikuti arah angin seperti yang kukatakan tadi, mengikuti kemauan ibu tiriku dengan memilih sendiri pria mana yang akan kunikahi dari kesepuluh pria yang direkomendasikannya.
Tapi begitulah… Aku gagal. Angin menghembuskanku lebih jauh dari tempat yang ingin kutuju, dan disinilah aku sekarang. Berada dalam acara makan keluarga setelah pulang dari KUA dan kantor pencatatan sipil untuk melakukan pernikahan yang sah secara Agama dan Hukum.
Tidak ada persiapan apapun yang kulakukan selain menyediakan foto 4x6 yang ibu tiriku minta untuk digunakan dalam dokumen pernikahan kami. Karena itulah foto di buku nikahku cukup berbeda, tidak dengan foto gandeng seperti biasanya.
Tidak ada acara pernikahan. Aku tidak mengenakan gaun pengantin yang didambakan setiap wanita saat melangsungkan pernikahan, juga tidak ada resepsi pernikahan. Sebagai gantinya kami hanya melakukan pesta kecil yang cuma bisa dikatakan sebagai acara makan-makan keluarga.
Aku bahkan tidak mengundang sahabat baikku untuk datang. Jika sahabatku saja tidak kuundang, apalagi teman-teman kantor dan kenalanku.
Jadi, pesta kecil ini tak jauh dari acara makan malam keluarga biasa yang memiliki menu sedikit lebih banyak dan pastinya sedikit lebih mewah jika harus dibandingkan dengan menu makan malam asal yang biasanya ibu tiriku hidangkan beberapa tahun belakangan.
“Kakak ipar ganteng juga ya.” Suara salah satu adik tiriku, yang menjadi satu-satunya tamu yang hadir, membuyarkan lamunanku.
Ya, kecuali dia. Nina, adik tiriku yang sedang menggoda suamiku. Selain dia tidak ada tamu lain. Ayahku pun tidak ada. Hanya aku, suamiku yang masih muda, ibu tiriku, dan Nina.
Aku menatap tajam pada Nina. Ingin rasanya mengumpatkan kata-kata kasar padanya, ditambah dengan saran, “Kalau begitu kenapa bukan kau saja yang menikahinya?”
Ingin rasanya ku lontarkan kata-kata itu andai tidak merasa kasihan dengan suamiku yang tampak canggung berada di antara kami yang merupakan orang asing baginya.
“Berapa usia Kakak?” tanya Nina lagi pada Steven, suamiku.
“Dua puluh enam,” sahut Steven singkat. Tidak seperti yang kuduga, Steven terlihat jelas tidak menanggapi kecentilan Nina yang padahal, menurutku sih, cantik dan manis.
'Ah… mungkin karena ada aku di sini.'
“Oh... Kakak cuma dua tahun lebih tua dari Nina?” Nina berbicara dengan gaya dan nada centil yang membuatku muak melihatnya.
'Ayolah Nina, tidak perlu berlebihan. Tingkahmu membuatku kenyang seketika!'
“Keysa pulang dulu,” ucapku sambil menggeser kursi dan bangkit berdiri.
“Kak Key sudah mau pulang? Kakak belum makan, bukan?” ucap Nina sok perhatian, padahal dia biasanya tidak begini.
'Halah... Tumben.'
“Aku tidak nafsu makan."
"Cie... Apa kakak sedang nafsu untuk segera melakukan malam pertama?"
'Bedebah ini!'
Untung aku bisa menahan diri untuk tidak mendampratnya seketika. Tapi dengan tatapan mataku, kurasa Nina tahu kalau aku marah padanya.
“Sudah... Sudah...," ibu tiriku menengahi.
Dia tahu kalau aku marah maka hanya dia saja yang bisa mengimbangi mulut berbahayaku. Tidak dengan Nina, juga adik tiri laki-laki lain yang tidak hadir dalam pernikahanku ini. Karena itulah dia dengan cepat mencegah agar aku tidak marah, terutama karena ini adalah hari pertama pernikahanku ―mungkin.
"Hati-hati di jalan ya, selamat menikmati malam pertama kalian,” ucap ibu tiriku lagi sambil mengusap-usap punggung tangan Steven seraya berkedip padanya.
'Oh yang benar saja! Menyebalkan!' Aku benar-benar muak melihat kelakuan Nina dan ibu tiriku ini. Orang-orang di rumahku memang tidak ada yang waras sama sekali ―mungkin termasuk aku.
“Ayo...,” ajakku pada Steven tanpa memedulikan Nina yang baru saja mencegah kami pergi. Dia terlihat tertarik pada Steven. Aku bisa merasakan itu.
Nina biasanya tidak mau bicara pada pria yang tidak disukainya. Dia bahkan pernah membiarkan seorang pria baik-baik yang suka padanya menunggu di luar rumah selama 2 jam hanya karena dia tidak suka. Keterlaluan, bukan?
Kalau aku mengingatnya lagi, aku merasa kasihan pada pria itu. Dia cukup baik, sopan, dan sudah bekerja setelah lulus kuliah. Hanya karena kurang dalam hal tampang, Nina tidak menerima cintanya.
Andai dulu ada pria seperti itu yang mendekatiku, aku mungkin akan menerimanya.
Steven mengambil tas ranselnya yang terlihat berat ―karena ransel itu sangatlah besar—, juga sebuah plastik hitam berukuran sedang sebelum akhirnya pergi mengikutiku dengan patuh.
Aku sebenarnya agak sedikit kasihan padanya. Sudah jauh-jauh datang dari desa untuk menikahiku, tapi setelah bertemu denganku, aku malah bersikap agak dingin padanya.
“Sungguh anak yang malang,” gumamku sambil menatap Steven yang sedang memerhatikan jalanan ramai kota Jakarta.
Omong-omong, Steven ternyata tidak dekil juga tidak berambut gondrong. Sepertinya yang kulihat tempo hari adalah foto lamanya.
Steven yang berada di hadapanku saat ini cukup rapi. Kulitnya bersih, rambutnya juga pendek dan tertata dengan sangat rapi. Singkatnya, dia tampan! Haha... 'Upsss...'
Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ / @MeowMoe21 Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)
“Baru pertama kali ke Jakarta?” tanyaku, ingin membuat suasana sedikit mencair setelah seharian ini agak mengabaikannya.Steven menoleh dan tersenyum padaku.'Oh astaga, ayo bernapas Keysa... Oke baiklah, jantung? Aman…' Aku baru menyadari, selain tampan, dia memiliki senyum yang sangat memesona.“Ya, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta,” sahutnya sebelum kembali tersenyum, membuatku buru-buru mengalihkan mataku dari bibirnya.'Astaga, yang benar saja! Bagaimana bisa ada pria yang tersenyum semanis ini?'“Apa jalanan di Kalimantan tidak seramai ini?” tanyaku lagi seraya berusaha menjauhkan tatapan dari bibirnya.“Di kotanya cukup ramai. Tapi tidak seramai ini. Dan...,” ia mengernyitkan kedua alis sembari tersenyum aneh, “jalanannya tidak berisik,” lanjutnya.“Tidak berisik? Bukankah semua jalanan pasti akan berisik kalau sedang ramai?”“Tidak ada yang membunyikan klakson sesering ini.” Steven tersenyum kaku.“Oh...”Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum kaku yang sama. Sepanja
Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran."Kalau pakaiannya ada di kant
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.'Dia…'Steven...Suamiku...Senjata api...Mafia...'Astaga!'Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempa
“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang d
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan