“Baru pertama kali ke Jakarta?” tanyaku, ingin membuat suasana sedikit mencair setelah seharian ini agak mengabaikannya.
Steven menoleh dan tersenyum padaku.
'Oh astaga, ayo bernapas Keysa... Oke baiklah, jantung? Aman…' Aku baru menyadari, selain tampan, dia memiliki senyum yang sangat memesona.
“Ya, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta,” sahutnya sebelum kembali tersenyum, membuatku buru-buru mengalihkan mataku dari bibirnya.
'Astaga, yang benar saja! Bagaimana bisa ada pria yang tersenyum semanis ini?'
“Apa jalanan di Kalimantan tidak seramai ini?” tanyaku lagi seraya berusaha menjauhkan tatapan dari bibirnya.
“Di kotanya cukup ramai. Tapi tidak seramai ini. Dan...,” ia mengernyitkan kedua alis sembari tersenyum aneh, “jalanannya tidak berisik,” lanjutnya.
“Tidak berisik? Bukankah semua jalanan pasti akan berisik kalau sedang ramai?”
“Tidak ada yang membunyikan klakson sesering ini.” Steven tersenyum kaku.
“Oh...”
Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum kaku yang sama. Sepanjang hidupku, aku hanya pernah pergi seputaran Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Bali. Jadi aku tidak bisa membayangkan jalanan padat kendaraan tanpa adanya kebisingan klakson.
'Di Bali yang tenang saja aku masih sering mendengar suara klakson,' kenangku. Aku dulu kuliah di Bali dan seingatku jalanan di sana juga hanya sedikit lebih tenang saja dari jalanan di sini.
Taksi yang kupesan akhirnya tiba dan kami pun pulang menuju rumah pengantin baru kami.
Oh, omong-omong ibu tiriku membelikan kami sebuah rumah sederhana sebagai hadiah pernikahan.
Tidak... Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai hadiah. Menurutku rumah itu disediakan untuk kami agar aku bisa pergi dari rumahku. Rumah ayahku.
Aku tahu, ibu tiriku ingin menjual rumah itu sejak lama. Seperti yang pernah kukatakan, beberapa pengusaha menginginkan tanah dari rumah kami yang berukuran sangat luas, sepertinya ingin membangun ulang rumah itu menjadi komplek rumah toko.
Tapi ibu tiriku selalu gagal menjualnya karena aku terus-terusan menolak untuk pindah dan tentu saja menolak untuk menandatangani akta jual-belinya.
Setelah kupikir-pikir lagi, sindiran ibu-ibu tetangga kami yang selalu mengataiku perawan tua justru digunakannya sebagai kesempatan untuk menikahkanku secara paksa agar aku pindah dan tercoret dari daftar pewaris utama tanah milik ayahku itu.
Sekarang karena aku sudah pindah, ibu tiriku sudah pasti akan menjual rumah itu segera.
“Baru jemput adik ya, Neng?” tanya supir taksi membuyarkan lamunanku.
'Haiss… Adik?'
Aku tersenyum pahit membalas tatapan pria paruh baya itu dari kaca spion di dekat kepalanya, lalu melirik pada Steven yang juga sedang tersenyum sambil menatapku.
'Argh... Tuh, kan? Pasti kelihatan sekali kalau aku lebih tua darinya. Untung saja tidak dikira keponakanku.'
“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku.
Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak supir setelah Steven memberi jawaban.
Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan.
“Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan.
'Apa?! Tidak, tunggu…'
Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., 'Satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu?'
Aku tertawa.
'Terlihat 1-2 tahun kan, ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.'
Pak supir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa.
“Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...”
“Apa terlihat seperti itu, Pak?” tanyaku dengan penuh semangat sebelum akhirnya tertawa lagi.
“Maaf Neng. Maklum sudah tua, mata bapak sudah agak rabun...”
Tawaku sirna seketika.
'Jiaahhh... si Bapak... Aku sudah melayang tinggi malah ditarik jatuh seketika. Jadi karena mata rabunnya maka dia tidak bisa melihat perbedaan usia kami yang sangat jauh, ya? Haaahhh... Ternyata bukan karena aku terlihat awet muda.'
Aku tertarik untuk menoleh pada Steven saat merasa kalau dia sedang menatapku, memerhatikan diriku yang sedang mengobrol dengan pak supir.
Ternyata bukan hanya menatapku. Dia sedang tersenyum juga.
'Haisss... Jangan tersenyum terutama untuk mengejekku! Kau tidak tahu kalau senyummu itu… Ah sudahlah!'
Saat aku mengernyitkan kedua alisku, Steven buru-buru mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana lalu mendekatkan ponselnya padaku.
Aku membaca tulisan “Anda memang terlihat awet muda,” di layar ponselnya.
Setelah mendelik padanya selama beberapa saat, aku pun mengambil ponselku juga lalu menunjukkan balasanku padanya, “Tidak usah menghiburku.”
Berikutnya dia membalas agak panjang, “Saya tidak sedang menghibur, apalagi berbohong. Jujur, saat saya melihat foto Anda, saya kira ibu Anda membohongi saya tentang usia Anda. Dan saat saya melihat Anda untuk pertama kalinya, saya tidak percaya jika Anda terlihat jauh lebih muda lagi dibandingkan yang ada di foto.”
'Omong kosong! Hahaha... Huft… rayuan lelaki.'
Aku menyimpan kembali ponselku, tidak berniat membalas pujian Steven yang kuanggap hanyalah bualan kosong seperti yang sering para lelaki hidung belang ucapkan padaku.
Aku kemudian melirik sebentar pada pak sopir melalui kaca spion ―yang sedang senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia memerhatikan interaksi yang aku dan Steven lakukan.
Aku akhirnya memalingkan wajah dari mereka, memerhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dari balik kaca mobil di sebelah kananku.
Dalam lamunanku, aku kembali ingat dengan apa yang baru saja Steven katakan dan itu membuatku tidak bisa menahan senyum. Mungkin saja itu caranya untuk mencairkan suasana di antara kami agar bisa dekat denganku. Dan pujian itu cukup membuatku sangat terhibur.
'Usahanya lumayan juga…'
Pada akhirnya, rasa takut akan terlihat jauh berbeda saat sedang jalan berdua dengannya ―yang selama beberapa hari ini menghantuiku— agak sedikit berkurang.
'Hah? Kenapa aku malah terbujuk oleh kata-katanya?!'
❀❀❀ Steven memerhatikan keseluruhan tampak luar rumah sederhana kami selama beberapa saat, lalu tatapannya berhenti agak lama pada teras rumah sebelum akhirnya mengikutiku masuk ke dalam rumah.Rumah kami memang masih belum direnovasi. Rumah tipe 36 yang bahkan hanya memiliki teras seukuran 1x3 meter. Entah apa yang developernya pikirkan saat membuat teras seukuran itu. Mungkin, jika ukuran 1x2 meter tidak mirip seperti sebuah kuburan, mereka akan membuatnya seukuran itu.
Aku mempersilakan Steven duduk di sofa bulu, satu dari dua perabotan yang ada di rumah kami yang kesemuanya kubeli secara kredit.
“Kau lebih suka teh atau kopi?” tanyaku setelah menunggunya meletakkan tas ransel besar yang terlihat sangat berat itu, juga kantongan plastik yang sejak tadi ditentengnya, di lantai.
Entah apa isi plastik itu, kuharap bukan makanan khas daerahnya. Bukannya aku tidak suka makanan khas daerah lain, tapi makanan itu mungkin sudah basi setelah tertutup dalam kantongan plastik seharian.
Steven menatapku dengan mulut sedikit terbuka, seperti orang kebingungan, seperti baru saja mendapatkan pertanyaan yang agak berat untuk dimengerti.
'Apa di kampungnya teh dan kopi disebutkan dengan bahasa yang berbeda?'
“Air hangat saja,” sahut Steven akhirnya.
“Oh…, ok...”
'Itu lebih baik. Aku jadi tidak terlalu repot.'
“Apa saya boleh ke kamar mandi?”
Aku menatap wajahnya yang mengkilap dipenuhi keringat kering bercampur debu.
'Ah... Benar juga, dia pasti merasa gerah karena pertama kalinya ke Jakarta, kan? Tingkat kelembaban udara di sini dan di kampungnya pasti berbeda sangat jauh. Pantas sejak tadi dia terlihat gelisah.'
“Tentu. Kamar mandi ada di sana.” Aku menunjuk salah satu dari empat pintu yang ada di rumah kami. Bagi yang pernah tinggal di rumah tipe 36 pasti tahu, hanya ada 4-5 pintu di rumah bertipe tersebut. Pintu depan, pintu kamar, pintu kamar mandi, dan pintu menuju halaman belakang.
Aku memerhatikannya mengeluarkan handuk dan pakaian dari dalam kantongan plastik, lalu mengikutinya ke kamar mandi ―tentu hanya dengan tatapan mataku saja.
Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)
Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran."Kalau pakaiannya ada di kant
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.'Dia…'Steven...Suamiku...Senjata api...Mafia...'Astaga!'Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempa
“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang d
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan
“Saya tidak tahu Anda suka roti isi sebagai sarapan pagi atau tidak. Tapi cuma itu yang bisa saya buat dari apa yang kita beli kemarin," ucap Steven lalu tersenyum hangat sembari menunjuk ke belakangku.Aku menoleh ke meja makan baru kami dan melihat ada sepiring sandwich di bawah tudung transparan.“Jangan khawatir, aku pemakan segalanya. Maksudku, terima kasih.”Aku menghampiri meja makan dan memeriksa sandwich yang ternyata memiliki isi sangat lengkap seperti sandwich buatan restoran dekat kantorku yang sering kukunjungi untuk sarapan.'Apa di desanya menu sarapannya juga seperti ini? Ah... aku lupa. Orang dengan banyak uang sepertinya sudah pasti tahu makanan jenis ini.'Aku menggigit roti isinya dan wah...'Ini mirip seperti yang biasa ku makan di restoran langgananku.'“Ini enak... terima kasih.”Tidak ada jawaban darinya. Dia sepertinya sangat fokus mengebor dinding untuk memasang besi gorden. Lagian suara mesin pengebornya juga sangat berisik. Dia pasti tidak mendengarku.Seben