“Dua miliar.”
Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.
'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'
“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.
Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.
“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”
“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”
Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”
Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang dilakukan tim termasuk dalam hitungan, berarti saya terhitung pernah melakukannya.”
“Maksudku dengan tanganmu sendiri,” aku cepat meluruskannya. Aku benar-benar ingin tahu dengan siapa aku akan berbagi rumah. Bahkan kamar, mungkin?
“Tidak. Saya belum pernah melakukannya.”
“Bagus! Dan tolong jangan pernah melakukannya,” sahutku cepat.
Setahuku, seseorang yang sudah pernah melakukan pembunuhan tidak akan merasa canggung untuk mengulangi perbuatannya. Maksudku, aku tidak ingin dia melakukannya padaku juga suatu saat nanti. Ingat, aku berniat untuk menceraikannya dalam waktu dekat dan takut jika dia akan membunuhku setelah aku melakukannya.
Steven tersenyum canggung, lalu mengangguk setuju. “Kalau Anda yang memintanya, saya akan berusaha.”
“Ya.”
'Hah? Kenapa harus mematuhiku? Oh... Benar juga, aku kan istrinya. Astaga, jadi dia benar-benar akan menganggapku sebagai istri yang sesungguhnya?'
Aku menatap kembali pada tumpukan uang. “Sebaiknya simpan kembali uang ini. Kita mungkin akan dirampok kalau ada yang tahu kau memiliki uang sebanyak ini,” saranku, walau ada sedikit rasa penyesalan dalam hatiku.
'Tsk…, andai Mama mengizinkannya melakukan lamaran… uang ini pasti akan… Haaaaahhh…, sudahlah…,' sesalku, yang tidak terpikir jika lamaran resmi itu sampai terlaksana, uang ini akan seperti uang darinya untuk membeli diriku.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku akhirnya menoleh pada Steven yang sedang menatap bingung padaku.
“Ini uang Anda. Silahkan kalau Anda mau menyimpannya,” sahutnya setelah bertemu pandang denganku.
“Ya. Sebaiknya seperti... A-apa?! Uangku?!” Aku sedikit histeris ketika menyadari maksudnya.
Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar sementara ia terlihat menahan tawa.
“Saya memang ingin memberikannya pada Anda sejak awal. Sayang sekali ibu Anda tidak memberikan kesempatan.”
Aku menatap tumpukan uang itu lagi… lagi… dan lagi dan... Apa aku mau menolaknya? Tentu tidak. Aku tidak seperti itu. Terserah kalau ada orang yang mengataiku mau menikah hanya karena uang. Mereka tidak tahu, aku dinikahkan paksa dan kebetulan mendapat uang ini. Kucing dalam karung yang kupilih ternyata sangat manis! ―aku bahkan lupa kalau ibu tiriku lah yang memilihkannya untukku.
Aku menoleh lagi padanya, ingat kalau dia adalah pria yang langsung kutolak saat tahu kalau dirinya jauh lebih muda dariku dan pengangguran. Kalau waktu itu aku tahu dia akan memberiku uang 2 miliar, apa aku akan menerimanya? Tentu saja!
'Hohoho… Hmmm… Apa aku pensiun saja ya dari pekerjaanku? Tapi aku harus membayar pajak, kan? Hnnn? Apa uang yang di dapat dari lamaran juga harus membayar pajak? Tidak, kan?'
“Anda ingin saya membantu untuk menyimpannya?” tanya Steven membuyarkan lamunanku.
“Ya...? Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Terima kasih.”
“Maksud saya, akan lebih baik kalau saya membantu Anda memindahkannya ke brankas. Saya lihat Anda memilikinya di kamar.”
“…Oh... K-kau benar. Kalau begitu, tolong bantu aku memindahkannya.”
❀❀❀
Aku tersadar dari pingsan sekitar pukul 6 pagi dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Butuh waktu satu setengah jam untuk memindahkan tumpukan uang itu ke dalam kamar. Untungnya aku kebetulan memiliki banyak waktu luang karena hari ini hari Sabtu dan aku sedang libur bekerja.
Setelah kami selesai memindahkan semua uang, Steven memintaku untuk mengantarnya membeli pakaian tambahan untuknya dan kami pun pergi ke toko baju terdekat yang kutahu.
Aku melihatnya memilih pakaian dengan asal. Dia tampak tidak memedulikan harga atau kualitas pakaian yang dibelinya. Asalkan ukurannya cocok, dia langsung mengambilnya.
'Apa dia tidak masalah kalau pakaiannya tidak nyaman di kulit? Ah, terserahlah…, yang penting kami akan cepat pulang. Ada banyak uang yang kutinggalkan di rumah.'
Aku sebenarnya ingin membayarkan pakaian itu, hitung-hitung sebagai hadiah dariku untuknya. Namun Steven sudah terlebih dahulu membayarnya menggunakan sebuah kartu debit ―atau aku yang sengaja membuka ritsleting dompetku dengan lambat?
Setelah dari toko pakaian Steven juga mengajakku makan di luar dan aku membawanya ke rumah makan Cina yang pernah kulihat dalam perjalanan ke kantor. Aku sebenarnya memilih toko pakaian dan rumah makan secara asal karena aku juga baru 1 minggu tinggal di daerah ini.
“Makanlah,” ucap Steven, “Anda belum makan sejak kemarin, kan?”
“Ah... Benar juga.” Aku sendiri sampai lupa kalau aku belum makan sama sekali sejak kemarin pagi.
Sebenarnya, saat ini aku telah melupakan segalanya. Dalam ingatanku hanya ada bergepok-gepok uang yang ada di brankas, terutama yang kusimpan di lemari pakaian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Pepatah yang pernah kudengar itu memang benar adanya. Aku bahkan meletakkan pikiranku juga di sana.
'Harusnya aku membeli brankas yang lebih besar beberapa buah. Bagaimana kalau ada yang masuk dan mencuri uang yang kusimpan di lemari?' Memikirkannya membuatku sakit kepala hingga tanpa sadar memijat-mijat kepalaku dengan ujung belakang sendok.
Aku baru tersadar setelah mendengar Steven tertawa sambil menatap ke arahku. Aku menoleh ke belakang, namun di belakangku hanya ada tembok dengan sebuah poster ayam goreng besar.
'Dia menertawakan poster ini? Memang lucu sih.'
“Anda terlihat sangat gelisah,” ucap Steven seakan mengerti kegundahanku.
'Oh… Dia menertawakanku.'
Aku menoleh ke kanan kiri, melihat apakah ada pengunjung lain yang sedang memerhatikan kami, lalu menarik bangku lebih dekat ke meja dan berbicara padanya dengan suara pelan. “Aku agak mengkhawatirkan uangnya. Bagaimana kalau kita pulang saja setelah makan?”
“Saya sudah selesai.”
Tatapanku beralih pada piring makannya yang sudah kosong. 'Hah? Kapan dia menghabiskannya?'
“Kalau begitu ayo kita pulang,” ajakku dengan semangat sambil memundurkan kembali kursi dan langsung berdiri.
“Anda baru makan beberapa suap.”
Aku akhirnya duduk kembali. Mendekatkan wajahku pada wajahnya, lalu berbicara, “Aku bisa membeli restoran ini selama uang itu masih ada. Kalau uang itu hilang, aku mungkin tidak akan semangat makan lagi.” Aku sedikit mengeluh padanya agar bisa segera pulang ke rumah, tapi dia malah tertawa.
Aku menatapnya kesal. Entah apa yang dia tertawakan namun aku hanya merasa kesal. “Aku pulang sekarang,” ucapku sedikit merajuk karena dia hanya tertawa dan sepertinya masih belum berniat beranjak dari kursinya.
“Tunggu. Tolong jangan khawatirkan uangnya.”
“Kau mungkin tidak khawatir karena kau...,” aku terkesiap. “Apa kau akan mengganti kalau uangnya hilang?”
Dia mengangguk.
Aku masih menatapnya, mengamati ekspresi wajahnya untuk menilai apakah dia hanya asal bicara atau tidak.
'Gila! Dia serius?'
Aku pun mengambil sendok dan garpu lagi lalu makan dengan lahap, cepat, dan tak tahu malu.
Sampai jam 7 pagi tadi aku masih tidak memercayainya dan sekarang aku percaya padanya setelah dia memberiku uang 2 miliar.
'Ha... Siapa sih yang tidak silau dengan uang sebanyak itu?' Jalan pikiranku memang tidak bisa ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.
“Apa yang kau lihat?” tanyaku saat tidak sengaja bertemu pandang dengannya.
Steven tersenyum lembut lalu menggeleng.
“Apa kau menertawakanku?”
“Tidak... Saya cuma tidak menyangka akan menikah dengan wanita seperti Anda.”
Uhuk...!
Kata-katanya membuatku teringat kembali akan perbedaan usia kami yang terlampau jauh, membuatku tersedak nasi yang baru kusuap ke mulutku.
Steven dengan cekatan memberikan air minum dan tisu padaku. Gerakannya bahkan lebih cepat dariku yang seharusnya lebih responsif karena akulah yang tersedak.
“Apa kau sekarang menyesalinya?” tanyaku setelah meredakan batuk-batukku.
“Mana mungkin saya menyesal? Justru saya hampir tidak percaya bisa menikahi wanita secantik dan semanis Anda.”
“...”
“...”
'Kyaa... Pujianmu sangat memabukkan.' Aku tersipu kegirangan dalam hati
Untung saja mulutku sedang kosong. Jika tidak aku pasti akan tersedak lagi ―yah, untung saja aku tidak tersedak udara.
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_ Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan
“Saya tidak tahu Anda suka roti isi sebagai sarapan pagi atau tidak. Tapi cuma itu yang bisa saya buat dari apa yang kita beli kemarin," ucap Steven lalu tersenyum hangat sembari menunjuk ke belakangku.Aku menoleh ke meja makan baru kami dan melihat ada sepiring sandwich di bawah tudung transparan.“Jangan khawatir, aku pemakan segalanya. Maksudku, terima kasih.”Aku menghampiri meja makan dan memeriksa sandwich yang ternyata memiliki isi sangat lengkap seperti sandwich buatan restoran dekat kantorku yang sering kukunjungi untuk sarapan.'Apa di desanya menu sarapannya juga seperti ini? Ah... aku lupa. Orang dengan banyak uang sepertinya sudah pasti tahu makanan jenis ini.'Aku menggigit roti isinya dan wah...'Ini mirip seperti yang biasa ku makan di restoran langgananku.'“Ini enak... terima kasih.”Tidak ada jawaban darinya. Dia sepertinya sangat fokus mengebor dinding untuk memasang besi gorden. Lagian suara mesin pengebornya juga sangat berisik. Dia pasti tidak mendengarku.Seben
Baru saja keluar rumah, kami sudah langsung bertemu dengan tetangga seberang jalan yang langsung melambaikan tangan pada kami, tepatnya pada Steven, karena mereka memanggil nama Steven juga setelahnya."Nak Steven..."'Mereka sudah berkenalan?'Steven mengajakku mampir sebentar untuk menyapa pasangan paruh baya itu. Aku hanya memperkenalkan diri seadanya lalu berdiam diri setelahnya. Bukan karena aku anti bersosialisasi, namun karena aku memang sudah terbiasa tidak bergaul lagi dengan para tetangga.Semuanya dimulai sejak 5 atau 6 tahun lalu. Pertanyaan para tetangga kami di rumah ayahku mengenai “kapan aku menikah” itulah yang sebenarnya membuatku berhati-hati untuk tidak bergaul dengan mereka lagi.Aku sedikit takjub saat mendengar dan memerhatikan cara Steven berinteraksi dengan pasangan paruh baya ini. Bukan hanya sekedar menyapa atau berbicara hal tak penting, Steven membicarakan beberapa hal tentang toserba yang jauh dari pemukiman kami, juga susahnya mencari bahan makanan segar
Steven menoleh dan tersenyum padaku.“Maksudku... harga tanah di sini cukup mahal,” aku menjelaskan maksudku bertanya.“Ayo kita lihat nanti. Kalau harganya sedikit cocok dengan tabungan saya, saya akan coba bernegosiasi.”'Wah…'Aku terdiam dan masih mendongak menatapnya dengan mulut menganga. “Sebenarnya seberapa banyak tabunganmu?” tanyaku lagi. “Apa hasil penjualan tanahmu memang sebanyak itu?”Steven hanya tertawa. Dia kemudian mengajakku berjalan kembali menuju rumah kami tanpa memberikan jawaban, membuatku agak sedikit kesal.“Maaf kalau aku lancang. Tapi kau terlalu membuatku syok karena sebelumnya aku mengiramu tidak memiliki pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Jadi tolong dimaklumi.”'Selain itu aku juga jadi sulit menceraikanmu, kan? Kau sepertinya sudah mempertaruhkan segalanya untuk hidup bersama istrimu yang jauh lebih tua ini, bahkan harus sampai menjual tanah.'Sebenarnya cuma tebakanku saja yang mengira kalau dia sudah menjual tanah orang tua hingga mendapatkan uang
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam.Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan. Jelas sekali kalau dia bukannya ingin terlihat baik dimataku.Karena terlalu fokus memerhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba ‘naik’ tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul. Aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya!Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjang untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba.Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di sini, di atas ranjang kami, malah membuat keinginan i