Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...
“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.
'Dia…'
Steven...
Suamiku...
Senjata api...
Mafia...
'Astaga!'
Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.
Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.
'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'
Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.
“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.
“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempat tidur. Sambil menunjuk kertas itu dia kemudian menjelaskan, “Ini surat izin membawa senjata api. Anda pasti tahu kalau tidak sembarang orang diizinkan memiliki senjata api di negara kita, kan?”
Aku masih menatapnya dengan tubuh gemetar sebelum akhirnya menurunkan pandanganku pada selembar kertas yang baru saja diletakkannya di atas tempat tidur.
'Benar, dari yang kutahu memang begitu. Tidak sembarang orang memiliki izin membawa senjata api di negara ini.'
Aku mendekati kertas tersebut sambil terus menatap ke arahnya, takut kalau dia tiba-tiba menyergapku. Aku kemudian membaca tulisan di kertas dengan cepat, melihat cap dari POLRI dan yakin kalau cap itu asli.
Mengetahui itu, aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega, setidaknya sedikit dari rasa takut sudah beranjak pergi dari pikiranku.
Aku menatap Steven kembali. “Kenapa kau punya senjata api? Kalau kau bukan penjahat, apa kau seorang pengawal pribadi? Tidak mungkin kau Polisi, kan?”
Aku melihat keraguan di wajah Steven, juga bisa mendengar helaan napas pendek darinya.
“Saya seorang pengawal pribadi,” sahutnya.
Kami bertatapan dalam keheningan cukup lama setelahnya. Aku menatap dalam pada manik hitam di kedua matanya, mempelajari apakah ada kebohongan di sana, sementara dia menatapku dengan ekspresi seakan memohon agar aku memercayainya.
'Baiklah, ayo coba percaya padanya. Setidaknya dia bukan pengangguran, kan?'
“Di mana senjatanya?” tanyaku lagi.
Steven tidak menjawab dan malah bergegas pergi keluar kamar, sebelum akhirnya kembali dengan membawa komponen senjata api yang masih terpisah-pisah itu padaku dan meletakkannya di tepi ranjang.
Melihat keadaan senjata api yang masih terbongkar, aku menjadi jauh lebih tenang.
“Lalu... Apa gaji pengawal pribadi sebesar itu? Maksudku... Aku juga melihat tumpukan uang di dalam ranselmu.”
'Ups, astaga! Bodoh. Aku malah mengumumkan sendiri kalau aku sudah membongkar tasnya.' Tanpa sadar aku menepuk mulutku yang sudah kelepasan berbicara karena rasa penasaranku yang terlalu besar.
Tapi Steven kemudian mengangguk. Hanya itu jawaban yang diberikannya padaku.
“Baiklah... Jadi..., kau bukan mafia atau sejenisnya, kan?” Walau sebelumnya dia sudah menjelaskan dirinya bukan penjahat, aku tetap ingin memastikannya lagi. 'Yah..., setidaknya memastikan kalau masa depanku benar masih ada.'
Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Dia terkejut, lalu terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak tertawa. 'Dia mau tertawa? Dia sedang menahan tawa, kan?'
“Bukan. Saya tidak bekerja seperti itu.”
“…”
“Saya tidak melakukan hal yang melanggar hukum.”
“B-begitu...”
"Maaf jika sudah membuat Anda takut."
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup wajah dengan kedua tangan. Aku benar-benar merasa malu karena sudah bersikap bodoh di depan pria yang berusia 10 tahun lebih muda dariku ini.
'Huft... Kenapa aku malah merasa diriku jadi kekanakan sekali sih?' Aku menyesal karena telah kehilangan ketenangan di hadapan pria yang bahkan berusia lebih muda dari adik tiri laki-lakiku ini.
'Tapi mana ada wanita yang tidak takut saat ada orang asing membawa senjata api di hadapannya, kan? Ini tidak memalukan. Bukan pula kekanakan. Ini adalah hal yang wajar. Iya benar, ini sangat wajar…'
Saat masih berusaha mengembalikan kepercayaan diriku lagi, aku merasakan kelembaban dan basah di antara kedua pahaku. 'Hah? Tunggu... Kenapa basah?'
Tidak ingat kalau Steven berada di hadapanku, aku langsung meraba-raba bagian yang kurasa basah.
“Anda mengompol...,” ucap Steven dengan ragu, sepertinya menyadari kebingunganku akan diriku sendiri.
Aku menatapnya dengan mulut terbuka lebar, lalu melihat celana panjang ketatku yang memiliki bekas basah lebar di antara kedua pahaku. 'Astaga... Memalukan sekali!'
Aku langsung melompat dan berlari ke kamar mandi, tapi tak lama kemudian balik lagi untuk mengambil pakaian ganti di lemari, lalu bergegas berlari kembali menuju ke kamar mandi yang entah kenapa terasa menjadi sangat jauh.
Sekilas aku melihatnya memerhatikan kesibukanku sambil mengulum bibirnya. Aku tahu dia sedang menahan dirinya agar tidak tertawa.
'Memalukan! Benar-benar memalukan!'
❀❀❀
Setelah kesegaran air menj4m4h tubuhku, aku akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Mencoba mengesampingkan pemikiran lain, aku menatap kembali ke lantai, pada pakaian kotorku yang berhamburan.
Saat aku bangun tadi, aku masih berpakaian lengkap. Pakaian yang sama dengan yang kukenakan untuk pernikahan. 'Dia tidak melakukan apa-apa padaku, kan?'
Aku lebih meyakininya setelah ingat kalau dia bahkan tidak menggantikan celanaku yang basah. Dia mungkin benar-benar bukan orang jahat yang sudah pasti akan memanfaatkan keadaan saat aku pingsan.
Aku menoleh ke cermin yang berada di balik pintu kamar mandi, menatap pantulan diriku yang ada di dalamnya. 'Atau karena aku kurang menarik?'
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang.
“Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan setelah duduk di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung yang berlawanan.
“Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.”
Aku tersenyum kaku lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak keluar dari kamar mandi tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami.
“Jadi... Apa maksudnya ini?” tanyaku dengan kedua mata yang masih tertuju pada tumpukan uang.
“Ini… Sebelumnya saya ingin minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya ingin melakukannya tapi ibu Anda mengatakan kalau itu tidak perlu. Beliau ingin agar kita langsung menikah saja.”
“Begitu ya…”
'Tsk… Dasar ibu tiri brengsek!'
Apa yang kuucapkan tidak sama dengan apa yang kupikirkan. Namun demikian, aku akhirnya mengangguk pelan saat ingat apa yang ibu tiriku katakan padanya juga sama dengan yang dikatakannya padaku. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku tadi.
“Jadi... Uang ini sebenarnya uang yang akan saya gunakan untuk melamar Anda, uang yang ingin saya berikan pada Anda,” lanjut Steven.
“Apa?!”
Steven ikut terkejut saat aku, secara tidak sengaja, memekik kaget mendengar apa yang baru dikatakannya.
'Wow! Untukku? Tunggu... Tadi itu ada kata sebenarnya, kan? Berarti tidak untukku lagi? Eh...?' Aku tiba-tiba menyadari maksudnya. “Apa kau ingin memberikan uang ini pada ibu tiriku?!” tanyaku merasa tidak terima.
“Tidak... Sejak awal saya memang ingin memberikan uang ini pada Anda.”
Aku menatap tumpukan uang itu lagi sambil menelan ludah. 'Syukurlah kalau bukan untuknya. Tapi aku ikut rugi juga,' sesalku dalam hati, mengira kalau dia pasti membatalkan niat untuk memberikan uang ini padaku karena tidak diberikan kesempatan melamarku dengan benar oleh ibu tiriku.
“Saya tahu kalau Anda sebenarnya tidak ingin menikah. Anda mungkin menikah hanya karena terpaksa.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Saat saya meminta untuk bisa berbicara pada Anda, ibu Anda selalu memberikan alasan yang saya rasa tidak masuk akal.”
Aku mengernyit, menatapnya sembari tersenyum tipis. 'Intuisinya bagus juga. Pengawal pribadi memang beda.' Aku berpaling kembali pada tumpukan uang. “Tapi... Ada berapa banyak uang ini?” tanyaku tanpa merasa sungkan.
Rasa penasaranku mengalahkan akal sehatku yang berusaha menahan diri untuk tidak bertanya.
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang d
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan
“Saya tidak tahu Anda suka roti isi sebagai sarapan pagi atau tidak. Tapi cuma itu yang bisa saya buat dari apa yang kita beli kemarin," ucap Steven lalu tersenyum hangat sembari menunjuk ke belakangku.Aku menoleh ke meja makan baru kami dan melihat ada sepiring sandwich di bawah tudung transparan.“Jangan khawatir, aku pemakan segalanya. Maksudku, terima kasih.”Aku menghampiri meja makan dan memeriksa sandwich yang ternyata memiliki isi sangat lengkap seperti sandwich buatan restoran dekat kantorku yang sering kukunjungi untuk sarapan.'Apa di desanya menu sarapannya juga seperti ini? Ah... aku lupa. Orang dengan banyak uang sepertinya sudah pasti tahu makanan jenis ini.'Aku menggigit roti isinya dan wah...'Ini mirip seperti yang biasa ku makan di restoran langgananku.'“Ini enak... terima kasih.”Tidak ada jawaban darinya. Dia sepertinya sangat fokus mengebor dinding untuk memasang besi gorden. Lagian suara mesin pengebornya juga sangat berisik. Dia pasti tidak mendengarku.Seben
Baru saja keluar rumah, kami sudah langsung bertemu dengan tetangga seberang jalan yang langsung melambaikan tangan pada kami, tepatnya pada Steven, karena mereka memanggil nama Steven juga setelahnya."Nak Steven..."'Mereka sudah berkenalan?'Steven mengajakku mampir sebentar untuk menyapa pasangan paruh baya itu. Aku hanya memperkenalkan diri seadanya lalu berdiam diri setelahnya. Bukan karena aku anti bersosialisasi, namun karena aku memang sudah terbiasa tidak bergaul lagi dengan para tetangga.Semuanya dimulai sejak 5 atau 6 tahun lalu. Pertanyaan para tetangga kami di rumah ayahku mengenai “kapan aku menikah” itulah yang sebenarnya membuatku berhati-hati untuk tidak bergaul dengan mereka lagi.Aku sedikit takjub saat mendengar dan memerhatikan cara Steven berinteraksi dengan pasangan paruh baya ini. Bukan hanya sekedar menyapa atau berbicara hal tak penting, Steven membicarakan beberapa hal tentang toserba yang jauh dari pemukiman kami, juga susahnya mencari bahan makanan segar
Steven menoleh dan tersenyum padaku.“Maksudku... harga tanah di sini cukup mahal,” aku menjelaskan maksudku bertanya.“Ayo kita lihat nanti. Kalau harganya sedikit cocok dengan tabungan saya, saya akan coba bernegosiasi.”'Wah…'Aku terdiam dan masih mendongak menatapnya dengan mulut menganga. “Sebenarnya seberapa banyak tabunganmu?” tanyaku lagi. “Apa hasil penjualan tanahmu memang sebanyak itu?”Steven hanya tertawa. Dia kemudian mengajakku berjalan kembali menuju rumah kami tanpa memberikan jawaban, membuatku agak sedikit kesal.“Maaf kalau aku lancang. Tapi kau terlalu membuatku syok karena sebelumnya aku mengiramu tidak memiliki pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Jadi tolong dimaklumi.”'Selain itu aku juga jadi sulit menceraikanmu, kan? Kau sepertinya sudah mempertaruhkan segalanya untuk hidup bersama istrimu yang jauh lebih tua ini, bahkan harus sampai menjual tanah.'Sebenarnya cuma tebakanku saja yang mengira kalau dia sudah menjual tanah orang tua hingga mendapatkan uang
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku