Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.
Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.
'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'
Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.
Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.
Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran.
"Kalau pakaiannya ada di kantong plastik, lalu apa isi ransel besar ini? Kenapa dia tidak menaruh pakaiannya di dalam ransel saja?"
Aku menatap ke pintu kamar mandi sebentar, lalu mendekati kantong plastik yang Steven letakkan di lantai, di dekat tas ranselnya, kemudian menyentuh kantongan plastik itu dengan ujung jemariku lalu menekan-nekannya. Dari kelembutannya aku menebak kalau isi tas plastik ini hanya pakaian.
“Hmmm...” Aku malah penasaran juga dengan isi ranselnya.
Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, lalu menatap tas ransel lagi. "Apa tidak masalah kalau aku mengecek isinya?" Aku mempertimbangkan untuk membuka ranselnya karena penasaran dengan ukurannya.
"Tidak. Ini tidak benar."
Aku menyandarkan tubuhku ke sofa dan duduk diam beberapa saat.
Setelah mendengar suara air berjatuhan di lantai kamar mandi, barulah aku mendekati tas itu lagi.
"Benar. Kalau mau melihat isinya, inilah saatnya. Asal tidak ketahuan tidak apa-apa, kan?"
Aku meraih ritsleting ransel lalu menariknya perlahan sembari terus menatap ke pintu kamar mandi, mengawasi seandainya Steven tiba-tiba membuka pintu tersebut.
Setelah kurasa tasnya sudah terbuka cukup lebar, barulah aku memalingkan wajah dan memeriksa isinya.
“Astaga!”
Aku melepaskan tas itu secara refleks. Tubuhku juga ikut mundur menjauh dengan refleks setelah melihat apa yang ada di dalam sana.
Dengan jantung berdebar kencang akibat adrenalin yang meningkat, aku akhirnya menghampiri tas itu lagi untuk memastikan apa yang baru saja kulihat.
Benar saja. Ada sepucuk senjata api, HP model lama, dan sebungkus rokok di dalamnya dan... Aku membuka tas itu lebih lebar lagi, menggali-gali isinya untuk memastikannya lebih jauh.
Selain benda-benda tadi, yang diletakkan di bagian atas, ransel itu hanya berisi bergepok-gepok uang seratus ribu yang masih tersegel per sepuluh juta dan tersusun dengan sangat rapi.
“Dari mana uang-uang ini? Apa dia..."
Rasa takut mulai melanda pikiranku setelah melihat senjata api itu lagi, membuatku dengan segera mengembalikan semua benda yang baru saja kukeluarkan dari ransel dan menutupnya kembali.
Aku buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi, saat tidak mendengar suara air lagi dari dalam kamar mandi.
'Oh, tidak...! Itu ketinggalan…'
Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi sudah kuletakkan di meja, dan bergegas kembali ke area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu.
'Hampir saja.'
Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku.
Walau sangat sulit untuk dilakukan setelah apa yang baru saja kulihat di dalam ranselnya, aku memaksa bibirku untuk tersenyum. Tapi rasa takut yang sudah menguasaiku secara penuh membuatku susah untuk tersenyum. Senyumku pasti akan terlihat aneh di matanya.
Menyadari kebodohanku, aku melirik ke arah ransel. 'Bodoh! Harusnya kuambil saja pistolnya,' pikirku, menyesal tidak melakukannya.
Entah dia menyadari atau tidak, Steven kemudian pergi menuju sofa dan duduk di dekat ranselnya, lalu membuka ritsletingnya.
Dadaku menjadi sesak. Tanpa sadar aku menahan napas, terutama saat melihatnya mengeluarkan senjata api itu dari dalam tasnya.
'Oh, astaga... Bagaimana ini!?'
Dengan santainya ia mengeluarkan senjata itu seolah itu hanyalah senjata mainan, lalu dengan santai pula ia meletakkannya di atas meja seakan aku tidak melihatnya.
'Apa yang ingin kau lakukan?!' Aku berteriak dalam hati.
Setidaknya kalimat itu yang ingin kuteriakkan, tapi kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutku. Aku mulai panik dan gemetar ketakutan. Tubuhku terasa sangat lemas hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang masih kupegang.
Pyaarr!
Suara gelas pecah dari dekat kakiku malah membuat Steven terkejut dan langsung menatap ke arahku, sebelum menatap pada senjata apinya lagi.
“A-apa... yang… ingin kau lakukan?” Aku akhirnya bisa mengucapkan kalimat itu dengan susah payah setelah melihat Steven memegang senjata api itu lagi.
“Tidak! Maaf, saya hanya ingin mengeluarkannya saja,” sahutnya dengan ekspresi penuh penyesalan.
'Hanya mengeluarkannya? Benda berbahaya itu? Oh, yang benar saja! Benda itu bahkan bisa membunuhku.'
Aku melihat Steven berdiri dan tampak hendak berjalan ke arahku namun berbalik lagi dan berjongkok di dekat meja sambil mengangkat senjata api itu ke depan dadanya.
“Jangan... tolong...,” pintaku dengan suara bergetar takut. Sebenarnya suaraku hampir tidak keluar sama sekali.
“Tidak... Anda salah paham. Tolong percaya pada saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Anda,” ucapnya sembari membongkar senjata api itu dengan cepat.
Aku melihatnya memisah-misahkan bagian senjata api itu dengan sangat cekatan dan sangat cepat seolah sudah sangat terlatih melakukannya, hingga akhirnya melihat senjata api itu tidak lagi bisa digunakan untuk menembak.
“Maaf, di tempat saya biasanya memegang benda ini sudah biasa. Jadi saya tidak mengira Anda akan takut. Maksud saya… saya lupa kalau saya sedang tidak berada di kampung saya.”
Kata-kata itu justru tidak menenangkan, apalagi menghiburku. Imajinasiku malah berkembang semakin liar. 'Senjata api adalah benda biasa di tempatnya? Tinggal di mana dia sebenarnya? Di sebuah medan perang?'
Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Bu Rosa. Dia… Steven, mungkin benar-benar anggota mafia.
'Benar! Dia punya senjata api. Ada banyak uang di dalam ranselnya, juga ponsel model lama, dan rokok. Dan... sudah biasa memegang senjata api. Semuanya sangat cocok dengan apa yang sering kulihat di film-film Hollywood. Dia mafia!'
Polisi atau tentara tidak mungkin membawa uang sebanyak itu kemana-mana. Dia pasti anggota mafia. Pasti seperti itu.
'Mama sialan! Dia pasti mau membunuhku karena ingin menjual tanah dan rumah kami!' Aku mengumpat dengan pemikiranku yang semakin berkembang luas, baru menyadari alasan mengapa ibu tiriku memaksaku untuk menikahi pria ini.
Aku melirik pada salah satu pintu yang akan langsung tembus ke halaman belakang rumah andai aku bisa membukanya. Itu adalah pintu terdekat dari posisiku berdiri.
'Aku harus melarikan diri sekarang!'
Aku pun bergegas berlari menuju pintu itu.
Setidaknya itulah niatku.
Sayangnya, syok yang kudapat setelah melihatnya mengeluarkan senjata api membuat kedua kakiku kaku dan gemetar. Bukannya berlari, aku malah terjatuh. Bahkan aku kemudian pingsan saat melihat Steven berlari ke arahku. 'Mati aku!'
❀❀❀
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.'Dia…'Steven...Suamiku...Senjata api...Mafia...'Astaga!'Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempa
“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang d
Setelah makan kami tidak langsung pulang. Walau aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang karena takut andai ada maling yang akan membawa harta karun berharga di brankas dan lemari pakaianku.Keinginan itu akhirnya kalah saat aku melihat Steven menatap jalanan dengan ekspresi murung di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia merindukan kampung halamannya atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya.Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati. Kebetulan aku juga belum pernah ke Mal itu karena baru pindah ke daerah ini seminggu yang lalu.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak kalau dia mungkin benar-benar merindukan kampung halamannya hingga baru kembali terlihat ceria setelah aku mengajaknya berjalan-jalan.'Kasihan, padahal dia baru dua hari di sini. Bagaim
Kami membeli banyak barang dengan kualitas terbaik di toko furnitur. Hampir semua barang adalah hasil rekomendasi Steven, tapi dia tetap memintaku untuk memilihnya.Dia menunjuk meja, lalu menanyakan padaku meja mana yang kusuka. Menunjuk rak dan menanyakan padaku model mana yang kusuka.Saat semua barang yang diinginkannya —tapi semuanya adalah pilihanku— sudah terbeli, aku baru sadar kalau itu adalah barang-barang yang benar-benar kami butuhkan. Steven membeli semua yang kami perlu dengan model yang kusuka.'Hmmm…'Aku menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka dia akan seperhatian ini pada kehidupan bersama kami yang baru dimulai kemarin.'Semua itu bernilai hampir 100 juta. Wah... Apa bekerja sebagai pengawal pribadi memang bisa menghasilkan banyak uang?'Aku mulai memikirkan kenapa aku dulu tidak memulai karir sebagai pengawal pribadi saja. Sepertinya aku akan memiliki banyak uang layaknya Steven, juga bisa memiliki senjata api.'Aku membayangkan wajah ibu tiri da
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan
“Saya tidak tahu Anda suka roti isi sebagai sarapan pagi atau tidak. Tapi cuma itu yang bisa saya buat dari apa yang kita beli kemarin," ucap Steven lalu tersenyum hangat sembari menunjuk ke belakangku.Aku menoleh ke meja makan baru kami dan melihat ada sepiring sandwich di bawah tudung transparan.“Jangan khawatir, aku pemakan segalanya. Maksudku, terima kasih.”Aku menghampiri meja makan dan memeriksa sandwich yang ternyata memiliki isi sangat lengkap seperti sandwich buatan restoran dekat kantorku yang sering kukunjungi untuk sarapan.'Apa di desanya menu sarapannya juga seperti ini? Ah... aku lupa. Orang dengan banyak uang sepertinya sudah pasti tahu makanan jenis ini.'Aku menggigit roti isinya dan wah...'Ini mirip seperti yang biasa ku makan di restoran langgananku.'“Ini enak... terima kasih.”Tidak ada jawaban darinya. Dia sepertinya sangat fokus mengebor dinding untuk memasang besi gorden. Lagian suara mesin pengebornya juga sangat berisik. Dia pasti tidak mendengarku.Seben
Baru saja keluar rumah, kami sudah langsung bertemu dengan tetangga seberang jalan yang langsung melambaikan tangan pada kami, tepatnya pada Steven, karena mereka memanggil nama Steven juga setelahnya."Nak Steven..."'Mereka sudah berkenalan?'Steven mengajakku mampir sebentar untuk menyapa pasangan paruh baya itu. Aku hanya memperkenalkan diri seadanya lalu berdiam diri setelahnya. Bukan karena aku anti bersosialisasi, namun karena aku memang sudah terbiasa tidak bergaul lagi dengan para tetangga.Semuanya dimulai sejak 5 atau 6 tahun lalu. Pertanyaan para tetangga kami di rumah ayahku mengenai “kapan aku menikah” itulah yang sebenarnya membuatku berhati-hati untuk tidak bergaul dengan mereka lagi.Aku sedikit takjub saat mendengar dan memerhatikan cara Steven berinteraksi dengan pasangan paruh baya ini. Bukan hanya sekedar menyapa atau berbicara hal tak penting, Steven membicarakan beberapa hal tentang toserba yang jauh dari pemukiman kami, juga susahnya mencari bahan makanan segar