Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Steven menoleh dan tersenyum padaku.“Maksudku... harga tanah di sini cukup mahal,” aku menjelaskan maksudku bertanya.“Ayo kita lihat nanti. Kalau harganya sedikit cocok dengan tabungan saya, saya akan coba bernegosiasi.”'Wah…'Aku terdiam dan masih mendongak menatapnya dengan mulut menganga. “Sebenarnya seberapa banyak tabunganmu?” tanyaku lagi. “Apa hasil penjualan tanahmu memang sebanyak itu?”Steven hanya tertawa. Dia kemudian mengajakku berjalan kembali menuju rumah kami tanpa memberikan jawaban, membuatku agak sedikit kesal.“Maaf kalau aku lancang. Tapi kau terlalu membuatku syok karena sebelumnya aku mengiramu tidak memiliki pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Jadi tolong dimaklumi.”'Selain itu aku juga jadi sulit menceraikanmu, kan? Kau sepertinya sudah mempertaruhkan segalanya untuk hidup bersama istrimu yang jauh lebih tua ini, bahkan harus sampai menjual tanah.'Sebenarnya cuma tebakanku saja yang mengira kalau dia sudah menjual tanah orang tua hingga mendapatkan uang
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam.Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan. Jelas sekali kalau dia bukannya ingin terlihat baik dimataku.Karena terlalu fokus memerhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba ‘naik’ tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul. Aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya!Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjang untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba.Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di sini, di atas ranjang kami, malah membuat keinginan i
Aku terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Setelah mematikannya aku berbalik, ingin tahu apakah Steven tidur bersamaku atau tidak, dan aku tidak melihatnya ada disampingku.Kami tidak melakukannya tadi malam. Steven tidak datang menghampiriku sampai aku akhirnya tertidur.Walau merasa harga diriku sedikit jatuh karena penolakan tidak langsungnya, aku tidak mempermasalahkannya. Aku yakin pasti ada yang dipertimbangkannya hingga masih tidak mau melakukannya, atau mungkin karena aku tidak mengatakan kalau aku menginginkannya secara jelas hingga ia ragu untuk melakukannya.Yang terpenting aku sudah memberinya izin dan aku juga sudah tahu kalau dia tampak tertarik pada tubuhku. Aku melihatnya dengan sangat jelas saat duduk di sebelahnya tadi malam.“Pagi...,” sapaku pada Steven yang sedang sibuk dengan laptopnya.“Pa...gi...,” sahut Steven. Terlihat jelas kalau dia tampak takjub memandangi tubuh di balik gaun tidurku yang lumayan transparan.Aku mengalihkan tatapanku ke meja makan, seng
Aku menyentuh pelan bibirku. Mengingat kembali bagaimana Steven melumatnya dengan lembut sebelum memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.'Apa begitu caranya berciuman?'Sebelum hari ini, aku benar-benar belum pernah melakukannya sama sekali. Baik itu hanya sebuah kecupan di pipi, kening, terutama di bibir. Jadi selama kami melakukannya tadi, aku hanya diam dan mempelajari cara dia melakukannya.Aku benar-benar seperti seorang perawan tua yang tidak berpengalaman. Jadi apa yang dikatakan teman-teman ibu tiriku sebenarnya tidaklah salah.'Apa dia sudah sering melakukannya? Dia sepertinya sudah sangat—'“Neng?”Aku baru tersadar dari lamunan saat sopir taksi memanggilku. “Ya, Pak?”“Kita sudah sampai.”Aku melihat keluar jendela dan kaget karena gedung kantorku sudah berada di sana, padahal seingatku kami baru berkendara beberapa menit saja.“Oh maaf... Terima kasih, Pak.”Dengan perasaan malu aku segera turun dari taksi dan berlari kecil menuju pintu utama gedung kantorku.Dari suasana lob
“Pak Jo, kalau surat peringatan saya sudah dibuat, tolong print dan serahkan pada saya atau Anda bisa mengirimkan ke e-mail saja saya.”Jo Bastian melirik pada Carlos, seakan sedang meminta izin pada atasannya itu untuk mengerjakan apa yang kuminta. Aku tidak memedulikan interaksi mereka dan langsung pergi meninggalkan Jo yang tampak serba salah.Begitu keluar dari dalam ruangan, aku mengambil ponsel, mengecek perekam suara yang masih aktif, lalu menaruhnya kembali ke dalam saku jas ku. Aku masih mengaktifkan perekam suara itu, tahu kalau Carlos yang tidak suka diabaikan itu pasti akan mengejarku.Seperti yang kuduga, Carlos mengejar dan langsung menghampiriku.“Apa Anda marah karena saya mengabaikan Anda?” tanya Carlos yang kemudian menyeringai sambil berjalan di sebelahku.Aku mengabaikannya dan terus berjalan untuk kembali ke ruangan divisiku.“Maaf, saya cuma ingin Anda tahu rasanya diabaikan,” ucapnya lagi.'Siapa yang mengabaikan siapa?'Aku tidak memedulikannya dan semakin mempe
Ruangan divisiku mendadak sunyi senyap tepat setelah aku membuka pintu. Padahal aku jelas-jelas mendengar suara berisik orang-orang yang sedang asik mengobrol saat masih berada di depan pintu barusan. Hebatnya lagi, tidak ada satupun dari 30 karyawan yang berada di dalam ruangan yang tidak sedang berada di meja kerja mereka.Setelah memastikan kalau tidak salah masuk ruangan dari divisi lain, aku menoleh ke arah pintu yang baru kulewati.'Apa aku masuk ke dunia lain melalui pintu ini? Atau mereka bisa terbang? Bagaimana mungkin mereka bisa kembali ke tempat duduk masing-masing secepat ini?'Tahu kecerdikan mereka, aku hanya bisa tersenyum pahit dengan hati mendongkol.Para bedebah ini...Walau agak kesal dengan gosip terang-terangan yang mereka bicarakan di grup obrolan, aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing. Para karyawan Divisi Produksi yang bekerja di bawahku ini memang sangat suka bergosip di grup obrolan, namun mereka juga sangat bertanggung jawab pada pekerjaan.Bagaimanapun
Aku meminta pak sopir menurunkanku di depan sebuah toko elektronik yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumahku.Ingat kalau uang yang berada di lemari pakaian mungkin tidak aman, aku membeli CCTV portable berukuran kecil yang bisa ditaruh di tempat-tempat tertutup dan tidak mencolok. CCTV itu juga sangat simpel dengan tangkapannya yang akan terhubung langsung ke ponselku selama 24 jam penuh, dan tidak repot juga dalam penginstalannya.Setelah membeli 6 CCTV portable, aku mampir ke toko pakaian khusus wanita yang berada tak jauh dari toko elektronik itu untuk mencari beberapa lingerie. Aku memilih beberapa lingerie berbahan tipis yang jauh lebih transparan dari gaun tidurku, dan yakin kalau Steven tentu akan senang melihatku memakai pakaian yang kupilih ini.“Gila. Kenapa aku malah jadi seperti ini?” Aku bergumam sambil memerhatikan kantong belanjaan di tanganku, saat akal sehatku baru saja kembali padahal aku sudah membeli semuanya —atau karena aku memang menginginkannya?Setel
Aku masih terus berusaha melepaskan diri dari Carlos sambil berteriak-teriak meminta pertolongan. Sialnya, jalan pintas ini memang sangat sepi pada jam-jam ini hingga tak ada satupun orang atau kendaraan yang melintas.“Carlos! Kau tahu kau pasti akan masuk penjara kalau aku melaporkanmu, kan?!”“Penjara? Ku rasa tidak akan sejauh itu.""A-apa?! Apa maksudmu?"Sambil menarikku pergi, Carlos tertawa terbahak-bahak."Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sedang mengumpulkan banyak bukti untuk bisa membuatku dikeluarkan dari perusahaan?”“Bagaimana kau—”“Aku memasang CCTV portable di ruanganmu,” potong Carlos sebelum akhirnya tertawa puas.“Brengsek!”Sambil terus berteriak, aku juga berusaha menahan tubuhku di pintu mobil dengan kedua kakiku saat Carlos berusaha mendorongku paksa agar masuk ke mobilnya.Melihat usahanya gagal karena aku terus berusaha bertahan sekuat tenaga, Carlos akhirnya mengambil sebilah pisau dari balik saku jaketnya lalu mengancamku.“Masuk atau kau akan mati di sini
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku