Keesokan Harinya, Raka duduk di tepi tempat tidur, tangannya mengepal di pangkuan. Wajahnya tampak tenang, namun di matanya ada semburat kesedihan yang sulit disembunyikan. Ia sudah mendengar pengakuan Nadia, namun perasaan tak nyaman itu tak kunjung pergi. "Aku tahu hidup ini berat untukmu," katanya pelan, seolah berusaha mengukur setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Dan aku juga sadar kalau aku mungkin tidak sesuai harapan keluargamu."Nadia, yang berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong keluar, menoleh dengan cepat. Perkataannya membuat hatinya tercekat, tapi ia tak tahu harus berkata apa. Ia mengerti, benar-benar mengerti bahwa kata-katanya tadi membuat Raka merasa seperti bayangan masa lalu lebih kuat daripada hubungan mereka saat ini.Raka melanjutkan dengan suara yang sedikit gemetar, "Tapi, Nadia... kita nggak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Kalau kamu merasa ada seseorang atau sesuatu yang lebih baik daripada aku... katakanlah."Nadia memejamkan matanya, m
Malam yang hening hanya ditemani suara hujan ringan di luar jendela. Nadia duduk di tepi ranjang, merenung dalam diam. Di sebelahnya, Raka sudah tertidur, napasnya teratur dan tenang. Tapi pikiran Nadia melayang, jauh ke dalam percakapan mereka beberapa jam yang lalu. Kata-kata Raka terngiang di telinganya, menggetarkan hati yang sejak lama bergelut dengan tekanan keluarganya.“Aku tidak bisa bersaing dengan bayangan masa lalu,” kalimat itu terus terulang di benaknya. Nadia menggenggam tangan Raka yang terkulai di sampingnya. Hangat, kokoh, dan setia. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk membangun kehidupan mereka bersama, meski tahu bahwa dunia luarterutama keluarganya tak henti-hentinya merendahkan dirinya."Kenapa kamu tidak pernah membalas mereka, Raka?" bisik Nadia perlahan, suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kenapa kamu selalu menerima hinaan itu tanpa melawan?”Ia tahu jawaban itu ada dalam diri Raka, jawaban yang pernah diucapkan suaminya dengan
Beberapa hari kemudian, Malam itu, angin berhembus pelan, membawa dingin yang tak seberapa menyejukkan panasnya suasana di dalam ruangan acara keluarga besar itu. Para tamu mengenakan pakaian rapi, berkumpul di sekeliling meja-meja penuh makanan mewah, bercakap-cakap dan tertawa seolah tak ada masalah di dunia. Namun, di satu sudut ruangan, percakapan yang mulai terbentuk beralih menjadi sindiran tajam yang merobek suasana nyaman."Raka memang baik hati, tapi sayang, dia tidak punya apa-apa," kata Bu Retno dengan senyum tipis di bibirnya. Suaranya lembut, namun penuh dengan nada menghina yang menguar jelas di antara tawa kecilnya. Matanya berkilat, seperti puas menyudutkan menantunya di hadapan banyak orang.Nadia berdiri di samping Raka, tubuhnya membeku mendengar kata-kata ibunya. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin mendidih dalam dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang siap meledak. Ia sudah cukup lama mendengar hinaan
Malam itu terasa begitu hening di atas motor. Nadia menatap jalan yang gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang sesekali memantul di kaca motor. Raka tetap fokus mengemudi, namun ada sesuatu di raut wajahnya yang membuat Nadia gelisah. Ia tahu suaminya tidak marah padanya, tapi ada beban yang jelas terbaca di mata Raka, yang membuat Nadia ingin segera meredakannya."Kamu baik-baik saja?" Nadia akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Raka mengangguk perlahan, namun masih enggan berbicara banyak. "Aku baik, Nad. Aku hanya... memikirkan sesuatu."Nadia menatap Raka dengan pandangan penuh kasih. Ia tahu suaminya bukan tipe pria yang mudah terbuka, terutama ketika menyangkut perasaannya. Namun, malam ini, Nadia tak bisa lagi membiarkan segalanya berlalu tanpa ada percakapan yang lebih mendalam. Mereka perlu bicara."Aku tahu apa yang Ibu katakan tadi menyakitkan," ucap Nadia perlahan, mencoba membuka jalan. "Tapi aku tidak akan diam saja ketika orang-ora
Nadia menatap layar ponselnya, terpaku pada pesan suara Maya. Tawaran itu jelas menarik, posisi strategis di perusahaan startup yang tengah melejit, dengan gaji yang jauh di atas ekspektasinya. Ditambah lagi, ada kesempatan untuk bepergian ke luar negeri, sesuatu yang selama ini hanya ia bayangkan dari balik layar laptopnya."Tawaran ini benar-benar luar biasa," Maya mengulanginya dengan suara penuh semangat. "Kamu akan punya kendali penuh, dan ini bisa jadi jalan keluar dari semua masalah yang kamu hadapi sekarang, Nad. Kamu tak lagi harus bergantung pada siapa pun."Perasaan campur aduk melingkupi Nadia. Ia tahu, menerima pekerjaan ini bukan sekadar soal karier, ini keputusan yang bisa mengguncang pondasi rumah tangganya dengan Raka. Bagaimana jika Raka merasa tersinggung? Bagaimana jika dia menganggap Nadia tak lagi mempercayai perjuangannya selama ini? Meskipun, di sudut hatinya, Nadia mulai merasakan dorongan kuat untuk keluar dari bayangan orang lain, termasuk keluarganya dan ju
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai di kamar Nadia dan Raka. Suasana rumah masih sunyi, hanya suara burung di luar yang terdengar, seolah dunia memberikan mereka sedikit ketenangan setelah banyaknya cobaan yang baru-baru ini mereka hadapi. Nadia yang masih terbaring di samping Raka mulai bergerak pelan, menghindari membangunkan suaminya. Dalam hatinya, masih ada kebingungan tentang tawaran pekerjaan dari Maya. Ia tahu itu adalah peluang besar, tapi juga sadar akan risiko yang menyertainya.Nadia menatap wajah Raka yang damai dalam tidurnya. “Bagaimana bisa aku meninggalkannya, terutama sekarang?” pikir Nadia. Namun, perasaan bahwa ia bisa lebih mandiri dan membantu meringankan beban keluarga terus berputar di pikirannya.Tiba-tiba, Raka terbangun. Ia menoleh ke arah Nadia dan tersenyum tipis, meskipun ada sedikit ketegangan di matanya. “Kamu sudah bangun?” tanyanya, suaranya serak namun lembut.Nadia mengangguk dan berusaha membalas senyumannya, meski h
Nadia duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin besar di sudut kamar. Malam ini, ia mengenakan gaun panjang berwarna gading, sederhana namun elegan, yang menonjolkan kecantikannya yang alami. Rambut hitamnya tergerai lepas, hanya sedikit disematkan di bagian belakang dengan jepit kecil berwarna perak. Sorot matanya yang biasanya penuh keyakinan tampak bimbang, mencerminkan gejolak emosi yang ia rasakan."Nadia, kamu siap?" Suara ibunya terdengar dari luar kamar, mengetuk pintu dengan lembut. Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sebentar, Bu."Ia kembali menatap cermin, mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik. "Ini hidupku," gumamnya pelan, seakan berusaha meyakinkan bayangan dirinya sendiri. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tulus dan murni, bukan sekadar transaksi sosial seperti yang selalu diajarkan oleh keluarganya.Pikirannya kembali melayang ke saat pertama kali bertemu dengan Raka, pria yang kini menj
Nadia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengamati dirinya sendiri dengan cermat. Gaun putih sederhana dengan potongan halus itu menempel sempurna pada tubuhnya, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan. Meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Nadia mencoba untuk tersenyum. Baginya, hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru—meski bukan tanpa tantangan."Ibu akan sangat marah," gumamnya pelan, membiarkan pikirannya melayang pada sosok ibu yang keras dan tegas, yang selama ini memegang kendali atas setiap aspek kehidupannya.Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," katanya sambil berbalik, memperlihatkan senyum kecil saat adik perempuannya, Alya, menyelinap masuk ke dalam ruangan."Nadia, kau sangat cantik!" seru Alya dengan mata berbinar-binar, kagum pada kecantikan kakaknya yang tampak sempurna dalam balutan gaun pengantin sederhana itu."Terima kasih, Alya. Aku harap semua akan berjalan lancar," Nadia membalas dengan lembut, meski dalam ha