Beberapa hari kemudian, Malam itu, angin berhembus pelan, membawa dingin yang tak seberapa menyejukkan panasnya suasana di dalam ruangan acara keluarga besar itu. Para tamu mengenakan pakaian rapi, berkumpul di sekeliling meja-meja penuh makanan mewah, bercakap-cakap dan tertawa seolah tak ada masalah di dunia. Namun, di satu sudut ruangan, percakapan yang mulai terbentuk beralih menjadi sindiran tajam yang merobek suasana nyaman."Raka memang baik hati, tapi sayang, dia tidak punya apa-apa," kata Bu Retno dengan senyum tipis di bibirnya. Suaranya lembut, namun penuh dengan nada menghina yang menguar jelas di antara tawa kecilnya. Matanya berkilat, seperti puas menyudutkan menantunya di hadapan banyak orang.Nadia berdiri di samping Raka, tubuhnya membeku mendengar kata-kata ibunya. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin mendidih dalam dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang siap meledak. Ia sudah cukup lama mendengar hinaan
Malam itu terasa begitu hening di atas motor. Nadia menatap jalan yang gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang sesekali memantul di kaca motor. Raka tetap fokus mengemudi, namun ada sesuatu di raut wajahnya yang membuat Nadia gelisah. Ia tahu suaminya tidak marah padanya, tapi ada beban yang jelas terbaca di mata Raka, yang membuat Nadia ingin segera meredakannya."Kamu baik-baik saja?" Nadia akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Raka mengangguk perlahan, namun masih enggan berbicara banyak. "Aku baik, Nad. Aku hanya... memikirkan sesuatu."Nadia menatap Raka dengan pandangan penuh kasih. Ia tahu suaminya bukan tipe pria yang mudah terbuka, terutama ketika menyangkut perasaannya. Namun, malam ini, Nadia tak bisa lagi membiarkan segalanya berlalu tanpa ada percakapan yang lebih mendalam. Mereka perlu bicara."Aku tahu apa yang Ibu katakan tadi menyakitkan," ucap Nadia perlahan, mencoba membuka jalan. "Tapi aku tidak akan diam saja ketika orang-ora
Nadia menatap layar ponselnya, terpaku pada pesan suara Maya. Tawaran itu jelas menarik, posisi strategis di perusahaan startup yang tengah melejit, dengan gaji yang jauh di atas ekspektasinya. Ditambah lagi, ada kesempatan untuk bepergian ke luar negeri, sesuatu yang selama ini hanya ia bayangkan dari balik layar laptopnya."Tawaran ini benar-benar luar biasa," Maya mengulanginya dengan suara penuh semangat. "Kamu akan punya kendali penuh, dan ini bisa jadi jalan keluar dari semua masalah yang kamu hadapi sekarang, Nad. Kamu tak lagi harus bergantung pada siapa pun."Perasaan campur aduk melingkupi Nadia. Ia tahu, menerima pekerjaan ini bukan sekadar soal karier, ini keputusan yang bisa mengguncang pondasi rumah tangganya dengan Raka. Bagaimana jika Raka merasa tersinggung? Bagaimana jika dia menganggap Nadia tak lagi mempercayai perjuangannya selama ini? Meskipun, di sudut hatinya, Nadia mulai merasakan dorongan kuat untuk keluar dari bayangan orang lain, termasuk keluarganya dan ju
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai di kamar Nadia dan Raka. Suasana rumah masih sunyi, hanya suara burung di luar yang terdengar, seolah dunia memberikan mereka sedikit ketenangan setelah banyaknya cobaan yang baru-baru ini mereka hadapi. Nadia yang masih terbaring di samping Raka mulai bergerak pelan, menghindari membangunkan suaminya. Dalam hatinya, masih ada kebingungan tentang tawaran pekerjaan dari Maya. Ia tahu itu adalah peluang besar, tapi juga sadar akan risiko yang menyertainya.Nadia menatap wajah Raka yang damai dalam tidurnya. “Bagaimana bisa aku meninggalkannya, terutama sekarang?” pikir Nadia. Namun, perasaan bahwa ia bisa lebih mandiri dan membantu meringankan beban keluarga terus berputar di pikirannya.Tiba-tiba, Raka terbangun. Ia menoleh ke arah Nadia dan tersenyum tipis, meskipun ada sedikit ketegangan di matanya. “Kamu sudah bangun?” tanyanya, suaranya serak namun lembut.Nadia mengangguk dan berusaha membalas senyumannya, meski h
Nadia duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin besar di sudut kamar. Malam ini, ia mengenakan gaun panjang berwarna gading, sederhana namun elegan, yang menonjolkan kecantikannya yang alami. Rambut hitamnya tergerai lepas, hanya sedikit disematkan di bagian belakang dengan jepit kecil berwarna perak. Sorot matanya yang biasanya penuh keyakinan tampak bimbang, mencerminkan gejolak emosi yang ia rasakan."Nadia, kamu siap?" Suara ibunya terdengar dari luar kamar, mengetuk pintu dengan lembut. Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sebentar, Bu."Ia kembali menatap cermin, mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik. "Ini hidupku," gumamnya pelan, seakan berusaha meyakinkan bayangan dirinya sendiri. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tulus dan murni, bukan sekadar transaksi sosial seperti yang selalu diajarkan oleh keluarganya.Pikirannya kembali melayang ke saat pertama kali bertemu dengan Raka, pria yang kini menj
Nadia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengamati dirinya sendiri dengan cermat. Gaun putih sederhana dengan potongan halus itu menempel sempurna pada tubuhnya, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan. Meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Nadia mencoba untuk tersenyum. Baginya, hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru—meski bukan tanpa tantangan."Ibu akan sangat marah," gumamnya pelan, membiarkan pikirannya melayang pada sosok ibu yang keras dan tegas, yang selama ini memegang kendali atas setiap aspek kehidupannya.Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," katanya sambil berbalik, memperlihatkan senyum kecil saat adik perempuannya, Alya, menyelinap masuk ke dalam ruangan."Nadia, kau sangat cantik!" seru Alya dengan mata berbinar-binar, kagum pada kecantikan kakaknya yang tampak sempurna dalam balutan gaun pengantin sederhana itu."Terima kasih, Alya. Aku harap semua akan berjalan lancar," Nadia membalas dengan lembut, meski dalam ha
Nadia menatap jendela kecil apartemen mereka, memperhatikan tetesan hujan yang menari di atas kaca. Suara hujan yang berirama seolah menjadi latar musik dalam kehidupannya yang baru, bersama Raka. Meski apartemen mereka sederhana, tempat itu terasa seperti surga baginya. Di sinilah ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan status sosial yang kerap mengikat langkahnya.“Nadia, mau teh hangat?” Raka memanggilnya dari dapur kecil mereka, suaranya penuh kehangatan yang selalu berhasil menenangkan hati Nadia.“Boleh, Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum. Ia berjalan menuju dapur, tempat Raka sedang sibuk menyiapkan dua cangkir teh. Setiap gerakan Raka begitu tenang dan penuh perhatian, seolah ia selalu memastikan bahwa Nadia merasa dicintai dan diperhatikan.“Mas, terima kasih ya, untuk semuanya.” Nadia mengambil cangkir teh yang disodorkan Raka. Pandangannya bertemu dengan mata suaminya, mata yang selalu memancarkan ketulusan yang tak pernah berubah sejak pertama kali merek
Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya."Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya."Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidi