Max membuka pintu rumahnya tanpa mengatakan apapun pada wanita yang mengaku sebagai Tiffany itu. Ia segera memasuki kamarnya, meninggalkan Jessi dan Jasper bersama kembaran Tiffany. Setidaknya, itu sedikit meringankan pekerjaannya. Ia juga tidak ingin mengganggu kegembiraan kedua anaknya. “Ibu kemana saja selama ini?” tanya Jessi saat berada di kamar bersama ibunya.
Tiffany tersenyum, “Ibu hanya sedang berlibur sayang. Tidak usah pikirkan itu ya.”
“Aku rindu ibu...” Jasper memeluk wanita itu dengan begitu erat.
“Tapi sekarang ibu sudah di sini,” ujar Tiffany, sembari membelai lembut kepala Jasper, “Ibu janji tidak akan pergi lagi dari kalian.”
“Janji?” ujar Jessi, menunjukkan jari kelingkingnya pada Tiffany.
Tiffany pun menautkan kelingkingnya pada jari mungil itu, “Janji.”
“Ibu, aku mau minum susu,” pinta Jasper manja.
“Aku juga mau, Bu,” sahut Jessi.
Tiffany tersenyum, “Baiklah. Ibu akan buatkan susu untuk kalian.”
Wanita itupun segera bergegas menuju dapur, meninggalkan Jessi dan Jasper di kamar. Namun, ketika berada di dapur, ia terlihat begitu kebingungan. “Apa yang kau cari?” tanya Max yang tiba-tiba muncul, membuat Tiffany terkejut setengah mati. Tiffany pun menghela napas sejenak, menetralkan detak jantungnya yang berdegub kencang.
“A-aku hanya ingin ... membuatkan susu untuk Jessi dan Jasper,” jawab Tiffany, gugup.
Max mendengus, “Lalu, kenapa kau kebingungan? Bukankah kau yang meletakkan tempat susu mereka?”
Tiffany tampak gugup. Keringat pun mengucur deras dari keningnya, tak tahu harus mengatakan apa pada Max. “Kenapa diam?” ujar Max, melipat kedua tangannya didada.
“Ah, a-aku kan ... su-sudah lama ti-tidak pulang sayang. Jadi, aku sedikit lupa,” jawab Tiffany, berusaha membohongi Max. Namun sayang, Max bukanlah orang yang mudah ditipu. “Kau memang berhasil membohongi anak-anakku tapi, tidak denganku. Tipuanmu itu sama sekali tidak berpengaruh padaku,” ujar Max, datar.
“Ma-maksudmu?”
“Kau bukanlah dia,” jawab Max, “Kau hanya orang asing, yang memanfaatkan kematian istriku.” Max beranjak ke kamarnya tanpa memikirkan perasaan Tiffany yang tampak menahan tangisnya.
•••
Senja pun berganti malam. Max mengajak kedua anaknya untuk makan malam bersama di luar. Awalnya, pria tampan itu tak berniat mengajak Tiffany sama sekali. Namun, kedua makhluk kecil itu terus memaksanya. Seperti biasa, Max selalu tidak bisa menolak keinginan anak-anaknya. Ia pun sedikit mengerti jika di usia seperti mereka masih membutuhkan peranan seorang ibu. Itu sebabnya, Max tidak mengusir wanita itu meskipun ia tahu bahwa itu bukanlah istrinya.
“Kalian mau pesan apa?” tanya Tiffany pada kedua anak Max.
“Aku ikut pesanan ibu saja.” jawab Jasper, diikuti oleh Jessi. Kini, tatapan wanita itu tertuju pada Max. Ia sedikit ragu untuk menanyakan pesanan Max. Namun, ia harus melakukannya. “Kau ingin pesan apa, Max?” tanya Tiffany, memberanikan diri.
Max tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Ia menepuk kedua tangannya untuk memanggil seorang pelayan restoran mewah tersebut. Pelayan tersebut pun menghampiri Max. “Anda ingin pesan apa?” tanya pelayan itu pada Max seraya menyiapkan catatannya.
Max tersenyum ramah, “Aku pesan steak panggang seperti biasa.”
“Baik. Ada lagi?”
Max hanya menggeleng. Pelayan itu mengerti, kemudian berlalu dari meja mereka.
Breaking news.
Jasad korban kecelakaan taksi yang terjadi 4 tahun silam, telah ditemukan oleh pihak kepolisian. Sekitar pukul 07.00 pagi tadi, pihak kepolisian menemukan jasad tersebut dalam keadaan yang mengenaskan. Saat ini, jenazah korban sudah dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit.
Sekian berita hari ini.
Max terkejut mendengar berita yang baru saja diputar dalam siaran televisi. Ia beranggapan bahwa jasad tersebut adalah jasad Tiffany; istrinya. Seketika, air matanya mengalir begitu saja. Merasakan kepedihan yang mendalam akibat berita yang baru saja didengarnya. “Jaga mereka. Aku segera kembali,” ucapnya pada wanita itu, kemudian berlalu. Ia bahkan menghiraukan teriakan dari Jessi.
“Ayah mau kemana, Bu?” tanya Jessi dengan wajah polosnya.
Wanita itu tersenyum manis, “Ayah sedang ada urusan di kantor. Sekarang, kita makan duluan saja ya.”
Ia berusaha meyakinkan kedua makhluk kecil itu untuk tidak panik.
•••
Saat ini, Max sudah berada di rumah sakit. Ia ingin memastikan jika jasad itu adalah Tiffany Austin. Batinnya benar-benar gelisah karena sebenarnya, ia tak sanggup untuk melihat jenazah tersebut. Namun di sisi lain, ia begitu penasaran sehingga membuatnya membuang jauh perasaan ragu tersebut.
“Apa kau siap Max?” tanya Dr. Winsten.
Max menghelakan napasnya, “Aku siap.”
Dokter berkacamata itupun secara perlahan, membuka kain penutup tersebut. Seketika, air mata Max mengalir deras bagaikan derasnya arus sungai. Awalnya, ia menampik jika itu bukanlah jasad Tiffany tapi, kenyataan menjawab semua keraguannya. Jasad yang mengenaskan itu adalah Tiffany Austin; istrinya. Cincin pernikahan itulah yang meyakinkan Max bahwa itu benarlah jasad wanita yang dicintainya.
Tubuh Max terkulai lemah di lantai dingin rumah sakit. Kaki jenjangnya seakan tak sanggup menopangnya untuk berdiri. Bibirnya tak sanggup mengatakan apapun lagi saat ini. Dunianya telah hancur bersama dengan kepergian istrinya yang begitu tragis. Max hanya bisa menangis, meratapi kematian tragis istrinya. Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa pada anak-anaknya nanti. Dirinya benar-benar dalam kondisi yang terpuruk.
“Aku turut berduka Max,” ucap Dr. Winsten, mencoba menenangkan pria malang itu.
Max menyeka air matanya, kemudian berdiri menghadap Dr. Winsten. “Bi-bisakah kau ... membantuku, Dokter?” tanyanya.
Dr. Winsten mengangguk, “Apa yang bisa kubantu?”
“Bantu aku untuk ... memakamkan jenazahnya,” pinta Max, tetap dengan isakan kecil.
“Pasti. Aku akan membantumu.” Dr. Winsten pun memerintahkan para perawat untuk mengurus jenazah Tiffany Austin.
•••
Setelah selesai memakamkan istrinya, Max kembali ke rumah. Saat pintu terbuka, terlihatlah sosok wanita yang wajahnya mirip dengan Tiffany, tengah menidurkan Jessi dan Jasper seraya membelai lembut kepala mereka. Pria tampan itupun menghampiri dan segera menggendong kedua anaknya untuk dibawa ke kamar. “Kau tunggu di sini. Aku ingin bicara padamu.” ujarnya, kemudian berlalu.
Wanita itu tampak meremas jari-jari tangannya, seperti orang yang sedang ketakutan. Ia merasakan jika sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Entah apa itu. Yang jelas, wanita itu kelihatan begitu takut, apalagi tatapan Max yang mengerikan, membuatnya semakin tidak tenang.
Selang beberapa detik, Max kembali muncul, membuat degub jantung wanita cantik itu semakin tak karuan. Pria itu menatapnya dengan sangat dingin, berbeda dengan sebelumnya. “Katakan, siapa kau sebenarnya?” tanya Max tanpa berbasa-basi sedikitpun.
Wanita itu tampak menggigiti bibir bawahnya. Raut ketakutan pun terlihat begitu jelas diwajahnya. Pandangannya terus melihat ke bawah, tak berani menatap laki-laki yang tengah memandangnya garang.
“Jangan memaksaku untuk melakukan kekerasan!” Ucapan Max pun semakin meninggi. Rahangnya terlihat mengeras karena kesal tak mendapatkan jawaban apapun dari wanita itu. “Katakan!” teriaknya.
~TBC
“Cepat katakan!”Max semakin menambah tekanan suaranya. Hal itu menyebabkan Jessi dan Jasper terbangun, lalu keluar menghampiri ayahnya. Pria tampan itu tak mampu lagi mengontrol emosinya, terlebih dirinya baru saja melihat jasad Tiffany yang begitu mengenaskan. Max benar-benar hilang kendali akibat kesedihan yang dialaminy
Max membasuh wajahnya berulang kali dengan air yang keluar dari wastafel kamar mandinya. Ia masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi semalam, antara dirinya dengan Kayla. Kenapa ia sampai tega merenggut kesucian dari wanita yang bahkan sama sekali belum dikenalnya? Itu sungguh berada di luar nalarnya. Bahkan, sampai detik inipun dia masih belum mengingat semua kejadian yang terjadi semalam. Yang ia ingat hanyalah pertengkarannya dengan wanita itu yang berujung pada wiskie sebagai bahan pelampiasannya.
Kayla terus terjaga untuk menjaga pria yang harusnya menjadi kakak iparnya. Ia terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi Max yang terlihat begitu pucat. Kayla takut jika Max sakit karena memikirkan kejadian kemarin malam, dimana kesuciannya direnggut oleh Max. “Apa mungkin dia merasa bersalah padaku? Astaga! Jika benar, pasti saat ini dia sedang tertekan.” Kayla menggumam pelan dan terlihat sedikit panik.
“Ayah! Ibu! Help me!”
Max pun segera berhenti di salah satu Motel yang letaknya jauh dari keramaian. Alasan mengapa dia tak kembali ke rumah ialah karena takut jika Tn. Austin akan bertindak macam-macam yang dapat membahayakan keluarganya."Malam ini, kita akan menginap di sini. Besok, aku akan mengajak kalian untuk bersembunyi di tempat lain." ujar Max diiringi anggukan kepala Kayla. Mereka berdua pun masuk ke dalam Motel tersebut seraya menggendong Jessi dan Jasper.
Max menghempaskan tubuhnya di sofa Hotel. Ia sedikit melonggarkan dasinya seraya memperhatikan Kayla yang tengah merapikan barang-barang anaknya. "Kau begitu cantik, Kayla. Sesuai dengan sikapmu."batin Max.Duda anak dua itu masih terus menatap kagum Kayla. Bahkan ia tak mendengarkan panggilan Jasper di sebelahnya. "Ayah!" Jasper merengek seraya menggoyangkan lengan kekar ayahnya. Max pun tersadar dan mengalihkan pandangannya keara
Kayla tampak mondar mandir di kamar Hotel tempatnya menginap. Dirinya merasa tidak tenang karena Max dan Jasper belum juga kembali. Ia yakin jika ini adalah rencana dari ayahnya.Tak lama, pintu kamar hotel diketuk dari luar. Amanda menoleh, "Siapa?""Max."Kayla pun segera membukakan pint
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem
Setelah selesai berganti pakaian, Kayla segera bergegas menuju tempat Max menunggunya sejak tadi. "Bagaimana? Gaunnya cocok?" tanya Max, menghampiri calon istrinya.Kayla mengangguk, "Hanya saja, sedikit sempit dibagian tertentu. Ny. Wilson akan memperbaikinya.""Lalu?""Besok, kita ke sini lagi ya?" ujar
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Max mengajak Kayla untuk menemui seseorang. Sebelum itu, Jessi dan Jasper meminta maaf pada calon Ibu barunya itu. “Ibu, aku minta maaf,” ucap Jessi menyesal.“Aku juga,” sahut Jasper.Kayla tersenyum mani
Kayla menatap sangar kearah pria yang sudah berada di hadapannya. Ia benar-benar terlihat tak senang dengan pria itu. “Dasar licik!” serunya.“Eits! Jangan pernah mengatakan aku licik sayang,” ucap pria itu lembut namun terdengar menyeramkan.&l
Di kamar, Max terlihat termenung-memikirkan perilaku anak-anaknya yang berubah drastis. “Kenapa mereka jadi aneh seperti itu?” gumamnya pelan.
Stanley mengajak Jessi dan Jasper ke tempat yang sedikit jauh dari rumah mereka. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Jessi dan Jasper membuat lelucon yang mampu membuat Stanley tertawa lepas. Bahkan mobil mewah itu hampir saja oleng, karena Stanley terus saja tertawa akibat ulah anak-anak Max itu. Mereka bertiga sangat akrab satu sama lain.
Tiffany semakin menampakkan kemarahannya, sementara Stanley terlihat semakin lemah. Darah pun mengucur deras dari tubuhnya. Max yang melihat pun merasa kasihan dan tidak tega dengan kondisi Stanley saat ini."Hentikan, Tiffany! Dia sudah lemah!" ujar Max, sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Tiffany."Biarkan saja!"
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem