Max membasuh wajahnya berulang kali dengan air yang keluar dari wastafel kamar mandinya. Ia masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi semalam, antara dirinya dengan Kayla. Kenapa ia sampai tega merenggut kesucian dari wanita yang bahkan sama sekali belum dikenalnya? Itu sungguh berada di luar nalarnya. Bahkan, sampai detik inipun dia masih belum mengingat semua kejadian yang terjadi semalam. Yang ia ingat hanyalah pertengkarannya dengan wanita itu yang berujung pada wiskie sebagai bahan pelampiasannya.
“Ya, mungkin aku mabuk dan ... dan ... arrgghh! Sial!” gerutu Max kesal, “Kenapa aku harus melakukannya?! You’re stupid, Max! Stupid!”
Max terus saja merutuki dirinya yang telah berbuat kesalahan besar seperti itu di kamar mandi. Sementara, wanita yang bernama Kayla itupun sudah mempersiapkan sarapan untuk Jessi dan Jasper di dapur. “Bu, apa kau baik-baik saja?” tanya Jessi sembari menghabiskan sarapannya.
Kayla tersenyum, “Ibu baik-baik saja sayang.”
“Tapi, kenapa matamu terlihat sembab, Bu?” sahut Jasper –membuat Kayla tak bisa berkata apapun lagi. Pasalnya, ia bingung harus mengatakan apa pada kedua anak kembar tersebut. “Apa kau menangis, Bu?” tambah Jessi.
“Ah, sebaiknya kalian lihat televisi. Ada cerita kartun yang begitu menarik pagi ini.” Kayla berusaha mengalihkan pembicaraan –membuat Jessi dan Jasper bergegas menuju ke kamar dan menyalakan televisi.
Tak lama berselang, Max keluar dari kamar dengan pakaian kantor yang sudah rapi. Tatapannya bertemu dengan mata indah milik Kayla. Max pun mengerjapkan matanya, kemudian mendekati meja makan. Pagi ini, pria tampan itu terlihat begitu canggung, begitu juga dengan Kayla. Max berdeham, “Di-dimana anak-anak?”
“Oh, me-mereka sedang me-menonton televisi di kamar.” Kayla menjawab dengan terbata. Ia begitu gugup dengan keadaan pagi ini –terasa begitu aneh menurutnya. Lelaki itupun terdiam, setelahnya berusaha menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu bergegas menuju ke kantor. Dalam hati Max, “Oh, God! Kenapa denganku?!”
Max berdiri dari tempat duduknya, kemudian melangkahkan kaki jenjangnya menuju keluar seraya berkata, “A-aku pergi dulu. Bye.”
Kayla pun menghela napas lega setelah melihat Max keluar. Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Wanita itu terpaksa menahan napasnya lagi, karena Max kembali masuk dan melihatnya. “Si-siapa namamu?” tanya Max canggung sembari memegangi tengkuk lehernya.
“Ka-kayla ... Austin,” jawab Kayla gugup.
Max mengernyit, “Kayla Austin?”
Kayla pun hanya mengangguk –membenarkan perkataan Max. “Itu seperti ... ah! Lupakan!” Max pun segera berlalu dari hadapan Kayla.
Setelah Max sudah benar-benar berangkat ke kantor, Kayla pun mendudukkan dirinya di sofa. Terdapat perasaan bersalah yang tengah menggelayuti hatinya. Ia teringat akan kejadian 4 tahun silam dimana Tiffany Austin harus meregang nyawa karena ulahnya.
Ya, 4 tahun silam. Sebelum mengalami kecelakaan, Tiffany sempat menghubungi saudara kembarnya yaitu Kayla Austin. Ya, Tiffany memang memiliki kembaran yang mana saat itu, Kayla sedang berada di Kanada bersama dengan ayahnya. Orangtua Tiffany berpisah sejak dirinya berusia 20 tahun, itulah sebabnya kenapa Tiffany dan Kayla hidup terpisah. Kayla juga jarang sekali pulang ke rumah ibunya yang ada di New York karena kesibukan kuliah, terlebih Tn. Austin selalu melarangnya untuk kembali ke New York.
Tepat dihari naas itu, Kayla kebetulan sekali pulang ke rumah ibunya. Ia begitu merindukan kampung halamannya dan juga saudara kembarnya. Itu sebabnya, Tiffany bersikeras untuk tetap pergi ke rumah ibunya karena Kayla. Dalam perjalanan, Tiffany menghubungi Kayla untuk memberitahukan sesuatu.
“Halo, Kak!”
“Hai! Bagaimana kabarmu?” tanya Tiffany berbasa-basi.
“Baik. Kau sudah sampai mana?”
“Perjalananku masih jauh, itu sebabnya aku ingin berpesan padamu,” ujar Tiffany.
“Pesan apa?”
“Jika nanti terjadi sesuatu padaku, tolong kau datang untuk menemui Max dan anak-anakku. Jaga mereka untukku ya,” ucap Tiffany –seakan mempunyai firasat jika dirinya akan pergi untuk selamanya.
“Apa yang kau katakan? Tidak akan terjadi sesuatu padamu, Kak,” ucap Kayla.
“Tolong, lakukan itu demi aku,” pinta Tiffany.
“Hufftt! Ya, baiklah. Aku akan melakukannya.”
Hanya beberapa detik saja Tiffany terdiam, tiba-tiba taksi yang ditumpanginya oleng. Dan penyebabnya adalah karena se-ekor kucing tengah melintas di jalanan –membuat sang supir kewalahan dan berusaha menghindari tabrakan dengan kucing tersebut. Alhasil, taksi itu hilang kendali dan akhirnya berakhir di dasar jurang, kemudian meledak.
Semenjak kematian Tiffany, Kayla justru memilih kembali ke Kanada. Dirinya seakan tak sanggup untuk bisa memenuhi keinginan terakhir sang kakak, terlebih ia juga harus menyelesaikan studinya di Kanada. Jadi, baru sekaranglah Kayla bisa memenuhi keinginan terakhir Tiffany.
Kayla menutup mata serta telinganya, seakan jeritan Tiffany masih terngiang di telinganya. Pasalnya, waktu itu Tiffany belum sempat memutus sambungan teleponnya dengan Kayla. Itu sebabnya, Kayla ingat jelas dengan teriakan Tiffany yang sedang menghadapi maut. “Kenapa kepergianmu begitu tragis, Kak?” kata Kayla seraya menangis, “Harusnya saat itu, aku tidak memaksamu ... untuk datang. Ini semua salahku, Kak. Maafkan aku.”
Wanita cantik itu menaikkan kedua kakinya, kemudian menelungkupkan kepalanya, lalu menangis. Ia begitu menyesali dengan apa yang terjadi pada kakaknya –menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Tiffany. Kayla berucap, “Aku janji, akan menjaga Max dan juga anak-anakmu, Kak.”
•••
Langit kini mulai redup. Cahaya matahari kini enggan menyinari bumi karena saat itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 sore. Membuat seluruh masyarakat New York menghentikan aktivitasnya dan bergegas pulang ke rumah tapi, tidak dengan Max. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tak berkonsentrasi dalam bekerja. Ya, saat ini Max tengah memikirkan wanita bernama Kayla Austin itu. Ia juga masih memikirkan kejadian intim yang ia lakukan bersama wanita itu, terlebih Kayla memiliki kesamaan nama akhir serta wajah dengan istrinya. “Austin?” gumamnya pelan.
“Apa Tiffany ... punya saudara kembar? Tapi, itu tidak mungkin, kan? Aku tidak pernah melihat kembarannya, bahkan istriku itu juga tidak pernah cerita padaku,” gumam Max lagi sembari mengusap wajahnya; kasar, “Atau mungkin ... hanya kebetulan mirip saja? Ah! Tapi tidak mungkin semirip itu, kan?”
“Arrgghh!” Max menggeram kesal, karena tak mendapatkan jawaban apapun dari pemikirannya, “Astaga! Hal ini benar-benar membuatku pusing!”
Max mengacak-acak surai blonde-nya berulang kali. Wajahnya pun terlihat pucat, karena seharian ini ia tidak makan apapun. Padahal, sekretaris cantiknya sudah berulang kali mengingatkan, namun Max tampaknya tak memiliki napsu makan untuk hari ini. “Hey, Max! Ada apa denganmu?” ujar salah satu teman terbaik Max yang bernama Leonar Kidman.
Max menatap Leonar dengan matanya yang begitu sayu –seakan tak memiliki gairah untuk hidup. Leonar memasang mimik wajah panik, “Astaga! Kau sakit, Max?! Mari, aku antar ke dokter!”
Pria tampan itu hanya menggeleng –menolak ajakan temannya. “Aku tidak apa-apa,” ujar Max seraya berdiri dari kursi kebesarannya, kemudian menjinjing tas hitam ditangannya, “Aku mau pulang. Kau tidak pulang?”
“Aku masih banyak pekerjaan dan harus lembur. Kau pulanglah.” Max pun menganggukkan kepala, kemudian melenggang pergi meninggalkan Leonar di ruangannya sendirian. Dalam hati Leonar, “Sungguh berat cobaan yang kau tanggung Max. Semoga Tuhan selalu melindungimu.”
Tak membutuhkan waktu lama untuk Max tiba di kediamannya. Seperti biasa, Max akan langsung masuk tanpa mengatakan apapun. Namun yang membedakan ialah wajah serta pandangan matanya. Wajah Max terlihat begitu pucat, bahkan sangat pucat seperti mayat. Matanya juga terlihat begitu sayu, sehingga membuat wanita yang semalam ditidurinya terlihat begitu panik. “Kau sakit?” tanya Kayla.
Namun, Max tak menjawabnya. Ia terus melangkahkan kakinya menuju sofa, tapi sayangnya tubuh kekar Max sedikit oleng sebelum dirinya tiba di sofa. Untungnya, Kayla dengan sigap menopang Max dan merebahkan tubuhnya di sofa. Kayla pun memegang kening Max yang terasa begitu panas ditangannya. “Astaga! Kau demam!” pekiknya.
Wanita itupun segera menyiapkan air kompresan serta handuk kecil. Handuk tersebut ia basahi dengan air kompresan, lalu meletakkannya dikening Max. Jasper memegangi tangan sang ayah dengan erat, “Ayah kenapa, Bu?”
“Dad, are you okay?” tanya Jessi sembari memijit kepala Max dengan perlahan. Kedua anak kembar itu begitu panik ketika melihat Max terkulai lemah seperti itu. Kayla membelai lembut kepala kedua keponakannya, “Dia akan baik-baik saja. Kalian jangan khawatir ya.”
Jessi dan Jasper pun mengangguk sembari terus mengurusi ayahnya yang sudah terlelap. “Tidurlah jika itu bisa membuat pikiranmu tenang Max.” batin Kayla.
~TBC
Kayla terus terjaga untuk menjaga pria yang harusnya menjadi kakak iparnya. Ia terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi Max yang terlihat begitu pucat. Kayla takut jika Max sakit karena memikirkan kejadian kemarin malam, dimana kesuciannya direnggut oleh Max. “Apa mungkin dia merasa bersalah padaku? Astaga! Jika benar, pasti saat ini dia sedang tertekan.” Kayla menggumam pelan dan terlihat sedikit panik.
“Ayah! Ibu! Help me!”
Max pun segera berhenti di salah satu Motel yang letaknya jauh dari keramaian. Alasan mengapa dia tak kembali ke rumah ialah karena takut jika Tn. Austin akan bertindak macam-macam yang dapat membahayakan keluarganya."Malam ini, kita akan menginap di sini. Besok, aku akan mengajak kalian untuk bersembunyi di tempat lain." ujar Max diiringi anggukan kepala Kayla. Mereka berdua pun masuk ke dalam Motel tersebut seraya menggendong Jessi dan Jasper.
Max menghempaskan tubuhnya di sofa Hotel. Ia sedikit melonggarkan dasinya seraya memperhatikan Kayla yang tengah merapikan barang-barang anaknya. "Kau begitu cantik, Kayla. Sesuai dengan sikapmu."batin Max.Duda anak dua itu masih terus menatap kagum Kayla. Bahkan ia tak mendengarkan panggilan Jasper di sebelahnya. "Ayah!" Jasper merengek seraya menggoyangkan lengan kekar ayahnya. Max pun tersadar dan mengalihkan pandangannya keara
Kayla tampak mondar mandir di kamar Hotel tempatnya menginap. Dirinya merasa tidak tenang karena Max dan Jasper belum juga kembali. Ia yakin jika ini adalah rencana dari ayahnya.Tak lama, pintu kamar hotel diketuk dari luar. Amanda menoleh, "Siapa?""Max."Kayla pun segera membukakan pint
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Setelah selesai berganti pakaian, Kayla segera bergegas menuju tempat Max menunggunya sejak tadi. "Bagaimana? Gaunnya cocok?" tanya Max, menghampiri calon istrinya.Kayla mengangguk, "Hanya saja, sedikit sempit dibagian tertentu. Ny. Wilson akan memperbaikinya.""Lalu?""Besok, kita ke sini lagi ya?" ujar
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Max mengajak Kayla untuk menemui seseorang. Sebelum itu, Jessi dan Jasper meminta maaf pada calon Ibu barunya itu. “Ibu, aku minta maaf,” ucap Jessi menyesal.“Aku juga,” sahut Jasper.Kayla tersenyum mani
Kayla menatap sangar kearah pria yang sudah berada di hadapannya. Ia benar-benar terlihat tak senang dengan pria itu. “Dasar licik!” serunya.“Eits! Jangan pernah mengatakan aku licik sayang,” ucap pria itu lembut namun terdengar menyeramkan.&l
Di kamar, Max terlihat termenung-memikirkan perilaku anak-anaknya yang berubah drastis. “Kenapa mereka jadi aneh seperti itu?” gumamnya pelan.
Stanley mengajak Jessi dan Jasper ke tempat yang sedikit jauh dari rumah mereka. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Jessi dan Jasper membuat lelucon yang mampu membuat Stanley tertawa lepas. Bahkan mobil mewah itu hampir saja oleng, karena Stanley terus saja tertawa akibat ulah anak-anak Max itu. Mereka bertiga sangat akrab satu sama lain.
Tiffany semakin menampakkan kemarahannya, sementara Stanley terlihat semakin lemah. Darah pun mengucur deras dari tubuhnya. Max yang melihat pun merasa kasihan dan tidak tega dengan kondisi Stanley saat ini."Hentikan, Tiffany! Dia sudah lemah!" ujar Max, sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Tiffany."Biarkan saja!"
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem