Kayla terus terjaga untuk menjaga pria yang harusnya menjadi kakak iparnya. Ia terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi Max yang terlihat begitu pucat. Kayla takut jika Max sakit karena memikirkan kejadian kemarin malam, dimana kesuciannya direnggut oleh Max. “Apa mungkin dia merasa bersalah padaku? Astaga! Jika benar, pasti saat ini dia sedang tertekan.” Kayla menggumam pelan dan terlihat sedikit panik.
“Ayah! Ibu! Help me!”
Max pun segera berhenti di salah satu Motel yang letaknya jauh dari keramaian. Alasan mengapa dia tak kembali ke rumah ialah karena takut jika Tn. Austin akan bertindak macam-macam yang dapat membahayakan keluarganya."Malam ini, kita akan menginap di sini. Besok, aku akan mengajak kalian untuk bersembunyi di tempat lain." ujar Max diiringi anggukan kepala Kayla. Mereka berdua pun masuk ke dalam Motel tersebut seraya menggendong Jessi dan Jasper.
Max menghempaskan tubuhnya di sofa Hotel. Ia sedikit melonggarkan dasinya seraya memperhatikan Kayla yang tengah merapikan barang-barang anaknya. "Kau begitu cantik, Kayla. Sesuai dengan sikapmu."batin Max.Duda anak dua itu masih terus menatap kagum Kayla. Bahkan ia tak mendengarkan panggilan Jasper di sebelahnya. "Ayah!" Jasper merengek seraya menggoyangkan lengan kekar ayahnya. Max pun tersadar dan mengalihkan pandangannya keara
Kayla tampak mondar mandir di kamar Hotel tempatnya menginap. Dirinya merasa tidak tenang karena Max dan Jasper belum juga kembali. Ia yakin jika ini adalah rencana dari ayahnya.Tak lama, pintu kamar hotel diketuk dari luar. Amanda menoleh, "Siapa?""Max."Kayla pun segera membukakan pint
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Tiffany semakin menampakkan kemarahannya, sementara Stanley terlihat semakin lemah. Darah pun mengucur deras dari tubuhnya. Max yang melihat pun merasa kasihan dan tidak tega dengan kondisi Stanley saat ini."Hentikan, Tiffany! Dia sudah lemah!" ujar Max, sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Tiffany."Biarkan saja!"
Setelah selesai berganti pakaian, Kayla segera bergegas menuju tempat Max menunggunya sejak tadi. "Bagaimana? Gaunnya cocok?" tanya Max, menghampiri calon istrinya.Kayla mengangguk, "Hanya saja, sedikit sempit dibagian tertentu. Ny. Wilson akan memperbaikinya.""Lalu?""Besok, kita ke sini lagi ya?" ujar
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Max mengajak Kayla untuk menemui seseorang. Sebelum itu, Jessi dan Jasper meminta maaf pada calon Ibu barunya itu. “Ibu, aku minta maaf,” ucap Jessi menyesal.“Aku juga,” sahut Jasper.Kayla tersenyum mani
Kayla menatap sangar kearah pria yang sudah berada di hadapannya. Ia benar-benar terlihat tak senang dengan pria itu. “Dasar licik!” serunya.“Eits! Jangan pernah mengatakan aku licik sayang,” ucap pria itu lembut namun terdengar menyeramkan.&l
Di kamar, Max terlihat termenung-memikirkan perilaku anak-anaknya yang berubah drastis. “Kenapa mereka jadi aneh seperti itu?” gumamnya pelan.
Stanley mengajak Jessi dan Jasper ke tempat yang sedikit jauh dari rumah mereka. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Jessi dan Jasper membuat lelucon yang mampu membuat Stanley tertawa lepas. Bahkan mobil mewah itu hampir saja oleng, karena Stanley terus saja tertawa akibat ulah anak-anak Max itu. Mereka bertiga sangat akrab satu sama lain.
Tiffany semakin menampakkan kemarahannya, sementara Stanley terlihat semakin lemah. Darah pun mengucur deras dari tubuhnya. Max yang melihat pun merasa kasihan dan tidak tega dengan kondisi Stanley saat ini."Hentikan, Tiffany! Dia sudah lemah!" ujar Max, sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Tiffany."Biarkan saja!"
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem