“Ayah, dimana ibu?”
Pagi ini, Max Exsten harus menghadapi pertanyaan seperti itu. Dia sendiri bingung, bagaimana harus mengatakan kondisi ibu dari anak-anaknya saat ini. Jika dia mengatakan yang sejujurnya, maka anak-anaknya pasti menangis dan menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga ibu mereka dengan baik.
“Ayah, cepat katakan dimana ibu?!” tanya Jessie lagi. Kali ini nada bicaranya sedikit meninggi karena tak pernah mendapatkan jawaban setiap kali ia bertanya tentang hal itu. “Ayah, katakan!”
“Diam!” bentak Max yang langsung membuat Jessie menangis.
Tangisan Jessie semakin membuat Max kebingungan dan jadi pusing sendiri. Apalagi ini masih pagi dan dia harus terburu-buru ke kantor untuk menyelesaikan tugasnya. Max tak mampu menjelaskan pada Jessie tentang kronologi kejadian yang telah merenggut nyawa ibunya 4 tahun lalu.
Kejadian itu benar-benar memilukan bagi Max. Istrinya meninggal karena sebuah kecelakaan namun mayatnya hingga detik ini pun tak pernah ditemukan. Bahkan polisi seakan sengaja menghentikan pencarian dan menutup kasus ini sehingga membuat Max semakin frustrasi kala itu.
Disaat kejadian mengenaskan itu terjadi, Jessie dan Jasper masih berusia 1 tahun dan Max sengaja tidak memberitahukan hal besar ini kepada mereka. Jadilah sekarang Jessie terus mempertanyakan keberadaan ibunya dan membuat Max kelimpungan.
Max kembali menatap Jessie yang masih menangis. Ia menghela napas berat lalu berdiri untuk menghampiri putrinya yang berada di meja makan. Max memeluknya dengan erat sambil membelai rambut pirang Jessie yang sedikit bergelombang.
“Maafkan Ayah ya. Ayah sudah membentakmu tadi,” ucap Max dengan nada penyesalannya. “Untuk saat ini, Ayah belum bisa mengatakan dimana ibu kalian. Jadi Ayah mohon, jangan bertanya tentang hal itu lagi ya.”
Tangis Jessie pun terhenti setelah mendengar penjelasan dari Max. Dia mendongak ke atas agar bisa menatap mata Max yang sudah berkaca-kaca. “Aku juga minta maaf, Ayah. Aku janji tidak akan bertanya hal itu lagi padamu,” ucapnya tulus.
Max pun tersenyum. “Sebagai gantinya, Ayah ajak kalian jalan-jalan hari ini. Mau?”
“Mauuu!” teriak Jasper yang baru saja keluar dari persembunyiannya.
“Baiklah. Ayo kita pergi!”
Max menggendong kedua anaknya untuk masuk kedalam mobil, lalu mereka pun pergi. Max sengaja mengesampingkan pekerjaannya karena membahagiakan kedua anaknya jauh lebih penting dari pekerjaannya. Dia berharap setelah kejadian ini, Jessie tak lagi mendesaknya untuk mengatakan dimana ibunya saat ini.
***
Setibanya di taman, Jessie dan Jasper lebih dulu meminta ayahnya untuk membelikan es krim yang kebetulan stannya dekat dengan mereka. Max pun menuruti kemauan anak-anaknya dan membelikan es krim.
Duda berusia 36 tahun itupun menggandeng kedua tangan anak-anaknya, sementara kedua anaknya sibuk memegangi es krim di tangan masing-masing. Max tersenyum melihat kelucuan mereka saat memakan es krimnya, terutama Jasper yang mulutnya sudah penuh dengan krim cokelat.
“Kalian senang?” tanya Max.
“Sangat sangat senang, Ayah,” jawab Jessie.
“Hmm... apalagi kalau ada ibu di sini, pasti lebih seru,” sahut Jasper yang berhasil membuat Max kembali terdiam.
Sementara Jessie menepuk pundak Jasper, seakan mengingat apa yang dikatakan ayahnya tadi sebelum pergi ke taman. Namun seketika Jessie terkejut saat melihat sosok wanita yang ia kenali sebagai ibunya berada di taman juga, bahkan sedang tersenyum kepadanya.
“Ibu!” teriak Jessie yang berhasil mengejutkan Max. Jessie menunjuk seseorang yang tengah berdiri di atas jembatan dekat taman. “Ayah, itu Ibu!”
Max hanya diam sambil mengikuti arah jari telunjuk Jessie. Kedua mata indahnya pun berusaha memperhatikan dengan baik karena usianya yang tak lagi muda. Penglihatannya pun tidak setajam dulu saat ini. Setelah beberapa saat terdiam sambil memperhatikan, barulah Max tersadar dan terkejut.
“Tiffany?” gumam Max pelan, seakan ragu dengan apa yang dilihatnya. “Bagaimana bisa?”
“Ayah, ayo kita ajak Ibu pulang!” ajak Jasper sambil mengguncang tangan sang ayah.
“Ayo, Ayah!” Jessie pun tidak mau kalah semangat dengan adiknya.
Max pun merasa jengah dan menuruti kemauan anaknya. Dia berjalan menemani Jessie dan Jasper yang tengah berlari menghampiri wanita itu. Max sendiri masih belum yakin jika wanita itu adalah mendiang istrinya, Tiffany Austin.
Wanita yang tak diketahui asal usulnya itupun berlutut agar Jessie dan Jasper dapat memeluknya. Ia membelai lembut rambut dari kedua anak kembar itu sambil tersenyum pada Max yang berdiri di depannya.
“Ibu, kami rindu,” ucap Jessie lirih.
“Iya, Bu. Ayo kita pulang!” sambung Jasper.
Wanita berparas cantik itu tersenyum lalu mengeratkan pelukannya pada Jessie dan Jasper. “Iya, Ibu juga rindu pada kalian. Itu sebabnya Ibu kembali.”
Max hanya diam saja memperhatikan adegan di depannya. Dia masih menatap lekat wanita itu. Hatinya merasa tak yakin bahwa wanita di depannya itu adalah mendiang istrinya. Mustahil saja jika Tiffany kembali dalam keadaan yang baik-baik saja setelah mengalami kecelakaan. Setahu Max, taksi yang dinaiki oleh Tiffany 4 tahun lalu meledak dan jika pun istrinya masih hidup, pasti akan ada bekas luka bakar dibagian wajah atau tubuhnya.
Wanita itu berdiri lalu menghampiri Max yang masih saja memikirkan kejadian aneh ini. “Aku kembali padamu, Sayang. Kembali untukmu dan anak-anak kita,” ucapnya sambil memeluk tubuh kekar Max.
Max sendiri enggan membalas pelukan itu. Bahkan Max tanpa ragu menjauhkan tubuh mungil wanita itu dari tubuhnya, kemudian menatapnya dengan tatapan datar.
“Siapa kau?” tanya Max.
“Max, aku istrimu, Tiffany. Apa kau sudah melupakanku selama empat tahun ini?”
“Tidak,” jawab Max singkat.
“Lalu, kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Tiffany.
“Karena aku tidak mempercayaimu. Kau bukan Tiffany. Tidak mungkin seseorang yang sudah mengalami kecelakaan besar dan menghilang, lalu tiba-tiba kembali dalam keadaan sehat seperti ini. Kau jangan bercanda denganku,” ujar Max datar.
Wanita itu terdiam. Wajahnya menampakkan sebuah kebingungan dan itu berhasil ditangkap oleh Max. Duda tampan itu tersenyum miring sambil mendecih.
“Kau mungkin bisa membodohi anak-anakku. Tapi kau tidak bisa membodohiku,” ucap Max lalu melenggang pergi begitu saja.
Jessie dan Jasper pun mengikuti ayahnya sambil mengajak wanita tak dikenal itu untuk ikut bersama mereka. Max sendiri hanya membiarkannya selagi itu bisa membuat anak-anaknya bahagia. Walaupun dirinya harus tetap mengawasi wanita itu dan menyelidikinya.
Max sendiri masih mengingat jelas bagaimana kronologi kejadian 4 tahun silam. Kecelakaan besar itu sudah merenggut nyawa istrinya dan polisi menghentikan pencarian. Bahkan Max menyalahkan dirinya sendiri kala itu karena menolak untuk mengantarkan Tiffany ke rumah orang tuanya. Hingga Tiffany memutuskan untuk pergi sendiri dan berakhir dengan cara yang tragis.
“Tiffany,” gumam Max pelan sambil terus fokus pada jalanan.
“Ya?” sahut wanita yang duduk di sebelahnya.
Max mendecih. “Aku memanggil istriku, bukan kau.”
“Max, aku istrimu.”
Max hanya memberikan tatapan tajam, seolah menginterupsi wanita itu untuk tidak berbicara lagi padanya.
~TBC
Max membuka pintu rumahnya tanpa mengatakan apapun pada wanita yang mengaku sebagai Tiffany itu. Ia segera memasuki kamarnya, meninggalkan Jessi dan Jasper bersama kembaran Tiffany. Setidaknya, itu sedikit meringankan pekerjaannya. Ia juga tidak ingin mengganggu kegembiraan kedua anaknya. “Ibu kemana saja selama ini?” tanya Jessi saat berada di kamar bersama ibunya.
“Cepat katakan!”Max semakin menambah tekanan suaranya. Hal itu menyebabkan Jessi dan Jasper terbangun, lalu keluar menghampiri ayahnya. Pria tampan itu tak mampu lagi mengontrol emosinya, terlebih dirinya baru saja melihat jasad Tiffany yang begitu mengenaskan. Max benar-benar hilang kendali akibat kesedihan yang dialaminy
Max membasuh wajahnya berulang kali dengan air yang keluar dari wastafel kamar mandinya. Ia masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi semalam, antara dirinya dengan Kayla. Kenapa ia sampai tega merenggut kesucian dari wanita yang bahkan sama sekali belum dikenalnya? Itu sungguh berada di luar nalarnya. Bahkan, sampai detik inipun dia masih belum mengingat semua kejadian yang terjadi semalam. Yang ia ingat hanyalah pertengkarannya dengan wanita itu yang berujung pada wiskie sebagai bahan pelampiasannya.
Kayla terus terjaga untuk menjaga pria yang harusnya menjadi kakak iparnya. Ia terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi Max yang terlihat begitu pucat. Kayla takut jika Max sakit karena memikirkan kejadian kemarin malam, dimana kesuciannya direnggut oleh Max. “Apa mungkin dia merasa bersalah padaku? Astaga! Jika benar, pasti saat ini dia sedang tertekan.” Kayla menggumam pelan dan terlihat sedikit panik.
“Ayah! Ibu! Help me!”
Max pun segera berhenti di salah satu Motel yang letaknya jauh dari keramaian. Alasan mengapa dia tak kembali ke rumah ialah karena takut jika Tn. Austin akan bertindak macam-macam yang dapat membahayakan keluarganya."Malam ini, kita akan menginap di sini. Besok, aku akan mengajak kalian untuk bersembunyi di tempat lain." ujar Max diiringi anggukan kepala Kayla. Mereka berdua pun masuk ke dalam Motel tersebut seraya menggendong Jessi dan Jasper.
Max menghempaskan tubuhnya di sofa Hotel. Ia sedikit melonggarkan dasinya seraya memperhatikan Kayla yang tengah merapikan barang-barang anaknya. "Kau begitu cantik, Kayla. Sesuai dengan sikapmu."batin Max.Duda anak dua itu masih terus menatap kagum Kayla. Bahkan ia tak mendengarkan panggilan Jasper di sebelahnya. "Ayah!" Jasper merengek seraya menggoyangkan lengan kekar ayahnya. Max pun tersadar dan mengalihkan pandangannya keara
Kayla tampak mondar mandir di kamar Hotel tempatnya menginap. Dirinya merasa tidak tenang karena Max dan Jasper belum juga kembali. Ia yakin jika ini adalah rencana dari ayahnya.Tak lama, pintu kamar hotel diketuk dari luar. Amanda menoleh, "Siapa?""Max."Kayla pun segera membukakan pint
Setelah selesai berganti pakaian, Kayla segera bergegas menuju tempat Max menunggunya sejak tadi. "Bagaimana? Gaunnya cocok?" tanya Max, menghampiri calon istrinya.Kayla mengangguk, "Hanya saja, sedikit sempit dibagian tertentu. Ny. Wilson akan memperbaikinya.""Lalu?""Besok, kita ke sini lagi ya?" ujar
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Max mengajak Kayla untuk menemui seseorang. Sebelum itu, Jessi dan Jasper meminta maaf pada calon Ibu barunya itu. “Ibu, aku minta maaf,” ucap Jessi menyesal.“Aku juga,” sahut Jasper.Kayla tersenyum mani
Kayla menatap sangar kearah pria yang sudah berada di hadapannya. Ia benar-benar terlihat tak senang dengan pria itu. “Dasar licik!” serunya.“Eits! Jangan pernah mengatakan aku licik sayang,” ucap pria itu lembut namun terdengar menyeramkan.&l
Di kamar, Max terlihat termenung-memikirkan perilaku anak-anaknya yang berubah drastis. “Kenapa mereka jadi aneh seperti itu?” gumamnya pelan.
Stanley mengajak Jessi dan Jasper ke tempat yang sedikit jauh dari rumah mereka. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Jessi dan Jasper membuat lelucon yang mampu membuat Stanley tertawa lepas. Bahkan mobil mewah itu hampir saja oleng, karena Stanley terus saja tertawa akibat ulah anak-anak Max itu. Mereka bertiga sangat akrab satu sama lain.
Tiffany semakin menampakkan kemarahannya, sementara Stanley terlihat semakin lemah. Darah pun mengucur deras dari tubuhnya. Max yang melihat pun merasa kasihan dan tidak tega dengan kondisi Stanley saat ini."Hentikan, Tiffany! Dia sudah lemah!" ujar Max, sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Tiffany."Biarkan saja!"
"Ayo masuk!""Tidak! Aku tidak akan masuk!" teriak Kayla pada Stanley.Stanley mendengus, "Kau mau aku menembak mereka di depan matamu, hah?!"Kayla terdiam karena pria jahat itu sudah mengancamnya. Mau tidak mau, ia harus menuruti semua keinginan Stanley. "Bawa kedua anak sialan itu ke gu
Kayla terus menatap langit-langit kamarnya. Air mata terus mengalir bebas dari pelupuk mata. Wajah cantiknya terus saja menampakkan kesedihan serta kerinduan yang mendalam, untuk seseorang. Ingatannya, selalu tertuju pada satu pria, yang sudah membuat hatinya mengerti arti cinta."Aku begitu mencintaimu, Max. Sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi, kau tidak pernah sedikit pun berniat untuk membalas cintaku ini." ucap Kayla sendiri.
Kayla terduduk lemas di kamarnya. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya."Benarkah yang kudengar tadi? Atau hanya mimpi?"gumamnya dalam hati.Perlahan, air mata Kayla mengalir begitu saja. Dirinya masih terlihat tak percaya dengan perkataan Max. Ya. Dia mendengar semua percakapan antara Max dengan ibunya mengenai pernikahan. "Max, benarkah kau akan menikahiku? Aku benar-benar tidak percaya." gumamnya seraya menangis. Tak lama, pintu kamar diketuk dari luar. Mem