"Pagi, Papa Ardi Diwanggani," sapa Rea dengan ceria. Wajahnya tersenyum kala menatap Ardi yang masih sibuk dengan penggorengannya.
"Pagi, Sayang. Gimana tidurnya semalam?" Ardi mencium kening Rea dengan lembut. Rea terlihat mengangguk sambil mencicipi tumis kangkung buatan papanya.
"Nyenyak seperti biasa. Agak insomnia, Yah. Hmm... enak." Rea bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Ardi adalah koki andalan di keluarga kecil mereka. Mamanya bisa memasak, tapi, tidak seenak buatan papanya. Malah, papanya lebih sering memasak untuk mereka, baik saat sarapan atau makan malam. Toh, Ardi memang suka memasak. Berbanding terbalik dengan mamanya yang baru masak setelah Rea lahir.
"Mikirin apa, sih? Pasti mikirin Ayah, kan? Kangen ya, sama Ayah?" goda Ardi. Rea mendengus mendengarnya.
"Rugi ngangenin Ayah." Melihat Rea yang tertawa lepas membuat Ardi tenang. Dia tahu Rea semalam menangis, walaupun Ardi sendiri tidak tahu masalahnya. Yang Ardi tahu, Rea hanya butuh sendiri. Meskipun Ardi sangat ingin bertanya, Ardi masih menghargai privasi Rea. Ardi percaya bahwa Rea akan cerita padanya, seperti yang sudah-sudah.
"Jahat, ya. Ayo, sarapan dulu biar nggak telat." keduanya makan seperti biasa, diselingi obrolan ringan khas anak dan ayah. Menjadi seorang single parent memang melelahkan, tapi melihat Rea baik-baik saja adalah tujuan hidupnya. Dia ingin Rea tertawa, menyingkirkan semua yang menyakiti anak semata wayangnya, memastikan Rea hanya tahu bahagia.
Mobil Rea sudah tiba di depan gerbang kampus. Rea mencium tangan serta kedua pipi ayahnya. "Rea masuk, ya, Yah. Jangan lupa makan siang, semangat kerjanya!" dua tangan Rea terkepal seakan memberi semangat untuk pria yang paling dia cintai.
"Ah, Ayah jadi nggak mau pisah sama kamu, Nak," ucap Ardi mendramatisir sambil mengacak tatanan rambut Rea.
"Ayah, ih! Rambut Rea berantakan. Nanti kalau Rea kucel, terus nggak ada yang mau sama Rea gimana? Ayah mau tanggung jawab?"
Ardi terkekeh pelan, tangannya kembali merapikan rambut Rea. "Anak Ayah kan cantik, masa sih, nggak ada yang mau? Mantan tercinta kamu aja masih mau, kok."
Rea mendelik sambil mencubit lengan ayahnya. "Apaan, sih? Memang siapa mantan tercinta Rea? Nggak ada, ya! Sudah ke laut."
"Itu si Kavi? Hahaha... sana masuk. Ayah juga sudah mau telat nih. Nanti Ayah dipecat, lho." mendengar itu, Rea mencibir.
"Karyawan mana yang berani mecat bosnya? Rea turun, ya? Bye, Ayah. Assalamu'alaikum," pamit Rea sambil mencium tangan Ardi sekali lagi. Ardi tersenyum sambil menjawab salam, menatap Rea yang perlahan berjalan menjauh. Ardi hampir meneteskan air mata melihat anak gadisnya sudah semakin dewasa. Dia hanya punya waktu beberapa tahun lagi untuk bersama Rea sebelum dia diserahkan kepada laki-laki lain yang lebih berhak.
Ah, memikirkan Rea akan meninggalkannya membuat mood Ardi langsung turun. Jujur saja, dia masih belum siap melepas putri semata wayangnya itu, bahkan untuk Kavi sekalipun.
"Jangan cepat menikah, ya, Nak. Ayah masih mau sama kamu lebih lama lagi."
Rea tersenyum membalas sapaan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Ada yang memang Rea kenal, bahkan ada yang tidak.
Mungkin adik kelas, pikirnya. Rea cukup terkenal di kampus, terutama untuk Fakultas Seni. Menjadi murid kebanggaan kampus dari jurusan arsitektur adalah poin plus Rea. Namun, Rea tidak sombong. Dia dengan senang hati membagi ilmu kepada adik tingkatnya.
Mata kuliahnya dimulai satu jam lagi. Dosennya mendadak memundurkan jam kelas karena sebuah urusan penting. Dan di sini lah Rea, duduk di kantin dengan Ara dan beberapa anggota BEM.
"Jangan merokok di sekitar gue," tegur Rea saat Rama datang dengan asap rokok yang mengepul.
"Yaelah, cemen amat lo, Re. Pakai masker sana," ledek cowok itu enteng. Rea langsung memukul lengan Rama kuat-kuat.
"Bukan masalah cemen, asep lo membahayakan orang lain. Kalau mau mati, ya sendiri aja, jangan ngajak orang lain." Rama mendengus lalu mematikan puntung rokoknya yang sudah pendek.
Rea memberikan minum kepada Rama, dan dia menerimanya. "Makasih, Bu Wakil."
"Gimana kabar proposal?" tanya Rea menatap Arsan yang sibuk bermain game online.
"Aman, Re," jawab Arsan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Biasanya Rea akan mampir ke Ormawa hanya untuk bersantai, tidur-tiduran, atau numpang makan snack. Arsan bilang, sekalipun tidak ada rapat, usahakan berkumpul di Ormawa demi menjaga kekompakan mereka.
"Jabatan kalian dua tahun di sini, mengemban banyak tugas dan tanggung jawab yang akan menjadi panutan seluruh mahasiswa. Tolong bantu jaga kekompakkan, kalau ada masalah, jangan dipendam. Utarakan, dan kita cari solusinya bareng-bareng. Ketika kalian masuk ke lingkup BEM khususnya Kominfo, detik itu juga kalian menjadi keluarga," ucap Kak Gio, mantan kadep Kominfo tahun lalu.
Saat Rea sedang asyik dengan aplikasi Instagramnya, Ara menyikut lengan Rea membuat gadis itu menatapnya. "Apaan, sih?"
"Mantan lo," ucap Ara tanpa vokal sambil menunjuk arah datangnya Kavi.
Rea menolehkan kepalanya ke samping, mencari keberadaan Kavi. Benar saja, Kavi sedang berjalan ke arah mereka, tapi, dia tidak sendiri. Ada Kina di sampingnya. Rea langsung menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Wah, Kav, baru jadi mahasiswa sudah dapat gebetan saja kau," ucap Marham dengan logat Bataknya yang kental.
Kina dan Kavi tampak tersenyum santai. Keduanya sangat cocok di mata Rea. Ah, hatinya kembali berdenyut. Rea ingin sekali menenggelamkan diri di kubangan sana.
Dua pasangan itu mengambil tempat duduk di samping Arsan yang duduk di depan Rea. Laki-laki itu sudah mengalihkan pandangannya tepat saat Kavi dan Kina sampai di meja mereka.
"Lo kenapa, Re?" tanya Arsan. Rea memang jarang bicara, tapi, Arsan merasa hawa di sekitar gadis itu sedikit berbeda. Tampak murung sejak Kavi datang.
"Nggak apa-apa. Memang gue kenapa?" Rea bertanya balik. Ara tampak menatapnya sejenak.
"Eh, Mar, beliin batagor sana. Buat gue sama Rea. Dia belum sarapan katanya," celetuk Ara tiba-tiba. Rea melotot ke arah sahabatnya itu.
"Kenapa nggak sarapan, Re?" tanya Kavi. Beberapa orang di meja tersebut langsung menatap Kavi dan Rea bergantian. Mungkin Rea tahu apa yang mereka pikirkan. Apalagi kalau bukan tentang, Ada hubungan apa Rea dan Kavi?
Rea menggeleng pelan, menyentuh pipinya, mengisyaratkan bahwa dirinya sariawan, yang tentu saja itu hanya akal-akalan Rea.
"Buruan, Mar, beliin batagor," desak Ara lagi.
Marham menggerutu, "Mar, Mar, Mar, memangnya gue Marimar? Tunggu di sini ... Ferguso."
Laki-laki itu pun pergi membelikan makanan untuk Ara dan Rea. Yang lain terkikik geli. Marham memang selalu sensi jika ada yang memanggil nama depannya saja. Dia lebih suka disapa Ham dibanding Mar. Lebih terdengar seperti Marimar dibanding Marham.
"Re, balik kampus jam berapa?" tanya Arsan.
"Jam dua. Kenapa?"
"Jangan balik dulu, tunggu gue di Ormawa." Setelah mengatakan itu, Arsan segera bangkit dan berjalan keluar kantin diikuti siulan menggoda dari teman-temannya.
"Ehem, ada apa ini?"
"Pak ketu sama bu wakil ada main belakang apa?"
"Gue udah curiga dengan kedekatan mereka yang nggak biasa, sih."
"Akankah terjadi kisah cinta di antara dua pemangku jabatan departemen kominfo ini? Sejak kapan kisah ini terjalin? Apakah Edrea Lovata dan Anthony Arsan bisa hidup bahagia? nantikan kisah selengkapnya di akun nyinyir Universitas Suryadharma." Tarra berbicara bak presenter gosip ternama di TV membuat teman-temannya semakin menggoda Rea.
Ara ikut tersenyum sambil menyikut lengan Rea beberapa kali. Dari tatapannya saja jelas sekali bahwa Ara bahagia ikut menjadi sumbu dalam meledek Rea dan Arsan.
Marham kembali dengan tiga bungkus batagor. Dua untuk Rea dan Ara, satu untuk dirinya sendiri.
"Perut gentong! Lo tadi sudah makan dua porsi siomay, kan?" tanya Anggit sambil menepuk perut Marham yang sedikit buncit. Laki-laki berkacamata itu tertawa garing.
"Lagi bentar matkul Matematika Diskrit. Gue butuh asupan lebih buat tenaga dan otak gue. Biar sinkron," ucapnya.
"Saking seringnya lo di Fakultas Seni, gue sampai lupa kalau lo anak IT. Balik sana ke habitat lo," usir Gilang. Marham mendelik saat acara makannya yang sakral ini diganggu.
"Diem aja lo, Lang." Marham melirik sekilas jam di tangan lalu melanjutkan makannya.
Obrolan kembali mengalir, banyak yang anggota BEM itu bahas. Mulai dari hal remeh tentang gosip selebritis hingga masalah politik negara.
Dari riuh bisingnya obrolan hingga canda tawa yang meledak, tak ada satu pun dari mereka yang menyadari tatapan sendu yang ditujukan untuk Rea. Yang mengisyaratkan banyak hal yang coba ia sembunyikan selama ini.
«••CLBK••»
"Jadi, ada apa?" tanya Rea saat dia dan Arsan sudah ada di ruang Ormawa. Sesuai janji, keduanya bertemu di sini. Untunglah, hanya ada mereka da beberapa anggota Kominfo.
"Tentang tawaran lomba kemarin, gimana?"
Rea mengernyit. Berpikir lomba apa yang pernah Arsan tawarkan padanya. "Pardon?"
"Ah, lemot! "Arsan menyentil kening Rea. "Lomba Sepekan Arsitektur kemarin, Edrea Lovata," ucap Arsan gemas.
Rea mengangguk, tanda dia sudah ingat. "Oh, itu, jangan gue deh, San. Sibuk."
"Sibuk ngapain lo, Bocah? Kerjaan lo cuma bolak balik Ormawa doang."
"Ya ... kan gue bantu lo ngontrol anak-anak," elakan Rea pada dasarnya tidak akan pernah mempan di hadapan Arsan. Laki-laki itu sudah sangat hapal tabiat wakil ketuanya ini.
"Anak mana yang mau lo kontrol? Semua udah ada di bawah kendali gue. Kecuali ..." Arsan menggantung kata-katanya, mencoba menarik fokus Rea padanya. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya.
Ini kenapa, nih? Kok tiba-tiba gue dugun-dugun begini?
"Kecuali?" tanya Rea. Netra matanya mendadak bergerak liar. Ke kiri, ke kanan, ke mana pun asal tidak bertabrakan langsung dengan iris legam Arsan. Bukan tanpa alasan Arsan didapuk menjadi ketua, kemampuannya dalam mengintimidasi lawan benar-benar jempolan.
Arsan tersenyum miring, tangannya terangkat untuk menepuk sekilas kepala Rea. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali, mungkin mencoba meyakinkan diri bahwa yang di hadapannya ini adalah Anthony Arsan, Ketua Departemen Komunikasi, sekaligus atasannya.
"Gue balik, ya? Jangan kelamaan di kampus, walaupun lo nggak menggiurkan sama sekali, pasti ada aja yang mau nyulik dan jual lo. Minimal buat jadi pembantu di rumah mereka." Tawa Arsan pecah saat dia sudah keluar dari ruangan. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri setelah melihat wajah bengong wakilnya.
"What the? Arsan kampreeeet," teriak Rea kesal setelah sadar dari lamunannya. Dia ingin sekali mengejar Arsan, tapi laki-laki itu pasti sudah jauh.
Dipandanginya seluruh ruangan yang sudah kosong tanpa penghuni. Tinggal dia sendiri ternyata. Rea tidak tahu berapa lama dia di sini, karena rasanya, tadi masih ada orang selain dia dan Arsan.
Saat sedang merapikan tas, kata-kata Arsan tadi langsung terngiang di kepalanya. Benarkah ada yang mau menculiknya? Jika diingat-ingat, beberapa rekannya yang pernah bermalam di sini, selalu mendengar suara-suara aneh.
Pengen banget nggak percaya, tapi ... bisa aja, kan?
Brukkk...
"Aaaa! Jangan culik saya. Saya belum lulus kuliah. Saya anak bodoh, nggak bisa ngapa-ngapain. Please, jangan culik saya," teriak Rea dengan panik dan takut. Tubuhnya sudah meringkuk di lantai, sambil terus merapalkan mantra-mantra yang entah apa itu.
"Rea? Lo ngapain?" tanya seseorang yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu. Mendengar ada orang selain dirinya, gadis itu langsung mendongak, menatap seseorang yang kini sedang menahan tawa, siap meledak kapan saja.
"Lo?"
"Pfftt... Hahaha..."
Dan saat ini, ingin rasanya Rea menenggelamkan diri ke kolam ikan di samping ruang kesehatan. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi.
A/N:
Bab 5, nih.
Kira-kira siapa, ya, orang yang mergokin Rea sedang teriak ketakutan di Ormawa?Sampai bertemu lagi di chapter depan.
Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea."Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."
Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya."Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana."Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim."Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagitake
Sejak pagi, Rea, Desi, dan Paska sudah disibukkan dengan materi presentasi mereka. Semalam, mereka begadangvideo calldengan dosen mereka, meminta saran untuk lomba hari ini.Mereka sudah sampai di Universitas Atmajaya dan sedang menunggu dimulainya kompetisi."Hai," sapa cowok lesung pipi. Rea melebarkan matanya."Lo di sini? Ikut lomba juga?" tanya Rea. Desi tampak memerhatikan cowok tersebut kemudian menjentikkan jari."Ah, cowok kafe itu, kan? Yang lihatin Rea mulu."Raga mengusap belakang lehernya sambil tersenyum malu. "Ketahuan, deh. Gue Ragasta, panggil aja Raga.""Gue Desi dan ini Paska." Desi menunjuk c
"Gue kira kita bakal langsung pulang bukan malah melipir ke tempat entah apa ini namanya."Selepas kuliah, Kavi sudah mencegat Rea dan memaksanya untuk pulang bersama. Rea menerima ajakan Kavi tanpa tahu rencana cowok itu."Gue mau ke suatu tempat dulu. Udah lama gue nggak mampir ke sana." harusnya Rea curiga ketika cowok itu menawarinya tumpangan menggunakan mobil.Malas berdebat lagi, Rea memilih diam, lalu mulai menyamankan posisinya. Tak sampai lima menit, Rea sudah tertidur pulas. Kavi tersenyum melihat betapa mudahnya Rea tidur tanpa khawatir siapa dan bagaimana kondisi sekitarnya. Apa jadinya jika Kavi adalah cowok brengsek, hm?Menempuh jarak yang tidak dekat, keduanya sampai di sebuah rumah yang ada di sebuah desa. Kavi menga
Universitas Dharma Jaya menjadi salah satu universitas terbaik yang sejajar keunggulannya dengan Universitas Suryadharma. Kedua kampus tersebut sering terlibat kerja sama dalam berbagai acara."Semua stand by di posisi. Tamu kita sebentar lagi datang," ucap Gilang melalui sebuah smartwatch yang akan terhubung di masing-masing earring anak buahnya.Agenda BEM hari ini adalah menyambut perwakilan BEM Dharma Jaya untuk event penggalangan dana korban Suriah dan Palestina.Di sebelah Gilang sudah ada Arsan, Kavi, dan Rea sebagai penyambut tamu. Mereka dan beberapa anggota BEM terpilih dari semua BEM F akan ikut rapat untuk event gabungan mereka."Kav, Re, kalian langsung ke ruang rapat aja. Gue sama Arsan mau ke depan dulu." Setelah mengatakan itu, Gilang dan Arsan berlalu pergi. Tingallah Kavi dan Rea."Re, yuk." Kavi menarik ujung lengan baju Rea. Gadis itu menurut dan mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat
Minggu pagi di akhir bulan April. Cuaca sedang hangat hari ini, cocok sekali untuk menghabiskan waktu dengan orang terkasih, mengajaknya jalan-jalan atau hanya minum teh bersama di halaman depan rumah.Seperti Rea yang pagi ini sudah siap dengan setelan baju lengan panjang berwarna pink yang ujung baju bagian depannya dimasukkan ke dalam celana jeans biru dongkernya. Rea memoles lipstik pink di bibir tipisnya dan membubuhkan sedikit bedak tipis di wajahnya. Setelah memastikan riasannya tak berlebihan, gadis itu langsung menyambar tas kecil, memeriksa kembali balasan pesan dari Raga dan segera keluar kamar.Ya, Rea dan Raga sudah janjian bertemu di Dufan. Gadis itu juga membawa roti sandwich buatannya untuk mereka makan di sana. Sebenarnya, Raga yang memaksa Rea membuatkan makanan ringan untuk mereka.
Rea dan Kavi duduk di bangku taman tak jauh dari rumah Rea. Sepi, sejuk, dan remang. Entah bagaimana, perumahannya lebih sepi dari biasanya seakan mengerti keadaan Rea dan Kavi yang butuh privasi."Gimana jalan-jalan hari ini? Kamu senang?" tanya Kavi. Tidak ada nada marah atau kesal. Itu membuat Rea entah kenapa merasa bersalah."Senang. Kita banyak ngobrol dan naik wahana.""Kamu naik bianglala?" tebak Kavi. Rea mengangguk. "Gimana rasanya naik bianglala?""Nggak sehangat saat Bunda masih ada. Tapi rasanya masih menyenangkan. Kav, dari jam berapa lo di rumah gue?""Dari habis maghrib. Aku habis dari rumah Riko, kebetulan ketemu Om Ardi lagi beli ketoprak di dekat rumah Riko. Dia ng
Rea tampak mendorong keranjang belanjanya. Matanya menelusuri berbagai bumbu dapur. Dua hari sejak acara barbekyu dadakan, kini Rea harus rela ditinggal ayahnya ke Kalimantan untuk tugas dokternya. Katanya sih, ada seminar gitu. Berhubung bahan makanan di kulkas sedang habis, Rea mau tidak mau berbelanja sendiri. "Paprika udah, bawang putih bubuk udah, oh! kaldu jamur." "Edrea." Rea menoleh ke belakang, mengernyit bingung saat Arsan berjalan menghampirinya. "Lho, San? Tumben di daerah sini. Rumah lo kan di komplek Guava." "Iseng aja jalan-jalan ke komplek sebrang. Gue lihat lo di parkiran tadi, trus gue buntutin aja." Rea langsung mundur selangkah, "Lo ... agak mengerikan, ya?"
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta
Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."
"Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be
Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab