Kavi baru saja selesai latihan paskibra dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Rea. Rutinitas mereka berdua adalah Rea yang selalu menemani Kavi latihan paskibra, begitu pun Kavi yang selalu menunggui Rea saat pertemuan PMR.
"Ini apa?" tanya Kavi saat Rea memberikan selembar kertas padanya.
Rea tersenyum. "Buka, dong. Nanya mulu."
Kavi tersenyum tipis, membuka lembaran tersebut dan terkejut saat melihat sebuah sketsa rumah minimalis. "Ini kamu yang gambar?"
"Iya, dong, masa Ayah. Ayah nggak bisa gambar. Bikin garis lurus aja harus percobaan lima kali."
"Bagus banget! Rea pinter ih, gambar rumah. Ini tipe aku banget, Re. Minimalis." Rea tersenyum mendengarnya.
"Aku kan calon arsitek hebat jadi, harus bisa gambar. Mau lihat gambarku yang lain? Aku jamin kamu bakal naksir," tawar Rea. Kavi mengangguk antusias, Rea selalu bisa mengejutkannya, melebihi ekspektasi, dan tak pernah bisa dia tebak. Rea seperti sosok yang sangat jenius. Cantik, baik, pengertian, langganan piala olimpiade, dan calon arsitek pula.
"Ini disain rumah Budhe di Bandung. Rumah tingkat dua bergaya American Classic. Aku ajuin disain ini, dan dia langsung suka. Kebetulan memang selera dia banget." Rea memperlihatkan beberapa gambarnya. Kavi tersenyum bangga. Tidak sabar melihat Rea bersinar di dunianya.
Mereka asyik mengobrol, Rea menjelaskan semua yang dia tahu tentang dunia arsitek. Dan karena itu juga, Kavi menyukai dunianya Rea. Kavi langsung memutuskan untuk kuliah di jurusan yang sama. Kavi belajar tentang arsitek dan menggambar adalah kegiatan rutinnya sejak itu. Untung lah, kedua orang tuanya menyetujui minat baru Kavi.
"Aku juga buat ini. Mudah-mudahan bisa terwujud." Rea mengambil sebuah gulungan yang sejak tadi dia tahan. Menyerahkan gulungan itu kepada Kavi, membiarkan Kavi sendiri yang membukanya.
"Rumah ... kita?" Kavi mengeja tulisan yang ada di paling atas disain tersebut. Tulisan yang menjadi judul dari karya spesial Rea.
"Oh, lebih tepatnya, itu rumah impian aku. Disain, tata letak furniture, sampai bahan bangunannya udah aku rancang semua." Kavi memandang kekasihnya dengan kekaguman yang tidak bisa dia sembunyikan. Gila! Hanya itu yang bisa Kavi rapalkan dalam hati. Rea bisa sedetail itu merancangnya?
"No, ini rumah kita, Re. Kamu keren, ih!" Rea tersenyum malu saat Kavi menepuk lembut kepalanya. Memuji dengan nada yang tulus. Ah, bagaimana Rea tidak semakin jatuh cinta, hm?
"Bagus, kan,"
"It's perfect, Sayang."
"Rumah masa depan ..."
"Kita!" sambung Kavi tegas. Dalam hati, keduanya mengaminkan harapan mereka.
Lamunan Rea terputus saat dia Kavi memanggilnya, menandakan mereka sudah sampai di parkiran kampus.
Kavi membuka ikatan kain yang mengikat pinggang mereka berdua. Percayalah, mereka menghabiskan tiga puluh lima menit untuk berdebat tentang ini. Berlebihan memang.
Rea turun dari motor Kavi dan memberikan helmnya. "Makasih. Lain kali, gue nggak mau dibonceng sama lo pake ikatan kain kayak gini. Gue bukan bayi, Kav. Lo lebay amat!"
"Sama-sama, kamu itu gampang tidur, Re. Mending diikat biar aman, biar kamu nggak jatuh ke belakang karena ketiduran."
"Cukup sekali lo boncengin gue kayak gini," ucap Rea tegas. Kavi terdiam, menatap Rea yang tak sama seperti dulu.
Rea yang sekarang lebih tegas, lebih berprinsip, dan tidak sefeminim dulu. Satu-satunya hal yang masih sama adalah Rea masih suka menggambar, bahkan Rea lebih bersinar dari sebelumnya. Kavi tahu Rea adalah kebanggaan kampus. Selain posisinya sebagai anggota BEM, Rea juga sering menjuarai perlombaan yang dia ikuti.
"Re, tunggu sebentar!" cegah Kavi saat Rea mulai beranjak meninggalkannya.
"Apa lagi? Kita udah telat, Kav. Gue nggak mau kena semprot Arsan. Dia bisa lebih bawel dari emak-emak yang suka rumpi di tukang sayur." Rea gemas memandang Kavi. Kenapa, sih, dengan cowok itu?
"Bareng." Kavi menggandeng tangan Rea, membuat Rea menahan napas sejenak.
Kavi bego atau gimana, sih? Jantung gue apa kabarnya?
Sadar bahwa mereka di lingkungan kampus, Rea melepas genggaman Kavi. Cewek itu memilih berjalan agak menjaga jarak dari Kavi. Demi dirinya sendiri dan demi menjaga perasaan Kinara.
Rapat berlangsung seperti biasa, membahas lanjutan seminar kewarganegaraan. Departemen Kominfo selalu mengikuti semua kegiatan yang BEM lakukan untuk mengambil dokumentasi acara. Tidak semua yang diutus, tiap acara akan dibagi-bagi. Kebetulan acara seminar kewarganegaraan ini gilirannya Kavi dan Rea.
"Gue nggak setuju, San. Di rapat sebelumnya, kan, Dina yang kita utus buat ikut seminar ambil dokumentasi. Kenapa sekarang diganti jadi gue sama Kavi? Tanggal segitu gue punya acara penting, San." Rea memandang kesal Arsan yang seenak jidatnya mencantumkan namanya bersama Kavi dalam satu acara.
"Apa masalahnya? Karena dia anggota baru? Justru itu tugas lo buat ajarin dia, Re. Lo kenapa, sih? Nggak biasanya lo rese kayak gini. Apa lagi cuma masalah partner kerja."
"San, serius, gue udah ada acara keluarga di rumah. Ke-lu-ar-ga. Paham?" jelas Rea.
Tidak, bukan karena Rea tidak profesional dengan mencampuradukkan masalah pribadi dengan organisasi, hanya saja tanggal 29 Juni adalah tanggal penting baginya. Dia tidak akan mau melewatkannya.
"Gue mohon, San, izinin gue absen kali ini. Gue janji, event selanjutnya, gue nggak akan nolak selagi gue bisa. Lo tahu kan, dari awal lo ngajak gue gabung di sini, gue nggak pernah nerima kegiatan di tanggal segitu?" Rea memohon. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuannya. Satu hal yang tak pernah Arsan lihat.
Rea tak pernah memohon seperti ini sebelumnya. Bekerja dengan Rea membuat Arsan sedikit banyak tahu tentangnya. Bagaimana moodnya, apa yang dia suka dan tidak dia suka, bahkan dia sebenarnya tahu bahwa Rea selalu menolak kegiatan di tanggal 29 Juni. Entah karena apa.
"Oke, Kav, lo tetap berangkat sama Dina. Re, ingat janji lo." bahu Rea melemas, diembuskan napasnya perlahan sambil tersenyum manis. Ya, senyum yang selalu dia tampilkan saat dirinya merasa sangat berterima kasih. Rea meminum air mineralnya dengan cepat.
Pukul setengah sembilan, rapat sudah selesai. Rea dan Kavi keluar paling akhir dari ruang rapat ormawa. Setelah mengunci pintu, keduanya berjalan beriringan dalam diam.
Suasana kampus sudah sepi, hanya ada beberapa satpam yang berpatroli, mengecek setiap ruangan di area kampus.
"Eh, Neng Reya, baru pulang?" sapa Pak Narno.
"Rea, Pak, bukan Reya. Nggak pakai Y. Iya, Pak, baru selesai rapat. Ini kunci ruang Ormawanya." Rea menyerahkan kunci yang sedari tadi digenggam.
"Iya, makasih, Neng Reya ... eh, Rea. Namanya susah banget sih, Neng," protes Pak Narno dengan nadabercanda. Rea sendiri tersenyum saja.
Pandangan Pak Narno beralih ke sebelah Rea, matanya menyipit dengan dahi berkerut. "Eh, ini mas yang kemarin manjat pager, kan? Yang terlambat masuk pelajaran Pak Pramana?"
Kavi cengegesan, mengusap belakang lehernya karena salah tingkah. "Ah, Bapak jangan buka aib saya, dong," ucap Kavi malu.
Rea menyipitkan matanya, lalu melayangkan pukulan ke lengan Kavi. "Lo masih suka manjat pager?"
"Ya, maaf, aku kan—"
"Telat bangun? Begadang nonton Barca? Basi."
"Re, kemarin itu pertandingan penting."
"Lebih penting dari bangun kesiangan, terus telat ngampus, manjat pager, atau kalo lagi sial lo bakal jatoh, gitu?" sela Rea sinis.
"Doanya jelek banget, Re. Eh, kamu masih inget kebiasaan aku, Re?"
Pak Narno senyum-senyum memandang dua anak muda yang sedang bertengkar. Seperti melihat drama Korea yang biasa ditonton anak bungsunya di rumah.
"Kalian kalo berantem gini, jadi inget saya sama istri saya, deh. Kami juga pas muda suka berantem, ujung-ujungnya nikah. Langgeng terus, ya, Neng Rea."
"Hah? Saya sama dia? Nggak, deh. Makan ati mulu! Saya pamit, ya, Pak. Jangan kelamaan di sini, banyak dedemitnya. Permisi, Pak." Rea tersenyum singkat, menyalami Pak Narno yang memang sudah akrab dengannya, dan langsung pergi meninggalkan Kavi.
Kavi menghela napas pelan. Menyadari itu, Pak Narno menepuk bahu Kavi, bermaksud memberinya semangat.
"Cewek memang gitu, butuh pengorbanan kalo mau ngejar mereka. Neng Rea terkenal cuek sama cowok. Mungkin punya kisah nggak enak zaman dulu, katanya orang, sih. Semangat, Mas."
Kavi tersenyum paksa. Kata-kata Pak Narno barusan seperti mencubit batinnya. Ah, yang mereka maksud sudah pasti dia. Dia lah yang mengubah Rea menjadi sosok yang tidak mudah digapai. Disusulnya Rea yang sedikit jauh di depannya.
Maaf, maaf sudah mengubah kamu sampai seperti ini.
«••CLBK••»
Rea baru selesai mandi. Sesampainya di rumah, Rea langsung masuk tanpa berpamitan dengan Kavi. Dia bahkan mengabaikan sapaan ayahnya yang kala itu menunggunya di depan pintu.
Pikirannya melayang ke beberapa saat yang lalu, di parkiran kampus.
"Re, tunggu sebentar."
Rea berbalik menatapnya. Kavi masih terengah-engah karena berlari menyusulnya ke parkiran.
"Kamu kenapa nggak mau satu acara sama aku buat seminar nanti?" tanya Kavi. Rea memandangnya aneh.
"Bukannya tadi udah gue jelasin? Gue ada acara, Kav."
"Yakin ada acara? Bukan karena harus kerja bareng sama aku?"
Rea tertawa, bukan tawa jenaka karena habis mendengar lawakan. Tawa meremehkan lebih tepatnya. Rea menatap langsung ke dalam mata Kavi.
"Karena lo? Emangnya lo siapa, hm?" Rea menaikkan sebelah alisnya.
Dua-duanya diam. Tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Menikmati semilir malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit mereka.
"Aku ... cowok yang pernah ada di hati kamu. Mantan kamu. Dan teman satu organisasi kamu sekarang."
Rea tergelak, kenapa Kavi begitu lucu malam ini sampai harus berputar-putar hanya untuk menegaskan statusnya. "Cuma mantan, kan?"
"Tahu nggak tempatnya mantan itu di mana?" tanya Rea. Kavi memandang Rea dalam diam. Menyuruhnya melanjutkan kata-katanya.
"Tuh, di sana." Rea menggerakan kepalanya ke samping, menunjuk sebuah tempat sampah menggunakan dagunya. Gadis itu tersenyum miring, memunggungi Kavi, dan memakai helmnya.
"Ngapain bengong? Udah sadar kan lo siapa dan di mana tempat lo bagi gue? Nggak usah kepedean karena gue nolak ke acara seminar bulan Juni nanti. Acara gue penting, dan itu bukan untuk ngehindarin lo."
Rea menghela napas pelan. Tangannya meraih sebuah pigura yang selalu di cium setiap pagi, sesaat setelah dia bangun tidur, dan sebelum dia berangkat kuliah.
"Bun, apa kabar? Rea kangen Bunda. Bunda bahagia di sana? Bunda udah nggak sakit lagi, kan? Sekarang Bella yang sakit di sini, Bun." Rea menunjuk dadanya. Tepat di mana hatinya terus berdenyut sakit.
"Bun, bisa tolong tanyakan pada Tuhan, kenapa hati Rea sesakit ini? Kenapa Rea harus diberi perasaan ini?" bahu Rea bergetar, sebelah tangannya yang lain menutupi mulutnya, menahan isakannya keluar. Rea tidak ingin ayahnya mendengar tangisannya. Rea tidak sampai hati membiarkan ayahnya tahu masalahnya ini. Ayahnya sudah cukup menderita dan lelah karena harus bekerja sambil mengurusnya.
Orang bilang, jangan larut dalam kesedihan. Cepatlah move on, tunjukkan kepada mantan bahwa kita baik-baik saja tanpanya. Teorinya, sih, gampang. Namun, susah saat menjalani. Bayang-bayang mantan selalu melekat, apalagi jika sudah mengukir banyak sekali momen indah bersamanya, makin susah untuk dilupakan. Tak jarang beberapa ada yang balikan dengan mantannya dengan alasan masih sangat amat cinta. Rea tidak tahu bagaimana dengannya nanti. Apa mendapat cinta baru, atau mengukir kembali cinta lamanya dengan sebuah komitmen yang baru.
"Pagi, Papa Ardi Diwanggani," sapa Rea dengan ceria. Wajahnya tersenyum kala menatap Ardi yang masih sibuk dengan penggorengannya."Pagi, Sayang. Gimana tidurnya semalam?" Ardi mencium kening Rea dengan lembut. Rea terlihat mengangguk sambil mencicipi tumis kangkung buatan papanya."Nyenyak seperti biasa. Agak insomnia, Yah. Hmm... enak." Rea bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempolnya.Ardi adalah koki andalan di keluarga kecil mereka. Mamanya bisa memasak, tapi, tidak seenak buatan papanya. Malah, papanya lebih sering memasak untuk mereka, baik saat sarapan atau makan malam. Toh, Ardi memang suka memasak. Berbanding terbalik dengan mamanya yang baru masak setelah Rea lahir."Mikirin apa, sih? Pasti mikirin Ayah, kan? Kangen
Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea."Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."
Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya."Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana."Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim."Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagitake
Sejak pagi, Rea, Desi, dan Paska sudah disibukkan dengan materi presentasi mereka. Semalam, mereka begadangvideo calldengan dosen mereka, meminta saran untuk lomba hari ini.Mereka sudah sampai di Universitas Atmajaya dan sedang menunggu dimulainya kompetisi."Hai," sapa cowok lesung pipi. Rea melebarkan matanya."Lo di sini? Ikut lomba juga?" tanya Rea. Desi tampak memerhatikan cowok tersebut kemudian menjentikkan jari."Ah, cowok kafe itu, kan? Yang lihatin Rea mulu."Raga mengusap belakang lehernya sambil tersenyum malu. "Ketahuan, deh. Gue Ragasta, panggil aja Raga.""Gue Desi dan ini Paska." Desi menunjuk c
"Gue kira kita bakal langsung pulang bukan malah melipir ke tempat entah apa ini namanya."Selepas kuliah, Kavi sudah mencegat Rea dan memaksanya untuk pulang bersama. Rea menerima ajakan Kavi tanpa tahu rencana cowok itu."Gue mau ke suatu tempat dulu. Udah lama gue nggak mampir ke sana." harusnya Rea curiga ketika cowok itu menawarinya tumpangan menggunakan mobil.Malas berdebat lagi, Rea memilih diam, lalu mulai menyamankan posisinya. Tak sampai lima menit, Rea sudah tertidur pulas. Kavi tersenyum melihat betapa mudahnya Rea tidur tanpa khawatir siapa dan bagaimana kondisi sekitarnya. Apa jadinya jika Kavi adalah cowok brengsek, hm?Menempuh jarak yang tidak dekat, keduanya sampai di sebuah rumah yang ada di sebuah desa. Kavi menga
Universitas Dharma Jaya menjadi salah satu universitas terbaik yang sejajar keunggulannya dengan Universitas Suryadharma. Kedua kampus tersebut sering terlibat kerja sama dalam berbagai acara."Semua stand by di posisi. Tamu kita sebentar lagi datang," ucap Gilang melalui sebuah smartwatch yang akan terhubung di masing-masing earring anak buahnya.Agenda BEM hari ini adalah menyambut perwakilan BEM Dharma Jaya untuk event penggalangan dana korban Suriah dan Palestina.Di sebelah Gilang sudah ada Arsan, Kavi, dan Rea sebagai penyambut tamu. Mereka dan beberapa anggota BEM terpilih dari semua BEM F akan ikut rapat untuk event gabungan mereka."Kav, Re, kalian langsung ke ruang rapat aja. Gue sama Arsan mau ke depan dulu." Setelah mengatakan itu, Gilang dan Arsan berlalu pergi. Tingallah Kavi dan Rea."Re, yuk." Kavi menarik ujung lengan baju Rea. Gadis itu menurut dan mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat
Minggu pagi di akhir bulan April. Cuaca sedang hangat hari ini, cocok sekali untuk menghabiskan waktu dengan orang terkasih, mengajaknya jalan-jalan atau hanya minum teh bersama di halaman depan rumah.Seperti Rea yang pagi ini sudah siap dengan setelan baju lengan panjang berwarna pink yang ujung baju bagian depannya dimasukkan ke dalam celana jeans biru dongkernya. Rea memoles lipstik pink di bibir tipisnya dan membubuhkan sedikit bedak tipis di wajahnya. Setelah memastikan riasannya tak berlebihan, gadis itu langsung menyambar tas kecil, memeriksa kembali balasan pesan dari Raga dan segera keluar kamar.Ya, Rea dan Raga sudah janjian bertemu di Dufan. Gadis itu juga membawa roti sandwich buatannya untuk mereka makan di sana. Sebenarnya, Raga yang memaksa Rea membuatkan makanan ringan untuk mereka.
Rea dan Kavi duduk di bangku taman tak jauh dari rumah Rea. Sepi, sejuk, dan remang. Entah bagaimana, perumahannya lebih sepi dari biasanya seakan mengerti keadaan Rea dan Kavi yang butuh privasi."Gimana jalan-jalan hari ini? Kamu senang?" tanya Kavi. Tidak ada nada marah atau kesal. Itu membuat Rea entah kenapa merasa bersalah."Senang. Kita banyak ngobrol dan naik wahana.""Kamu naik bianglala?" tebak Kavi. Rea mengangguk. "Gimana rasanya naik bianglala?""Nggak sehangat saat Bunda masih ada. Tapi rasanya masih menyenangkan. Kav, dari jam berapa lo di rumah gue?""Dari habis maghrib. Aku habis dari rumah Riko, kebetulan ketemu Om Ardi lagi beli ketoprak di dekat rumah Riko. Dia ng
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta
Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."
"Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be
Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab