Universitas Dharma Jaya menjadi salah satu universitas terbaik yang sejajar keunggulannya dengan Universitas Suryadharma. Kedua kampus tersebut sering terlibat kerja sama dalam berbagai acara.
"Semua stand by di posisi. Tamu kita sebentar lagi datang," ucap Gilang melalui sebuah smartwatch yang akan terhubung di masing-masing earring anak buahnya.
Agenda BEM hari ini adalah menyambut perwakilan BEM Dharma Jaya untuk event penggalangan dana korban Suriah dan Palestina.
Di sebelah Gilang sudah ada Arsan, Kavi, dan Rea sebagai penyambut tamu. Mereka dan beberapa anggota BEM terpilih dari semua BEM F akan ikut rapat untuk event gabungan mereka.
"Kav, Re, kalian langsung ke ruang rapat aja. Gue sama Arsan mau ke depan dulu." Setelah mengatakan itu, Gilang dan Arsan berlalu pergi. Tingallah Kavi dan Rea.
"Re, yuk." Kavi menarik ujung lengan baju Rea. Gadis itu menurut dan mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat
Minggu pagi di akhir bulan April. Cuaca sedang hangat hari ini, cocok sekali untuk menghabiskan waktu dengan orang terkasih, mengajaknya jalan-jalan atau hanya minum teh bersama di halaman depan rumah.Seperti Rea yang pagi ini sudah siap dengan setelan baju lengan panjang berwarna pink yang ujung baju bagian depannya dimasukkan ke dalam celana jeans biru dongkernya. Rea memoles lipstik pink di bibir tipisnya dan membubuhkan sedikit bedak tipis di wajahnya. Setelah memastikan riasannya tak berlebihan, gadis itu langsung menyambar tas kecil, memeriksa kembali balasan pesan dari Raga dan segera keluar kamar.Ya, Rea dan Raga sudah janjian bertemu di Dufan. Gadis itu juga membawa roti sandwich buatannya untuk mereka makan di sana. Sebenarnya, Raga yang memaksa Rea membuatkan makanan ringan untuk mereka.
Rea dan Kavi duduk di bangku taman tak jauh dari rumah Rea. Sepi, sejuk, dan remang. Entah bagaimana, perumahannya lebih sepi dari biasanya seakan mengerti keadaan Rea dan Kavi yang butuh privasi."Gimana jalan-jalan hari ini? Kamu senang?" tanya Kavi. Tidak ada nada marah atau kesal. Itu membuat Rea entah kenapa merasa bersalah."Senang. Kita banyak ngobrol dan naik wahana.""Kamu naik bianglala?" tebak Kavi. Rea mengangguk. "Gimana rasanya naik bianglala?""Nggak sehangat saat Bunda masih ada. Tapi rasanya masih menyenangkan. Kav, dari jam berapa lo di rumah gue?""Dari habis maghrib. Aku habis dari rumah Riko, kebetulan ketemu Om Ardi lagi beli ketoprak di dekat rumah Riko. Dia ng
Rea tampak mendorong keranjang belanjanya. Matanya menelusuri berbagai bumbu dapur. Dua hari sejak acara barbekyu dadakan, kini Rea harus rela ditinggal ayahnya ke Kalimantan untuk tugas dokternya. Katanya sih, ada seminar gitu. Berhubung bahan makanan di kulkas sedang habis, Rea mau tidak mau berbelanja sendiri. "Paprika udah, bawang putih bubuk udah, oh! kaldu jamur." "Edrea." Rea menoleh ke belakang, mengernyit bingung saat Arsan berjalan menghampirinya. "Lho, San? Tumben di daerah sini. Rumah lo kan di komplek Guava." "Iseng aja jalan-jalan ke komplek sebrang. Gue lihat lo di parkiran tadi, trus gue buntutin aja." Rea langsung mundur selangkah, "Lo ... agak mengerikan, ya?"
Rea menautkan kedua alisnya saat menemukan Kavi sedang duduk di bangku panjang depan ruangan BEM sambil menghisap sebatang rokok dengan tenangnya.Gadis itu menghampirinya. Kavi menoleh, menurunkan rokok yang tinggal seperempat itu hingga abunya berjatuhan."Lo ngerokok?" tanya Rea.Kavi mengangguk kecil. Menyundutkan rokok tersebut bangku berbahan semen tersebut. "Kuliahmu udah selesai?""Sejak kapan?" tanya Rea tanpa menjawab pertanyaan Kavi.Cowok di hadapannya itu malah tersenyum tipis. "Pertanyaanku belum kamu jawab, lho, Re. Mata kuliahmu udah selesai?""Iya. Sekarang jawab gue."Kavi mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Rea. Satu kakinya dia tekuk, menopang pada kaki yang lain. "Aku nggak yakin kamu bakal percaya sama jawabanku."Rea diam tak menyahut. Matanya masih menuntut jawab. Kavi menikmati pemandangan di hadapannya. Kapan lagi
Mobil Rea tiba di depan gerbang kampusnya. Hari ini, Ardi mengantar putri kesayangannya itu untuk melakukan kegiatan Bakti Desa selama tiga hari."Kamu ingat kata Ayah semalam? Jangan lupa—""Iya, Ayah, iya. Rea ingat semua petuah Ayah sejak dua hari kemarin. Rea nggak boleh lupa pakai lotion anti nyamuk, nggak boleh lupa salat, nggak boleh begadang, dan jangan lupa untuk terus keep contact sama Ayah."Ardi tersenyum, "Tapi kamu lupa satu hal sama Ayah.""Hah? Apa lagi, Yah? Kan cuma itu.""Ada lagi, dong. Kamu jangan jauh-jauh dari mantan calon menantu Ayah, ya? Karena dia bakal jadi mata Ayah selama kamu di sana.""What—apa? Apaan, sih, Yah?" Wajah Rea memerah. Ardi menoel pipi anaknya itu."Ciee... salting, ya? Salting tuh pasti. Salting aja lah, Re.""Nggak ada salting-salting. Rea turun. Assalamu'alaikum.""E
Keeksokkan paginya, BEM Kominfo mukai menjalankan proker mereka. Arsan menghampiri Rea yang sibuk mondar-mandi membereskan bekas sarapan teman-temannya."Edrea," panggilnya.Rea menoleh dan mengernyit saat Arsan mengambil alih setumpuk piring kotor yang dia bawa. "Biar gue aja.""Tumben baik," celetuk Rea."Pedes banget, sih, Re. Gue emang selalu baik sama lo. Lo aja yang nggak pernah sadar.""Gue nggak ingat lo pernah baik, San. Lo terlalu rese buat gue."Arsan tertawa kecil. Kemudian membantu Rea mencuci piring. Rea makin mengernyit. "Lo kesambet jin pantai apa gimana? Gue merinding deket lo, San. Udah sana, biar gue yang nyuci.""Apa susahnya nerima bantuan orang, sih, Re? Gue tahu lo capek nyiapin sarapan dari subuh tadi. Mengoordinir orang itu nggak gampang."Rea kemudian mengalah, memilih duduk di kursi kayu sambil melihat Arsan mencuci piri
"Re, maaf, Ayah kayaknya nggak bisa jemput karena harus ke Singapura, ada meeting mendadak. Ini Ayah lagi di jalan mau ke Bandara."Rea bisa mendengar suara samar deru kendaraan lain. Lahir sebagai anak seorang pengusaha dengan segudang aktifitasnya membuat Rea mulai terbiasa dengan pekerjaan ayahnya yang sibuk."Yaudah. Ayah lagi nyetir, kan? Hati-hati di jalan. Nggak ada yang ketinggalan, kan?""Nggak ada, Sayang. Ayah tutup, ya? Baik-baik kamu di rumah. Jangan begadang, jangan telat makan, jangan bawa masuk cowok tanpa izin Ayah. Termasuk mantan calon menantu Ayah.""Ayah," rengek Rea sebal, "Cowok mana yang jadi mantu Ayah?""Siapa lagi? Mantan kamu, dong. Atau udah ada yang baru? Siapa kemarin yang nyulik anak Ayah sampai jam sepuluh malam baru dibalikin? Untung nggak lecet.""Ayah, jangan rese, deh. Aku sama Raga cuma temen."Ardi tertawa di ujung
"Gila! Ini gambar lo? Nggak percaya gue, Ga. Bohong, kan, lo? Hmmpp—"Raga reflek membekap mulut Rea saat gadis itu berseru kencang sambil memelototinya."Duh, toa banget, sih, suara lo, Re. Gue lepas, asal jangan teriak. Deal?" tawar Raga. Rea mengangguk. Raga langsung melepaskan bekapannya."Gila, ya? Kalau tangan lo kotor gimana? Jerawatan, nih, muka gue.""Gaya banget, Re. Sejak kapan lo peduli sama yang namanya glowing, shining, shimmering, splendid? Fyi, ya, tangan gue bersih dari kuman. Udah gue olesin hand sanitizer.""Ba to the cot. Jawab, Ga, ini komik lo yang gambar?""Gimana? Bagus, kan? Udah kayak comic artist, kan? Gue udah bilang, lo nggak bakal nyesel ikut gue." Raga tertawa sombong dengan tangan bersidekap.Raga membawa Rea ke sebuah danau buatan yang untunglah cukup sepi. Cowok itu ingin menunjukkan salah satu hobinya sejak kecil, menggambar.
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta
Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."
"Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be
Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab