Beranda / Romansa / Hello, My EX / Keripik Kentang

Share

Keripik Kentang

Penulis: Chika Andriyani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-22 13:07:28

Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?

"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.

Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea.

"Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."

Gara-gara kata-katanya Arsan, Ra. Gue nggak mungkin bilang gitu, kan? Bisa-bisa lo ngetawain gue lagi.

"Ya ... gitu. Lo ngapain sih, tadi gebrak pintu segala? Bikin orang jantungan aja. Untung ini jantung buatan Tuhan, coba kalau buatan manusia, udah turun ke pinggang kali saking kagetnya."

"Gue dari tadi nyariin lo, Dodol. Kelar matkul langsung cabut aja, gue manggil nggak digubris. Terus tadi gue ketemu kadep lo, katanya lo ada di markas. Kata Arsan lo cuma sendirian di sana, dia takut lo kesurupan jin markas, jadi ya gue di suruh gebrak pintu dulu."

Sialan si Jidat Lapangan. Awas aja besok. Emang nggak cukup apa, gue doang yang didoktrin? Pake segala takut gue kesurupan pula. Yang bikin gue parno kan dia.

"Heh! Malah ngelamun. Woy, Rea-rea!" sentak Ara.

"Hah? Apaan?"

"Lo kenapa, sih? Si Arsan habis ngomong apaan ke lo? Kok mendadak jadi bego gini—aww.. sakit, Nyed. Mentang-mentang anak Jujitsu, maen tendang aja. Kaki, nih, bukan samsak." Ara mengelus kakinya yang baru saja kena tendang.

Gila, tendangannya bukan kaleng-kaleng sakitnya.

"Bersyukur lo cuma gue tendang. Gimana kalau gue sleding? Gue bikin kaki lo di kepala, kepala lo di kaki. Mau?" Rea menunjukkan kepalan tangannya sambil memasang kuda-kuda. Mumpung dia sudah lama tidak menghajar orang, Rea dengan senang hati menguji coba kekuatannya pada Ara. Takut-takut ilmu Jujitsu yang dia pelajari selama ini lenyap.

"Mulut lo, Re, licin banget kayak belut," cibir Ara. Gadis itu langsung merapikan rambutnya yang berantakan tersapu angin sore.

Keduanya kini ada di rooftop sebuah kafe yang memang menjadi tempat biasa mereka nongkrong. Selepas menjemput Rea di Ormawa, Ara langsung menyeretnya ke kafe, meminta gadis itu untuk menemaninya menyesap kopi susu robusta favoritnya. Sekadar info, kopi yang dijual di sini benar-benar nikmat. Aroma, rasa, serta penyajiannya juara. Bahan dasarnya pun sengaja di import dari luar negeri. Tentu, mereka juga punya kopi khas Indonesia.

"Jadi, tadi Arsan ngomong apa sama lo? Penting banget, ya, sampai lo nggak absen?" Ara mengulang pertanyaannya setelah mereka berdua hanya berdiam diri.

"Ya Allah, gue lupa absen! Mampus gue." Rea menepuk keningnya. Bodoh sekali dia sampai lupa bahwa mata kuliahnya yang terakhir selalu absensi di akhir pelajaran.

"Udah gue urus tadi. Gue sampai minta maaf ke Bu Narni, bilang kalau lo ada urusan sama kadep. Baik banget, kan?"

Rea langsung tersenyum sumringah, gadis itu lantas mencubit gemas pipi Ara. "Unch, makasih, Anak Anoa. Jadi makin cinta sama kamu."

"Jijik!" ketus Ara. Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Heh, lo belum jawab pertanyaan gue."

"Oh, masih inget? Kirain udah lupa," ejek Rea. Ara memang paling mudah dialihkan.

"Ngajak berantem, Sist?" Kata-kata Ara terdengar menusuk. Rea kemudian meringis, sadar bahwa dia tidak akan lari. Ara tidak akan melepaskannya.

"Gue sempat ditawarin ikut lomba arsitektur. Dan tadi gue udah mutusin bakal nolak. Menurut lo gimana?"

"Ya ... nggak gimana-gimana. Kalau menurut gue, lo harus ambil kesempatan itu. Soal benefit nggak perlu gue jabarin, kan? Tapi, semua balik lagi ke lo. Yang mau lomba kan lo, Re."

"Gue lagi jenuh, Ra. Tugas makin banyak, kegiatan BEM gue makin padat, belum lagi kerjaan gue di penerbit, terus—"

"Mantan lo yang balik lagi. Itu, kan?" sela Ara cepat. Tampaknya dia paham hal terbesar yang paling berpengaruh bagi Rea.

Rea diam saja. Mulutnya sempat terbuka sedikit, seakan ingin membantah, tapi tertutup lagi. Mengelak pun percuma. Rea tidak bisa benar-benar berbohong. Ara menghela napas pelan.

Memang dia sendiri terkejut dengan kembalinya Kavi ke hidup Rea. Dia juga cukup kesal pada laki-laki itu. Setahun tanpa kabar, lalu kembali membawa gandengan baru, di tambah seseorang yang dia tinggalkan dulu masih menyimpan cinta yang cukup besar untuknya. Jika sudah begitu, siapa yang tidak sakit? Sahabat mana yang tega melihat sahabatnya yang lain menderita? Yang jelas orang itu bukan Ara.

"Gini, ya, Edrea Lovata, yang ngakunya IPK cumlaude, gue nggak ada hak buat nyuruh lo lupain Kavi, gue pun nggak bisa ngontrol perasaan lo harus suka sama siapa, tapi cinta bukan tentang perasaan doang. Logika lo juga harus main. Lo tahu lah apa yang harus lo lakuin, nggak perlu minta pendapat gue, karena lo tahu apa yang gue mau. Lanjutin hidup lo."

"Cinta itu menguatkan, bukan melemahkan. Orang bakal gila kalau cuma nurutin cinta tanpa dipakai otaknya. Dan lo ... lagi ada di fase itu. Satu hal, cinta nggak salah, yang salah itu manusianya."

Rea tampak termenung, Ara memang benar. Tidak ada yang salah dengan cinta, hanya orangnya saja yang tidak bisa memilah mana cinta yang layak untuk diperjuangkan, mana yang tidak.

Raut wajah Rea berubah. Ditepuknya kedua pipi Rea beberapa kali, mencoba menyadarkan diri bahwa cinta itu indah.

"Udah lah, ngapain jadi melow gini, sih?"

"Yang tadi masang muka melas kayak cewek ditinggal lakinya mati, siapa?" tukas Ara pedas. Rea mencibir tanpa suara.

Dalam hati Rea bersyukur dan sangat berterima kasih. Ara memang sadis dalam memberi saran, tidak jarang gadis itu mengatainya yang macam-macam, tapi Rea paham itu semua demi dirinya. Ara adalah sahabatnya yang paling baik. Walaupun dia lebih banyak merugikan Rea.

"Bayarin kopi gue, biaya konsultasi lo barusan." Nah, kan? Ini yang Rea maksud merugikan. Merugikan uang jajan bulanannya.

Padahal tadi siapa yang nyeret gue ke sini?

«••CLBK••»

Kavi baru saja selesai mandi. Tangannya aktif mengeringkan rambutnya yang basah. Laki-laki itu duduk di tepian ranjang, mengecek ponselnya takut-takut ada pesan penting untuknya.

Setelah men-scroll isi WhatsApp-nya, hanya ada notifikasi dari grup BEM, grup sekolahnya dulu, dan Kinara. Ah, gadis itu memang rajin mengiriminya pesan. Kavi membalasnya sejenak, lalu beralih membuka grup BEM yang isinya sudah hampir 100 pesan.

Kaviar Liandra

: Rame banget. Bahas apa aja?

Marham Simatupang : Bro, kemana aja lo? Pembahasan udah masuk klimaks nih.

Anggit Pranaya : Bahas kisah cinta pak ketua dan bu wakil.

Anthony Arsan : Udah dong, kasihan @Edrea Lovata pasti blushing di sana. Diem-diem aja.

Kaviar Liandra : Masih lanjut, nih?

Marham Simatupang : Lanjut dong, Boss. Pak ketua, bisa dijelaskan lebih detail lagi?

Raya Fitriani :Yakin, besok langsung jadi berita heboh. Di sini ada pengabdinya lambe kampus.

Anthony Arsan : Seperti yang kalian kira. Hahaha iya kan, Sayang? @Edrea Lovata

Kavi merasa jantungnya diremas dengan kuat saat membaca pesan Arsan. Laki-laki itu mulai khawatir keduanya memang punya hubungan.

Memangnya lo punya hak apa buat nggak terima hubungan mereka, Kav?

Perhatian Kavi kembali ke ponselnya, ternyata Rea sudah membalas.

Rea Lovata : Bacod kalian! San, nggak usah nyebar gosip!

Tanpa sadar ujung bibir Kavi tertarik, membentuk seutas senyum tipis. Mendadak hatinya lega.

Saat akan membalas pesan di grup, Rea tiba-tiba menelpon via WhatsApp, Kavi membeku sesaat. Ketika akan menjawab, panggilan tersebut langsung terputus. Tak lebih dari 5 detik.

Kaviar Liandra : Re, ada apa nelpon?

Rea Lovata : Kepencet.

Setelah itu, grup kembali ramai dengan kata-kata "ciyeee", "tertikung", dan ujaran-ujaran kocak lainnya.

Di tempat lain, Rea tak henti-hentinya beristigfar saat tangannya entah kenapa bisa memanggil Kavi. Parahnya lagi, laki-laki itu malah bertanya di grup. Makin rusuh saja grupnya. Belum lagi Arsan yang mengatakan bahwa dirinya menduakan Arsan.

Menduakan dengkulmu! Pacaran aja kagak. Arsan nyari ribut memang.

Karena kesal, Rea langsung mematikan akses wi-fi ponselnya supaya tidak ada lagi notifikasi memalukan dari grupnya yang masuk. Dia butuh istirahat lebih awal malam ini. Tentu ditemani debaran yang tak kunjung mereda.

«••CLBK••»

Akhir-akhir ini Rea disibukkan dengan pekerjaannya sebagai ilustrator freelance di sebuah perusahaan penerbit. Dalam dua minggu ini, intensitas kehadirannya di Ormawa bisa dihitung lima jarinya.

Seperti sore ini, selepas rapat untuk seminar kewarganegaraan yang akan diadakan beberapa hari lagi, Rea langsung pulang ke rumah. Dia sampai bilang pada ayahnya kalau dia ingin pulang cepat.

"Re, makan dulu. Nanti dilanjut lagi gambarnya." Ardi berdiri di ambang pintu. Memerhatikan seisi kamar Rea yang mirip kapal pecah.

"Bentar, Yah, sedikit lagi Rea selesai," ucapnya masih fokus pada kertas dan cat airnya.

Ardi melangkah masuk, tangannya aktif memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai, kemudian membuangnya ke tempat sampah.

"Kuliah kamu lancar, kan?" tanya Ardi yang kini duduk di tepian ranjang.

"Lancar." Rea mengangguk. Sesekali dia meminum jus jeruk yang entah sudah gelas ke berapa.

"BEM?"

"Lancar."

"Kerjaan nggak membebani, kan?"

"Semua lancar, Yah."

"Sama mantan lancar dong, ya?"

"Lan ... hah?"

Rea menoleh ke belakang, matanya menyipit tak terima saat ayahnya malah sibuk menertawakannya.

"Ayaaaah! Nggak suka ah, bahas mantan mulu. Nggak ada bahasan lain apa?" sungut Rea. Ardi lantas menghampiri anaknya.

"Yuk, makan dulu. Masa Ayah makan sendiri, sih?" rajuknya. Rea menghela napas, merapikan peralatan menggambarnya, lalu keluar kamar mengikuti sang ayah.

Rea selalu menyukai makan malam bersama Ardi. Meskipun tanpa mama, Rea bersyukur punya Ardi yang bisa berperan sebagai ibu dan ayah secara bersamaan.

"Kamu sudah ada bayangan mau kerja di mana?"

"Entah, Yah. Mungkin, mau langsung lanjut S2 di luar sekaligus cari kerja di sana," jawabnya tenang. Ardi terlihat berpikir sejenak. Sesekali matanya menatap anaknya lalu memandang piring di depannya.

Menyadari diamnya sang ayah, Rea melanjutkan, "Itu pun kalau Ayah mengizinkan. Rea juga nggak mau ninggalin Ayah. Lagian, kenapa Ayah nggak cari istri baru? Bunda juga nggak akan marah kalau Ayah nikah lagi. Rea nggak apa punya Mama baru."

Ardi menghela napas. Dia tersenyum sambil memandang anak satu-satunya. "Untuk saat ini, Ayah cuma mau ngabisin waktu sama kamu. Hati Ayah udah dibawa Bunda, Sayang. Belum ada yang bisa gantiin Bundamu."

Jauh di hati kecil Rea, dia sendiri belum sepenuhnya rela melihat Ayahnya menikah lagi. Rea mungkin tidak punya banyak kenangan bersama ibunya, tapi bayang wajahnya tetap melekat hingga sekarang. Bersyukurlah dia punya foto-foto ibunya.

*****

Rea tampak serius memandangi layar tab sambil sesekali telunjuknya menaik-turunkan layar. Satu tangannya yang lain aktif mengambil keripik kentang hasil jarahan dari kakak tingkat di BEM-nya dan menyuapkan ke mulut. Dia menoleh saat mendengar suara pintu dibuka.

"Masih hobi makan? Pantas itu pipi makin lebar." Laki-laki itu berjalan ke arah Rea, meletakkan jas almamater dan tasnya di sofa lalu duduk di sebelah Rea. Melihat jaraknya yang bisa saja semakin terkikis, Rea langsung mengambil jarak.

"Ngapain?" tanya Rea. Kavi memandangnya bingung. Rea sering bertanya tanpa maksud yang jelas, gadis itu jelas tahu bahwa Kavi bukan orang yang pandai menebak-nebak.

"Maksudnya ngapain?"

Rea terdiam sejenak, bingung juga mau menjawab apa. Akhirnya, Rea memutuskan menggeleng lalu kembali fokus pada tab dan kripik kentangnya.

Tak lama, gadis itu kembali menoleh, "Kalau mau ambil aja," ucapnya sambil melirik cemilannya.

Kavi tersenyum tipis, pria yang kini semakin matang, tampan, dan dewasa itu bersandar pada sofa sambil melonggarkan dasi. Hari ini ada presentasi dan mengharuskan muridnya untuk berpakaian formal. Aksi melonggarkan dasi tersebut tidak luput dari perhatian Rea. Menurutnya, gerakan seperti itu terlihat keren di matanya, apalagi jika dilakukan dengan satu tangan seperti Kavi. Ah, mendadak suhu ruangannya menjadi panas, ya?

Tiga puluh menit tanpa suara entah kenapa membuat mereka nyaman. Kavi yang sibuk membaca proposal, Rea yang sibuk dengan keripik dan tab-nya. Dulu mereka juga seperti ini ketika berdua, lebih banyak menikmati kesunyian, saling melirik, lalu tersenyum malu setelahnya. Hubungan mereka memang belum membaik, tapi tanpa sadar, mereka menemukan kenyamanannya masing-masing.

Rea masih sibuk mengunyah makanan, mulutnya reflek terbuka saat sebuah keripik kentang ada di hadapannya. Tanpa sadar Rea melahapnya. Dikunyahan ketiga, gadis itu baru sadar bahwa tangannya masih ada di dalam bungkus snack. Rea mendongak menatap Kavi yang kini di hadapannya sambil tersenyum tipis.

"Aku masih ada kelas, jangan kebanyakan makan micin, ya? Sampai disuapin aja nggak sadar." Laki-laki itu mengambil tas dan jasnya lalu melangkah keluar ruangan setelah mengambil beberapa keripik kentang Rea.

Dan Rea hanya bisa terpaku dengan wajah semerah tomat. Bagaimana, Re? Sudah move on sejauh mana? Atau ... gagal?

To be continued...

Bab terkait

  • Hello, My EX   Kenalan Baru

    Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya."Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana."Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim."Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagitake

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-22
  • Hello, My EX   Kemenangan

    Sejak pagi, Rea, Desi, dan Paska sudah disibukkan dengan materi presentasi mereka. Semalam, mereka begadangvideo calldengan dosen mereka, meminta saran untuk lomba hari ini.Mereka sudah sampai di Universitas Atmajaya dan sedang menunggu dimulainya kompetisi."Hai," sapa cowok lesung pipi. Rea melebarkan matanya."Lo di sini? Ikut lomba juga?" tanya Rea. Desi tampak memerhatikan cowok tersebut kemudian menjentikkan jari."Ah, cowok kafe itu, kan? Yang lihatin Rea mulu."Raga mengusap belakang lehernya sambil tersenyum malu. "Ketahuan, deh. Gue Ragasta, panggil aja Raga.""Gue Desi dan ini Paska." Desi menunjuk c

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-22
  • Hello, My EX   Kavi, Gitar, & Lagu Kenangan

    "Gue kira kita bakal langsung pulang bukan malah melipir ke tempat entah apa ini namanya."Selepas kuliah, Kavi sudah mencegat Rea dan memaksanya untuk pulang bersama. Rea menerima ajakan Kavi tanpa tahu rencana cowok itu."Gue mau ke suatu tempat dulu. Udah lama gue nggak mampir ke sana." harusnya Rea curiga ketika cowok itu menawarinya tumpangan menggunakan mobil.Malas berdebat lagi, Rea memilih diam, lalu mulai menyamankan posisinya. Tak sampai lima menit, Rea sudah tertidur pulas. Kavi tersenyum melihat betapa mudahnya Rea tidur tanpa khawatir siapa dan bagaimana kondisi sekitarnya. Apa jadinya jika Kavi adalah cowok brengsek, hm?Menempuh jarak yang tidak dekat, keduanya sampai di sebuah rumah yang ada di sebuah desa. Kavi menga

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-22
  • Hello, My EX   Saingan Baru

    Universitas Dharma Jaya menjadi salah satu universitas terbaik yang sejajar keunggulannya dengan Universitas Suryadharma. Kedua kampus tersebut sering terlibat kerja sama dalam berbagai acara."Semua stand by di posisi. Tamu kita sebentar lagi datang," ucap Gilang melalui sebuah smartwatch yang akan terhubung di masing-masing earring anak buahnya.Agenda BEM hari ini adalah menyambut perwakilan BEM Dharma Jaya untuk event penggalangan dana korban Suriah dan Palestina.Di sebelah Gilang sudah ada Arsan, Kavi, dan Rea sebagai penyambut tamu. Mereka dan beberapa anggota BEM terpilih dari semua BEM F akan ikut rapat untuk event gabungan mereka."Kav, Re, kalian langsung ke ruang rapat aja. Gue sama Arsan mau ke depan dulu." Setelah mengatakan itu, Gilang dan Arsan berlalu pergi. Tingallah Kavi dan Rea."Re, yuk." Kavi menarik ujung lengan baju Rea. Gadis itu menurut dan mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-18
  • Hello, My EX   Sehari Bersama Raga

    Minggu pagi di akhir bulan April. Cuaca sedang hangat hari ini, cocok sekali untuk menghabiskan waktu dengan orang terkasih, mengajaknya jalan-jalan atau hanya minum teh bersama di halaman depan rumah.Seperti Rea yang pagi ini sudah siap dengan setelan baju lengan panjang berwarna pink yang ujung baju bagian depannya dimasukkan ke dalam celana jeans biru dongkernya. Rea memoles lipstik pink di bibir tipisnya dan membubuhkan sedikit bedak tipis di wajahnya. Setelah memastikan riasannya tak berlebihan, gadis itu langsung menyambar tas kecil, memeriksa kembali balasan pesan dari Raga dan segera keluar kamar.Ya, Rea dan Raga sudah janjian bertemu di Dufan. Gadis itu juga membawa roti sandwich buatannya untuk mereka makan di sana. Sebenarnya, Raga yang memaksa Rea membuatkan makanan ringan untuk mereka.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-20
  • Hello, My EX   Sehari Bersama Papa

    Rea dan Kavi duduk di bangku taman tak jauh dari rumah Rea. Sepi, sejuk, dan remang. Entah bagaimana, perumahannya lebih sepi dari biasanya seakan mengerti keadaan Rea dan Kavi yang butuh privasi."Gimana jalan-jalan hari ini? Kamu senang?" tanya Kavi. Tidak ada nada marah atau kesal. Itu membuat Rea entah kenapa merasa bersalah."Senang. Kita banyak ngobrol dan naik wahana.""Kamu naik bianglala?" tebak Kavi. Rea mengangguk. "Gimana rasanya naik bianglala?""Nggak sehangat saat Bunda masih ada. Tapi rasanya masih menyenangkan. Kav, dari jam berapa lo di rumah gue?""Dari habis maghrib. Aku habis dari rumah Riko, kebetulan ketemu Om Ardi lagi beli ketoprak di dekat rumah Riko. Dia ng

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Hello, My EX   Mulut Ember Arsan

    Rea tampak mendorong keranjang belanjanya. Matanya menelusuri berbagai bumbu dapur. Dua hari sejak acara barbekyu dadakan, kini Rea harus rela ditinggal ayahnya ke Kalimantan untuk tugas dokternya. Katanya sih, ada seminar gitu. Berhubung bahan makanan di kulkas sedang habis, Rea mau tidak mau berbelanja sendiri. "Paprika udah, bawang putih bubuk udah, oh! kaldu jamur." "Edrea." Rea menoleh ke belakang, mengernyit bingung saat Arsan berjalan menghampirinya. "Lho, San? Tumben di daerah sini. Rumah lo kan di komplek Guava." "Iseng aja jalan-jalan ke komplek sebrang. Gue lihat lo di parkiran tadi, trus gue buntutin aja." Rea langsung mundur selangkah, "Lo ... agak mengerikan, ya?"

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • Hello, My EX   Bertengkar

    Rea menautkan kedua alisnya saat menemukan Kavi sedang duduk di bangku panjang depan ruangan BEM sambil menghisap sebatang rokok dengan tenangnya.Gadis itu menghampirinya. Kavi menoleh, menurunkan rokok yang tinggal seperempat itu hingga abunya berjatuhan."Lo ngerokok?" tanya Rea.Kavi mengangguk kecil. Menyundutkan rokok tersebut bangku berbahan semen tersebut. "Kuliahmu udah selesai?""Sejak kapan?" tanya Rea tanpa menjawab pertanyaan Kavi.Cowok di hadapannya itu malah tersenyum tipis. "Pertanyaanku belum kamu jawab, lho, Re. Mata kuliahmu udah selesai?""Iya. Sekarang jawab gue."Kavi mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Rea. Satu kakinya dia tekuk, menopang pada kaki yang lain. "Aku nggak yakin kamu bakal percaya sama jawabanku."Rea diam tak menyahut. Matanya masih menuntut jawab. Kavi menikmati pemandangan di hadapannya. Kapan lagi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-27

Bab terbaru

  • Hello, My EX   Rumah Raga

    Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.

  • Hello, My EX   Cincin

    Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t

  • Hello, My EX   Gelap

    "Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir

  • Hello, My EX   Mendung

    "Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p

  • Hello, My EX   Raga dan Hobinya

    "Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."

  • Hello, My EX   Home Date

    Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta

  • Hello, My EX   Double Date

    Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."

  • Hello, My EX   Gara-gara Status

    "Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be

  • Hello, My EX   Kesempatan Terakhir

    Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab

DMCA.com Protection Status