Seorang gadis tampak membuang napasnya. Bola matanya bergerak acak memandangi aula kampus yang terlihat ramai pagi ini. Namanya Edrea Lovata yang akrab disapa Rea, mahasiswa semester tiga jurusan arsitektur, anggota BEM F departemen Kominfo.
Gadis itu bersandar pada tembok sambil mengamati para mahasiswa baru yang mondar-mandir mencari kelompoknya.
Hari yang sibuk, pikirnya. Jika bisa, ingin rasanya dia pergi ke tengah aula, berteriak membubarkan kerumunan massa, dan dia bisa cepat pulang lalu tidur. Sayangnya, dia belum segila itu. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Di matanya, para mahasiswa baru yang melaksanakan Ospek hari ini tak lebih dari sekadar nasi tumpeng berjalan. Lihat saja topi kerucut berwarna kuning yang mereka kenakan, benar-benar seperti nasi tumpeng. Melihatnya saja sudah membuat dia kelaparan. Baju setelan hitam putih para mahasiswa baru itu juga mengingatkan Rea pada SPG sebuah produk yang biasa dia temui di mal atau ruko-ruko di perumahannya.
"Kapan kelarnya sih ini acara? Ngantuk banget gue. Mana tugas Pak Karsono belum kelar pula. Nasib mahasiswa sok sibuk."
"Hoy, Edrea," panggil lelaki bernama Arsan. Arsan ini Kadep Infokom alias atasannya.
"Apa?"
"Kerja, malah nyantai di mari. Tuh, ambil kamera lo di si Gilang. Bentar lagi dia pidato, minta di-candid yang cakep katanya buat postingan di IgE. Kartu mahasiswa lo, nih." Arsan melempar kartu tanda pengenal Rea yang dia temukan di ruang Ormawa.
"Mau difoto sama fotografer sekelas Andreas Darwis pun, kalau udah jelek mah jelek aja." Rea lantas berjalan melewati Arsan menuju tempat di mana Gilang berada.
Tidak perlu diambil hati. Seketus apa pun Rea, dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik walau harus menggerutu di awal. Tolong, jangan dicontoh.
"Rea." Langkahnya terhenti dengan kaku. Sang empu nama menegakkan badannya. Dia hapal suara ini, suara yang masih dia rindukan. Suara dari seseorang yang masih berdiri angkuh menjajah hatinya sejak SMA hingga saat ini.
"Kavi? Lo ... di sini?"
Ya, Kaviar Putra Liandra, mantan pacar Rea di SMA. Benarkah sudah mantan? Bahkan keluar kata putus saja tidak. Karena Kavi menghilang tanpa kabar setahun yang lalu, bisakah Rea menyebut dia mantan?
Kavi tersenyum tipis, membenarkan topi kerucut miliknya yang sudah penyok di mana-mana. "Iya. Nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Sekarang udah jadi kating, ya kamu. Jadi ambil jurusan arsitektur?"
"Iya. Hehehe," tawa Rea terdengar sangat dipaksakan. Tidak tahu juga kenapa dirinya tertawa. Seakan ingat sesuatu saat melihat senyum Kavi, Rea bertanya, "Jangan bilang lo ambil jurusan ...." Rea sengaja menghentikan kata-katanya, berharap tebakannya salah. Namun, yang dia dapat malah senyum Kavi yang semakin lebar. Ya ampun, ternyata gini ya, senyumnya cowok yang udah jadi mantan. Kenapa makin mempesona, sih? Eh, mantan? Kapan putusnya?
"Iya, ngambil arsitektur. Cuma beda angkatan."
Boom!!
Rea terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bahwa keduanya akan bertemu kembali. Setelah Kavi menghilang tanpa kabar, Rea seperti tidak tahu arah mencari keberadaan cowok itu. Tidak ada yang bisa membantunya karena Rea tidak akrab dengan teman nongkrong Kavi. Rea hanya bisa berharap Kavi akan menghubunginya lebih dulu, mengajaknya bertemu, dan memberikan penjelasan padanya. Namun, berbulan-bulan berlalu, Kavi tidak juga menghubunginya. Hingga akhirnya hari ini, setelah satu tahun tidak bertemu, Kavi muncul di hadapannya, mengejutkannya dengan menjadi adik tingkatnya di kampus dan berada di fakultas dan jurusan yang sama.
"Kavi!" Baru saja Rea ingin membuka suara, seorang gadis bertubuh tinggi semampai menghampirinya.
Gadis yang cantik, pikir Rea. Matanya coklat bening, rambutnya coklat pirang dengan curly di bagian bawah, make up-nya minimalis membuat gadis itu semakin cantik. Jantung Rea berdegup semakin kencang.
"Kina?"
"Eh, pagi, Kak," sapa gadis bernama Kina. Kepalanya kembali menoleh ke arah Kavi "Kav, ayo, cari kelompok dulu."
"Tunggu—" Kina langsung menarik Kavi menjauh dari Rea yang masih termenung melihat mereka berdua. Ah, lebih tepatnya ke arah tangan yang saling bertautan.
Runtuh semua usaha move on gue.
~o0o~
Edrea Lovata atau yang akrab disapa Rea adalah mahasiswa semester tiga jurusan arsitektur. Selain seorang mahasiswa, dia juga freelancer di sebuah penerbit sebagai ilustrator. Cita-citanya menjadi seorang arsitek seperti mendiang sang ibu. Ayahnya adalah Ardi Diwanggani, seorang pengusaha sukses di bidang meubeul.
Rea menatap lesu barisan nama yang akan Arsan rekrut untuk bergabung di BEM departemen Kominfo. Salah satu nama yang menarik perhatiannya adalah Kaviar Putra Liandra. Iya, Kavi yang itu, mantan pacarnya semasa SMA. Rea menatap Arsan selaku ketua departemen Kominfo di BEM F.
"Ini udah final? Sepuluh orang yang bakal lo terima?"
Arsan mengangguk sambil melepas tasnya. Mata kuliahnya baru selesai dan dia langsung menuju Ormawa, markas anak-anak Kominfo dan seluruh organisasi kampus. Ormawa sendiri adalah sebuah gedung bertingkat dengan banyak ruangan yang khusus dijadikan markas seluruh organisasi kampus. BEM dan HMJ termasuk di dalamnya.
"Kenapa? Ada yang nggak sesuai?"
Ada, San, nama mantan gue di sini. Ah! Nggak mungkin gue bilang gitu, kan? rutuk Rea dalam hati.
"Nggak ada. Kapan mereka mulai gabung sama kita?"
"Masih bulan depan. Oh iya, Kaviar itu belum pasti. Gue belum ngobrol sama dia dan belum nawarin untuk masuk BEM juga. Gue udah ngawasin dia sejak hari pertama Ospek. Dia leader untuk kelompok Ubuntu, kan? Gue suka gaya kepemimpinan dia."
"San," panggil Rea seakan mulai tahu jalan pikiran Arsan. Cowok itu menatap Rea balik. "Lo nggak berencana nyiapin Kavi buat jadi calon Presma periode depan, kan?"
"Hahaha... menurut lo, Re?"
"Gue paham isi otak kalian para pemangku jabatan. Nggak bisa lihat bibit unggul dikit."
"Itu masih lama, Re. Masa jabatan kita juga masih panjang. Nanti aja mikirin itu, kita fokus ke proker aja. Lo udah susun semuanya, kan?
Rea mengangguk, "Nanti gue kasih laporannya. Gue pamit, masih ada kelas."
Rea keluar dari gedung Ormawa dengan langkah lesu. Tidak cukup mengetahui fakta bahwa dia dan Kavi satu fakultas, kini mereka juga akan satu organisasi. Rea tidak mengerti takdir macam apa yang sedang bermain-main dengannya. Satu tahun Rea berusaha melupakan cowok itu, dan saat Rea hampir berhasil, Kavi tiba-tiba muncul di hadapannya. Parahnya, dia tidak sendiri. Ada satu cewek yang kerap ada di sampingnya. Rea tidak berani menebak hubungan mereka seperti apa, tapi sudah pasti keduanya berpacaran.
"Rea-rea!"
Rea menoleh ke belakang, melihat Ara-sahabatnya berlari menghampirinya. "Ngapain lo lari-lari? Mau malak gue karena belum bayar bakso Mbak Tri?"
"Sembarangan kalo ngomong. Gue nyariin lo dari tadi. Kemana, sih? Gue mau ngajakin lo makan malah ditinggal."
"Ke Ormawa. Arsan nyuruh gue ke sana."
"Ah iya! Gue inget, Re. Si Kavi-"
"Stop!" Rea menutup mulut Ara cepat-cepat. Sahabatnya itu mencoba berontak. "Gue lepasin tangan gue asal lo janji buat diem. Paham?" ancam Rea.
Ara mengangguk. Rea lantas melepaskan bekapannya. Ara menghirup oksigen banyak-banyak agar masuk ke dalam paru-parunya. "Sinting lo, Re! Mau coba jadi penjahat buat bunuh gue, hah?"
"Siapa suruh punya mulut nggak ada saringannya. Ngapain lo nyebut-nyebut Kavi?"
"Gue cuma mau konfirmasi aja, itu anak kuliah di sini?"
Rea memutar bola matanya. Tanpa mau menjawab, gadis itu langsung meninggalkan Ara. "Eh! Kok diem aja? Yang tadi gue lihat itu beneran si Kavi? Mantan terindah lo?"
Langkah Rea terhenti dan berbalik menghadap Ara. "Siapa yang bilang dia mantan terindah gue? Kalau terindah, nggak bakal jadi mantan."
"Ya, Gusti, sensi amat hamba-Mu itu. Woy, Rea-rea, tungguin gue dong." Ara berlari kecil menghampiri Rea menuju kelas mereka.
Mantan terindah? Are you fucking kidding me? Gila kali gue nganggep dia terindah.
To be continued...
"Hoy! Ngelamun aja. Nggak ke Ormawa?" Ara, gadis kuncir kuda yang menjadi sahabat Rea sejak SMP menepuk pundaknya cukup keras."Nggak dulu, lah. Suntuk.""Kenapa? Takut ketemu mantan? Yaelah, hari gini gagalmove on? Tenggelam aja ke laut."Rea memukul lengan Ara. Menjejal mulut bocor sahabatnya itu dengan saus tomat yang memang sudah tersedia."Nggak usah sok tahu. Gue nggak ada jadwal piket atau rapat hari ini.""Nggak perlu nyocolin saus ke mulut gue juga kali. Pedes, nih.""Mulut lo emang pantes dicocolin. Masih untung saus tomat, bukan sambel."Rea berdiri, menya
"Hari ini pulang jam berapa, Sayang?" tanya Ardi. Ia sudah sampai di kampus putri kesayangannya. Kegiatan rutin yang selalu dia lakukan yaitu mengantar anak gadisnya ke kampus."Selesai kelas jam tiga, nanti langsung pulang.""Ya sudah, tunggu Ayah, ya?""Aku bisa naik bus atau ojek online, Yah. Kasihan kalau Ayah harus jemput aku dan balik lagi ke kantor.""Justru Ayah lebih tenang kalau kamu Ayah antar jemput. Kejahatan sekarang ada di mana-mana, Re. Ojek online sekalipun."Rea hanya diam, percuma saja membantah ayahnya. Tetap tidak akan menang."Atau ...," sambung Ardi. Melirik Rea yang kini menatapnya.
Rea ingat—jelas ingat—tiga puluh menit yang lalu motormaticKavi meninggalkan area kampus bersama Kina. Namun, kini laki-laki itu sudah ada di hadapannya lagi. Kemana Kina?"Lo ngapain di sini?""Tukang ojeknya bilang nggak bisa jemput kamu," jawab Kavi. Di pangkuannya sudah ada helm yang tadi Kina pakai."Hah?""Kamu tadi bilang pulang sama ojek, kan?"Bego banget, sih, Re! Lo kan tadi bilang begitu."Oh i-iya, ini lagi nungguin tukang ojek.""Ya sudah, yuk, pulang.""Hah? Nggak usah. Gue
Kavi baru saja selesai latihan paskibra dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Rea. Rutinitas mereka berdua adalah Rea yang selalu menemani Kavi latihan paskibra, begitu pun Kavi yang selalu menunggui Rea saat pertemuan PMR."Ini apa?" tanya Kavi saat Rea memberikan selembar kertas padanya.Rea tersenyum. "Buka, dong. Nanya mulu."Kavi tersenyum tipis, membuka lembaran tersebut dan terkejut saat melihat sebuah sketsa rumah minimalis. "Ini kamu yang gambar?""Iya, dong, masa Ayah. Ayah nggak bisa gambar. Bikin garis lurus aja harus percobaan lima kali.""Bagus banget! Rea pinter ih, gambar rumah. Ini tipe aku banget, Re. Minimal
"Pagi, Papa Ardi Diwanggani," sapa Rea dengan ceria. Wajahnya tersenyum kala menatap Ardi yang masih sibuk dengan penggorengannya."Pagi, Sayang. Gimana tidurnya semalam?" Ardi mencium kening Rea dengan lembut. Rea terlihat mengangguk sambil mencicipi tumis kangkung buatan papanya."Nyenyak seperti biasa. Agak insomnia, Yah. Hmm... enak." Rea bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempolnya.Ardi adalah koki andalan di keluarga kecil mereka. Mamanya bisa memasak, tapi, tidak seenak buatan papanya. Malah, papanya lebih sering memasak untuk mereka, baik saat sarapan atau makan malam. Toh, Ardi memang suka memasak. Berbanding terbalik dengan mamanya yang baru masak setelah Rea lahir."Mikirin apa, sih? Pasti mikirin Ayah, kan? Kangen
Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea."Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."
Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya."Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana."Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim."Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagitake
Sejak pagi, Rea, Desi, dan Paska sudah disibukkan dengan materi presentasi mereka. Semalam, mereka begadangvideo calldengan dosen mereka, meminta saran untuk lomba hari ini.Mereka sudah sampai di Universitas Atmajaya dan sedang menunggu dimulainya kompetisi."Hai," sapa cowok lesung pipi. Rea melebarkan matanya."Lo di sini? Ikut lomba juga?" tanya Rea. Desi tampak memerhatikan cowok tersebut kemudian menjentikkan jari."Ah, cowok kafe itu, kan? Yang lihatin Rea mulu."Raga mengusap belakang lehernya sambil tersenyum malu. "Ketahuan, deh. Gue Ragasta, panggil aja Raga.""Gue Desi dan ini Paska." Desi menunjuk c
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta
Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."
"Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be
Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab