Kiran terkesiap ketika mendengar teriakan Lita, ia pun menoleh ke belakang di mana ia sudah melihat Lita dan Arka di sana. Lita berjalan cepat ke arah kiran, ia lalu mengambil alih Cleo yang masih dalam gendongan Kiran."Cleo, Sayang! Astaga, kamu bikin mama panik!" Lita memeluk Cleo erat-erat. Ia mencium anaknya dengan lega, sementara Cleo tampak kebingungan dengan kegaduhan di sekitarnya.Setelah memastikan Cleo aman di pelukannya, Lita menatap ke arah Kiran. "Kiran, aku tahu kamu sedang sedih. Tapi tidak seharusnya kamu membawa Cleo ke kolam ikan seperti ini. Kamu hampir mencelakai anakku!" Kiran tertegun mendengar perkataan Lita. "Apa maksudmu?" "Kamu sengaja ingin menjatuhkan Cleo ke kolam, 'kan? Karena kamu sakit hati. Anakmu sudah tidak ada, jadi kamu ingin melukai anakku!" Kata-kata itu seperti duri yang menghujam hati Kiran. Bagaimana bisa wanita itu menuduhnya begitu kejam? Kiran menatap Lita dengan pandangan marah yang tertahan, bibirnya bergetar menahan emosi."Lita!"
"Mama ..." Kiran memeluk Maria erat, perasaan bersalah mulai menggelayuti hatinya, apalagi ketika ia mengatakan sesuatu yang mungkin telah menyakiti hati ibu mertuanya itu. "Maafkan aku, Ma ... aku tidak bermaksud bicara seperti itu kepada Mama ...."Punggung Kiran bergetar, Maria segera mengelusnya dengan lembut. Ia terkejut sekaligus bahagia bahwa Kiran akhirnya menjenguknya. Maria sempat berpikir Kiran benar-benar marah dan membencinya setelah kejadian itu."Tidak, Sayang. Seharusnya mama yang minta maaf ... semua ini salah mama."Kiran melepaskan pelukannya, sorot matanya menatap Maria begitu hangat, meskipun air matanya masih berlinang di pelupuk mata. "Tidak, Ma. Aku tahu Mama tidak bersalah. Aku yakin ada seseorang yang sengaja memasukkan obat itu ke tas Mama."Hati Maria begitu lega ketika mengetahui bila ternyata Kiran percaya padanya. Dengan perlahan, Maria menghapus air mata yang masih mengalir di pipi Kiran. "Mama juga berpikir seperti itu, Sayang.""Semua ini pasti ulah L
Kiran keluar dari kamar mandi, sembari menggosok rambut basahnya menggunakan handuk. Piyama satin berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga kecil terlihat manis di tubuhnya. Ketika Kiran berjalan menuju tempat tidur, tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya yang tergeletak di atas meja rias menarik perhatiannya. Ia segera menghampiri meja itu, meletakkan handuk di kursi terdekat, dan meraih ponselnya. Sebuah pesan baru dari sahabatnya, Intan, muncul di layar. Intan : "Ran, nanti malam longgar gak?" Kiran : "Iya, ada apa emangnya?" Intan : "Kamu lupa kalau hari ini ulang tahun Hena?" Kiran langsung menepuk jidatnya karena lupa. Bagaimana bisa ia melupakan ulang tahun Hena, salah satu sahabat dekat mereka? Ia memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini, tapi tetap saja, ini bukan sesuatu yang seharusnya terlupakan. Kiran : "Nanti malam aku gak ada acara kok. Jadi, kalian rencana ngumpul di mana?" Intan : "Mau ikut gabung? Kita rencana mau makan-makan santai aja di Cafe
Kiran meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, membuka aplikasi pesan berwarna hijau sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi. Tubuhnya sedikit membungkuk, ia terus fokus melihat ke arah layar ponsel yang kini ada di pangkuannya. Jari jemari lentiknya bergerak cepat menggeser layar ke bawah untuk mencari nama Arga di daftar kontaknya. Setelah menemukannya, Kiran terkejut.'Kenapa foto profil Kak Arga hilang?' gumamnya dalam hati. Yang terlihat hanya gambar donat tergigit berwarna abu-abu, bukan foto Arga seperti biasanya. Rasa penasaran membuatnya mengetik sebuah pesan singkat kepada Arga.Kiran : PIa menunggu beberapa saat, tetapi pesan itu hanya tercentang satu. 'Kenapa ceklis satu? Apa nomorku diblokir sama Kak Arga?' pikir Kiran, ia merasa gusar. Napasnya terdengar berat saat ia meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja.Kiran melihat jam di pergelangan tangannya. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh. Ia merasa malam ini sudah cukup dan tak ingin berlama-lama la
Kiran membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah-olah baru saja melewati malam yang panjang dan melelahkan. Ia terduduk di ranjang, matanya menyapu sekeliling kamar yang sepi dan asing. Kamar itu gelap, hanya sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup gorden tebal. Wanita yang masih berumur 27 tahun itu mencoba mengingat kembali apa yang terjadi padanya. "Aku di mana?" Kiran menyentuh kepalanya yang masih terasa pening. "Awh! Kepalaku sakit sekali." Ingatannya kembali pada malam sebelumnya, ketika ia hendak mencari taksi. Namun tiba-tiba mobil berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Orang yang ada di mobil itu keluar dan tiba-tiba menarik tubuhnya masuk ke mobil. "Siapa mereka? Kenapa mereka menculikku?" Kiran meringis sambil menepuk pelan kepalanya lagi yang terasa berdenyut. Ia berangsur turun dari tempat tidur. Meski tubuhnya masih lemah karena efek obat bius, tapi ia harus segera keluar dari tempat ini. Tas Kiran tergeletak
Aldo mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika mengetahui Kiran telah merekam pembicaraan mereka sejak awal. Pria beralis tebal itu memandang Lita sambil menahan emosi. "Siapa yang menerima rekaman itu?" tanyanya tajam. Lita menggigit bibir bawahnya. "Maria," gumamnya pelan. "Kiran sudah mengirim rekaman ini kepada wanita tua itu." Mendengar nama Maria, Aldo semakin murka. "Wanita tua itu!" desisnya. Ia lalu segera memberi perintah kepada Lita. "Pergi temui wanita itu. Jangan sampai dia menyebarkan rekaman tersebut. Hentikan dia dengan cara apa pun." "Tapi, bagaimana dengan Kiran?" tanyanya gugup, sambil melirik ke arah Kiran yang masih tergeletak di lantai. Aldo mendekati tubuh Kiran yang tak berdaya, lalu berjongkok di sampingnya. Ia menyentuh rambut Kiran, merapikan helaian yang menutupi wajah wanita itu. "Aku yang akan mengurusnya di sini." "Baiklah." Tanpa berkata apa-apa lagi, Lita segera keluar dari ruangan itu. Setelah Lita pergi, Aldo kembali menatap Kiran yang mas
"Mama!" Kiran tiba-tiba bermimpi buruk tentang ibu mertuanya. Napasnya pun tersengal-sengal, sampai tubuhnya sudah basah oleh keringat. "Ada apa ini? Kenapa aku mimpi buruk?" Kiran mengusap keringat seukuran biji jagung di dahi. Namun, saat tangannya mulai bergerak, pundaknya terasa nyeri. "Aduh! Pundakku sakit sekali," rintih Kiran, seraya mengelus pundaknya. Wanita itu mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia tersadar bila masih berada di kamar yang sama, kamar yang asing dan menyeramkan baginya. "Ternyata aku masih ada di sini." Kiran menghembuskan napas gusar sebelum bergumam kembali. "Aku harus keluar dari sini." "Di mana ponselku?" Tiba-tiba, Kiran teringat akan ponselnya. Dengan cepat, ia turun dari ranjang, meskipun tubuhnya terasa lemas, tapi ia berusaha bertahan untuk mencari keberadaan ponselnya. Kiran hanya ingin memastikan bahwa rekaman tersebut sudah terkirim kepada Maria. Karena rekaman itu adalah satu-satunya bukti yang ia punya. Namun
"Ma ... ayo bangun ...!" Kiran begitu pilu menyaksikan Maria yang tak berdaya, ia sudah menepuk wajah Maria pelan, berharap ibu mertuanya itu akan bangun, tapi Maria tak kunjung sadar. Tak kuat melihat itu semua, Kiran mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap menemukan bantuan. Ia segera teringat pada Bi Sri. "Bi ... Bi Sri!" teriak Kiran. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang tergesa-gesa mendekat. Bi Sri berlari dari arah dapur. "Iya, Non! Ada apa?" Suara Bi Sri tercekat ketika pandangannya jatuh pada tubuh Maria yang tergeletak bersimbah darah di bawah tangga. "Ya Tuhan, Nyonya! Apa yang terjadi, Non?" Bi Sri mendekat dengan cepat, ia lalu berjongkok di samping Kiran sambil menatap Maria. "Aku juga tidak tahu, Bi ... kita harus segera membawa Mama ke rumah sakit!" Kiran berusaha mengendalikan suaranya yang gemetar, meski air mata terus mengalir di pipinya. "Dari tadi Bibi ke mana saja?" "Bibi baru saja pulang dari pasar, Non." "Kita harus cepat,