Aldo mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika mengetahui Kiran telah merekam pembicaraan mereka sejak awal. Pria beralis tebal itu memandang Lita sambil menahan emosi. "Siapa yang menerima rekaman itu?" tanyanya tajam. Lita menggigit bibir bawahnya. "Maria," gumamnya pelan. "Kiran sudah mengirim rekaman ini kepada wanita tua itu." Mendengar nama Maria, Aldo semakin murka. "Wanita tua itu!" desisnya. Ia lalu segera memberi perintah kepada Lita. "Pergi temui wanita itu. Jangan sampai dia menyebarkan rekaman tersebut. Hentikan dia dengan cara apa pun." "Tapi, bagaimana dengan Kiran?" tanyanya gugup, sambil melirik ke arah Kiran yang masih tergeletak di lantai. Aldo mendekati tubuh Kiran yang tak berdaya, lalu berjongkok di sampingnya. Ia menyentuh rambut Kiran, merapikan helaian yang menutupi wajah wanita itu. "Aku yang akan mengurusnya di sini." "Baiklah." Tanpa berkata apa-apa lagi, Lita segera keluar dari ruangan itu. Setelah Lita pergi, Aldo kembali menatap Kiran yang mas
"Mama!" Kiran tiba-tiba bermimpi buruk tentang ibu mertuanya. Napasnya pun tersengal-sengal, sampai tubuhnya sudah basah oleh keringat. "Ada apa ini? Kenapa aku mimpi buruk?" Kiran mengusap keringat seukuran biji jagung di dahi. Namun, saat tangannya mulai bergerak, pundaknya terasa nyeri. "Aduh! Pundakku sakit sekali," rintih Kiran, seraya mengelus pundaknya. Wanita itu mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia tersadar bila masih berada di kamar yang sama, kamar yang asing dan menyeramkan baginya. "Ternyata aku masih ada di sini." Kiran menghembuskan napas gusar sebelum bergumam kembali. "Aku harus keluar dari sini." "Di mana ponselku?" Tiba-tiba, Kiran teringat akan ponselnya. Dengan cepat, ia turun dari ranjang, meskipun tubuhnya terasa lemas, tapi ia berusaha bertahan untuk mencari keberadaan ponselnya. Kiran hanya ingin memastikan bahwa rekaman tersebut sudah terkirim kepada Maria. Karena rekaman itu adalah satu-satunya bukti yang ia punya. Namun
"Ma ... ayo bangun ...!" Kiran begitu pilu menyaksikan Maria yang tak berdaya, ia sudah menepuk wajah Maria pelan, berharap ibu mertuanya itu akan bangun, tapi Maria tak kunjung sadar. Tak kuat melihat itu semua, Kiran mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap menemukan bantuan. Ia segera teringat pada Bi Sri. "Bi ... Bi Sri!" teriak Kiran. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang tergesa-gesa mendekat. Bi Sri berlari dari arah dapur. "Iya, Non! Ada apa?" Suara Bi Sri tercekat ketika pandangannya jatuh pada tubuh Maria yang tergeletak bersimbah darah di bawah tangga. "Ya Tuhan, Nyonya! Apa yang terjadi, Non?" Bi Sri mendekat dengan cepat, ia lalu berjongkok di samping Kiran sambil menatap Maria. "Aku juga tidak tahu, Bi ... kita harus segera membawa Mama ke rumah sakit!" Kiran berusaha mengendalikan suaranya yang gemetar, meski air mata terus mengalir di pipinya. "Dari tadi Bibi ke mana saja?" "Bibi baru saja pulang dari pasar, Non." "Kita harus cepat,
Arka berdiri terpaku, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Istri yang ia cintai, yang selama ini ia percayai sepenuh hati, ternyata telah mengkhianatinya. Rasa sakit dan amarah sudah menggrogoti hatinya. Selama ini, ia pikir cinta Kiran hanya untuknya, tetapi kenyataannya semua itu salah. Arka tahu bahwa dirinya juga pernah khilaf dan mengkhianati Kiran, tetapi dia tak pernah menyangka bahwa Kiran akan membalasnya dengan cara yang sama. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu terlihat begitu kesal?" Lita bertanya ketika melihat wajah suaminya ditekuk. "Bagaimana aku tidak kesal? Lihat ini sendiri!" Arka melemparkan foto-foto tersebut ke atas meja, seolah membuang seluruh rasa kecewanya di sana. Lita segera meraih foto-foto itu, ia terkejut saat melihatnya. Wajahnya tampak seperti diliputi rasa syok, meski sebenarnya ia sudah tahu apa yang akan ia lihat. "Ya Tuhan, Kiran … Ini … ini benar-benar Kiran, Mas?" "Aku benar-benar tidak habis pikir dengan dia! Bagaimana bisa
Bi Sri tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada Arka tentang bagaimana Maria bisa terjatuh dari tangga. Ia melihat sendiri pertengkaran Maria dengan anaknya. Meski begitu, wanita tua itu begitu khawatir tentang bagaimana situasi yang akan terjadi bila Arka tahu tentang kejadian yang sebenarnya. Arka pasti marah, bahkan mungkin mengusir Lita dari rumah. Bi Sri tak ingin hidup anaknya susah lagi seperti dulu. Ia mengingat bagaimana mereka begitu kesusahan. Suaminya telah meninggal, meninggalkan mereka dalam kondisi yang sangat susah. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kekurangan, tak punya tempat tinggal, apalagi makanan yang cukup. Jika bukan karena Aldo, yang membantu mereka, mungkin mereka masih hidup dalam kemiskinan hingga kini. "Bi, kenapa Bibi diam?" Arka mendesak Bi Sri agar segera menceritakan semua yang ia tahu. "Bibi tidak perlu takut, katakan saja yang sebenarnya." Arka berharap Bi Sri akan menceritakan semua kebenaran. Selama ini, yang ia tahu wanita itu selalu ju
Kiran menatap foto-foto itu dengan perasaan kacau balau. Seluruh tubuhnya gemetar saat ia melihat gambar dirinya tidur di samping seorang lelaki yang telanjang dada. 'Ini tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan ini. Ini pasti ulah Lita dan kakaknya, mereka bersekongkol untuk menghancurkan hidupku.' "Kenapa kamu hanya diam? Apa kamu tidak bisa menyangkalnya, Kiran? Apa kamu bahkan tidak punya penjelasan untuk ini?" Kiran berusaha mengumpulkan keberaniannya. Pandangannya menatap ke arah Arka lagi. "Mas … ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ini semua … ini pasti ulah Lita yang ingin menjebakku!" "Aku sudah muak dengan semua kebohonganmu, Kiran! Foto-foto ini adalah bukti nyata dari pengkhianatanmu!" "Mas, aku bersumpah, aku tidak pernah melakukan apa yang terlihat di foto-foto ini!" Mata Kiran sudah berkaca-kaca, ia begitu bingung bagaimana caranya agar Arka bisa percaya padanya lagi. Tatapan Arka semakin dingin, rasa sakit di hatinya semakin dalam. "Kiran, aku sudah mencob
Kiran berharap apa yang didengarnya barusan hanyalah mimpi buruk. Kata-kata Arka telah menghancurkan seluruh harapan dan mimpi yang pernah mereka bangun bersama. Jantungnya terasa berhenti berdetak, dan napasnya tertahan di tenggorokan. Kiran tidak pernah menyangka, tidak pernah membayangkan bahwa Arka—lelaki yang ia cintai—akan menalaknya dengan begitu mudah, seakan semua yang telah mereka lalui tidak berarti apa-apa. Rasa sakit yang menghujam dadanya terasa begitu nyata, dan Kiran ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak lebih dari sekadar mimpi buruk yang akan segera berakhir. Kiran menatap Arka, sorot matanya sudah berkaca-kaca. Ia berharap semua yang didengarnya itu tidaklah benar. "Apa yang kamu katakan ini tidaklah benar, kan, Mas? Kamu tidak mungkin menceraikan aku?" "Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga kita." Suara Arka begitu datar. Seolah-olah keputusan itu sudah lama ia pikirkan dan akhirnya ia ungkapkan tanpa beban. Mendengar kata-kata Arka, hat
Bi Sri menarik tangan Lita, membawa anaknya itu ke area rumah sakit yang lebih sepi. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong sempit yang tidak banyak dilalui orang. Setelah memastikan tidak ada orang lain yang mendengar, Bi Sri melepaskan cengkeramannya dan menatap tajam ke arah Lita. "Nak, kamu harus berhenti melakukan hal-hal seperti ini. Ibu mohon, jangan terus-terusan menghancurkan kehidupan orang lain. Ini sudah cukup, Nak. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Bi Sri berusaha menasehati Lita agar anaknya tidak melakukan hal-hal diluar kendalinya lagi. Namun, Lita hanya menatap ibunya dingin, ia bersedekap dada seolah menolak setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. "Jangan urusi aku, Bu. Sekarang Cintya pasti sudah tenang di alam sana, karena aku sudah membalas dendamnya. Semua ini kulakukan untuk dia." Mendengar kata-kata Lita, hati Bi Sri semakin hancur. Lita telah berubah menjadi seseorang yang keras dan tak kenal belas kasihan. Namun, ia tetap mencoba me