Arga menatap jendela ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Ia melihat pemandangan kota yang mulai gelap. Sudah hampir empat bulan ia berada di Surabaya, memimpin cabang baru perusahaan yang ditugaskan kepadanya. Meski begitu, rasa rindu kepada keluarga mulai menggelayuti hatinya. Arga pun memutuskan bahwa waktunya untuk pulang sudah tiba. Ketika Arga mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit, Arga pun begitu cemas. Rasa khawatir yang mendalam membuatnya ingin segera pulang ke Jakarta dan melihat kondisi ibunya secara langsung. Ia bahkan berencana untuk memajukan jadwal kepulangannya, tak peduli berapa banyak pekerjaan yang harus ditinggalkan. Namun, adiknya meyakinkan bahwa tidak perlu tergesa-gesa. Arka menyuruh agar Arga menyelesaikan dulu pekerjaannya. Meski begitu, kekhawatiran Arga tak kunjung hilang. Ia merasa waktu untuk pulang sudah tidak bisa ditunda lagi. Arga menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan di dadanya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di
"Ya, Arga, aku serius. Dia akan berangkat sekarang. Kalau kamu mau ketemu dia, kamu harus buru-buru. Dia mungkin sudah di bandara sekarang." "Baik, apa kamu punya nomor Kiran yang baru?""Ya, aku punya.""Tolong kirim nomor Kiran segera!""Baiklah.""Terima kasih," jawab Arga cepat sebelum segera mengakhiri panggilan dan bergegas menuju bandara.Satu pesan dari Vanya sudah muncul, ia pun segera menyimpan nomor Kiran yang baru. Arga berusaha menghubungi Kiran, tapi yang ada hanya suara operator yang sibuk.Arga semakin kesal, ia pun langsung berlari secepat mungkin menuju lift. Langkah-langkah kakinya bergema di lorong rumah sakit yang sepi. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, tapi ia tidak peduli. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift berulang kali, berharap pintu logam itu segera terbuka. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kepanikan yang mulai merayap di dada."Masih ada waktu, dia pasti belum berangkat. Aku harus menemukannya." Namun, di balik tekadnya yang kuat,
Kiran mencoba mengedarkan pandangannya ke segala arah, berusaha mencari sosok yang tadi memanggil namanya. Namun sayang, pandangannya terbatas oleh keramaian orang yang berlalu lalang di bandara. Ia merasa bingung. "Mungkin aku hanya salah dengar …," gumam Kiran pelan. "Maaf, Mbak. Silakan lanjutkan, antrian sudah panjang di belakang," ucap petugas bandara yang berjaga di depannya. Kiran mengangguk, ia tersadar dari lamunannya. "Baik, Mbak." Dengan langkah berat dan hati yang belum sepenuhnya yakin, ia menyeret kopernya, menuju gerbang keberangkatan. Tempat di mana pesawatnya sudah siap menunggu untuk mengantarnya pergi. Sementara itu, dari kejauhan, Arga masih berusaha memanggil Kiran lagi. "Kiran!" teriaknya sekuat tenaga. Namun kali ini, Kiran sudah benar-benar melangkah masuk. Napas Arga terengah-engah, dadanya bergemuruh hebat karena kelelahan. Semua usahanya seakan tak membuahkan hasil. Kakinya mulai terasa berat, paru-parunya seperti terbakar oleh dinginnya udara mala
Kiran menunggu dengan sabar, berharap orang yang ia hubungi segera mengangkat teleponnya. Waktu seolah berjalan lambat, dan meski ia menunggu beberapa menit, tak ada jawaban dari ujung sana. Kiran mendesah pelan, ia berencana untuk menutup panggilan, ketika akhirnya suara dari seberang sudah mulai terdengar. "Halo?" suara Arga terdengar lelah. Tapi Kiran tidak mendengarnya karena saat itu, suara ibunya memanggil dari lantai bawah. "Kiran!" seru Kinanti. "Iya, Ma!" jawab Kiran sambil buru-buru memutus panggilan, tanpa sadar bahwa orang yang ia hubungi baru saja menjawab. Ponselnya ia letakkan di atas meja, sebelum ia berlari keluar dari kamar menuju ibunya. Arga di seberang sana mengernyitkan dahi. "Kiran?" tanyanya lagi, tapi panggilannya sudah terputus. Ia menatap ponselnya dengan bingung. Sementara itu, Kiran berlari menuruni tangga, gegas menemui ibunya yang sudah menunggunya di ruang tengah, tak sadar bahwa ia baru saja memutuskan panggilan dari seseorang yang sedang mencarin
Kiran terdiam, tubuhnya mematung saat melihat Arga—lelaki yang sudah lama tak ia jumpai—berjalan mendekat. Ia tak pernah menyangka bisa bertemu dengannya di sini. Jantung Kiran sudah berdebar, otaknya berputar memikirkan alasan kenapa Arga tiba-tiba ada di sini? Waktu seakan berhenti sesaat. Arga terlihat semakin dewasa dan tampan. Lelaki itu mengenakan kaos dengan jaket casual musim dingin berwarna hitam yang rapi. Tatapannya begitu dalam seakan begitu banyak beban yang tak pernah ia ungkapkan. Sudah lama mereka tak bertemu. Kiran selalu membayangkan pertemuan ini, tapi ia tak pernah berpikir akan sesulit ini. Ketika Arga tiba di hadapannya, tanpa sepatah kata pun, lelaki itu langsung menarik Kiran ke dalam pelukannya. Tangan kekar Arga melingkar erat di bahu Kiran. Seolah mencoba menyalurkan semua kerinduan dan penyesalan yang telah lama dipendam. Kiran hanya membeku, meresapi kehangatan dari tubuh Arga. Entah mengapa, perasaan Kiran begitu damai saat Arga mengelus rambutnya
Arga yang sejak tadi hanya diam di pintu, ia melangkah maju seraya tersenyum. "Halo, Tante," sapanya. Kinanti berdiri dengan cepat, ia tampak terkejut melihat Arga yang tiba-tiba ada di hadapannya. "Arga ...?" Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam. James, ayah Kiran, keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. "Ada tamu siapa, Ma?" tanyanya. Ketika James melihat ke arah pintu dan mendapati Arga berdiri di sana, ekspresinya langsung berubah. Raut wajahnya yang tenang berubah tegang. "Kamu?" Arga berdiri kaku, tidak tahu bagaimana harus merespon. Dia tahu, hubungannya dengan keluarga ini begitu banyak luka yang belum sembuh sepenuhnya. Tapi dia tetap tersenyum dengan tenang. "Om James, aku hanya mampir sebentar. Lama tidak bertemu." James menatap Arga dengan dingin untuk sesaat, sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Silakan masuk. Duduklah!" katanya, meski suaranya terdengar tegang. Arga kemudian duduk di sofa, berhadapan langsung dengan James,
Kiran mencoba memaksakan senyum kecil. Namun itu hanya menambah rasa perih di dalam hatinya. 'Ah, pasti itu Vanya,' bisiknya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan dirinya berharap lebih. Arga memang baik padanya, tapi jelas, pria itu tak mungkin menyimpan perasaan lebih dari sekadar hubungan saudara ipar. James memperhatikan Kiran yang mulai tampak tidak nyaman. Dia mengalihkan pandangannya kembali ke Arga. "Yah, kami hanya berharap kamu bisa segera menemukan kebahagiaan, Ga. Siapa pun wanita itu, kami yakin dia adalah orang yang baik." "Terima kasih, Om," jawab Arga sambil tersenyum, meski di dalam hatinya, kata-kata James justru menambah beban perasaannya. Kinanti menepuk bahu suaminya. "Betul, Ga. Jangan terlalu lama menunggu. Kehidupan itu singkat, jangan sampai kamu kehilangan kesempatan dengan orang yang kamu cintai." Arga mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya, ia tahu situasinya jauh lebih rumit daripada yang bisa ia jelaskan. Tatapannya sekilas melirik ke arah
Kiran berjalan menyebrang jalan setelah melihat Arga dan wanita itu telah menyadari keberadaannya. Ia tersenyum kecil, menutupi kecanggungan yang tiba-tiba merayapi dirinya. Begitu ia mendekat, Arga pun tersenyum tipis, meski terlihat sedikit kaget. "Aku gak nyangka kita bakal ketemu di sini," sapa Kiran ketika sudah berada di dekat mereka. Arga menatapnya sejenak, kemudian menjawab, "Kamu ngapain di depan cafe?" "Aku ada janji dengan teman, tapi dia belum datang," jawab Kiran sambil memandang wanita yang berdiri di samping Arga. Wanita itu mengenakan blus putih dengan detail renda di bagian lengan dan rok pensil hitam, tampak formal, tapi terlihat tetap elegan. Sementara Kiran sendiri mengenakan gaun selutut berwarna biru muda, dengan cardigan putih tipis yang menutupi bahunya. Tatapannya sempat bertemu dengan wanita itu, seolah-olah ada pertanyaan tak terucap yang mengalir di antara mereka. "Oh iya, kenalkan. Ini Nina, sekretarisku," kata Arga sambil memperkenalkan wanita
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.