Bi Sri menarik tangan Lita, membawa anaknya itu ke area rumah sakit yang lebih sepi. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong sempit yang tidak banyak dilalui orang. Setelah memastikan tidak ada orang lain yang mendengar, Bi Sri melepaskan cengkeramannya dan menatap tajam ke arah Lita. "Nak, kamu harus berhenti melakukan hal-hal seperti ini. Ibu mohon, jangan terus-terusan menghancurkan kehidupan orang lain. Ini sudah cukup, Nak. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Bi Sri berusaha menasehati Lita agar anaknya tidak melakukan hal-hal diluar kendalinya lagi. Namun, Lita hanya menatap ibunya dingin, ia bersedekap dada seolah menolak setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. "Jangan urusi aku, Bu. Sekarang Cintya pasti sudah tenang di alam sana, karena aku sudah membalas dendamnya. Semua ini kulakukan untuk dia." Mendengar kata-kata Lita, hati Bi Sri semakin hancur. Lita telah berubah menjadi seseorang yang keras dan tak kenal belas kasihan. Namun, ia tetap mencoba me
Arga menatap jendela ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Ia melihat pemandangan kota yang mulai gelap. Sudah hampir empat bulan ia berada di Surabaya, memimpin cabang baru perusahaan yang ditugaskan kepadanya. Meski begitu, rasa rindu kepada keluarga mulai menggelayuti hatinya. Arga pun memutuskan bahwa waktunya untuk pulang sudah tiba. Ketika Arga mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit, Arga pun begitu cemas. Rasa khawatir yang mendalam membuatnya ingin segera pulang ke Jakarta dan melihat kondisi ibunya secara langsung. Ia bahkan berencana untuk memajukan jadwal kepulangannya, tak peduli berapa banyak pekerjaan yang harus ditinggalkan. Namun, adiknya meyakinkan bahwa tidak perlu tergesa-gesa. Arka menyuruh agar Arga menyelesaikan dulu pekerjaannya. Meski begitu, kekhawatiran Arga tak kunjung hilang. Ia merasa waktu untuk pulang sudah tidak bisa ditunda lagi. Arga menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan di dadanya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di
"Ya, Arga, aku serius. Dia akan berangkat sekarang. Kalau kamu mau ketemu dia, kamu harus buru-buru. Dia mungkin sudah di bandara sekarang." "Baik, apa kamu punya nomor Kiran yang baru?""Ya, aku punya.""Tolong kirim nomor Kiran segera!""Baiklah.""Terima kasih," jawab Arga cepat sebelum segera mengakhiri panggilan dan bergegas menuju bandara.Satu pesan dari Vanya sudah muncul, ia pun segera menyimpan nomor Kiran yang baru. Arga berusaha menghubungi Kiran, tapi yang ada hanya suara operator yang sibuk.Arga semakin kesal, ia pun langsung berlari secepat mungkin menuju lift. Langkah-langkah kakinya bergema di lorong rumah sakit yang sepi. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, tapi ia tidak peduli. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift berulang kali, berharap pintu logam itu segera terbuka. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kepanikan yang mulai merayap di dada."Masih ada waktu, dia pasti belum berangkat. Aku harus menemukannya." Namun, di balik tekadnya yang kuat,
Diajeng Kirana Ardani, wanita yang kerap disapa Kiran itu segera berdiri dari lantai yang dingin ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Wanita yang berusia 27 tahun itu mengangkat pandangannya dari lantai, melihat ke arah suaminya, Arka, yang telah pulang kerja. “Mas, kamu sudah pulang?” “Malam ini banyak pekerjaan yang harus diurus. Jadi, aku baru sempat pulang sekarang,” jawab Arka sambil menaruh tas dan ponselnya di meja. Arkana Wirasena, anak kedua dari almarhum Wirasena itu bekerja sebagai seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi besar. Tanggung jawabnya besar, mulai dari mengawasi pembangunan hingga memastikan segala sesuatu berjalan sesuai jadwal. Hari-harinya sering kali dihabiskan di lokasi proyek, yang membuatnya selalu pulang larut malam, bahkan kadang tak pulang ke rumah. “Mas, aku ingin bicara,” ujar Kiran, sambil mengangkat pandangannya, menatap ke arah Arka begitu gelisah. Arka yang sedang melepas kancing kemejanya, sejenak menghentikan
Tangannya sudah bergetar, tapi Kiran mencoba memberanikan diri untuk tetap membuka pesan tersebut. Untung saja, ponsel itu tidak terkunci, sehingga ia bisa membaca semua isi percakapan yang ada. Selama ini, Kiran memang tak pernah membuka ponsel suaminya karena ia percaya sepenuhnya pada Arka. Tapi kepercayaannya kini hancur berkeping-keping ketika ia melihat pesan tersebut.Tubuh Kiran bergetar hebat, dadanya terasa sesak, kakinya begitu rapuh dalam berpijak hingga ia jatuh ke lantai yang dingin. Semua pesan itu membuatnya begitu terpukul. Bagaimana tidak, kontak yang memiliki foto profil seorang anak kecil yang begitu mirip dengan suaminya itu menyita perhatiannya.“Siapa anak kecil ini? Kenapa dia begitu mirip dengan Mas Arka?”Hati Kiran berdenyut nyeri. Terlebih, Arka menyimpan nomor ponsel itu dengan panggilan ‘Ay.’ Kiran merasa dunia di sekitarnya runtuh. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, mengaburkan pandangannya. Setiap pesan yang terbaca seolah menambah beban di hatin
“Kiran.” Bibir Arka bergetar ketika memanggil nama istrinya.Kiran tersenyum, menatap suaminya yang sudah berada tepat di hadapannya. “Mas, apa kamu sudah bertemu dengan klien-mu? Tadi kamu pamit padaku, kamu bilang kamu ingin bertemu dengan klien, ‘kan?” Kiran menatap ke arah wanita yang ada di samping suaminya. “Apa dia klien-mu, Mas?”“Kiran, aku .…”Kiran segera menyela perkataan Arka, meski hatinya begitu sesak seperti ditusuk ribuan jarum. “Oh iya, Mas, tadi aku juga melihat kamu menggendong seorang anak kecil. Dan kenapa aku mendengar kamu bilang ‘anak papa’? Siapa anak itu, Mas?” Jujur saja, kiran sudah tak mampu lagi untuk menatap suaminya, bibirnya memang tersenyum, tapi hatinya sudah menjerit ingin berteriak. “Ayo jawab aku, Mas. Kenapa kamu hanya diam?”Arka meraih tangan Kiran, rasa bersalah dan ketakutan sudah memenuhi hatinya. Satu hal yang sangat ia takutkan akhirnya terjadi juga.“Kiran ....”“Aku tidak mau kamu terus berbohong kepadaku, Mas. Aku ingin kamu jujur.” K
Kiran berhenti di depan Arka, sambil mengangkat balok itu sedikit, dan menatap Arka dengan intens. “Kamu bilang tagihan-tagihan itu yang membuatmu pusing, kan? Aku akan membuat semuanya lebih mudah untukmu. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun lagi.” Arka mundur satu langkah, matanya melebar ketakutan saat melihat Kiran sudah mengangkat balok itu ke arahnya. “Kiran, tenang. Tidak perlu sampai seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik.”Kiran tak mendengarkan perkataan Arka, ia tetap mengangkat balok tersebut, dan melayangkannya ke arah Arka. Arka segera menghindar sambil memejamkan matanya, lelaki itu terlihat begitu takut.Crashh!Namun, ternyata Kiran memukul mobil suaminya. Suara kaca yang pecah menggema di malam yang dingin. Kiran meluapkan semua rasa sakit hatinya dengan terus memukul mobil Arka.“Kiran!” Arka berteriak, ia terkejut dan panik ketika Kiran merusak mobil barunya. “Hentikan, apa yang kamu lakukan!”Kiran tidak menggubris teriakan suaminya, ia terus memukul mobil Arka
“Arga, adikmu ... adikmu, Arka ...” Maria tidak bisa melanjutkan kalimatnya, suaranya seakan tersendat di kerongkongan. Arga segera mendekati ibunya, sepasang tangannya terulur menyentuh bahu ibunya yang bergetar hebat. “Ma, tenang dulu. Tolong jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?” Maria mencoba mengangkat wajahnya lagi, menatap ke arah putra sulungnya, Arga, yang sudah ada di hadapannya. “Adikmu, Arka, dia sudah mengkhianati Kiran, dia sudah memiliki anak dengan perempuan lain.” Deg! Mata Arga melebar mendengar pengakuan ibunya. “Apa?” Arga segera menoleh ke arah Arka yang masih berdiri di belakangnya. “Arka, apa yang dikatakan Mama itu benar?” Arka mengangguk perlahan, menatap kakaknya yang sudah menatapnya dengan nyalang. “Iya, aku ... aku telah membuat kesalahan besar.” Arga merasa darahnya mendidih mendengar pengakuan adiknya. Ia tidak percaya bahwa Arka, yang selama ini ia anggap sebagai pria yang bertanggung jawab, bisa melakukan hal sekeji ini. Ia begitu sangat ke